Share

KPKDS-6

Wajah Abi Rahmat tampak memerah, menahan geram akan ulah putra kesayangannya, yang sudah berani melanggar perintah agama.

Apalagi dirinya dan sang istri, sudah sangat memberikan penjelasan sedetail mungkin tentang hukum halal dan haram kepada putra putrinya. Bahkan Juun sempat bersekolah di pondok pesantren selama 4 tahun lamanya, jenjang Diniyah dan Tsanawiyah. Saat Aliyah saja dirinya bersekolah di luar negeri, yakni Tokyo - Jepang karena mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar dari bupati setempat.

"Tolong jelaskan pada Abi, apa maksud dari perbuatan kalian barusan?" Tanya Abi Rahmat, memulai pembicaraan, menatap tajam kearah Juun, yang menundukkan kepalanya, malu kepada keluarganya karena dirinya telah mencoreng nama baik keluarga. Meskipun tidak sampai berbuat yang tidak-tidak, namun tetap saja, berhasil membuat malu dirinya sekeluarga yang di kenal taat dalam agama.

"Maaf, Abi," ucap Juun lirih, menyesali perbuatannya yang mudah terbawa suasana.

"Kenapa kamu melakukannya?" Tanya Abi Rahmat kecewa. Bahkan lelaki paruh baya itu, mengusap wajahnya, resah.

"Aku menyayanginya, Abi," sahut Juun lirih, semakin menundukkan wajahnya.

Sementara Nami, hanya mampu membisu, karena selain malu, dia juga bahagia mendengar ucapan dari pujaan hatinya. Nampak pipinya merona, namun tidak mampu berkata-kata di situasi saat ini.

"Jika kamu memang menyayanginya? Kenapa kamu berbuat seperti itu?" Tanya Abi Rahmat kembali.

"Sayang, tidak seperti itu, nak. Sayang itu menjaga, bukan merusakkan..." Abi Rahmat nampak menarik nafas dalam-dalam, berharap sesak yang melandanya, mampu teruraikan. "Dalam agama kita, laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, haram hukumnya bersentuhan. Kamu tahu kan akan hal itu?" Lanjutnya. Yang di sambut dengan anggukan kepala oleh Juun.

"Lalu kenapa masih kamu lakukan???" Tanyanya kembali dengan geram. Ingin memukul, guna mengajari, namun yang di pukul sudah terlalu tua. Tidak seperti saat Juun berusia 7 tahun, dimana sang ayah akan memukul kaki anaknya, jika meninggalkan shalat.

"Maaf, Abi. Ananda bersalah, karena sudah terbawa suasana sehingga berbuat dosa seperti ini. Ampuni ananda, Abi?" Pinta Juun sembari berdiri di atas lutut, lalu mendekati kedua orang tuanya, dengan berlinang air mata. Mencium takzim tangan ayah dan ibunya bergantian. Tulus memohon maaf kepada keduanya, karena merasa sangat bersalah.

Nampak Abi Rahmat, memalingkan wajahnya, namun diam saja saat tangannya di cium sang putra. Sedangkan Ummi Fatimah, malah menangis tersedu-sedu. Tak lupa mengelus kepala Juun dengan penuh kasih sayang.

"Iya, sayang ... Sholeh nya Ummi, kamu sudah kami maafkan. Namun Ummi mohon, jangan lakukan lagi ya, nak? Taubat lah kamu dengan taubatan nasuha." Sahut Ummi Fatimah, saat Abi Rahmat nampak bergeming.

"Iya, Ummi," sahut Juun, mencoba tersenyum, meskipun air matanya mengalir.

"Ya sudah, sekarang, sebaiknya kamu shalat Sunnah Dhuha. Nanti waktunya keburu habis. Setelah itu, temui Ummi, ada yang mau Ummi bicarakan denganmu, penting!" Lanjut Ummi Fatimah.

"Iya, Ummi," sahut Juun, lalu berdiri. Setelahnya berlalu meninggalkan mereka semua. Untuk menunaikan ibadah shalat Sunnah Dhuha.

Sementara Nami, hanya mampu menundukkan wajahnya. Takut, bingung, gelisah, bercampur jadi satu. Tangannya saling meremas satu sama lain. Ingin ikut menyusul Juun, namun takut jika di marahi kembali. Akhirnya dirinya hanya mampu duduk diam di sana.

Abi Rahmat nampak berdiri, kemudian memberi isyarat kepada adiknya serta iparnya untuk meninggalkan ruangan. Merekapun meninggalkan ruangan setelah mendapat komando seperti itu.

Sementara Namira, hanya bersedekap di dada, merasa senang karena saingannya di marahi oleh paman dan bibinya. Meskipun mereka bukan paman dan bibi kandungnya, tapi dia sudah menyayangi mereka seperti paman dan bibinya sungguhan. Namun dirinya juga berharap, jika hubungan mereka akan berubah menjadi mertua dan menantu.

Ya, Namira jatuh cinta pada Juun sejak dirinya masih belia. Apalagi saat dirinya tahu, jika mereka tidak satu nasab. Dalam artian, karena Namira adalah Putri bawaan dari istri pamannya Juun alias adik kandung Abi Rahmat. Rahman adik Rahmat menikahi Rumaisyah yang seorang janda beranak satu, yakni Namira Khairunnisa. Sedangkan dari pernikahan keduanya, tidak memperoleh keturunan seorangpun. Meskipun status Namira hanya anak tiri, namun Rahman sangat menyayanginya seperti putri kandungnya sendiri.

Nampak Ummi Fatimah berdiri, lalu berjalan mendekati Nami yang masih menunduk. Kemudian Ummi pun duduk di kursi bekas yang Juun duduki sebelumnya.

"Namira!" Panggil Ummi, sembari melirik ke belakang.

"Ya, bibi." Sahut Namira. Kemudian berjalan mendekati sang calon mertua khayalannya.

"Kenapa bibi?" Tanya Namira lembut, berusaha menarik simpati dari beliau.

"Bisa tinggalkan kami berdua?" Pinta Ummi dengan lembut.

"Oh, baik, bi!" Sahut Namira, merasa kecewa. Padahal dirinya berharap bisa mendengarkan Omelan Ummi Fatimah kepada saingannya itu. Namun karena ummi Fatimah sendiri sudah menyuruhnya pergi, maka dengan sangat terpaksa diapun meninggalkan keduanya.

Setelah kepergian Namira, Ummi Fatimah langsung mengelus kepala Nami, sehingga membuat gadis itu mendongakkan wajahnya, menatap Ummi Fatimah dengan heran. Nampak terlihat jika, air mata menggenangi pipinya yang putih, bahkan hidungnya nampak memerah.

"Maaf, semoga kamu mengerti ucapan saya." Ucap Ummi pelan. Dirinya tadi malam sudah mengetahui jika Nami sedikit demi sedikit mulai belajar bahasa Indonesia. Jika diajak berbicara dengan perlahan, gadis itu akan mengerti. Namun jika diajak bicara cepat, gadis itu tidak akan mengerti.

"Ian ... Maksud saya, Juun." Ralat Ummi Fatimah saat melihat Nami nampak masih bingung dengan nama panggilan yang dia sematkan kepada putranya. Namun kemudian terlihat mengerti, setelah mendengar kelanjutan ucapannya.

"Dia putra saya yang dulu pernah bercita-cita menjadi seorang dokter anak. Qodarullah, Allah mengijinkannya mencapai cita-cita tersebut. Kata Ian, maaf, maksud saya Juun, bilang kalau kalian berdua adalah dokter anak residen di Tokyo hospital. Benar?"

"Benar," sahut Nami. Belum mengerti arah pembicaraan.

"Alhamdulillah," ucap ummi Fatimah penuh syukur. Beliau pun tersenyum lembut penuh keibuan.

Tangan Ummi Fatimah pun turun ke lengan kanan Nami, lalu menggenggamnya erat.

"Maaf, jika Ummi lancang berkata seperti ini kepadamu. Juun, Ummi didik dengan pemahaman agama Islam yang benar. Namun yang Ummi lihat, dia mulai sedikit berubah." Lanjut Ummi Fatimah berhati-hati.

"Maaf, Ummi tidak bilang, jika kamu penyebabnya. Ummi hanya mengatakan dia mulai berubah, mungkin ini adalah kesalahan Ummi sendiri yang terlalu mengekang anak. Namun percayalah, jika semua itu demi kebaikannya juga." Lanjut Ummi, saat dilihat Nami nampak ingin menyela. Namun kembali bungkam.

"Kamu gadis yang baik, santun, juga sopan. Jujur, Ummi menyukai kepribadianmu. Ummi merestui hubungan kalian, jika memang kalian berjodoh. Namun untuk saat ini, sebaiknya kalian saling berbenah diri terlebih dahulu, agar kalian tidak menyesali keputusan kalian nanti."

"Ummi cuman berpesan satu hal kepadamu, jika kamu memang mencintai putra Ummi, tolong, jangan masuk ke dalam agama Islam jika niatmu untuk makhluk. Namun, masuklah ke dalam agama Islam, jika niatmu karena Allah" Lanjut Ummi, menutup penjelasan, sembari tersenyum lembut.

"Baik," sahut Nami, sembari menganggukkan kepalanya, meskipun dia belum mengerti sepenuhnya akan penjelasan yang ummi Fatimah berikan.

"Boleh saya bertanya, Ummi?" Tanya Nami.

"Silakan, nak,"

"Maksudnya masuk Islam karena makhluk, itu apa ya? Terus, karena Allah, itu juga apa?" Tanya Nami menyuarakan pertanyaannya.

Ummi Fatimah langsung tersenyum mendengarnya, merasa yakin dengan keputusannya yang menyukai gadis di sampingnya ini.

"Maksudnya adalah, masuk Islam karena makhluk itu, artinya karena mempunyai niat terhadap seseorang, misal niat ingin bersama atau bisa menikah dengan orang yang di cintai. Dalam hal ini, misalkan kamu masuk Islam karena rasa cintamu kepada dia. Lalu, maksud dari karena Allah adalah, kamu memeluk agama Islam karena kamu yakin dari hatimu yang paling dalam, jika agama Islam adalah agama yang paling benar dan kamu yakin akan adanya Allah Subhana hu wata'ala sebagai Rabb-mu. Kamu mempercayai-Nya dan bersedia beriman kepada-Nya, serta bersedia menaati semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya." Ucap Ummi menjelaskan. Nami pun menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

"Baik, saya mengerti, Ummi. Berarti, saya akan pulang ke negara saya. Semoga kami berdua benar-benar berjodoh. Saya sangat mencintai putra Ummi. Maaf, jika saya sudah bertindak lancang padanya, sehingga membuat keluarga Ummi, marah padanya."

"Tidak apa-apa, Sholehah. In syaa Allah, Abi dan yang lainnya akan mengerti. Terimakasih karena sudah mencintai putra Ummi sedalam itu. Terimakasih, sayang." Sahut Ummi sembari tersenyum lembut.

"Ummi doakan, semoga yang terbaik dari Allah untuk kalian berdua. Aamiin aamiin aamiin ya rabbal a'alamiin." Lanjut Ummi.

Nami pun ijin masuk kedalam kamar Aisyah guna berberes, lalu tanpa menunggu lama, diapun bergegas keluar, menemui Ummi Fatimah yang masih berada di posisinya semula. Bertepatan dengan itu, Juun nampak berjalan menghampiri keduanya. Dirinya nampak heran, saat melihat Nami menggeret kopernya.

"Kamu mau kemana, Nami-chan?" Tanya Juun bingung, seraya menatap lekat kearah koper milik Nami.

"Aku mau pulang, Juun." Sahut Nami sembari tersenyum manis. Membuat Juun semakin kebingungan. Pasalnya, sebelumnya mereka baru saja kena marah Abi, sekarang terlihat Nami ingin pulang. Membuat pemuda itu bertanya-tanya.

"Kenapa?"

"Tidak apa-apa, aku hanya ingin membenahi diri, agar aku layak bersanding denganmu." Sahut Nami tanpa menghilangkan senyumnya.

"Maksudnya?"

"Aku menyukaimu, kamu tahu itu kan. Karena itu, aku ingin berbenah agar layak untuk mendampingi mu." Jawab Nami lugas.

"Saya Permisi, Ummi." Ucap Nami, mengalihkan pandangannya kearah Ummi Fatimah, kemudian mencium punggung tangannya dengan takzim, yang di balas usapan lembut di kepalanya. Kemudian meninggalkan keduanya, saat mengetahui, jika taxi yang dia pesan telah tiba di depan.

"Tokyo, I'm home!" Gumam Nami lirih, seraya mengusap air matanya yang kembali berjatuhan. Lalu berusaha tegar, meski hatinya teriris. Namun dia berusaha menerima semuanya. Karena memang dirinya merasa bersalah, juga berbeda dari pria yang dia cintai.

Taxi itupun meninggalkan halaman depan rumah Abi Rahmat, tak lama setelah Nami masuk kedalamnya.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rini Rachmawati
kasihan nami pergi dengan rasa bersalah karena juun
goodnovel comment avatar
Elis Martini
kasihan Nami harus berpisah sama junn..semoga kalian berjodoh dan bhagia
goodnovel comment avatar
Chassie Sukma
semoga nami dan juun benar benar berjodoh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status