Share

Terjebak Pernikahan Toxic

"Bang Bara," ucap Shamita dengan lirih. Kaget itulah yang ia rasakan saat ini.

"Bara! Kamu ini apa-apaan, datang-datang nuduh istri yang nggak-nggak. Siapa yang membicarakan aib kamu? Lagipula Ibu ini Ibumu, Shamita berhak mengadu apapun jika kamu tidak memperlakukannya dengan baik." Ucapan Bu Sindi membuat Bara terdiam untuk beberapa detik.

"Terus saja Ibu membela menantu kesayangan Ibu itu. Ibu perlu tau, aku juga suaminya. Baik buruk dia ada di tanganku. Jadi, ibu tidak berhak ikut campur dengan pernikahan aku." Bara yang keras kepala tak pernah mau mengalah.

"Ada apa Bu? Loh Shamita, Bara. Sejak kapan di sini?" Pak Indra yang baru menyadari ada keributan, membuat ia harus keluar dari ruangan kerjanya.

"Assalamu'alaikum Pak," sapa Shamita dengan ramah. Tak lupa ia mencium tangan mertua laki-lakinya itu.

"Wa'alaikum salam, kalian mau apa ke sini? Bukannya harusnya kalian bulan madu dulu," ucap Pak indra sembari terkekeh.

"Aku kesini—"

"Hanya berkunjung, Pak. Iya, kami bosan di rumah," ucap Bara menyela ucapan Shamita.

"Yaudah, masuklah! Jangan berdiri di sini. Takut ada pelanggan datang."

Shamita dan Bara pun mengikuti langkah Pak Indra menuju ruangan yang biasa digunakan untuk bertemu dengan rekan bisnis Pak Indra.

"Bagaimana? Kalian bahagia? Atau kalian berubah pikiran ingin mengadakan pesta?" tanya Pak Indra memulai obrolan.

Bara dan Shamita saling pandang. Kedatanganya ke toko, bukanlah untuk mengatakan hal itu. Tidak ada sedikitpun keinginan dari keduanya untuk mengadakan sebuah pesta pernikahan. Sedangkan Bu Sindi yang sudah mengetahui lebih dulu tak bisa banyak bicara.

"Pak, bukan itu tujuan kami datang ke sini," jawab Shamita.

"Lalu apa? Seperti yang kamu tau, hanya seperti ini keadaan toko. Kadang rame, kadang juga sepi. Ah atau kamu rindu ingin kembali bekerja?" Entah kenapa Pak indra seolah tau isi hati Shamita saat ini. Ya, sebelum pernikahan itu terjadi, Shamita diminta berhenti kerja seminggu sebelumnya.

"I—iya, Bapak benar. Aku rindu suasana toko," jawab Shamita berdusta.

"Yaudah Pak, Bu. Aku dan Shamita pulang dulu," sela Bara. Dengan menarik paksa tangan Shamita, Bara mengajak istrinya untuk segera pergi dari tempat itu.

***

Sesampainya di rumah, amarah Bara masih menyala layaknya api yang semakin berkobar.

"Kamu sengaja membuat aku malu di depan Bapak dan Ibu?" bentak Bara.

"Nggak, Bang. Bukan begitu maksud aku."

Suara Shamita bergetar menjawab pertanyaan suaminya itu.

"Lalu, apa? Mendatangi orang tuaku hanya untuk menceritakan aibku?"

"Tanpa diberitahupun mereka sudah tau bagaimana Abang. Aku hanya meminta untuk kembali bekerja, itu saja."

"Kamu pikir hal itu tidak membuatku malu? Apa susahnya kamu tinggal duduk diam di rumah. Bahkan uang dari orang tuaku masih cukup jika hanya untuk makan kita berdua." Bara masih saja meninggikan suaranya, meski mata Shamita sudah mulai memerah.

"Bang, sampai kapan kita akan bergantung kepada orang tua? Seharusnya kita sudah tidak lagi menyusahkan mereka di usia senjanya." Tak kuat, Shamita akhirnya kembali menangis. Ingatan Shamita teringat dengan neneknya yang saat ini entah diperlakukan seperti apa oleh mertuanya.

Tak ada balasan dari Bara, dia memilih pergi meninggalkan rumah dengan membanting pintu.

***

Tak ada yang dapat merubah takdir seseorang. Shamita hanya dapat merenungi nasibnya. Mengingat dosa apa yang pernah ia lakukan di masa lalu, sehingga ia mendapatkan suami yang begitu buruk perangainya.

Tatapan Shamita kosong saat menatap rintik hujan yang turun membasahi bumi. Pikirannya melayang kepada seseorang yang dulu pernah membersamanya selama enam bulan. Irham, ia adalah pria yang baik dan memiliki cinta yang tulus untuk Shamita.

Shamita mengingat perkataan Irham yang hendak melamarnya selalu saja mengganggu pikiran wanita berhijab itu. Penyesalan selalu datang menghampiri tatkala ia dengan sengaja mengganti nomor ponselnya agar Irham tak selalu menghubunginya. Terakhir komunikasi, Irham dinyatakan masih selamat dari sebuah kebakaran yang terjadi di tempatnya bekerja. Jahat, sudah pasti akan tersemat dalam diri Shamita. Jika Irham mengetahui saat ini Shamita telah bersuami.

Suara gedoran pintu terdengar keras disela suara petir yang bersahutan. Lamunan mengenai Irham harus terurai saat Shamita tersadar akan suara seseorang meminta untuk membukakan pintu.

"Bang Bara! Astagfirullah." Sontak Shamita menutup mulutnya. Saat ia mendapati Bara sedang dipapah oleh seorang wanita seksi dalam keadaan mabuk.

"Apa telingamu tuli! Membuka pintu saja lama sekali," ucap wanita yang memapah Bara.

"M—maaf. Ini, Bang Bara kenapa?" Dengan suara bergetar Shamita bertanya.

"Jangan pura-pura polos, sudah jelas suami kamu ini mabuk! Ayo cepat bantu aku!" Sama sekali tak sopan, wanita yang hanya memakai rok mini itu terus saja berkata keras kepada Shamita.

Dengan telaten Shamita membantu suaminya masuk, bau alkohol yang menyeruak membuat ia hampir saja muntah.

"Lain kali, urus dengan baik suamimu ini. Menyusahkan saja!" Setelah ditidurkan di sofa, wanita itu pergi begitu saja.

"Astagfirullah Bang, kenapa kamu selalu pulang seperti ini?" tanya Shamita pelan. Dengan pelan ia mencoba membuka baju Bara yang sudah basah terkena air hujan.

Air mata wanita yang selalu memakai pashmina itu kembali luruh. Ia merasa tak tega melihat suaminya yang selalu saja pulang dalam keadaan mabuk. Dalam hatinya ia selalu meminta kepada Allah, agar hidayah itu cepat datang menghampiri suaminya.

"Kamu sedang apa?" tanya Bara kaget, matanya menyipit kala ia mendapati Shamita sedang mengancingkan baju untuk Bara.

"Abang udah sadar, aku hanya mengantikan baju untuk kamu, Bang. Kamu basah kuyup," jelas Shamita.

Bara hanya diam, kepalanya yang begitu pusing membuat ia tak bisa mengeluarkan amarahnya.

"Aku udah siapkan air hangat untuk kamu mandi, Bang. Cepatlah mandi, tak baik mandi terlalu malam," ucap Shamita dengan lembut. Sebisa mungkin ia menahan untuk bertanya siapa wanita yang telah mengantarnya. Setelahnya ia bergegas untuk meninggalkan Bara yang masih bergeming.

"Tunggu!"Bara mencekal tangan Shamita saat ia akan beranjak.

"Ada apa, Bang?" Wanita yang tetap memakai hijab meski di rumah itu, mencoba menoleh ke arah suaminya.

"Ini untukmu, terimalah!" Bara menyerahkan sebuah amplop coklat yang ditaksir isinya adalah uang.

"Ini apa, Bang?"

"Uang, aku baru saja menang taruhan." Shamita yang semula hangat mendadak tersentak dengan pengakuan suaminya.

"Ya Allah, Bang! Apa nggak ada cara lain untuk kamu memberikanku nafkah? Uang hasil taruhan itu sama haramnya dengan judi, Bang. Aku nggak mau."

Shamita mencoba tidak mengeluarkan energinya untuk marah. Rasanya percuma marah, kata-kata yang baru saja ia ucapakan cukup membungkam suaminya untuk beberapa detik.

"Jadi kamu menolaknya? Kamu tidak menghargai perjuanganku? Bukankah kamu menginginkan nafkah dariku?" Bara geram, matanya langsung membulat menatap istrinya.

"Bang, tolong jangan beri aku rezeki yang nggak halal! Aku nggak mau! Tolong mengerti." Dengan suara yang pelan dan wajah yang menunduk, Shamita menjawab amarah suaminya.

Tak ada balasan, Bara hanya memandang tajam kepada istrinya itu. Baru kali ini, usaha yang ia lakukan tak dihargai. Padahal ia merasa telah berusaha untuk bisa menafkahi istrinya. Meski dari uang yang tidak halal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status