Beranda / Rumah Tangga / Ku Tentukan Takdirku / Bab 28 – Duka Kedua

Share

Bab 28 – Duka Kedua

Penulis: Mommy Sea
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-11 16:51:35

Langit sore itu menggantung kelabu, seperti ikut berduka.

Alya duduk di sisi ranjang ibunya, menggenggam tangan yang kian lemah. Ujung jemarinya dingin, tapi masih ada sisa sentuhan lembut yang dulu selalu menenangkan. Mesin infus berdetak pelan, sementara aroma antiseptik memenuhi ruangan.

“Ibu, minum dulu sedikit, ya…”

Suara Alya serak, matanya sembab karena semalaman tak tidur. Ia berusaha tersenyum, tapi suaranya bergetar.

Ibu Baskara menatap putrinya, pupilnya tampak buram seperti menatap masa lalu. “Kau mirip ayahmu,” katanya pelan. “Sama keras kepala… tapi juga sama berhati lembut.”

Alya menunduk, air matanya jatuh di punggung tangan sang ibu. “Bu, jangan ngomong begitu. Ibu masih bisa sembuh. Aku janji bakal rawat Ibu sampai Ibu kuat lagi.”

Tapi senyum yang ditunjukkan ibunya bukan senyum orang yang akan kembali. Ada ketenangan di sana—sejenis penerimaan yang membuat dada Alya semakin sesak.

“Alya…” bisiknya pelan. “Jaga rumah ini. Jaga nama keluarga kita. Jangan biarkan siapa
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 50 Bayangan yang Mengintai

    Malam datang pelan-pelan, seperti tirai yang menutup pertunjukan hari itu. Alya duduk di balkon lantai dua rumahnya, secangkir teh di tangan, matanya menatap lampu taman yang bergoyang tertiup angin. Dari luar, ia tampak tenang. Tapi pikirannya berputar cepat—mengulang setiap detil pertemuan siang tadi. Kata-kata Pak Aditya terus terngiang di kepala. > “Orang seperti Raka tidak akan tinggal diam kalau tahu kamu mulai bergerak.” Dan entah kenapa, sejak sore tadi, Alya merasa ada sesuatu yang aneh. Raka pulang sekitar pukul sembilan malam. Wajahnya tampak lelah, tapi bukan lelah karena pekerjaan—lebih seperti seseorang yang sedang menyembunyikan sesuatu. Begitu masuk rumah, ia langsung melepas dasi dan menatap Alya sekilas. > “Kamu dari mana tadi siang?” tanyanya datar. Nada suaranya tak tinggi, tapi matanya tajam, penuh kecurigaan. Alya meneguk teh pelan sebelum menjawab. > “Belanja bahan dapur. Persediaan di rumah sudah habis.” “Oh, begitu?” “Kenapa? Kamu tidak percaya?”

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 49 – Pertemuan Rahasia

    Hujan tipis turun sejak pagi. Tidak deras, tapi cukup untuk menutupi langkah Alya saat keluar dari rumah tanpa menarik perhatian siapa pun. Ia memegang payung abu-abu miliknya—payung yang dulu sering dipakai Raka, tapi kini terasa asing di tangannya sendiri. Di balik wajah datarnya, Alya menyimpan sesuatu. Ada rencana yang mulai tumbuh pelan, seperti benih di bawah tanah yang menunggu waktu untuk menembus permukaan. Tujuannya hari ini sederhana—atau setidaknya terlihat sederhana. Bertemu seseorang yang dulu sangat dipercaya ayahnya: Pak Aditya, pengacara keluarga yang sudah mengenal Alya sejak kecil. Ia berhenti di depan sebuah gedung tua di pusat kota. Bangunannya tampak berdebu, tapi papan nama kecil bertuliskan “Aditya & Rekan – Konsultan Hukum” masih terpasang rapi di dinding. Saat masuk, aroma kopi dan kertas tua langsung menyambutnya. Seorang resepsionis menunduk sopan, lalu mengantarnya ke ruang belakang. Pak Aditya sudah menunggu di sana, duduk di kursi rotan dengan tump

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 48-Alya yang Berubah (part 2)

    Hari-hari berikutnya terasa seperti permainan diam yang menegangkan. Raka mulai merasakan sesuatu yang tidak ia pahami—sebuah jarak yang tak kasatmata, tapi cukup kuat untuk menggoyahkan egonya. Alya tidak lagi bereaksi seperti dulu. Dulu, sedikit nada tinggi darinya bisa membuat Alya menunduk, memohon, atau bahkan menangis. Sekarang, Alya hanya menatap dengan mata jernih, seolah amarah Raka hanyalah angin lewat. Raka benci perasaan itu. Bukan karena ia kehilangan cinta Alya—karena cinta, baginya, hanyalah alat—melainkan karena ia kehilangan kendali. Kendali yang selama ini membuatnya merasa berkuasa. Suatu pagi, Raka berusaha kembali memainkan perannya sebagai suami baik. Ia datang ke dapur, membawa dua cangkir kopi yang ia beli di kafe. “Aku belikan kopi kesukaanmu,” katanya datar, mencoba tersenyum. Alya mengangkat kepala dari buku yang sedang ia baca. “Terima kasih.” Tidak lebih, tidak kurang. Ia tidak mengambil cangkir itu, hanya mengangguk lalu kembali fokus pada ba

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 47-Alya yang Berubah (part 1)

    Udara pagi di rumah itu terasa berbeda—tidak lagi sehangat dulu. Tidak ada aroma kopi yang biasa Alya seduh untuk Raka, tidak ada suara lembut dari dapur yang mengiringi langkahnya turun dari kamar. Yang ada hanyalah keheningan, dan denting jam di dinding yang terdengar begitu tajam di telinga. Raka menuruni tangga dengan wajah kusut. Kemejanya belum disetrika, dasi di tangannya kusut karena Alya tak menyiapkannya seperti biasanya. Ia menatap ruang makan kosong, piring bersih tertata tanpa makanan di atasnya. “Mana sarapannya?” suara Raka berat, menahan kesal. Alya muncul dari arah taman belakang, mengenakan kemeja putih longgar dan celana panjang hitam. Rambutnya terurai sederhana, tapi tatapannya—dingin dan tenang—berbeda dari biasanya. Ia membawa secangkir teh, duduk di kursi tanpa tergesa, seolah pertanyaan Raka tak penting sama sekali. “Kalau mau sarapan, ada di kulkas. Hangatkan sendiri.” Suaranya datar, tak sedikit pun melunak seperti dulu. Raka mengerutkan kening. “Biasan

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 46-Pertengkaran Hebat (Part 2)

    Hujan turun deras malam itu. Rintiknya menampar kaca mobil, menciptakan ritme tak beraturan yang seolah mencerminkan isi kepala Alya — berantakan, tapi jernih di satu titik: ia sudah tidak mau diam lagi. Mobil berhenti di halaman rumah. Lampu depan menyorot wajah Alya yang dingin. Ia membuka pintu tanpa menunggu Raka, melangkah masuk dengan payung kecil yang tadi ia ambil di teras rumah mertuanya. Suara langkah sepatu Raka menyusul di belakang, keras, terburu, penuh kemarahan. Begitu pintu rumah tertutup, Raka langsung bersuara tajam, “Kamu puas sekarang, Alya? Puas mempermalukan aku di depan orang tua?” Alya tidak menoleh. Ia meletakkan payungnya di rak, melepas selendang basah, lalu berkata tenang, “Aku nggak mempermalukan siapa pun. Kamu yang melakukannya sendiri.” “Jangan berbalik kata!” Raka membentak. “Kamu sengaja bicara seperti itu biar mereka simpati sama kamu!” Alya akhirnya berbalik, menatap suaminya dengan sorot mata yang tidak lagi lembut seperti dulu. “Aku nggak bu

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 45-Pertengkaran Hebat (Part 1)

    Suara denting sendok dan gelas berpadu dengan tawa ringan memenuhi ruang makan keluarga besar Baskara. Di atas meja panjang, hidangan tersaji lengkap — mulai dari sop buntut, sate lilit, sampai kue favorit Ibu Baskara. Semua tampak seperti reuni keluarga yang damai dan bahagia. Namun bagi Alya, suasana itu seperti panggung sandiwara yang nyaris selesai. Raka duduk di ujung meja, tersenyum sopan, berbicara seolah segalanya masih sempurna. “Alya sekarang sibuk ngurus rumah dan bantu urusan yayasan, ya, Ma,” katanya sambil melirik sekilas. Senyum itu terasa dingin bagi Alya, seperti senyum seseorang yang sudah menyiapkan pisau di balik meja. Ibu Baskara mengangguk puas. “Bagus, Nak. Kamu memang cocok jadi pendamping Raka. Keluarga kita butuh perempuan tenang seperti kamu.” Alya hanya tersenyum. Ia tahu, di balik pujian itu, Ibu Baskara tidak tahu apa-apa tentang retakan yang mulai muncul di rumah tangga mereka. Namun retakan itu tidak akan lama lagi tersembunyi. Semua dimulai dari

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status