Katamu, aku wanita satu satunya yang kamu cintai sepanjang hidup. Katamu, aku akan menjadi wanita satu satunya yang akan menjadi ibu dari anak anak kamu?, Bukan kah begitu?, Ah, rupanya tidak, itu hanya janji manis, dan aku benar benar menyesal percaya akan hal itu?.
.... "Siapa mereka mas?" tanya Alina. Tubuh Alina bergetar, menahan sesak di hati melihat wanita berdiri di hadapannya dengan menggendong seorang bayi, yang wanita itu klaim sebagai anak dari suaminya. "Aku Gemilang mbak, sekretaris mas angga." Jawabnya dengan menatap tajam alina. "Aku kesini ingin meminta pertanggung jawaban dari mas angga, tidak ada seorang ibu yang ingin anaknya tidak mendapat kasih sayang seorang ayah." Sambungnya kembali. Tubuh alina terhuyung ke belakang, Jantung alina seakan berhenti berdetak mendengar jika suaminya ternyata memiliki anak bersama wanita lain. Tatapan alina beralih menatap angga. "Mas dia berbohong bukan?, Ti-tidak mungkin kamu mengkhianatikukan mas?." Tanya Alina dengan suara lirih. "Jawab mas! Jawab pertanyaan mbak lina?." Sahut gemilang dengan menuntut. "GEMILANG." Bentak Angga menatap tajam wanita di hadapannya itu. "Apa mas?, aku gak mau ya nuruti semua perkataan kamu mas, itu tidak adil untuk ku dan putra kita mas." Angga mendekati Alina yang terkulai lemas di lantai, "Aku bisa jelasin semuanya sayang, kamu jangan berpikiran buruk tentang aku sayang." Alina langsung mendorong Angga untuk menjauh darinya. Air matanya mengalir dengan deras membasahi kedua pipinya. Tangisan alina begitu pilu bagi siapapun yang mendengarnya. "Kamu jahat mas!, tega kamu khianati aku mas, apa salahku?, apa kurang ku mas?." Teriak alina, ia tidak sanggup lagi mengontrol emosinya. Angga hanya diam, lidahnya keluh. Rahasia yang telah ia simpan rapat selama berbulan bulan akhirnya terbongkar juga. Alina berdiri, dirinya menatap angga dengan tatapan penuh kekecewaan, Alina berbalik dan meninggalkan Angga. Namun tangan Alina bisa di tahan oleh Angga, pria itu menarik Alina ke dalam Pelukkannya. "Aku tidak sengaja menidurinya saat itu sayang, aku di bawah pengaruh obat perangsang. Dan aku juga tidak tau kalau wanita itu sampai mengandung anakku sayang." "Aku tidak perduli mas, Aku gak perduli kamu sengaja atau tidak, yang aku tau kamu mengkhianatiku mas! kamu membohongi ku mas, Kamu sudah menodai pernikahan kita mas dan sekarang juga aku minta kamu ceraikan aku!." Alina mendorong dada bidang Angga hingga pelukan itu terlepas dari tubuhnya. "Tidak Alina, kau hanya miliku dan aku tidak akan pernah menceraikan mu sampai kapanpun." Teriak Angga dengan nafas tersenggal-senggal. "Egosi kamu mas, aku tidak perduli kamu setuju atau tidak yang pasti kamu harus menceraikan aku." Rahang Angga mengeras, wajah pria itu memerah, menatap istrinya dengan tatapan tajam. PLAK! "Kau sudah melewati batas Alina, Aku tidak mau mendengar perkataan itu lagi faham kau." Alina memegang pipinya yang terasa panas, Menatap Angga dengan penuh kebencian. Alina pergi meninggalkan angga yang mematung menatap kedua tangannya yang telah melukai sang istri. Gemilang yang melihatnya hanya tersenyum puas, ia sudah tidak sabar ingin menjadi nyonya di rumah itu. "Kamu pergi dari sini, besok saya akan menemui kamu." Ucapnya menatap gemilang. Angga mencium telapak tangan bayi mungil tersebut, dan menuntun Gemilang untuk memasuki mobil miliknya. Setelah mobil yang di kendarai gemilang sudah tidak terlihat Angga memasuki rumah dan berjalan masuk ke dalam ruang kerja miliknya. *** Alina memandangi cermin yang memantulkan wajah penuh air mata. Ingatan soal kejadian Semalam membuatnya seperti di tikam belati yang tak kasat mata. Rasanya semua seperti mimpi, tapi ini adalah kenyataan. Kenyataan pahit yang membuat hidup alina terasa hancur berkeping-keping tanpa sisa. Jika bukan karena kedua anaknya yang ia ingat, mungkin saja ia sudah lemah. Tapi kedua anaknya membutuhkan dirinya, ia harus kuat untuk mereka berdua. "Alina, anak-anak manggil kamu, kamu ada di dalam?." Alina membasuh wajahnya dengan air, berharap wajah sembabnya tidak terlihat oleh Angga, suami dan orang yang berhasil membuatnya seperti mayat hidup. "Alina kamu baik-baik saja kan?." Rasanya Alina ingin tertawa, baik-baik saja?, oh pertanyaan macam apa itu?, bahkan mendengar suara suaminya saja bener-bener membuat alina muak. Angga mundur dua langkah saat pintu kamar mandi terbuka, menampilkan istrinya yang pergi begitu saja menghampiri kedua anak yang sudah menunggu ibunya untuk bersiap-siap pergi ke sekolah. Angga memandang sedih punggung wanita yang sangat ia cintai sampai menghilang masuk ke dalam pintu kamar mereka. Ia tau Alina pasti menangis kembali, dan itu pasti karena dirinya. "Maaf Lin. Tapi ini semua di luar kuasaku, tidak mungkin aku menelantarkan anakku di saat anak yang lain hidup dengan layak disini. maaf lin" Ucapnya dengan nada bergetar, karena dirinya sama hancurnya dengan Alina. Tapi sehancur apapun dirinya, hati Alina lah yang lebih hancur. Jika saja waktu bisa terulang, ia akan mengusir wanita sialan itu. Seharusnya ia tau, wanita sialan itu licik, memasukkan obat perangsang agar dapat di gagahi oleh Angga. Namun ia justru lebih membenci dirinya sendiri, yang menggagahi wanita itu, bahkan mengeluarkan cairannya di dalam. Angga akui dirinya manusia yang paling bodoh. Dengan perasaan sedih Angga keluar dari dalam kamar berjalan menuju meja makan. Di sana sudah ada anak-anak yang duduk di meja makan, memakan sarapan mereka dengan lahap. Angga mengusap kedua kepala putranya dengan penuh kasih sayang lalu duduk di meja makan. "Kamu gak sarapan?", Tanyanya kepada sang istri. Karena Alina malah sibuk kesana kemari mencuci piring atau melakukan pekerjaan kecil yang menurut angga itu tidak perlu di lakukan. "Aku kenyang?." Jawab Alina tanpa melihat angga, yang sibuk menyiapkan bekal untuk kedua putranya. Angga tau, itu hanya alibi saja. Sejak kemarin Alina selalu menjaga jarak seolah dirinya menjijikkan. Tapi Angga cukup sadar diri mungkin saja Alina jijik dengan dirinya, yang sudah menodai pernikahan dan janji suci mereka dengan menyentuh dan menghamili wanita lain. Angga berusaha menelan sarapannya walaupun terasa sulit, lehernya seperti tercekik. Ia berusaha memakan sarapannya dengan cepat karena harus mengantar kedua putranya yang sudah selesai sarapan dan sibuk memasukkan bekal ke dalam tas. Setelah selesai ia segera meminum air hingga tandas, dan mengajak ke dua anaknya untuk masuk ke dalam mobil. "Aku berangkat dulu." Alina mengangguk kaku, ia melangkah mundur saat angga maju hendak mencium kening istrinya. Angga terdiam dan tersenyum kecut, Alina membuang muka enggan untuk melihat wajah angga. "Aku berangkat, kamu hati-hati di rumah. Kalau ada apa-apa hubungi aku, love you sayang." Ucap angga memasuki mobil dan menjalankan mobil keluar dari pekarangan rumah. Saat itu pula tangisan Alina pecah, cinta seperti apa yang angga maksud, kenapa ia merasa kesakitan saat mendengar perkataan cinta dari angga. Bukan kah cinta itu membawa kebahagiaan?, kenapa cinta yang di berikan angga tidak?. Alina memukul dadanya yang terasa sesak, haruskah seumur hidupnya ia merasakan sakit seperti ini?, hatinya terasa sakit saat ia pikir laki-laki yang mencintainya dan sangat ia cintai ternyata telah menyentuh wanita lain. Rasanya sangat menyakitkan, ia tidak bisa membayangkan suaminya menyentuh wanita lain bahkan sampai menghamili wanita itu. Lalu bagaimana jika angga berherhubungan dengannya tapi membayangkan wanita itu? Alina menggeleng keras, ia masuk ke dalam rumah dan menangis di kamarnya dengan tangisan pilu menyayat hati. Ia hanya berpasrah pada takdir, takdir yang akan tuhan atur untuknya nanti. Alina menatap wajahnya di pantulan cermin, matanya yang sembab sudah menjelaskan betapa sakit hatinya. Ia mengusap air mata yang ada di wajahnya. Menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan helaan nafas yang berat. "Alina tuhan tau kamu kuat, tuhan tau kamu mampu?, kamu pasti bisa demi anak-anak?." Ucap Alina menyemangati diri nya sendiri agar bangkit dari rasa sakit yang sedang ia rasa kan saat ini. Ia membasuh wajahnya beberapa kali, untuk menghilangkan bekas air mata yang ada pada wajahnya. Alina melangkah keluar dari kamar mandi, ia tatap photo pernikahan dirinya dengan angga. Wajah mereka begitu terlihat bahagia, tersenyum dengan senyum yang sangat indah. Bahkan janji-janji yang angga ucapkan masih di ingat jelas dalam benak Alina Aku kira aku akan menjadi satu-satunya di hidup kamu. Ternyata aku hanyalah salah satunya yang menjadi cerita dari separuh hidup mu? ... Air mata Alina terjatuh mengingat penghianat Angga. Lagi dan lagi ia kembali menangis, rasa sakit dan sesak di dadanya benar-benar menghujam dirinya habis habisan, seperti di pukul oleh palu yang tak kasat mata. .....Aiina menyalahkan ponselnya dan melihat beberapa panggilan tidak terjawab dari guru devan dan david, bram dan Rizky. "Astagfirullah, bagaimana kabar anak anak melihat papanya terluka?, kamu benar-benar pikun alina." Panik alina mengkhawatirkan kedua putranya yang saat ini tinggal bersama angga mantan suaminya. "Tidak-tidak, tidak mungkin aku menghubungi mereka. Bagaimana jika devan dan david marah padaku." Guma alina saat akan menekan panggilan pada nomor ponsel devan. Alina menghubungi angga bram meminta maaf karena meninggalkan perusahaan tiba-tiba. Alina tau perbuatan nya sangat tidak sopan, tapi alina tidak sanggup melihat tatapan semua orang yang sudah pasti mencemooh dirinya. "Alina kamu di mana sekarang?, kamu gak papa kan?." Tanya bram dengan nada khawatir saat mengangkat telpon dari alina. "Aku gak papa bram, maaf karena pergi tanpa pamit tadi." "Aku gak papa bram, Maaf ya tadi aku pergi tanpa pamit." "Aku datang ke kost mu, tapi kamu gak ada di salah lina. Di
"Terimakasih aku harap kerja sama ini berjalan dengan lancar." Sahut Angga menjabat tangganya bram. Bram hanya menganggukkan kepalanya dan melangkah pergi, Angga langsung menghampiri alina dan menggenggam pergelangan tangannya. "Lepaskan tangan saya tuan Angga" Ucap Alina dengan menekan kata-katanya. "Kamu akan menyesal lina, karena sudah bertindak sejauh ini. Akan aku pastikan kehidupan mu tidak akan menemukan titik bahagia." Alina terkekeh pelan dan tersenyum begitu manis menatap Angga. "Teruslah mengancam hingga anda lupa bagaimana cara menikmati hidup, bukan kah seharusnya anda bahagia tuan karena berhasil menikah dengan jalan anda. Pastikan dulu kehidupan anda bahagia tuan sebelum mengancam orang lain, Dan anda harus pastikan apakah ke dua putra putra ku sanggup bertahan dengan anda." Ucap alina dengan menyentak tangan angga. "Kau." Emosi Angga semangkin meluap mendengar ucapan dari mantan istrinya itu, Angga tidak menyangka karena Alina berani mengatakan itu kepadany
"Ahh." Desisnya refleks ingin memeluk leher dewa, tapi itu tidak bisa gemilang lakukan karena ke dua tangannya di kunci tepat di atas kepala oleh dewa. Tangan dewa mulai terulur untuk meraba, memelintir ujungnya, kemudian memerasnya. Dewa pun tidak tahan untuk segera merasakan ujung ujung berwarna pink itu lalu memasukkannya ke dalam mulut. "Papa." Desis Gemilang seraya menekan kepala dewa, meminta ayah mertua untuk semangkin liar memainkan kepunyaan nya itu. Hingga ke duanya tidak memiliki tenaga untuk melanjutkan nya kembali, entah sudah berapa ronde keduanya melakukan pekerjaan menyenangkan itu ---- Bram dan alina baru saja kembali ke perusahaan dan mendapat laporan dari pihak resepsionis jika Angga sudah menunggu di ruang meeting. Saat di dalam lift bram mengambil tangan kanan alina dan mengusapnya dengan perlahan. "Angkat kepalamu lina, jangan pernah menunjukkan wajah takut ataupun panik di hadapannya. Aku yakin kamu bisa, sekarang kamu sudah menjadi dirimu sendiri
" Kenapa kak rizky suka sekali menuduh orang sembarangan, mana mungkin bram suka sama janda seperti ku, terlebih lagi kami sahabat dari kecil." Bram mengumpat di dalam hati, Karena rizky membuat hubungan nya dengan alina menjadi semangkit sulit. Bram yakin setelah ini alina kembali membatasi interaksi dengan nya lagi kerena tidak ingin mereka menyalahkannya arti kedekatan mereka. "Aku ke toilet sebentar," Pamit Alina kepada bram. "Gak usah ikutin aku, aku bisa sendiri kok." Sambungnya kembali saat melihat bram bangkit dari tempat duduknya. bram menatap kepergian alina dan menghampiri sahabatnya itu. "sejak kapan kau jadi banyak bertanya rizky, Kau membuatku dalam masalah. Kau tau sejak lama aku menyukainya dan menunggu dirinya menjadi seorang janda, kau malah mengacaukan segalanya" "Apa?." Kaget Rizky. "seharusnya aku tidak memanggilmu tadi, dan lagi jangan mengacaukan segalanya rizky." Ujar bram penuh penekanan. Alina merasa heran saat kembali dan melihat Bram dan Rizk
Alina kembali melamun setelah mendapat telpon dari perusahaan mantan suaminya, Alina tidak menyangka jika angga mau bekerja sama dengan bram dan ini semua cukup membuat alina takut. "Harus bagaimana aku menghadapi semuanya nanti, Aku sangat yakin angga pasti akan kembali membuat drama?." Guma alina dengan menurut wajahnya dengan ke dua tangan miliknya, Bram yang akan melangkah pergi makan siang, menghampiri alina yang terlihat tidak baik baik saja. "Alina kau sakit?." Tanya bram dengan nada khawatir. "tidak aku hanya sedikit mengantuk bram," Jawab alina yang langsung mengubah mimik wajahnya. Bram tidak percaya begitu saja, dan dirinya berusaha menelisik wajah alina yang terlihat sangat cemas. "Apa ini karena pertemuan kita nanti siang?, kamu tenang saja angga adalah pria yang profesional saat bekerja, justru angga yang akan sangat terkejut jika melihat mu berada di sana sebagai sekertaris pribadiku." "Aku hanya takut masalah rumah tangga ku akan membawa dampak buruk bagi Pe
Devan menatap layar ponselnya dengan tatapan sulit di artikan. Entah kenapa Devan tidak sanggup untuk mengatakan kepada ibunya tentang apa yang ia lihat tadi, Dirinya tidak ingin membuat ibunya kembali sakit. "Sekarang aku semangkin yakin jika keputusan mama dan papa bercerai itu sudah keputusan yang tepat." gumanya di dalam hati. "Apa mama tidak mengangkatnya kak?." Tanya david menatap kedua mata sang kakak. David menggelengkan kepalanya, ia beranjak dari kursi yang saat ini ia duduki. " yuk sebaiknya kita masuk kelas saja. Mama juga lagi banyak kerjaan." Wajah david berubah menjadi murung, dirinya berjalan dengan cepat melangkah duluan meninggalkan sang kakak dengan perasaan kesal. Devan menghela nafas, berusaha menetralkan detak jantungnya, mencoba menghilangkan bayang bayang pengkhianat yang telah di lakukan sang papa kepada mamanya. Sang guru menatap wajah kedua anak itu dengan heran, melihat wajah murung muridnya yang berjalan memasuki kelas. "Ada apa sayang?, kenap