Mas Revan datang dengan senyum mengembang ke luar dari mobil sport putih. Lelaki setampan dan sekaya dia pasti lah banyak yang klepek-klepek di luar sana. Aku bahkan tak yakin jika hanya kakakku saja yang jadi selingkuhannya.
"Hai, Mas." Aku tersenyum manja menyambut pria yang mengenakan kemeja rapi itu.Mas Revan tersenyum manis. Dengan pesona seperti itu, mana mungkin ada perempuan yang menolak? Sedang aku, dulu juga terpesona karena ketampanan di samping kebaikan hatinya.Bau harum parfum maskulin menguar saat aku memeluk tubuh Mas. Biasanya tak pernah kupamerkan kemesraan seperti ini di depan orang lain. Namun, sekarang aku perlu membuat Mbak Wenda kejang-kejang meski ia pura-pura tak ada apa-apa antara mereka."Kalian baik-baik, ya. Jangan mudah tersulut emosi. Apalagi kalau hanya karena gosip atau prasangka," nasehat Mbak Wenda seolah dia wanita paling baik di dunia ini."Iya, Mbak," jawabku. Kentara sekali tatapan Mas Revan pada Mbak Wenda. Bukan hanya terbius cinta, tapi matanya menyiratkan nafsu menggelora."Makasih, Mbak. Udah jagain Ria." Lagi, Mas Revan melemparkan senyumnya yang dibalas anggukan kecil kakak perempuanku.Yah, puaskan saja melihat Mbak Wenda hari ini, Mas. Bisa jadi sekarang adalah waktu terakhir kalian saling bertatap penuh cinta.Hai, Mas Rayyan! Apa kamu tidak lihat itu? Kesal rasanya melihat pria polos itu tak tahu apa-apa.___________Mobil yang kami kendarai ke luar dari pelataran, meninggalkan rumah Mbak Wenda dan Mas Rayyan."Mas maaf, ya. Soal kemarin. Harusnya aku percaya kalau di kantor ada serangga yang gigit leher Mas." Tidak mudah berlembut-lembut dengan kondisi hati seperti sekarang.Rasanya mau BAB tapi aku harus menahannya kuat-kuat karena tak menemukan toilet. Menyemburkan kemarahan sekarang tanpa berpikir hanya membuat semua tambah kacau. Dan bisa jadi aku lah korban yang paling menderita."Ya, maaf juga Mas gak nahan kamu pas pergi." Dia melirik sebentar padaku di sela fokusnya menyetir."Ya, Mas. Aku ngerti, Mas pasti bingung gimana ngadepin aku yang kadung marah dan marah karena salah paham." Aku bergelayut manja di lengannya."Oya, Mas. Kita mampir apotik, ya. Aku kayaknya hamil, deh. Mau periksa pakai tespack dulu. Pantesan aku suka uring-uringan belakangan ini," pintaku beralasan sekalian membeli obat lain buat ngerjain suamiku."Hem? Bukannya kamu haid minggu lalu?" Mas Revan tampak berpikir.Tak menyangka kalau dia tahu dan ingat soal itu. Aku pikir dia sudah benar-benar cuek."Ish ... kan setelah itu kita udah berhubungan. Masa Mas lupa?" Aku mencoba berkilah."Iya ... tapi masa baru seminggu udah ....""Mas ... belajar lagi, deh soal reproduksi. Seminggu itu bisa jadi sudah hamil." Aku sengaja menekan kata-kataku, agar Mas Revan menyerah. "Aku tuh udah pengen banget punya anak, Mas. Apalagi dari suamiku yang tampan dan baik ini," pujiku. "Makanya kita mampir ya, Mas gausah bahas-bahas lagi kalau gak ngerti," cerocosku panjang. Tak memberinya kesempatan untuk menolak."Ahya. Ya. Kita ke apotik." Mas Revan akhirnya setuju.Ya lah. Mana ada laki-laki yang betah berdebat. Dia akan mengalah dibanding mendengar ocehan istrinya ke sana ke mari.Mungkin itu juga yang jadi salah satu sebab, kenapa priaku ini berselingkuh. Dia bisa saja bosan mendengarku nyerocos panjang lebar. Padahal kalau dia tahu bagaimana Mbak Wenda, aku jamin saat mereka bersama, Mas Revan akan tersiksa dan menyesal bisa dekat dengan wanita bermulut ember sepertinya.Setelah sampai apotik, mobil berbelok. Sementara Mas Revan tetap berada di mobil, aku segera ke luar membeli barang-barang yang kuperlukan.____________Sampai rumah belum lagi berganti baju apalagi mandi, tangan kekar Mas melingkar di perutku dari belakang.Sudah kuduga. Dia akan melakukannya. Itu kenapa aku perlu ke apotik tadi."Mas, sebentar, ya. Mas pasti lelah." Ku lepas tangan itu.Jijik rasanya ketika napasnya yang hangat berbau mint mengenai pipi. Pasti tangan itu juga sudah menyentuh kakakku. Dan entah wanita mana lagi?Kemarin aku memang dimabuk cinta Mas Revan. Aku sungguh tergila-gila padanya. Setiap sentuhannya adalah setrum yang kehangatannya kurindukan. Tapi tidak setelah aku tahu dia berselingkuh. Aku jijik. Bahkan hanya sekedar meneyebut namanya.Kamu harus membayar semua ini dengan mahal, Mas."Emmm."Bukannya melepas. Mas Revan malah mengeratkan pelukannya. Dia tak rela tangan itu lepas dariku.Dia berjalan mendorong hingga kami sama-sama jatuh ke ranjang. Saat itu lah, aku menggeser tubuh cepat menghindarinya."Hahaha. Nafsu banget, sih Mas!" Aku terbahak-bahak. Sambil berlalu ke luar pintu kamar. Jelas sekali tadi kulihat gurat kecewa di wajahnya.Sampai di dapur. Kubuat minum yang sudah kucampur sesuatu di dalamnya. Minuman yang bukan hanya berefek ke tubuhnya tapi juga lebih dari itu, akan berlengaruh pada harta yang akan kumanipulasi. Kupastikan kamu akan menderita dengan Mbak Wenda, Mas!Bersambung.Kubuang sachet ke dalam bak sampah yang berada di sebelah rak piring. Bungkus bertuliskan psikedelik membuatku memikirkan sesuatu. Kuharap efek dari obat itu akan membuat Mas Revan bisa meninggalkan Mbak Wenda.Aku mengembus berat untuk membuang rasa sesak di dada. Entah, kenapa yang tadinya begitu muak pada Mas Revan dan bulat akan mengurus perceraian, justru sekarang merasa tak rela. Mbak Wenda tidak boleh terus semena-mena pada siapapun.Pantas saja beberapa bulan terakhir, Mbak Wenda tak lagi menanyakan uang atau pun berhutang. Rupanya dia mendapatkan lebih dari Mas revan. Yah tentu saja. Jika dia harus mendengar keluhan dan ceramah dulu sebelum dapat uang dariku, maka hanya dengan merayu atau memberi sentuhan untuk Mas Revan Mbak Wenda langsung bisa mengantongi uang.Lagi, kuusap kasar air mata yang menetes entah sejak kapan. Semua telah terjadi. Dan sekarang tugasku adalah menghancurkan hubungan mereka sebelum mereka menghancurkanku.Buru-buru kubawa gelas ke kamar. Kembali pada
Sedang asik menyusun berkas-berkas penting yang akan aku urus ke notaris, ada suara getaran dari bagian tubuh Mas Revan. Dahiku mengernyit memikirkan benda apa itu? Saat mendekat dan memeriksa, rupanya suara itu berasal dari kantongnya. Ah, pasti ponsel. Benar saja. Kurogoh benda pipih tersebut tanpa perlawanan dari Mas Revan. Coba saja kalau sadar mana mungkin dia mengizinkanku mengambil benda tersebut?Selama ini bahkan aku tak peduli siapa yang dihubungi. Lelaki sebaik suamiku tak akan membuat sang istri curiga.Tampak di layar sebuah nomor baru. Penasaran, kuangkat panggilan tersebut. Aku sengaja diam agar tahu siapa peneleponnya."Hallo." Lembut suara seorang wanita. Apa itu suara Mbak Wenda?"Van? Hallo? Van kok gak dijawab, sih. Udah ditransfer belum?" Wanita itu akhirnya bicara agak lama. Dari situ aku tahu persis itu suara Mbak Wenda.Heh! Jadi gini. Dia tak memasang foto kontak dan memakai nomor lain untuk mengelabuiku.Tak ingin orang di ujung telepon curiga, kumatikan pon
Kuraih ponselku sendiri saat berdering."Ya, hallo.""Assalamualaikum. Ri, gimana?" ucap Gita di ujung telepon."Waalaikumsalam. Apanya yang apa?" Heran saja baru diangkat langsung tanya gimana?"Soal obat yang kamu campur ke minuman suamimu? Bekerja dengan baik?" Gita menjelaskan maksudnya dengan gamblang."Oh, iya, Ta. Alhamdulillah.""Alhamdulillah. Kamu harus manfaatin moment ini bener-bener. Karena obat itu gak gampang dapetinnya karena gak dijual bebas." Gita menjelaskan bagaimana ia dapatkan obat tersebut. Dia yang bekerja sebagai apoteker tahu betul keperluanku. Bagaimana obat itu bekerja. Dan tak segan pula, berkorban untuk mendapatkannya."Ta, tapi aku kok merasa bersalah, ya. Itu Mas Revan bakal sampai kapan kaya gitu. Jujur aku takut dosa. Walau bagaimana dia kan masih suamiku." "Nah, nah. Mulai deh bucinnya. Kamu jadi bucin kek yang udah-udah bakal nyengsarain diri kamu sendiri. Sekarang, noh nyatanya di belakang kepolosan dan kebucinanmu, suami dan kakakmu bebas main-
"Mas ini malem banget, lho. Emang Mbak Wenda ke mana? Masa perempuan malam-malam kelayapan?" ucapku pura-pura tak tahu dengan mulai ember memprovokasi.Aku perlu mempengaruhi otak Mas Rayyan agar sedikit lebih pinter, dengan cara halus. Tak ada gunanya grasak-grusuk menembak ke intinya dengan mengatakan, kalau dia laki-laki bodoh yang sedang dikibulin sang istri.Aku ingin penderitaan yang Mbak Wenda dan Mas Revan alami sempurna. Salah langkah hanya akan menghancurkan rencana keseluruhan yang sudah kususun dengan rapi."Iya, dia tadi siang izin ke luar kota, Ri." Mas Rayyan masih memperlihatkan ekspresi panik."Lain kali Mas sebagai laki-laki jangan lembek sama istri. Masa iya istrinya pergi ke luar kota tanpa alasan jelas diizinin aja. Lah sekarang Mas sendiri yang repot.""Iya, Ri. Kalau bisa ceramahnya nanti saja. Kasian Wenda ini." Mas Rayyan mengucap terus terang. Argh! Gemes. Ingin sekali kupukul pria di depanku ini supaya mau mikir. Orang lagi ngasih tahu, malah dibilang ceram
Kami bertiga akhirnya pulang. Dengan Mbak Wenda naik mobil bersamaku. Sementara Mas Rayyan naik motor sendiri."Apa ini? Benyek-benyek." Mbak Wenda merasa ada yang tak nyaman, ketika pantatnya mendarat di kursi mobilku.Aku menyembunyikan senyum menahan tawa. Rasakan itu Mbak."Oh, Mbak .... itu saos super pedes. Belum sempet kubersihin tadi!" Aku berseru pura-pura menyesal.Tentu saja aku senang. Sengaja sebelum keluar menyusul Mbak Wenda, kuambil saos buat dibawa ke kafe dari box di garasi. Untung aku pilih pedas level dewa. Emang enak? Haha."Mana tembus lagi, Ri ... ke dalamanku. Ya ampun. Perih."Bagus semoga kena itu-mu juga Mbak! Barang murah dan busuk yang kamu jajakan pada suami orang."Lagian Mbak kenapa malam-malam gini pake rok sependek itu? Untung gak diculik dan diperkosa orang." Aku cari celah menyalahkannya. Lagian tukang selingkuh sepertinya bukannya justru senang diperkosa orang?"Em, kan niatnya gak sampai malam, Ri. Sebentar ketemuan temen trus pulang. Eh, malah te
"Udah Ri, jalan. Kita ke rumahmu. Oke?" Mbak Wenda menutup pintu mobil tanpa peduli pada suaminya yang berdiri seperti orang bodoh.Entah di mana hati mbakku itu? Suami sudah baik, datang jauh-jauh karena khawatir padanya, malah dibalas seperti itu."Oh, maaf Mbak. Aku banyak urusan, nih. Mau langsung ke kafe," elakku. Ya lah. Gawat dong kalau dia maksa ke rumah dan mendapati Mas Revan yang masih linglung."Huft!" Mbak Wenda meniup berat. "Ya udah kan gak papa, aku istirahat aja di rumahmu, Ri. Aku males ketemu laki-laki tak berguna itu.""Lho ... gak bisa dong, Mbak. Kan di rumah ada Mas Revan. Masa Mbak mau berduaan sama dia?""Lho emang kenapa?" tanya Mbak Wenda. "Kenapa?" Aku menyipitkan mata ke arah kakak perempuanku itu. Sebenarnya aku tahu, Mbak, kamu udah terbiasa wik-wik sama suamiku. Jadi bebas saja kalau mau berduaan tanpa aku. Tapi tidak lagi untuk sekarang. Semua sudah terbongkar dan aku tak akan membiarkanmu menikmati perzinahan kalian."Em, ya gak papa, kan. Ri? Emang
"Mas Revan?!" seruku saat ke luar mobil."Ya, kenapa, Ri? Kamu terkejut gitu? tanyanya dengan menyilang tangan di dada.Tenang, Ri. Jangan menunjukkan sikapmu seperti penjahat yang tertangkap basah."Mas baik-baik saja?" tanyaku dengan mata melebar."Maksudmu?" Pria itu mengangkat satu alisnya."Ya ... aku pikir, tadi malam Mas sedang gak sehat. Makanya aku pergi tanpa bangunin Mas," paparku sesantai mungkin. Jujur aku khawatir dia menemukan sesuatu setelah sadar. Tapi apa? Aku merasa sudah membuang semua jejak, termasuk membuang kantong sampah di dapur. Juga menghapus semua percakapan sekaligus riwayat panggilan ke nomor Mbak Wenda di ponsel Mas Revan."Aku baik-baik aja, Ri. Tapi aneh nih, badanku jadi pegel-pegel." Pria itu memijat-mijat tengkuknya."Kalian kenapa, sih? Ayok masuk dulu!" Mbak Wenda berjalan melalui kami."Ah, ohya. Aku bawa ini tadi buat sarapan kalian." Mas Revan mengambil bungkusan di kursi belakang dan mengangkatnya.Sementara Mbak Wenda yang sudah sampai pint
"Mas!" teriakku pada Mas Revan.Pria itu menoleh. Melepas tangan Mbak Wenda yang memelas terduduk di lantai. Mungkin baru sadar ada istrinya di sini.Pria itu gelagapan menatapku. "Em, ini ... Ri, kasian Mbak Wenda.""Mas harusnya gak ikut campur!" ucapku ketus.Mbak Wenda seketika menatapku dengan pandangan tak percaya. Heh! Mungkin dia kira aku akan menolongnya."Em, biarkan Mbak Wenda tanggung jawab atas perbuatannya." Kupegang lengan Mas Revan dengan ucapan lembut tapi memaksa. Yab, dia pasti terpaksa menurutiku karena takut istrinya ini curiga dan membongkar perselingkuhan mereka."Tap-" Ucapannya tertahan kala mataku menyipit."Jika pun ada yang membela, harusnya Mas Rayyan, bukan aku apalagi Mas Revan," sambungku, menarik lengannya menjauh."Ri ... kamu tega pada Mbakmu sendiri?!" Dua manik mata kakak perempuanku dipenuhi kaca-kaca. Menatap nyalang padaku. Duh, kasihan sekali. Dia pasti sangat marah padaku."Diam kamu jalang!" seru salah satu wanita dengan pakaian seksi. Dia ju