Kubuang sachet ke dalam bak sampah yang berada di sebelah rak piring. Bungkus bertuliskan psikedelik membuatku memikirkan sesuatu. Kuharap efek dari obat itu akan membuat Mas Revan bisa meninggalkan Mbak Wenda.
Aku mengembus berat untuk membuang rasa sesak di dada. Entah, kenapa yang tadinya begitu muak pada Mas Revan dan bulat akan mengurus perceraian, justru sekarang merasa tak rela. Mbak Wenda tidak boleh terus semena-mena pada siapapun.Pantas saja beberapa bulan terakhir, Mbak Wenda tak lagi menanyakan uang atau pun berhutang. Rupanya dia mendapatkan lebih dari Mas revan. Yah tentu saja. Jika dia harus mendengar keluhan dan ceramah dulu sebelum dapat uang dariku, maka hanya dengan merayu atau memberi sentuhan untuk Mas Revan Mbak Wenda langsung bisa mengantongi uang.Lagi, kuusap kasar air mata yang menetes entah sejak kapan. Semua telah terjadi. Dan sekarang tugasku adalah menghancurkan hubungan mereka sebelum mereka menghancurkanku.Buru-buru kubawa gelas ke kamar. Kembali pada Mas Revan yang tadi sudah menggebu-gebu minta dilayani.Namun, langkah terhenti di depan pintu. Kala kudengar suara beratnya berbisik dengan orang di ujung telepon."Semua aman. Jangan panggil aku Revan kalau tak bisa meluluhkan hatinya."'Cihh!' Jijik sekali aku Mas. Percuma wajah tampan rupawan tapi kelakuan buaya!"Mbak jangan telepon aku terus, dong. Kalau Ria curiga bisa gawat. Nanti aku transfer," sambungnya.Enak saja kamu transfer orang yang sudah jahat pada istrimu, Mas! Tidak! Aku tak akan membiarkan itu terjadi.Sengaja kudorong pintu kamar, hingga terdengar deritnya. Sontak Mas Revan menutup panggilan karena itu.Buru-buru dia simpan ponselnya ke saku celana. Hemh, begitu caranya berbohong selama ini?"Eh, kamu sudah selesai, Sayang."Ya Tuhan, rona wajah itu dulu membuatku sulit bernapas karena jatuh hati. Ekspresi yang selalu kurindukan saat ia menggoda dan menginginkanku.Tapi sekarang ... aku ingin muntah setiap kali melihatnya."Ya, Mas." Aku berusaha tersenyum semanis mungkin. "Ini, minum dulu biar strong! Karena kita dah lama gak berduaan gini, aku mau sepuluh ronde hari ini.""Hahaha. Centil juga kamu! Jangan kan sepuluh ronde, seratus ronde pun Mas jabanin!" Mas Revan meraih gelas yang kusodorkan."Jangan lupa diteguk sampai habis. Madunya bisa bikin Mas strong!" ucapku memprovokasi. Dia pun menenggaknya tanpa sisa.Bagus Mas, ini lah awal nerakamu! Jangankan 10 ronde, satu ronde pun aku tidak mau lagi.Aku bangkit dan akan pergi ke toilet. Namun, tangan kekarnya menahanku."Mas. Lepasin!""Sekarang saja Sayang," ucapnya dengan tatapan memohon."Duh, manja banget suamiku yang tampan." Aku menaikkan sebelah bibirku. "Aku kebelet, nih! Jangan sampai kamar ini jadi pesing karena Mas gak kasih waktu aku ke toilet."Mas Revan mendesah. Dilepasnya tanganku dengan pasrah. Dia seperti anak kecil yang menatap kepergian ibunya.Sementara aku berjalan lurus dengan cepat. Takut Mas Revan tiba-tiba memelukku dari belakang atau memaksa masuk ke toilet. Sampai di dalam kukunci pintu toilet. Memastikan semua aman hingga obat yang diminumnya bereaksi.Jangan kamu pikir aku sudi jadi istrimu lagi Mas. Aku jijik jika harus berbagi dengan wanita lain, lebih buruk wanita itu adalah Mbak Wenda.Sekitar sepuluh menit aku diam dalam toilet. Mas Revan mengetuk pintu. Dia benar-benar sudah kehilangan akal rupanya."Dek! Buka donk! Kalo gak mas masuk kamar mandi saja," ucapnya seiring suara pintuk yang diketuk."Sabar Mas. Maaf ya. Ini aku lagi sakit perut. Pasti bau banget!" kilahku. Aku hanya sedikit berbohong. Membalasnya yang sudah banyak sekali berbohong padaku.Mendengar jawabanku, tak kudengar lagi suara Mas Revan. Yes! Dia menyerah!Kulirik jam yang melilit tangan kiri. Sudah lebih setengah jam aku di dalam kamar mandi. Harusnya obat itu sudah bereaksi.Aku pun ke luar. Membuka pintu perlahan dengan debar tak karuan. Takut jika ternyata obat belum bekerja dan dia memaksaku berhubungan.Saat kuintip dari celah pintu yang sedikit kubuka. Mas Revan sedang meringkuk di atas ranjang. Aku menyipitkan mata untuk memfokuskan pandangan? Apa obat itu benar-benar sudah bekerja?Kulangkahkan kaki perlahan mendekat. Agar kaki tak menimbulkan derap yang membuatnya terbangun.Semakin dekat. Kusentuh pundak Mas Revan."Mas ...." panggilku pelan. Memastikan bahwa pria sudah tak sadarkan diri.Mas Revan membalik tubuhnya. Tangannya menggenggam tanganku. "Sayang, mas sebenarnya ingin ... Tapi ...." Dia mengucap pelan. Sangat pelan bahkan nyaris tak terdengar dengan mata yang sedikit terbuka."Tapi?""Mas takut terjadi sesuatu sama kamu, ada yang mengintai kita. Sebaiknya kita berjaga saja," racaunya berbisik.Bahkan dalam keadaan tak sadar pun kamu masih berpura-pura, Mas! Sejak kapan kamu khawatir sama aku? Jika itu benar, kamu tidak akan berselingkuh dengan Mbak Wenda!"Ya, sudah, Mas. Berbaring aja. Aku selimutin ya. Biar orang itu gak lihat Mas. Oke?""Ya, ya. Aku harus sembunyi."Aku memiringkan senyum. Jika bukan karena marah aku pasti akan sangat kasihan pada pria ini.Inilah kesempatanku. Bergerak ke ruang kerja. Mengambil semua surat penting dan mengumpulkannya. Lalu meraih kertas dengan materai dan bolpoin.Setelah menyiapkan surat kuasa yang membuat harta kami ada di bawah kendaliku seluruhnya, aku bergerak kembali ke kamar.Jangan kamu pikir aku sangat bodoh, Mas! Orang baik pun bisa jadi jahat jika ia tersakiti."Mas," panggilku pelan. "Mas ini aku."Mas Revan menyibak selimut. "Ri. Kamu?""Iya. Cepat duduk, Mas. Sini tandatangan supaya yang mengintai Mas hancur dan gak ganggu lagi "Ish, aku seperti anak kecil yang bicara omong kosong. Tapi tak mengapa, ini demi rencana brilian yang akan kujalankan."Benarkah Ri?" Mas Revan menatap ragu. Aku mengangguk mantap agar ia yakin dengan menatapnya dalam.Akhirnya, tangannya bergerak mengambil bolpoin, lalu menorehkan tanda tangan di tempat yang kuminta.Aku senang. Aku menang. Kita lihat nanti, bagaimana ekspresi Mbak Wenda ketika tak bisa lagi mendapat uang sepeser pun dari Mas Revan, apalagi aku.Bersambung.Sedang asik menyusun berkas-berkas penting yang akan aku urus ke notaris, ada suara getaran dari bagian tubuh Mas Revan. Dahiku mengernyit memikirkan benda apa itu? Saat mendekat dan memeriksa, rupanya suara itu berasal dari kantongnya. Ah, pasti ponsel. Benar saja. Kurogoh benda pipih tersebut tanpa perlawanan dari Mas Revan. Coba saja kalau sadar mana mungkin dia mengizinkanku mengambil benda tersebut?Selama ini bahkan aku tak peduli siapa yang dihubungi. Lelaki sebaik suamiku tak akan membuat sang istri curiga.Tampak di layar sebuah nomor baru. Penasaran, kuangkat panggilan tersebut. Aku sengaja diam agar tahu siapa peneleponnya."Hallo." Lembut suara seorang wanita. Apa itu suara Mbak Wenda?"Van? Hallo? Van kok gak dijawab, sih. Udah ditransfer belum?" Wanita itu akhirnya bicara agak lama. Dari situ aku tahu persis itu suara Mbak Wenda.Heh! Jadi gini. Dia tak memasang foto kontak dan memakai nomor lain untuk mengelabuiku.Tak ingin orang di ujung telepon curiga, kumatikan pon
Kuraih ponselku sendiri saat berdering."Ya, hallo.""Assalamualaikum. Ri, gimana?" ucap Gita di ujung telepon."Waalaikumsalam. Apanya yang apa?" Heran saja baru diangkat langsung tanya gimana?"Soal obat yang kamu campur ke minuman suamimu? Bekerja dengan baik?" Gita menjelaskan maksudnya dengan gamblang."Oh, iya, Ta. Alhamdulillah.""Alhamdulillah. Kamu harus manfaatin moment ini bener-bener. Karena obat itu gak gampang dapetinnya karena gak dijual bebas." Gita menjelaskan bagaimana ia dapatkan obat tersebut. Dia yang bekerja sebagai apoteker tahu betul keperluanku. Bagaimana obat itu bekerja. Dan tak segan pula, berkorban untuk mendapatkannya."Ta, tapi aku kok merasa bersalah, ya. Itu Mas Revan bakal sampai kapan kaya gitu. Jujur aku takut dosa. Walau bagaimana dia kan masih suamiku." "Nah, nah. Mulai deh bucinnya. Kamu jadi bucin kek yang udah-udah bakal nyengsarain diri kamu sendiri. Sekarang, noh nyatanya di belakang kepolosan dan kebucinanmu, suami dan kakakmu bebas main-
"Mas ini malem banget, lho. Emang Mbak Wenda ke mana? Masa perempuan malam-malam kelayapan?" ucapku pura-pura tak tahu dengan mulai ember memprovokasi.Aku perlu mempengaruhi otak Mas Rayyan agar sedikit lebih pinter, dengan cara halus. Tak ada gunanya grasak-grusuk menembak ke intinya dengan mengatakan, kalau dia laki-laki bodoh yang sedang dikibulin sang istri.Aku ingin penderitaan yang Mbak Wenda dan Mas Revan alami sempurna. Salah langkah hanya akan menghancurkan rencana keseluruhan yang sudah kususun dengan rapi."Iya, dia tadi siang izin ke luar kota, Ri." Mas Rayyan masih memperlihatkan ekspresi panik."Lain kali Mas sebagai laki-laki jangan lembek sama istri. Masa iya istrinya pergi ke luar kota tanpa alasan jelas diizinin aja. Lah sekarang Mas sendiri yang repot.""Iya, Ri. Kalau bisa ceramahnya nanti saja. Kasian Wenda ini." Mas Rayyan mengucap terus terang. Argh! Gemes. Ingin sekali kupukul pria di depanku ini supaya mau mikir. Orang lagi ngasih tahu, malah dibilang ceram
Kami bertiga akhirnya pulang. Dengan Mbak Wenda naik mobil bersamaku. Sementara Mas Rayyan naik motor sendiri."Apa ini? Benyek-benyek." Mbak Wenda merasa ada yang tak nyaman, ketika pantatnya mendarat di kursi mobilku.Aku menyembunyikan senyum menahan tawa. Rasakan itu Mbak."Oh, Mbak .... itu saos super pedes. Belum sempet kubersihin tadi!" Aku berseru pura-pura menyesal.Tentu saja aku senang. Sengaja sebelum keluar menyusul Mbak Wenda, kuambil saos buat dibawa ke kafe dari box di garasi. Untung aku pilih pedas level dewa. Emang enak? Haha."Mana tembus lagi, Ri ... ke dalamanku. Ya ampun. Perih."Bagus semoga kena itu-mu juga Mbak! Barang murah dan busuk yang kamu jajakan pada suami orang."Lagian Mbak kenapa malam-malam gini pake rok sependek itu? Untung gak diculik dan diperkosa orang." Aku cari celah menyalahkannya. Lagian tukang selingkuh sepertinya bukannya justru senang diperkosa orang?"Em, kan niatnya gak sampai malam, Ri. Sebentar ketemuan temen trus pulang. Eh, malah te
"Udah Ri, jalan. Kita ke rumahmu. Oke?" Mbak Wenda menutup pintu mobil tanpa peduli pada suaminya yang berdiri seperti orang bodoh.Entah di mana hati mbakku itu? Suami sudah baik, datang jauh-jauh karena khawatir padanya, malah dibalas seperti itu."Oh, maaf Mbak. Aku banyak urusan, nih. Mau langsung ke kafe," elakku. Ya lah. Gawat dong kalau dia maksa ke rumah dan mendapati Mas Revan yang masih linglung."Huft!" Mbak Wenda meniup berat. "Ya udah kan gak papa, aku istirahat aja di rumahmu, Ri. Aku males ketemu laki-laki tak berguna itu.""Lho ... gak bisa dong, Mbak. Kan di rumah ada Mas Revan. Masa Mbak mau berduaan sama dia?""Lho emang kenapa?" tanya Mbak Wenda. "Kenapa?" Aku menyipitkan mata ke arah kakak perempuanku itu. Sebenarnya aku tahu, Mbak, kamu udah terbiasa wik-wik sama suamiku. Jadi bebas saja kalau mau berduaan tanpa aku. Tapi tidak lagi untuk sekarang. Semua sudah terbongkar dan aku tak akan membiarkanmu menikmati perzinahan kalian."Em, ya gak papa, kan. Ri? Emang
"Mas Revan?!" seruku saat ke luar mobil."Ya, kenapa, Ri? Kamu terkejut gitu? tanyanya dengan menyilang tangan di dada.Tenang, Ri. Jangan menunjukkan sikapmu seperti penjahat yang tertangkap basah."Mas baik-baik saja?" tanyaku dengan mata melebar."Maksudmu?" Pria itu mengangkat satu alisnya."Ya ... aku pikir, tadi malam Mas sedang gak sehat. Makanya aku pergi tanpa bangunin Mas," paparku sesantai mungkin. Jujur aku khawatir dia menemukan sesuatu setelah sadar. Tapi apa? Aku merasa sudah membuang semua jejak, termasuk membuang kantong sampah di dapur. Juga menghapus semua percakapan sekaligus riwayat panggilan ke nomor Mbak Wenda di ponsel Mas Revan."Aku baik-baik aja, Ri. Tapi aneh nih, badanku jadi pegel-pegel." Pria itu memijat-mijat tengkuknya."Kalian kenapa, sih? Ayok masuk dulu!" Mbak Wenda berjalan melalui kami."Ah, ohya. Aku bawa ini tadi buat sarapan kalian." Mas Revan mengambil bungkusan di kursi belakang dan mengangkatnya.Sementara Mbak Wenda yang sudah sampai pint
"Mas!" teriakku pada Mas Revan.Pria itu menoleh. Melepas tangan Mbak Wenda yang memelas terduduk di lantai. Mungkin baru sadar ada istrinya di sini.Pria itu gelagapan menatapku. "Em, ini ... Ri, kasian Mbak Wenda.""Mas harusnya gak ikut campur!" ucapku ketus.Mbak Wenda seketika menatapku dengan pandangan tak percaya. Heh! Mungkin dia kira aku akan menolongnya."Em, biarkan Mbak Wenda tanggung jawab atas perbuatannya." Kupegang lengan Mas Revan dengan ucapan lembut tapi memaksa. Yab, dia pasti terpaksa menurutiku karena takut istrinya ini curiga dan membongkar perselingkuhan mereka."Tap-" Ucapannya tertahan kala mataku menyipit."Jika pun ada yang membela, harusnya Mas Rayyan, bukan aku apalagi Mas Revan," sambungku, menarik lengannya menjauh."Ri ... kamu tega pada Mbakmu sendiri?!" Dua manik mata kakak perempuanku dipenuhi kaca-kaca. Menatap nyalang padaku. Duh, kasihan sekali. Dia pasti sangat marah padaku."Diam kamu jalang!" seru salah satu wanita dengan pakaian seksi. Dia ju
"Ada apa, Mas? Kenapa Mas Rayyan sepanik ini?" Biasanya pria itu wajahnya selalu santai, walau dihujat dan dimaki-maki istrinya sendiri. Bahkan saat kepalanya dibenturkan pun dia akan tetap stay cool jika yang melakukan sang istri.Namun, kali ini ada aura berbeda. Aku mencium bau masalah dari kedatangan Mas Rayyan. Mimik wajahnya terlalu kentara menampakkan kecemasan."Lihatlah, Ri." Mas Rayyan mengucap lesu sambil menyodorkan benda pipih di tangan. Di sana tampak gambar Mbak Wenda tengah melayani seorang pria."Apa ini? Mas dapat dari mana?" Meski sudah tahu wanita itu berselingkuh dengan Mas Revan, tetap saja hatiku sakit melihat mereka berdua berada dalam satu ranjang. Mata ini memanas. Airmata sudah berjejalan ingin ke luar. Namun, kutahan karena malu pada Mas Rayyan."Sepertinya mereka menjalin hubungan di belakang kita, Ri." Ucapan itu terdengar lemah. Apa dia berputus asa?Kalau saja kamu tahu, Mas. Aku sudah mencium aroma perselingkuhan mereka sejak kemarin-kemarin. Bedanya,