Home / Fantasi / Ksatria Yatim Dan Gadis Tanpa Aura / Pertarungan Dua Siswa Bodoh

Share

Pertarungan Dua Siswa Bodoh

Author: Yasu Hayashi
last update Last Updated: 2025-07-19 01:59:45

Hawa murni, energi kehidupan yang dapat meningkatkan kekuatan fisik, memberikan kemampuan unik, dapat digunakan untuk penyembuhan.

Arthur membaca deretan tulisan pada buku di hadapannya. "Sekolah aneh, untuk apa aku di tempat ini kalau pada akhirnya belajar sendiri," keluh Arthur, membuka lembar demi lembar halaman buku.

Aura adalah manifestasi hawa murni, dapat dirasakan minimal oleh salah satu indra. Dapat berupa tampilan visual, aroma, sensasi pada kulit, bunyi.

"Merepotkan," keluh Arthur, matanya terasa perih membaca deretan tulisan tersebut.

Tiba-tiba, tercium aroma bunga mawar dari kejauhan, semakin mendekat semakin semerbak. Arthur terperangah, Elixia menghampirinya di perpustakaan, dengan cepat berdiri di sampingnya.

"Kau masih belum puas dengan kejadian kemarin, ya?" Tegur Elixia, sebuah surat terlipat dua dalam genggaman, tanpa basa basi dia membukanya.

"Aku tidak mengerti maksudmu... Minggir, aura mawarmu menyengat," sindir Arthur, hendak melangkah pergi, namun Elixia menahannya.

"Pengecut... Mengirimkan surat tantangan ke lokerku dan kini hendak melarikan diri," hardik Elixia, mencengkram pergelangan Arthur dengan kuat.

"Aku bahkan tidak tahu dimana lokasi lokermu," kilah Arthur, mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman Elixia yang semakin kuat.

"Kau pasti meminta bantuan gadis yang dapat menghilangkan aura itu, kan?" Tuduh Elixia, mendekatkan kepalanya.

Dengan dingin dia menatap Arthur dari jarak dekat, membuat jantungnya berdegub liar kembali mengingat ciuman mautnya.

"Aku tidak akan mengakui apa yang tak kuperbuat, tapi kalau kau memaksa, ayo kita bertarung!" Timpal Arthur, berusaha mengulur waktu dari ciuman maut Elixia.

"Kuakui nyalimu, ikuti aku!" Seru Elixia, menghempaskan tangan Arthur dari genggaman, berjalan keluar perpustakaan.

Arthur mengikutinya seolah mengiringi maut, melalui jalan-jalan berkelok bagai labirin. Dinding-dinding lembab menjadi saksi perjalanan mereka hingga tiba di ruang kosong.

Keduanya saling berhadapan di dalam ruangan yang cukup luas, namun bagi Arthur ruangan tersebut bagaikan tembok kematian yang berusaha menghimpitnya.

Elixia segera mendekat, Arthur terkesiap seakan menghadapi dewi kematian yang menghampirinya secepat kilat.

Tidak perlu menunggu waktu lama, Elixia segera melesatkan tendangan presisi seperti yang dilakukan di pertarungan pertama.

Tidak kena! Arthur bergerak menyamping, tidak ingin seperti keledai yang jatuh pada lubang yang sama.

Belum! Elixia segera melanjutkan seranganya dengan tendangan berputar, Arthur memundurkan kepala, tendangan tersebut hanya menyerempet dagu Arthur.

"Pukulan Naga Terbang!" Arthur melompat rendah hendak melesatkan pukulan balasan, namun... "Bruuukkk!" Tubuhnya limbung, terjatuh menghujam lantai.

"Kau kehilangan keseimbangan, otakmu berguncang merespon tendangan cepatku," Elixia menghinanya, menatap Arthur yang tergeletak, menegaskan perbedaan level di antara mereka.

Terkecoh! Arthur mencengkram kedua kaki Elixia, menariknya sambil bangkit berdiri.

"Apa yang akan kau lakukan?" Pekik Elixia. Arthur memutar-mutar tubuh Elixia berulang kali, lalu melemparkannya jauh mengahantam tembok ruangan hingga retak, debu berhamburan.

Dengan cepat Elixia bangkit, pijakannya stabil seolah serangan Arthur tidak berarti apa-apa. "Boleh juga," cibir Elixia, bersiap untuk menyerang kembali.

"Pukulan Mawar Membelah Bumi!" Elixia melompat, kembali menari di udara, kali ini Arthur bisa melihat keindahan gerakan Elixia tanpa terhalang sinar matahari.

"Jurus ini lagi!" Seru Arthur, bersiap untuk menghindar, namun Elixia tiba-tiba menghilang dan muncul di kirinya.

Sebuah pukulan dilesatkan, tajam bagaikan pisau membuat pipi Arthur tergores mengucurkan darah. Belum cukup, Elixia muncul di kanan Arthur, menggores pipi satunya lalu meghilang kembali.

Arthur berputar, matanya tidak dapat mengikuti gerakan Elixia yang cepat. Bagai kilat, Elixia muncul tak terduga di belakangnya.

Dengan sigap dia mencengkram tangan Arthur, menariknya ke belakang. "Berlutut," hardik Elixia, mendorong belakang lutut Arthur dan membuatnya tersungkur.

"Dasar pria lemah," hina Elixia, mendorong Arthur hingga tengkurap mencium lantai.

Tanpa segan dia menginjak punggung Arthur dengan kencang, darah yang menyembur dari mulut Arthur mengalir di lantai.

Walau tidak dapat merasakan sakit, namun Arthur masih bisa terluka. Elixia terus menekan punggungnya, darah kini membanjiri lantai.

Gemeretak tulang terdengar, Arthur terbaring pasrah, pandangannya kabur hampir tak sadarkan diri, ruangan di sekitarnya seolah bergoyang.

Tiba-tiba, aroma bunga anggrek terasa samar menguar di udara, semakin lama semakin mendekat seolah memberikan wangi harapan.

Derit pintu terdengar, seseorang masuk dengan langkah penuh semangat.

"Kaka, apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Elixia, suaranya bergetar, menyingkirkan pijakan dari punggung Arthur.

"Elixia, kau memang hobi menyiksa anak baru, ya," jawab sosok tersebut, suaranya terdengar genit.

Sosok tersebut membalikan tubuh Arthur hingga terlentang, tampak di atas Arthur seorang wanita dengan rambut ungu bagai anggrek musim semi.

"Perkenalkan aku Livia Orchid, wakil ketua geng Flawless," ucap sosok tersebut memperkenalkan diri, senyumnya ramah berbanding terbalik dengan Elixia.

"Bantu dia duduk, aku akan memulihkan peredaran darahnya," ucap Livia, lembut namun terkandung perintah yang sulit dibantah.

"Tapi, kak... Dia yang menantangku lebih dulu," timpal Elixia, berusaha membantah.

"Dasar bodoh! Kau hampir membunuh orang karena surat kaleng kan?" Bentak Livia, entah dari mana dia mengetahui hal tersebut.

"Hari ini sudah ada lima pertarungan di lapangan, kau tau kan peraturannya?" Tanya Livia, rupanya pertarungan Arthur dan Elixia bukan yang pertama.

"Sampai salah satu petarung tidak berdaya, atau... Mati," jawab Elixia, tertunduk seolah menyadari kesalahannya.

"Sama seperti kalian, para siswa bodoh itu bertarung karena sebuah surat kaleng," sindir Livia, terasa ada analisa mendalam di setiap ucapannya.

"T-tapi bagaimana seseorang bisa memasukan surat kaleng?" Tanya Elixia, masih berusaha memahami penjelasan Livia.

"Adik cantikku, bantu pria itu duduk dulu..." pinta Livia, bagai bujuk rayu yang tidak bisa ditolak.

Elixia lalu membantu Arthur duduk, tubuhnya masih terkulai lemah, sekitar mulutnya dikelilingi darah segar yang sebelumnya menyembur, goresan di pipinya cukup dalam.

Dia menahan bahunya agar seimbang, menatapnya dalam jarak dekat. Livia duduk bersila di belakang Arthur, menotok titik-titik vital di bagian punggungnya.

"Kemungkinan pelaku memiliki kemampuan mengcopy sidik jari," jelas Livia, tangannya berpindah ke leher Arthur, memijat lembut titik akupunturnya.

"Benar juga, loker siswa hanya bisa dibuka menggunakan sidik jari," timpal Elixia, matanya menyipit.

Perlahan tubuh Arthur mulai seimbang, pandanganya pulih saat membuka mata dan melihat Elixia di hadapannya. Keduanya bangkit berdiri bersamaan.

"Sekarang ikuti aku... Sebaiknya kita bicarakan di markas Flawless!" Seru Livia.

Dia segera berjalan meninggalkan ruangan kosong, kakinya melompat lompat ringan bagai seorang anak kecil yang sedang berbahagia.

"Urusan kita belum selesai," ancam Elixia kepada Arthur, keduanya saling memalingkan muka, berjalan mengimbangi kecepatan Livia.

Di lorong menuju markas Flawless, aura samar muncul, perlahan-lahan menjadi utuh. Leona mendadak muncul di depan Arthur dan Elixia. Kakinya meluncur kikuk mengikuti gaya Livia yang berada di depannya.

"Sejak kapan kamu di situ?" Geram Elixia.

"Kapan berhenti bikin kaget?" Timpal Arthur.

"Sama-sama kaget, ya? Kalian sebenarnya cocok, lho!" Seru Leona, menggoda Arthur dan Elixia.

"Kami?" Tatapan Arthur dan Elixia bertemu. Mereka saling menunjuk diri masing-masing, lalu segera memalingkan muka, kembali melanjutkan perjalanan.

"Kita sudah tiba!" Seru Livia, semua terkesiap.

Livia segera melekatkan kedua telapak tangannya pada tembok dengan gambar bunga teratai. Melakukan gerakan memutar ke kiri lalu ke kanan.

"GRRRKKK!" Tembok rahasia terbuka, markas rahasia geng Flawless. Livia dan Elixia segera melesat masuk.

"Wanita dulu!" Seru Arthur, memalingkan muka hendak menatap Leona. Ternyata dia lenyap.

"Baiklah!" Gumam Arthur, membulatkan tekad dan melangkah masuk.

Tiba-tiba...

"Satu langkah lagi, kamu mati!" Secepat cahaya aura panas melingkupi, cakar seseorang tergantung di leher Arthur. Nyaris mencabik-cabiknya.

Diana Sun, ketua geng Flawless dengan rambut kuning bercahaya. Tatapannya tajam seperti elang mencari mangsa, auranya menimbulkan sensasi hangat di kulit. Apa yang akan dilakukannya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ksatria Yatim Dan Gadis Tanpa Aura   Kembali Pulang

    Tepat setelah keluar dari area menuju kuil sembilan dewa, tim senyap lalu membagi kelompok menjadi dua, masing-masing terdiri dari dua orang. "Kalian tetap awasi kuil sembilan dewa," ucap seorang tim senyap yang memakai pakaian ninja dan hanya terlihat matanya saja. Setelah dua orang lainnya kembali menuju area kuil sembilan dewa, dia bersama seorang lainnya yang mengenakan masker untuk menutupi mulutnya menuju ke belakang dua buah pohon besar. Tak lama, mereka muncul kembali tanpa mengenakan pakaian ninja dan tampaklah dua orang sosok remaja belia dengan menggendong tas di punggung. Satu orang pria dan satu orang adalah wanita, sorot mata mereka memancarkan kesetiaan, rambut mereka bagai cahaya bulan purnama yang bersinar di gelapnya malam. Tim senyap pria menarik tim senyap wanita untuk segera bergegas, namun wanita tersebut menahan tarikan si pria dan menahan langkahnya. "Ada apa, Lena?" Tanya tim senyap pria seraya berbalik untuk melihat temannya. "Apakah yang kita lakukan s

  • Ksatria Yatim Dan Gadis Tanpa Aura   Kegelisahan Elixia

    Melihat dua buah kepala menggelinding seolah tidak ada artinya, hati Elixia dipenuhi perasaan gelisah. Dua pasang anggota dewan antar siswa bertarung satu sama lain, tentu ini bukan sesuatu yang biasa. Ketika membujuk Elixia menjadi sekutu, Valerina berkata bahwa dia hanya membunuh satu orang selama hidupnya, yaitu donatur SMA Skywhip yang dia cabik saat pesta bulanan siswa. Kenangan buruk itu menghantui Elixia lagi. Elixia tidak segan menarik tangan Valerina, membawanya jauh dari kerumunan, "apa yang kau lakukan pada mereka?" Tanyanya dengan lirih, matanya menyipit penuh kecurigaan terhadap gadis yang kini menggunakan jubah hitam. "Mereka ingin bergabung, aku hanya menguji kesetiaan mereka," jawab Valerina dengan nada dan tatapan yang dingin. "Dengan cara membuat mereka saling membunuh? Itu sama kejinya dengan membunuh langsung!" Cecar Elixia, kini tatapannya tajam seperti berusaha masuk ke dalam pikiran Valerina. "Sssttt, sebaiknya kau diam... Mereka bukan dirimu yang bisa aku p

  • Ksatria Yatim Dan Gadis Tanpa Aura   Menyambut Sang Dewi

    Beberapa menit sebelum kedatangan Flawless ke tempat pertarungan Riokusa dan Valerina... "Hahahaha," Valerina tertawa seraya memandang wajah Riokusa yang ditopang kedua tangannya. Dia menyimpan kepala Riokusa di tengah altar seolah persembahan untuk dewi kematian. Valerina kemudian mengambil dua buah lilin yang jatuh akibat pertarungannya, dengan perlahan dan presisi dia meletakannya di kedua sisi kepala Riokusa. Dengan tawa mengerikan menguar di udara dia merentangkan kedua tangannya, menyerap kabut hitam sisa-sisa hawa murni dari berandalan yang tewas. Dia pun pergi meninggalkan tempat ibadah kosong untuk kembali ke kuil sembilan dewa. Secepat bayangan dia melesat, meninggalkan jejak kabut hitam yang beterbangan ditiup angin malam. Sesampainya di depan tangga menuju kuil sembilan dewa, empat orang sudah menunggunya. Mereka adalah Carls, Dals, Zenia, dan Zenita, empat anggota dewan antar sekolah yang berkhianat. "Hahahaha, sudah berapa lama kalian menungguku?" Tanya Valerina, d

  • Ksatria Yatim Dan Gadis Tanpa Aura   Riokusa, Aku Menyusulmu

    Ksatria berpakaian putih, berikat pinggang hitam turun dari langit. Dengan tekad dan semangat untuk berkorban, dia bertarung dengan dewi kematian. Walaupun mampu memberi kerusakan, namun pada akhirnya dewi kematian... "Sial... Lagi-lagi ada bagian tulisan yang seperti terhapus," gumam Livia, ketiga kalinya buku ramalan pemberian Eleana yang kini dia baca, memiliki paragrah tidak lengkap. Livia fokus pada kalimat "pakaian putih dan ikat pinggang hitam" yang mengingatkannya pada Riokusa. Entah kenapa hatinya terasa berdegup kencang, tangannya bergetar tak karuan. "Riokusa, apa yang terjadi padamu?" Tanya Livia dalam hati, sudah dua jam Riokusa belum kembali. "Kak Rio!" Seru Leona, tiba-tiba bangun dari tidurnya, membuat Livia terkesiap karena terakhir kali mengigau, nama Arthur yang Leona sebutkan. "Kau kenapa, Leona?" Tanya Livia, cepat. Dia segera melonjak ke tempat tidur Leona, terbuat dari batu alam, dilapisi seprai yang dibeli Riokusa siang tadi. "Entah kenapa aku merasa ada s

  • Ksatria Yatim Dan Gadis Tanpa Aura   Kegelapan Yang Nyata

    Riokusa teringat ucapan Livia untuk melarikan diri jika bertemu Valerina, matanya menatap ke sekeliling untuk mencari celah melarikan diri. Terpantau hanya ada dua jalan keluar, pintu masuk dan bubungan atap yang gentingnya telah dia buka sebelumnya. Valerina mengeluarkan gelombang kejut menggunakan hawa murninya, membuat pintu masuk tertutup dengan sendirinya. Diikuti suara besi penyangga pintu yang berputar 180 derajat, menahan pintu untuk dibuka dari luar. "Jika aku melompat ke atas sambil menggendong sebuah mayat, aku akan mudah diserang," gumam Riokusa, menyadari tidak ada cara lain selain menghadapi Valerina. Sementara itu, kabut hitam dari beberapa korban yang mati terus menerus terserap ke dalam tubuh Valerina. "Mau tidak mau, aku harus mengalahkan Valerina secepatnya sebelum hawa murni para korban habis terhisap," lanjut Riokusa, sadar dirinya terjebak dilema. "Hahaha... Kenapa kau diam? Tampaknya kau kebingungan karena tidak ada jalan keluar ya?" Sindir Valerina, tertaw

  • Ksatria Yatim Dan Gadis Tanpa Aura   Pamit

    Riokusa menatap ke arah langit, pikirannya campur aduk. Menerima tawaran bekerja di perbatasan kota demi menjadi kuat, namun musuh yang dihadapi kali ini bukanlah alat latihan untuk menjadi lebih hebat. Apalagi, alam seakan tidak memberi restu padanya malam ini. Bulan hanya tampak bagaikan sabit, tidak ada satupun bintang yang bersinar di langit gelap. Mata Riokusa menerawang ke batu karang besar dekat air terjun yang seolah tidak lelah untuk mengalir. Sama seperti Arthur yang sedari tadi ditinggalkan sendiri di sana, masih setia duduk bersila. "Entah apa yang dipikirkannya," gumam Riokusa, dia pun menuju tempat Arthur saat ini berada. Siapa tahu, dia bisa sedikit mengurangi kebimbangan Riokusa. Sampailah dia di atas tempat Arthur termenung seorang diri. "Permisi... Bolehkah aku mengobrol sebentar?" Tanya Riokusa, Arthur menatap dengan ramah, senyum tersungging dari bibirnya. "Bolehkah aku titip padamu cara membuka pintu keluar masuk tempat ini?" Tanya Riokusa, membalas senyum Art

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status