LOGINSetelah penyelidikan di ruangan jaringan...
Leona menunggu di pintu masuk markas Flawless. Livia masih tertatih, berusaha kuat menopang tubuh Elixia yang lemah setelah kejadian di ruangan jaringan. Bahunya menjadi tumpuan tangan Elixia yang melingkar erat di lehernya. Nafasnya terengah-engah, berjalan pelan menyusuri lorong penuh gambar bunga. Sampai di depan tembok bergambar bunga teratai, Livia segera melakukan gerakan untuk membuka pintu markas. "GRRRKKK!" Pintu itu terbuka, ketiganya—Leona, Livia, Elixia—masuk ke markas Flawless. "Elixia, apakah dia baik-baik saja? Malam ini ada pesta bulanan siswa." Sapa Diana, menyambut dengan pertanyaan. "Hanya kelelahan, istirahat sebentar akan membuatnya pulih," Jawab Livia. Diana menatap cemas Elixia. "Bagaimana anak baru itu?" Livia balik bertanya. Diana segera bergeser, tampaklah Arthur di belakangnya. Betapa kagetnya mereka—Elixia, Leona, Livia—saat melihat Arthur diperlakukan seperti tawanan. Tangannya terikat ke belakang di sebuah kursi, sebuah kain melilit, membungkam mulutnya. "Apa yang kau lakukan, kak?" Tanya Livia, terkejut. "Aku muak dengan sifat cerewet pria ini, selain itu dia cabul sekali!" Seru Diana, gemas. "Memang apa yang dia lakukan, kak?" Tanya Leona, menyentuh-nyentuhkan dua jari telunjuknya—lagi. "Tanya sendiri!" Seru Diana, mencabut kain—yang membungkam Arthur—dengan kasar. "Kau benar Leona, ternyata bukan cuma kamu yang bikin kaget di sekolah ini," Celetuk Arthur. "Kelakuanmu yang bikin kaget... Dasar cabul!" Seru Diana. Burung-burung tak kasat mata seakan berputar di kepala Arthur saat ketua geng Flawless tersebut menjitak kepalanya. "Jadi apa si gagak ada di ruangan jaringan?" Diana segera bertanya, sejenak melupakan masalahnya dengan Arthur. "Tidak ada... Hanya beberapa pekerja terkena racun mematikan," jawab Livia. "Sebentar kak, aku bawa Elixia dulu ke dalam kamar." Lanjut Livia, meminta izin dan menjeda obrolan. "..." Mata Arthur melirik-lirik ke ruangan yang dituju Livia. Tanpa dia sadari Diana memperhatikannya, tangannya menyilang di depan dada. "Dasar tukang mengintip, pria mesum!" Tegur Diana, menjitak kepala Arthur—lagi. Arthur mengusap-ngusap kepalanya, bersamaan dengan Livia yang datang kembali untuk menceritakan apa yang ditemuinya bersama Leona. Beberapa menit berlalu... "Jadi kesimpulan sementara... Si gagak menyerang belakang leher dengan jarum beracun," jelas Livia, satu jarinya teracung. "Dia mempunyai kemampuan mengcopy sidik jari," lanjut Livia, dua jarinya kini teracung. "Jarum beracun akan membekukan tubuh dan menyebar saat dicabut," tambah Livia, tiga jarinya kini teracung. "Jadi apa yang akan kita lakukan, kak?" Tanya Livia kepada Diana, menutup penjelasan. Diana tidak langsung menjawab, dia berjalan pelan seolah mencari ide, kemudian terhenti di sebuah sudut. Terdapat sebuah manekin dengan gaun berwarna merah—tampaknya milik Elixia. "Pesta bulanan siswa malam ini adalah tempat yang pas untuk menyalin banyak sidik jari," ujar Diana, berjalan ke sudut lainnya. Manekin dengan gaun berwarna ungu terpajang di sudut tersebut—tampaknya milik Livia. "Si gagak akan memanfaatkan kerumunan untuk melancarkan aksinya," tambah Diana, berpindah lagi ke sudut lain. Kali ini manekin dengan gaun kuning kepunyaannya terpajang. "Karena pestanya prasmanan, kemungkinan dia akan menyamar menjadi penjaga stan makanan!" Seru Diana, kini berpindah ke sudut dengan manekin dan gaun berwarna hitam—entah milih siapa? ... "Dengarkan baik-baik! karena ucapanku tidak akan bisa diulang seperti membaca novel, " pekik Diana, penuh ketegasan, bersiap memberitahu cara menangani penyusup di pesta bulanan siswa. Dia berjalan perlahan, melewati semua yang ada di situ—Arthur, Leona, Livia. Matanya menyipit seolah mencari tugas yang pas untuk mereka semua. Diana pun mulai menjelaskan strateginya... "Buat kelompok dua orang! Masing-masing perhatikan temannya agar tidak diserang dari belakang..." "Aku dan Livia, Arthur dan Elixia, gadis tanpa aura bertugas deteksi kehadiran si gagak..." "Livia, beritahu strategi hanya kepada siswa di bawah jaringan Flawless..." "Kita harus tangkap si gagak, biarkan siswa lain jadi target untuk memancing dia keluar." Diana pun menutup penjelasannya. Tiba-tiba... "Aku tidak setuju... Kau mengorbankan yang lainnya demi tujuanmu." Arthur memprotes, tangannya terangkat menunjuk Diana. "Protes? Berhadapan denganku!" Diana menggebrak meja, Auranya semakin membuat ruangan terasa panas. Arthur menundukan kepala, tangannya terkepal, sadar kemampuannya saat ini tidak mampu memaksa Diana menuruti keinginannya. Diana segera menghampirinya, meremas kerah baju Arthur. "Kau anak baru... Kadang harus ada yang dikorbankan untuk mencegah kerusakan yang lebih parah," bisik Diana, lirih namun terasa penuh intimidasi. "Dan satu lagi... Jaga Elixia, satu rambut helai jatuh kau akan mati!" Ancam Diana. Leona dan Livia hanya bisa tertunduk. "Pesta bulanan mulai beberapa jam lagi, bersiap dari sekarang!" Diana berseru, menutup pembicaraan saat itu. ... Beberapa menit kemudian, Arthur dan Leona meninggalkan ruang rahasia geng Flawless. Arthur menoleh ke arah Leona yang berjalan di lorong sambil menunduk. "Uhm..." Leona bergumam, seolah ingin mengucapkan sesuatu namun merasa malu. "Kamu kenapa Leona? Jika ada yang mau dibicarakan, silakan!" celetuk Arthur, lembut dan penuh pengertian. "Kamu bertanya apa yang membuat kak Diana marah?" Tanya Leona, malu-malu. Dia mengalihkan pandangan dari Arthur, pipinya memerah. "Aku cuma bertanya, berapa ukuran pakaian dalam yang pas untuk menutupi lekukan besar dan indah di dadanya." Arthur menjawab, kedua tangannya bergerak seolah mencengkram-cengkram sesuatu yang hanya ada dalam pikirannya. "Apaaaaaaaaa..." Teriak Leona, terperangah. "Aku menyesal berteman denganmu," suara Leona bergema, mengucapkan kalimat terakhir sebelum akhirnya menghilang dan auranya tak terasa. "Leona... Leona... Apakah aku salah? Maafkan aku!" Seru Arthur, memanggil Leona sambil menggaruk belakang rambutnya. Dia kemudian bergegas, suara langkahnya bergema di lorong.Tepat setelah keluar dari area menuju kuil sembilan dewa, tim senyap lalu membagi kelompok menjadi dua, masing-masing terdiri dari dua orang. "Kalian tetap awasi kuil sembilan dewa," ucap seorang tim senyap yang memakai pakaian ninja dan hanya terlihat matanya saja. Setelah dua orang lainnya kembali menuju area kuil sembilan dewa, dia bersama seorang lainnya yang mengenakan masker untuk menutupi mulutnya menuju ke belakang dua buah pohon besar. Tak lama, mereka muncul kembali tanpa mengenakan pakaian ninja dan tampaklah dua orang sosok remaja belia dengan menggendong tas di punggung. Satu orang pria dan satu orang adalah wanita, sorot mata mereka memancarkan kesetiaan, rambut mereka bagai cahaya bulan purnama yang bersinar di gelapnya malam. Tim senyap pria menarik tim senyap wanita untuk segera bergegas, namun wanita tersebut menahan tarikan si pria dan menahan langkahnya. "Ada apa, Lena?" Tanya tim senyap pria seraya berbalik untuk melihat temannya. "Apakah yang kita lakukan s
Melihat dua buah kepala menggelinding seolah tidak ada artinya, hati Elixia dipenuhi perasaan gelisah. Dua pasang anggota dewan antar siswa bertarung satu sama lain, tentu ini bukan sesuatu yang biasa. Ketika membujuk Elixia menjadi sekutu, Valerina berkata bahwa dia hanya membunuh satu orang selama hidupnya, yaitu donatur SMA Skywhip yang dia cabik saat pesta bulanan siswa. Kenangan buruk itu menghantui Elixia lagi. Elixia tidak segan menarik tangan Valerina, membawanya jauh dari kerumunan, "apa yang kau lakukan pada mereka?" Tanyanya dengan lirih, matanya menyipit penuh kecurigaan terhadap gadis yang kini menggunakan jubah hitam. "Mereka ingin bergabung, aku hanya menguji kesetiaan mereka," jawab Valerina dengan nada dan tatapan yang dingin. "Dengan cara membuat mereka saling membunuh? Itu sama kejinya dengan membunuh langsung!" Cecar Elixia, kini tatapannya tajam seperti berusaha masuk ke dalam pikiran Valerina. "Sssttt, sebaiknya kau diam... Mereka bukan dirimu yang bisa aku p
Beberapa menit sebelum kedatangan Flawless ke tempat pertarungan Riokusa dan Valerina... "Hahahaha," Valerina tertawa seraya memandang wajah Riokusa yang ditopang kedua tangannya. Dia menyimpan kepala Riokusa di tengah altar seolah persembahan untuk dewi kematian. Valerina kemudian mengambil dua buah lilin yang jatuh akibat pertarungannya, dengan perlahan dan presisi dia meletakannya di kedua sisi kepala Riokusa. Dengan tawa mengerikan menguar di udara dia merentangkan kedua tangannya, menyerap kabut hitam sisa-sisa hawa murni dari berandalan yang tewas. Dia pun pergi meninggalkan tempat ibadah kosong untuk kembali ke kuil sembilan dewa. Secepat bayangan dia melesat, meninggalkan jejak kabut hitam yang beterbangan ditiup angin malam. Sesampainya di depan tangga menuju kuil sembilan dewa, empat orang sudah menunggunya. Mereka adalah Carls, Dals, Zenia, dan Zenita, empat anggota dewan antar sekolah yang berkhianat. "Hahahaha, sudah berapa lama kalian menungguku?" Tanya Valerina, d
Ksatria berpakaian putih, berikat pinggang hitam turun dari langit. Dengan tekad dan semangat untuk berkorban, dia bertarung dengan dewi kematian. Walaupun mampu memberi kerusakan, namun pada akhirnya dewi kematian... "Sial... Lagi-lagi ada bagian tulisan yang seperti terhapus," gumam Livia, ketiga kalinya buku ramalan pemberian Eleana yang kini dia baca, memiliki paragrah tidak lengkap. Livia fokus pada kalimat "pakaian putih dan ikat pinggang hitam" yang mengingatkannya pada Riokusa. Entah kenapa hatinya terasa berdegup kencang, tangannya bergetar tak karuan. "Riokusa, apa yang terjadi padamu?" Tanya Livia dalam hati, sudah dua jam Riokusa belum kembali. "Kak Rio!" Seru Leona, tiba-tiba bangun dari tidurnya, membuat Livia terkesiap karena terakhir kali mengigau, nama Arthur yang Leona sebutkan. "Kau kenapa, Leona?" Tanya Livia, cepat. Dia segera melonjak ke tempat tidur Leona, terbuat dari batu alam, dilapisi seprai yang dibeli Riokusa siang tadi. "Entah kenapa aku merasa ada s
Riokusa teringat ucapan Livia untuk melarikan diri jika bertemu Valerina, matanya menatap ke sekeliling untuk mencari celah melarikan diri. Terpantau hanya ada dua jalan keluar, pintu masuk dan bubungan atap yang gentingnya telah dia buka sebelumnya. Valerina mengeluarkan gelombang kejut menggunakan hawa murninya, membuat pintu masuk tertutup dengan sendirinya. Diikuti suara besi penyangga pintu yang berputar 180 derajat, menahan pintu untuk dibuka dari luar. "Jika aku melompat ke atas sambil menggendong sebuah mayat, aku akan mudah diserang," gumam Riokusa, menyadari tidak ada cara lain selain menghadapi Valerina. Sementara itu, kabut hitam dari beberapa korban yang mati terus menerus terserap ke dalam tubuh Valerina. "Mau tidak mau, aku harus mengalahkan Valerina secepatnya sebelum hawa murni para korban habis terhisap," lanjut Riokusa, sadar dirinya terjebak dilema. "Hahaha... Kenapa kau diam? Tampaknya kau kebingungan karena tidak ada jalan keluar ya?" Sindir Valerina, tertaw
Riokusa menatap ke arah langit, pikirannya campur aduk. Menerima tawaran bekerja di perbatasan kota demi menjadi kuat, namun musuh yang dihadapi kali ini bukanlah alat latihan untuk menjadi lebih hebat. Apalagi, alam seakan tidak memberi restu padanya malam ini. Bulan hanya tampak bagaikan sabit, tidak ada satupun bintang yang bersinar di langit gelap. Mata Riokusa menerawang ke batu karang besar dekat air terjun yang seolah tidak lelah untuk mengalir. Sama seperti Arthur yang sedari tadi ditinggalkan sendiri di sana, masih setia duduk bersila. "Entah apa yang dipikirkannya," gumam Riokusa, dia pun menuju tempat Arthur saat ini berada. Siapa tahu, dia bisa sedikit mengurangi kebimbangan Riokusa. Sampailah dia di atas tempat Arthur termenung seorang diri. "Permisi... Bolehkah aku mengobrol sebentar?" Tanya Riokusa, Arthur menatap dengan ramah, senyum tersungging dari bibirnya. "Bolehkah aku titip padamu cara membuka pintu keluar masuk tempat ini?" Tanya Riokusa, membalas senyum Art







