Share

Hampir Menyerah

Istri mana yang mau menerima nafkah yang tidak halal dari suaminya? Tidak ada yang bisa menggambarkan kesedihan Shamita saat ini. Harusnya ia sadar, suaminya itu memang penjudi, pemabuk bahkan mungkin tak jarang ia bergumul dengan wanita-wanita bukan muhrim di luaran sana.

Shamita, tidur dalam kondisi habis menangis. Ia tak tahan akan kelakuan suaminya. Haruskah ia bertahan dengan pernikahan yang tidak sehat? Pernikahan ini baru seminggu, tapi rasanya begitu lama ia rasakan. Rasanya ingin menyerah, tapi kembali lagi seorang istri hanya mampu tetap berbakti bagaimanapun sikap suami.

Bara memasuki kamar yang kini sudah ada Shamita tertidur. Ia hendak mengganti pakaian. Ditatapnya wanita yang telah sah menjadi istrinya itu. Dalam hati terdalamnya sedikit ada rasa iba, kenapa wanita itu harus menanggung beban untuk menikah dengan dirinya. Seketika ia mengingat perlakuan ayahnya yang selalu saja memaksakan kehendak terhadap anak-anaknya. Termasuk untuk menikah.

***

Shamita terkejut, saat bangun telah mendapati suaminya sedang tidur di sampingnya. Meski tak terjadi sesuatu, tapi ia merasa risih. Namun saat ia hendak turun, sebuah tangan mencekal tangannya.

"Tetap di sini, temani aku." Bara merancau, namun matanya masih terpejam. Entah siapa yang ada di mimpinya itu.

"Bang, aku mau solat. Abang mau ikut?"

Meski terasa bosan, tapi ucapan itu masih saja Shamita ucapkan setiap hari. Baginya, layaknya sebuah batu jika sering terkena air, lambat laun ia akan membentuk lubang kecil. Meski sedikit lama, tapi paling tidak itulah harapan Shamita kepada suaminya itu.

Tak ada jawaban, Bara melepaskan tangannya dan kembali tidur dengan membalikan badannya. Senyum getir itu kembali terlukis di wajah cantik Shamita.

Dalam solatnya, wanita berhidung mancung itu selalu meminta kebaikan untuk suaminya. Ia percaya, jika tidak ada satupun manusia yang tidak memiliki sisi baik, meski orang itu amat kejam sekalipun.

Hari ini cuaca begitu cerah setelah semalam diguyur hujan. Tak ada yang abadi bukan? Semuanya akan datang bergantian.

"Kamu yang memasak semua ini?"

Tumben sekali Bara jam 7 pagi sudah bangun.

"Iya, Bang. Makanlah!" jawab Shamita lembut.

"Kamu sudah makan?" Bara bertanya lagi.

"Aku, sedang puasa sunah, Bang."

"Puasa? Kenapa nggak izin dulu? Makan! Aku nggak mengizinkan kamu puasa sunah," ucap Bara tak suka.

"Aku udah biasa puasa senin kamis, Bang. Tolong izinkan aku!"

Shamita sebenarnya tahu, dalam beribadah pun harus menunggu persetujuan suami jika itu sesuatu yang tidak wajib. Namun, ia kira suaminya tidak akan peduli dengan apa yang Shamita lakukan. Aneh sekali rasanya Bara sampai melarangnya.

"Yaudah Bang, aku nggak jadi puasa." Dengan terpaksa ia membatalkan puasanya. Karena jika tidak mendapat restu suami, semuanya akan sia-sia.

"Bagus, makanlah! Ini terlalu banyak untuk aku makan sendirian," balas Bara.

"Iya, Bang."

Tak ada banyak hal yang bisa Shamita lakukan untuk membantah ucapan Bara. Bukan karena takut, namun ia teringat nasihat pak penghulu saat pernikahan itu terjadi. Bahwasanya, tugas seorang istri adalah mematuhi ucapan suaminya.

"Bang, boleh aku nanya sesuatu?" Melihat situasi yang dirasa sedang tenang, Shamita akhirnya memberanikan diri bertanya.

"Nanya apa? Cepat, aku buru-buru."

"Apa sebelum menikah, Abang punya kekasih?" Pertanyaan Shamita berhasil membuat Bara berhenti mengunyah makanan yang ia makan.

"Maksudku, aku tiba-tiba merasa bersalah jika harus memisahkan Abang dengan kekasihmu itu, Bang," sambung Shamita.

Sebenarnya bukan itu tujuan Shamita bertanya, namun melihat ekspresi Bara yang begitu sulit diartikan membuatnya harus mencari alasan lain.

"Tidak ada, bagiku semua wanita sama saja. Mereka hanya datang saat mereka butuh uang!" Jawaban Bara sungguh di luar pemikiran Shamita.

"Tidak semua, Bang. Mungkin karena pergaulan Abang yang harus bertemu dengan wanita-wanita macam itu. Tapi, semalam Abang diantar pulang oleh seorang wanita dengan keadaan mabuk. Itu siapa, Bang?"

Bara terkekeh, senyuman manis yang tak biasa ia berikan itu tersimpul indah di bibirnya.

"Kamu cemburu?" tanya Bara sembari mengulum senyum.

"Bukan, Bang. Hanya saja aku risih dan takut terjadi fitnah jika setiap malam seorang wanita asing harus mengantarkan kamu pulang dalam keadaan mabuk. Apalagi pakaian wanita itu sangat tidak layak untuk dipandang."

Mendengar ucapan Shamita yang selalu saja terkesan menggurui, membuat Bara memutar bola matanya dengan malas. Senyuman yang semula hadir terpaksa ia benamkan kembali.

"Ayolah, tidak semua orang harus berpakaian sama denganmu. Jangan menilai orang dari penampilan," kilah Bara.

"Jadi, siapa wanita itu?" Kali ini Shamita bertanya dengan tatapan serius.

"Sudahlah, kamu tidak perlu tau siapapun yang dekat denganku. Sama sekali tidak penting!" Suasana yang tenang kembali kacau saat Bara mulai meninggikan suaranya. Shamita tak menyangka pertanyaannya akan kembali membuat masalah. Padahal niatnya hanya ingin tau saja, siapa wanita itu.

"Bang, tolong kerjasamanya, kita udah nikah Bang. Dan jika ada wanita lain yang masuk ke rumah ini, bukan tidak mungkin orang lain akan lebih menilai buruk Abang. Dan pasti aku dan orang tua Abang akan terbawa ke dalam masalah."

Mendengar ucapan Shamita yang panjang lebar membuat Bara sedikit berpikir. Ucapannya ada benarnya. Karena memang selama ini orang tuanya hanya tau jika Bara seorang pemabuk dan penjudi. Mengenai seringnya ia bergumul dengan wanita lain, hampir tak pernah diketahui orang tuanya.

"Kamu itu berisik! Sudah kubilang jangan pernah mengaturku!" balas Bara kesal.

Shamita hanya bisa menghela napasnya, selalu saja berakhir seperti ini saat ia berusaha menasihati suaminya.

***

Bara memutuskan keluar rumah dengan amarah yang di hatinya. Rasanya ia bosan setiap hari harus selalu mendapat ceramah dari istrinya itu. Sepanjang perjalanan ia menggerutu kenapa harus menikah dengan gadis berhijab itu. Selain sama sekali tak menarik, karena tubuhnya selaku tertutup rapat oleh baju gamis panjangnya. Ia pun tak betah dengan suara istrinya yang selalu menyuruhnya melakukan ibadah.

Motor yang ia bawa, ia lajukan dengan kencang. Tak butuh waktu lama, motor itu berhenti di sebuah rumah kosong yang sudah dirubah menjadi markas untuk ia bermain judi dengan teman-temanya.

Bara datang memasuki ruangan pengap itu dengan gontai, entah kenapa ia tiba-tiba merasakan kegelisahan di hatinya.

"Bro! Kenapa lu, suntuk gitu? Kemaren kan menang taruhan?" tanya Agus, teman Bara yang paling akrab dengannya.

"Pusing gue, Gus!"

"Tumben, ada masalah?" Bara mengangguk lemah.

"Gue bingung, kadang kasian kadang benci sama istri gue."

Uhuk! Agus yang mendengar jawaban Bara tiba-tiba tersedak minuman keras yang ia teguk.

"Lu kapan nikah?" tanya Agus tak percaya.

"Nggak usah berisik! Semua ini gue lakuin demi gue nggak dikirim ke pesantren terpencil," ujar Bara lemah. Namun yang didapati malah Agus tertawa terbahak.

"Gue nggak salah denger? Seorang Bara Atmaja semudah itu menerima takdir?"Agus lagi-lagi menatap Bara dengan rasa tak percaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status