Share

Hal Gila!

Sedang asik menyusun berkas-berkas penting yang akan aku urus ke notaris, ada suara getaran dari bagian tubuh Mas Revan. Dahiku mengernyit memikirkan benda apa itu?

Saat mendekat dan memeriksa, rupanya suara itu berasal dari kantongnya. Ah, pasti ponsel. Benar saja. Kurogoh benda pipih tersebut tanpa perlawanan dari Mas Revan. Coba saja kalau sadar mana mungkin dia mengizinkanku mengambil benda tersebut?

Selama ini bahkan aku tak peduli siapa yang dihubungi. Lelaki sebaik suamiku tak akan membuat sang istri curiga.

Tampak di layar sebuah nomor baru. Penasaran, kuangkat panggilan tersebut. Aku sengaja diam agar tahu siapa peneleponnya.

"Hallo." Lembut suara seorang wanita. Apa itu suara Mbak Wenda?

"Van? Hallo? Van kok gak dijawab, sih. Udah ditransfer belum?" Wanita itu akhirnya bicara agak lama. Dari situ aku tahu persis itu suara Mbak Wenda.

Heh! Jadi gini. Dia tak memasang foto kontak dan memakai nomor lain untuk mengelabuiku.

Tak ingin orang di ujung telepon curiga, kumatikan ponsel dan mengirimnya pesan.

Oh, Tuhan. Ponselnya dikunci. Aku mendesah kesal!

Pantas jika banyak para istri tak suka ponsel suaminya terkunci. Ini lah alasannya! Mereka itu buaya, dengan alasan privasi istri tidak boleh membuka ponselnya yang menyimpan jutaan rahasia.

Bajingan kamu, Mas!

Aku mengetuk-ngetuk jari ke kepala. Memikirkan bagaimana cara membuka ponsel tersebut.

"Mas, bangun sebentar," kuusap punggungnya pelan.

Mas Revan membuka mata. Bagus. Segera kuarahkan layar ponsel ke wajahnya. Gusti! Tidak terbuka.

Akhirnya kubiarkan dia meringkuk kembali ke bawah selimut.

Tidak berhenti di situ. Akhirnya kucoba cara lain, membuka layar dengan sidik jari. Berhasil! Mataku berbinar senang.

Ponselnya kembali bergetar karena Mbak Wenda menghubungi. Gigih juga kamu, Mbak!

Kutekan tombol merah hingga ponsel mati. Cepat kuketik sesuatu di aplikasi hijau.

[Mbak, jangan nelpon. Aku lagi sama Ri.]

Pesan tersebut langsung centang dua. Tak lama, Mbak Wenda mengirim balasan.

[Kan transfernya bisa sekarang lewat mbangking. Aku dah perlu nih. Kamu dah janji lho, sebelum kita ke hotel kemarin. Bakal transfer di waktu-waktu yang kutentuin.]

Dasar jalang kamu, Mbak! Tega kamu tidur dengan suamiku!

Dalam keadaan marah, kuketik balasan dengan ditenang-tenangkan.

[Iya, Mbak. Tapi banking nya masih gangguan dari tadi. Kita ketemu aja gimana?]

Belum juga semenit, Mbak Wenda membalas lagi.

[Ketemu? Di mana]

Aku tersenyum kecut. Kena kamu Mbak! Demi uang kamu akan menjemput penderitaan.

[Di gunung gimana? Hiking sekalian.]

Hemh. Kita lihat. Apa Mbak Wenda mau jemput uang di gunung?

[Duh.]

[Kenapa gak di hotel aja, kan enak]

protesnya.

Wanita seperti kamu gak pantes dapat tempat yang nyaman, Mbak!

[Mulai sekarang kita harus lebih berhati-hati. Hotel itu tempat yang rawan untuk ketahuan. Kalau Mbak setuju kita tentuin waktu secepatnya.]

Aku bisa bayangkan betapa sewot wajah Mbak Wenda membaca balasan dariku. Tapi dia menahannya karena ingin mendapatkan uang.

[Ya udah. Sore ini, bisa]

Bagus! Dia masuk perangkap. Kamu harus bersiap Mbak! Bisa jadi malam ini akan tersesat sendirian di gunung. Hahaha. Aku tertawa puas meski hati ini begitu sakit.

Akhirnya kukirim lokasi pada Mbak Wenda. Gunung kidul adalah pilihanku. Ini mungkin agak gila. Aku membiarkan saudaraku sendiri di tempat sepi dan gelap. Tapi dia lebih gila, bukan hanya uang suami adeknya sendiri diembat. Di mana otaknya coba!

Melabraknya dan marah-marah hanya akan membuatku rugi. Lebih baik seperti ini, menahan kemarahan sebentar dan berpura-pura tak tahu perselingkuhan mereka. Namun, di belakang kuhabisi orang-orang itu.

____________

Chat kembali masuk dari nomor Mbak Wenda ke ponsel Mas Revan.

[Van aku otewe.]

Setelah melirik sebentar pada suami yang meringkuk di atas ranjang. Cepat kubalas pesan tersebut. [Oke, Mbakku chayank. Aku otewe. Kangen sama Mbak.]

Aku juga otewe Mbak, otewe ke kantor notaris hari ini juga. Begitu pacar kesayanganmu itu bangun, dia tak akan bisa berkutik dan memandangmu lagi.

Kubuat seolah-olah itu adalah kata-kata Mas Revan. Setelah mempelajari percakapan mereka yang luar biasa banyak. Apa Mas Revan sangat sayang untuk menghapusnya?

Sampai di kantor notaris. Lagi-lagi kudapatkan pesan. Setelah berkali-kali kutolak panggilannya.

[Van, kamu beneran datang kan? Aku sudah mati-matian cari alasan supaya bisa nginep di tempat sejauh itu.]

[Ini aku udah di bus]

Lucu sekali membayangkan Mbak Wenda desak-desakkan dalam bus. Dia pasti sedang kehabisan uang. Kasihan juga Mas Rayyan, dibohongi terus-terusan. Sepertinya aku harus melibatkannya juga agar permainan ini lebih menarik.

[Ya, donk. Mbak Chayank. Tapi bener, nih. Jangan telepon aku dulu. Nanti kalau sudah lepas dari Ri aku bakal telepon kok.]

balasku.

Tak lama Mbak Wenda kembali membalas. [Loh, tadi katanya otewe?]

Aduh, aku keceplosan balas pesannya. Semoga saja Mbak Wenda gak curiga.

[Ah, iya. Maksudku udah berusaha lepas dari Ri, nih Mbak. Nanti kalo udah dalam mobil dan otewe beneran aku telepon Mbak lagi. Okey?! Sekarang jangan telepon-telepon pokoknya sebelum aku duluan. Ri udah curiga soalnya sampe kabur ke rumah Mbak kemarin.]

Mbak Wenda membalas cepat.

[Ok]

Dia pasti menulis balasan dengan kecewa. Kukirimkan stiker hati yang pernah Mas Revan kirim buat dia. Aku sampai mual membalas pesan Mbak Wenda. Mereka kelewat menjijikkan.

Benar saja, sampai urusanku selesai di kantor notaris, Mbak Wenda tidak berani menelepon. Dia sangat penurut di depan Mas Revan. Kasihan suamimu, Mbak! Ternyata kamu hamba uang selama ini. Pantas sikapmu sadis pada suami.

Sampai di rumah. Kuabaikan banyaknya chat masuk ke ponsel Mas Revan. Aku memilih menikmati hidup. Membersihkan diri dengan air hangat. Minta ampun banyak-banyak pada Tuhan, jika jalan yang kutempuh salah.

Walau bagaimana aku juga manusia biasa. Saat marah, tidak tahu yang kulakukan benar atau salah. Kupuaskan menangis. Takdir ini terlalu berat Tuhan .... tapi aku tahu, aku bisa menjalani lantaran Allah tidak menimpakan kesusahan di luar batas hamba-Nya.

Ketika akan memejamkan mata, ponsel Mas Revan kembali bergetar karena panggilan. Mbak Wenda tak sabar lagi rupanya. Kulihat layar benda pipih dan mengusapnya, setelah insiden tadi siang kubuang sandi dengan sidik jari Mas Revan untuk memudahkan.

[Van aku udah nyampe, nih. Seperti kata kamu tunggu di bawah pohon dan jangan ke mana-mana. Udah capek nunggu, mana banyak nyamuk lagi. Kamu udah di mana sih, Chayank.]

Duh, malang sekali kamu Mbak. Aku tertawa membayangkan wajah Mbak Wenda yang digigiti nyamuk di bawah pohon. Selamat menikmati Mbak. Masih ada banyak kejutan yang aku siapkan buat kamu.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status