LOGINMalam pesta bulanan siswa SMA Skywhip...
Tampak Arthur dan Leona sudah hadir terlebih dulu di acara pesta. Di ujung terdapat panggung besar, pemain musik terlihat menyiapkan alatnya—bass, keyboard, saxophone. Dia mengenakan setelan jas hitam dengan kancing warna emas, sementara Leona mengenakan dress putih, dihiasi dasi kupu-kupu merah dan blazer abu. "Pesta ini kenapa diadakan tiap bulan?" Tanya Arthur, matanya berkilau di bawah lampu mewah ruang pesta. "Gaya hidup sekolah ini... Hedon dan suka pamer," jawab Leona, penuh sindiran, matanya menyipit. Puluhan peserta acara masuk melalui pintu utama, gemerincing perhiasan membuat meriah, gaun-gaun penuh kemewahan menyapu karpet merah. Pria-pria kaya berjalan membusungkan dada, jam tangan mewah melingkar di pergelangan tangan. Beberapa di antaranya melangkah menuju dua buah meja bundar di bawah panggung—khusus tamu VIP. Sepuluh kursi bingkai emas mengelilingi tiap meja tersebut. Peserta lain menatap kagum saat mereka melangkah. "Mereka para donatur, hanya datang saat malam pesta bulanan," celetuk Leona, matanya menyusuri sekeliling. Livia Orchid, tampak keluar dari pintu di dekat panggung. Mengenakan gaun ungu, melenggok dengan anggun penuh gairah, lekukan tubuhnya bagaikan jam pasir. Sambil tertawa kecil mengedipkan mata ke Leona, dia menuju dua orang peserta pria tampan—yang sedang mengobrol sambil minum sirup. Diana Sun, dengan gaun kuning yang membalut tubuhnya, menyusul masuk. Peserta-peserta lain berbisik-bisik sambil menatap kagum, terutama bagian lekukan indah di dada yang lumayan besar. Leona mulai menghilangkan auranya, bisikan terdengar lebih jelas. "Lihat itu Diana Sun, biasanya menakutkan, tapi dengan gaun itu dia tampak... Menggairahkan." ... Beberapa alat musik sesekali berbunyi, namun iramanya tak beraturan, terasa masih sedang cek sound. Beberapa penjaga stan makanan dengan setelan koki, mulai mondar mandir menyiapkan berbagai makanan. Stan makanan tersedia di sekeliling gedung. "Aura Pendeteksi!" Leona mengeluarkan jurusnya, mencoba mendeteksi aura jahat. "Sial, aura bajingan lain yang juga gelap membuat aura si gagak jadi samar," gumam, terus berkonsentrasi untuk menemukan aura si gagak. Tiba-tiba, seseorang masuk, terdengar berbagai macam kalimat dari para peserta di situ, "Lihat, anggota Flawless itu..." "Dia terlihat paling cantik..." "Lekukan tubuhnya bagai gitar..." "Rambutnya indah bagai bunga mawar..." "Sayang sekali sikapnya dingin..." "Katanya dia tidak bisa jatuh cinta..." Para peserta berbisik-bisik membicarakan sosok tersebut, mata para pria terpaku. Peserta wanita menatap iri, sambil cekikikan mereka mencibir. ... Elixia Ross! Dengan gaun dan rambut merahnya yang mempesona. Perlahan namun anggun dia melewati beberapa peserta di kerumunan. Bagian rok gaun-nya sedikit di atas lutut—sama dengan Livia dan Diana—membuatnya lebih leluasa bergerak. Langkahnya terhenti di hadapan Arthur, dia menatap sejenak lalu segera menurunkan pandangan dan berjalan untuk lebih mendekat. Bunga-bunga dan kristal warna warni tak kasat mata seakan memenuhi udara sekitarnya, membuat Arthur terperangah—sekaligus terpesona. "Uhm... Maafkan telah menuduhmu soal surat tantangan... Tapi, bukan berarti kita sudah berteman." Elixia meminta maaf. Nada suaranya yang biasa dingin seperti es beku, terasa sedikit mencair. "Ohhhhh," gumam Arthur, bingung harus merespon apa, matanya masih terpaku melihat pesona Elixia. Musik di panggung pun mulai memainkan intro, irama musik jazz mengayun lembut, membuat peserta ingin menari. Ruangan pesta sudah mulai dipenuhi peserta. Mereka berdesakan, bersiap mengantri makanan, sebagian mondar-mandir ke sana kemari, membuat suasana meriah—dan tidak terkendali. "PESTA DIMULAI!" Panitia acara pun membacakan pengumuman, suara dari mic menggema ke seluruh ruangan. Namun bagi Arthur, Leona, dan geng Flawless, ini berarti kengerian akan segera terjadi. Perburuan si gagak pun dimulai... Diana, Leona dan Livia segera memakai clip-on mic di kerah baju dan ear monitor di telinga. Memungkinkan mereka saling terhubung, berkomunikasi melalui jaringan wireless—tanpa kabel. Leona menyelinap di antara sela-sela kerumunan. Auranya menghilang, membuatnya semakin peka dengan kondisi sekitar. Suara-suara orang banyak, terdengar memenuhi telinganya, Leona terus berkonsentrasi. Beberapa menit berlalu, belum ada tanda-tanda si gagak beraksi. Tiba-tiba... "Hei kamu... Jangan terus pegang piring kotor itu, segera ambil stok dimsum di dapur." Suara seorang penjaga stan makanan menegur temannya, menarik perhatian Leona. Dia segera mendekati sumber suara, menduga bahwa suara tersebut mengarah ke si gagak yang beraksi mengcopy sidik jari di sebuah piring. Saat coba mendekat, Leona melihat sosok tersebut menjauh dan berjalan menuju dapur, mengenakan setelan koki. Di dekat panggung, Elixia dan Arthur terlihat sedang menari. Kedua tangan Elixia memegang bahu Arthur dengan lembut, kedua tangan Arthur melingkar di pinggang Elixia. Lekukan tubuh Elixia terasa di tangan Arthur, membuatnya canggung, jantungnya berdegup kencang. "Kenapa kau menarik tanganku dan mengajak menari?" Tanya Arthur, pipinya memerah, kepalanya sedikit tertunduk menatap Elixia. "Jangan terbawa perasaan, ini strategi," Jawab Elixia, ketus. Tubuhnya bergoyang pelan ke kanan dan kiri bersama Arthur, mengikuti ayunan musik swing. Di kerumunan, Leona melihat sosok yang dia curigai, bergerak menjauh ke arah berlawanan. Namun, suara seorang wanita mengalihkan perhatiannya. "Andrew... Andrew kenapa kamu tiba-tiba diam?" "Ini jarum silver untuk apa ya?" Ucap wanita tersebut. Leona segera bergegas sebelum wanita tersebut mencabut jarum silver di leher sang pria. "Tunggu! Jangan dicabut, kak, racun akan menyebar jika kau mencabutnya." Leona tiba tepat waktu, memunculkan kembali auranya, lalu menghilang lagi. Kejadian tersebut cukup menghentikan peserta wanita mencabut jarum. Namun, kemudian terdengar suara dari monitor speaker yang terhubung dengan Diana dan Livia melalui jaringan wireless—tanpa kabel. "Bodoh, fokus kejar si gagak! urusan racun serahkan pada Livia," Diana memarahi Leona. "B-baik, kak!" Jawab Leona dengan suara bergetar, seolah perintah Diana bertentangan dengan kata hatinya.Tepat setelah keluar dari area menuju kuil sembilan dewa, tim senyap lalu membagi kelompok menjadi dua, masing-masing terdiri dari dua orang. "Kalian tetap awasi kuil sembilan dewa," ucap seorang tim senyap yang memakai pakaian ninja dan hanya terlihat matanya saja. Setelah dua orang lainnya kembali menuju area kuil sembilan dewa, dia bersama seorang lainnya yang mengenakan masker untuk menutupi mulutnya menuju ke belakang dua buah pohon besar. Tak lama, mereka muncul kembali tanpa mengenakan pakaian ninja dan tampaklah dua orang sosok remaja belia dengan menggendong tas di punggung. Satu orang pria dan satu orang adalah wanita, sorot mata mereka memancarkan kesetiaan, rambut mereka bagai cahaya bulan purnama yang bersinar di gelapnya malam. Tim senyap pria menarik tim senyap wanita untuk segera bergegas, namun wanita tersebut menahan tarikan si pria dan menahan langkahnya. "Ada apa, Lena?" Tanya tim senyap pria seraya berbalik untuk melihat temannya. "Apakah yang kita lakukan s
Melihat dua buah kepala menggelinding seolah tidak ada artinya, hati Elixia dipenuhi perasaan gelisah. Dua pasang anggota dewan antar siswa bertarung satu sama lain, tentu ini bukan sesuatu yang biasa. Ketika membujuk Elixia menjadi sekutu, Valerina berkata bahwa dia hanya membunuh satu orang selama hidupnya, yaitu donatur SMA Skywhip yang dia cabik saat pesta bulanan siswa. Kenangan buruk itu menghantui Elixia lagi. Elixia tidak segan menarik tangan Valerina, membawanya jauh dari kerumunan, "apa yang kau lakukan pada mereka?" Tanyanya dengan lirih, matanya menyipit penuh kecurigaan terhadap gadis yang kini menggunakan jubah hitam. "Mereka ingin bergabung, aku hanya menguji kesetiaan mereka," jawab Valerina dengan nada dan tatapan yang dingin. "Dengan cara membuat mereka saling membunuh? Itu sama kejinya dengan membunuh langsung!" Cecar Elixia, kini tatapannya tajam seperti berusaha masuk ke dalam pikiran Valerina. "Sssttt, sebaiknya kau diam... Mereka bukan dirimu yang bisa aku p
Beberapa menit sebelum kedatangan Flawless ke tempat pertarungan Riokusa dan Valerina... "Hahahaha," Valerina tertawa seraya memandang wajah Riokusa yang ditopang kedua tangannya. Dia menyimpan kepala Riokusa di tengah altar seolah persembahan untuk dewi kematian. Valerina kemudian mengambil dua buah lilin yang jatuh akibat pertarungannya, dengan perlahan dan presisi dia meletakannya di kedua sisi kepala Riokusa. Dengan tawa mengerikan menguar di udara dia merentangkan kedua tangannya, menyerap kabut hitam sisa-sisa hawa murni dari berandalan yang tewas. Dia pun pergi meninggalkan tempat ibadah kosong untuk kembali ke kuil sembilan dewa. Secepat bayangan dia melesat, meninggalkan jejak kabut hitam yang beterbangan ditiup angin malam. Sesampainya di depan tangga menuju kuil sembilan dewa, empat orang sudah menunggunya. Mereka adalah Carls, Dals, Zenia, dan Zenita, empat anggota dewan antar sekolah yang berkhianat. "Hahahaha, sudah berapa lama kalian menungguku?" Tanya Valerina, d
Ksatria berpakaian putih, berikat pinggang hitam turun dari langit. Dengan tekad dan semangat untuk berkorban, dia bertarung dengan dewi kematian. Walaupun mampu memberi kerusakan, namun pada akhirnya dewi kematian... "Sial... Lagi-lagi ada bagian tulisan yang seperti terhapus," gumam Livia, ketiga kalinya buku ramalan pemberian Eleana yang kini dia baca, memiliki paragrah tidak lengkap. Livia fokus pada kalimat "pakaian putih dan ikat pinggang hitam" yang mengingatkannya pada Riokusa. Entah kenapa hatinya terasa berdegup kencang, tangannya bergetar tak karuan. "Riokusa, apa yang terjadi padamu?" Tanya Livia dalam hati, sudah dua jam Riokusa belum kembali. "Kak Rio!" Seru Leona, tiba-tiba bangun dari tidurnya, membuat Livia terkesiap karena terakhir kali mengigau, nama Arthur yang Leona sebutkan. "Kau kenapa, Leona?" Tanya Livia, cepat. Dia segera melonjak ke tempat tidur Leona, terbuat dari batu alam, dilapisi seprai yang dibeli Riokusa siang tadi. "Entah kenapa aku merasa ada s
Riokusa teringat ucapan Livia untuk melarikan diri jika bertemu Valerina, matanya menatap ke sekeliling untuk mencari celah melarikan diri. Terpantau hanya ada dua jalan keluar, pintu masuk dan bubungan atap yang gentingnya telah dia buka sebelumnya. Valerina mengeluarkan gelombang kejut menggunakan hawa murninya, membuat pintu masuk tertutup dengan sendirinya. Diikuti suara besi penyangga pintu yang berputar 180 derajat, menahan pintu untuk dibuka dari luar. "Jika aku melompat ke atas sambil menggendong sebuah mayat, aku akan mudah diserang," gumam Riokusa, menyadari tidak ada cara lain selain menghadapi Valerina. Sementara itu, kabut hitam dari beberapa korban yang mati terus menerus terserap ke dalam tubuh Valerina. "Mau tidak mau, aku harus mengalahkan Valerina secepatnya sebelum hawa murni para korban habis terhisap," lanjut Riokusa, sadar dirinya terjebak dilema. "Hahaha... Kenapa kau diam? Tampaknya kau kebingungan karena tidak ada jalan keluar ya?" Sindir Valerina, tertaw
Riokusa menatap ke arah langit, pikirannya campur aduk. Menerima tawaran bekerja di perbatasan kota demi menjadi kuat, namun musuh yang dihadapi kali ini bukanlah alat latihan untuk menjadi lebih hebat. Apalagi, alam seakan tidak memberi restu padanya malam ini. Bulan hanya tampak bagaikan sabit, tidak ada satupun bintang yang bersinar di langit gelap. Mata Riokusa menerawang ke batu karang besar dekat air terjun yang seolah tidak lelah untuk mengalir. Sama seperti Arthur yang sedari tadi ditinggalkan sendiri di sana, masih setia duduk bersila. "Entah apa yang dipikirkannya," gumam Riokusa, dia pun menuju tempat Arthur saat ini berada. Siapa tahu, dia bisa sedikit mengurangi kebimbangan Riokusa. Sampailah dia di atas tempat Arthur termenung seorang diri. "Permisi... Bolehkah aku mengobrol sebentar?" Tanya Riokusa, Arthur menatap dengan ramah, senyum tersungging dari bibirnya. "Bolehkah aku titip padamu cara membuka pintu keluar masuk tempat ini?" Tanya Riokusa, membalas senyum Art







