"Apa kamu bilang!" Ratini mendekat kearah Ratna, membuat otomatis Ratna bersembunyi di belakangku.
"Udah-udah!" perintahku pada Ratini yang tengah ingin mengapai Ratna. Rasanya malu sekali banyak mata tertuju pada kami.
"Awas kamu ya! Kusuruh Abi biar menghajarmu sekalian berhenti langganan loundry ditempatmu!" Ratini masih mengomel, tak perdulikan puluhan pasang mata menatapnya. Segera aku gandeng dia dan secepatnya pergi dari tempat itu.
"Lepasin, Mbak! Sakit kali tanganku." rintih Ratini ketika sudah agak jauh dari tempat itu.
"Kamu ini apa-apaan, Dek!" tanyaku menatapnya, "Kalau sampai ada yang video-in peristiwa tadi, apa mau di kata sama Abi! Bikin malu saja!"
"Tapi, Mbak! Semua karena ulah dia duluan yang mulai, bilang aku hanya pecahan kaca! Emang mukaku seperti itu!"
Aku berusaha mengosok pungung Ratini agar sedikit tenang. Memang yang di katakan Ratna keterlaluan, mungkin pikirnya tetap saja madu itu menyakitkan. Dia hanya ingin membelaku saja, menguatkanku dari keterpurukan.
"Ya udah sekarang mau belanja apa lagi?" tanyaku berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Melihat dia nyerocos tanpa henti membuat kepalaku berdenyut.
"Udah kita pulang aja! Mood belanjaku ilang gara-gara wanita tak tahu diri itu!" gerutunya sambil berjalan meninggalkanku. Akupun memilih mengikutinya, mengimbangi langkahnya yang panjang dan lebar.
"Eh! Tunggu...!" seketika dia berhenti, membuat aku yang mengikuti dengan langkah lebar ini dia didepanku berhenti, membuat hampir saja bertubrukan.
"Kenapa? Ada apa?" tanyaku bingung ketika dia memilih berhenti. Aku sendiri celingukan.
"Kalau mood sedang begini, paling enak kita Spa dan pijit. Sekalian aku mau menipedi dan perawatan wajah!"
"Terus, Maksud kamu kita...?"
"Ya... Kita kesalon!" dengan entengnya dia berkata. Aku menghela nafas dalam. Sepertinya aku tak bisa menolaknya.
"Ya udah, kita kesalon. Kamu punya langganan salon? Atau mau ketempat langgananku?" tanyaku sekaligus menawarkan.
"Ada, Mbak. Aku punya langganan sendiri. Nggak level deh sama langganan Mbak. Pasti kampungan!" dengus Ratini. Aku hanya tersenyum dengan hinaanya.
"Baiklah, ayo kita kesana!"
Aku setujui saja permintaanya, toh membuat dia senang beberapa saat tak membuatku rugi. Biarlahhh kuperlakukan maduku bagai permaisuri untuk saat ini, besok tinggal dia yang akan melayani madunya seperti aku melayaninya saat ini.
Setengah jam perjalanan, sampailah kami pada sebuah salon yang menurut penuturan Ratini itu adalah langganannya. Besar memang salon itu, tapi ketika kami masuk!
Seorang pelayan laki-laki dengan lemah gemulai menyambut kami.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu dengan lemah gemulai. Aku hanya melihat sekitar tempat itu tanpa menjawab.
"Iya, Te! Saya mau spa, pijit reliks juga menipedi!" jawab Ratini.
Pelayan tadi membawa kami masuk kedalam, ada beberapa laki-laki yang sikapnya seperti itu hanya beberapa pelayan perempuan saja.
Aku langsung menarik tangan Ratini untuk keluar dari tempat itu.
"Kamu gila ya! Mau Spa dan pijit, sedangkan yang melakukannya itu laki-laki!" cetusku ketika di luar.
"Ih, Mbak. Norak banget sih! Dia itu benc@ng alisa B@nci nggak bakal nafsu sama kita! Dia sukanya sama laki-laki."
Aku menggeleng cepat, tak mengerti jalan pikiran istri muda suamiku ini! Bisa-bisanya dia menikah dengan wanita yang sama sekali tak tahu hukum antar laki-laki dan perempuan.
"Pokonya aku nggak mau kalau kamu nyalon di situ! Mau menurut sama aku atau aku adukan pada Abi bahwa kamu nyalon dengan di layani laki-laki!" kali ini aku berkata tegas tak ingin dibantah.
"Kamu ini sekarang istrinya Abi Usman! Seorang yang tau ilmu agama. Bibit bebet bobotnya sudah terukur dan orang tuanya sangat di segani! Jadi aku mohon, jangan bertindak seenaknya sendiri tanpa tau aturan yang harus dan wajib kita jaga, mengerti!"
Kali ini Ratini diam saja, aku melangkah pergi meninggalkannya. Rasanya tenagaku terkuras habis oleh kelakuannya.
"Pak, kita kesalon biasa!" perintahku pada Pak Sobri yang langsung di anggukan. Kali ini Ratini hanya diam saja.
"Kita nyalon di salon kampungan! Tapi aku biasa kesana dan Abi juga sudah melihat sendiri dan menyetujuinya kalau salon itu fix, salon langgananku."
Ratini tak menjawab, dia hanya membuang muka menatap keluar jendela mobil.
Tiba di sebuah Salon langgananku kami turun, terlihat dari binar mata Ratini ada sebuah kekaguman.
"I-i-ini salon para artis yang sering aku lihat di TV!" gumamnya.
"Iya ini salon kampungan langgananku, ada juga beberapa artis yang memang langganan di sini seperti Laudya cinta bella, shiren sungkar dan zaskia. Bahkan kami pernah bertemu dan nyalon bareng."
Terlihat wajah kaget dari rautnya. Aku tersenyum puas karena bisa membalas tentang pandangan dia yang katanya kampungan! Aku pikir selera dia yang lebih rendah dari aku!
"Selamat siang, Umi Salma..." seorang pelayan yang telah faham betul tentang aku walau menggunakan cadar.
"Selamat siang, Mbak."
"Silahhkan, ada yang perlu kami bantu?"
Aku langsung mengode pada pelayan itu juga Ratini agar mereka berbicara tentang apa yang akan dilakukan dan di inginkan Ratini.
Aku memilih duduk diruang tunggu, beberapa saat duduk Hpku berdering. Kulihat sebuah chat dari Mila.
Video pernikahan Abi dengan Nita berjalan lancar, di sana Abi mengucapkan ijab kobul setelahnya acara cium tangan. Ada rasa pedih sedikit menyeruak dari dalam hatiku. Andai saja kamu mau berbicara pelan tentang poligami pasti dengan ikhlas aku akan mengiyakan. Seperti sekarang ini, kamu menikahi Nita, aku ikhlas walau memang semua untuk balas dendam.
Kuusap Air mataku yang kemudian akhirnya aku tersenyum, setidaknya semua rencanaku berjalan dengan mulus. Tinggal menunggu kepulangan mereka, menghadirkan madu untuk melawan lebah yang telah menyengat tanpa tau tempat! Ya, lebah itu adalah Ratini!
=====
Kami melangkah menuju mushala rumah sakit, Umi Sepuh terus saja mengandeng tanganku tanpa terlepas."Kita akan berdo'a disana, meminta pada sang pencipta agar Usman baik-baik saja!" Umi Sepuh berkata yang aku jawab dengan anggukan saja.Setelah salat dan berdo'a, Umi Sepuh membalikan badannya. Dia menatapku sendu."Apa kamu menyesal telah menikah dengan anakku, Sal?" tanya Umi Sepuh tiba-tiba.Aku menggelengkan kepala, "tidak sama sekali, Umi. Salma yakin semua yang terjadi pada Salma adalah garis tuhan yang telah tertuliskan bahkan sebelum Salma lahir.""Selama ini Usman tak pernah memberimu kebahagian, mungkin semua inilah karmanya. Aku sendiri begitu sedih dengan semua ini, apalagi kamu yang telah tersakiti.""Sedih itu manusiawi, Umi. Namun bukan berarti menyesal dan merutuki nasib. Salma ikhlas menjalani semua ini."
Abi berhenti sejenak, melihat di mana tengah berdiri Ratini dan Hendi. Sedangkan Umi Sepuh terlihat duduk dengan tatapan sendu.Ada apa lagi ini? Batinku. Abi melangkah dengan pelan. Mendekat pada Umi Sepuh yang tengah terduduk."Akhirnya Abi pulang juga! Hai... Mba, gimana kabarnya?" Ratini berbasa basi menanyaiku. Aku sangat yakin jika mereka berdua ada maksud tertentu."Mau apa kamu kesini?" cetus Abi dengan tatapan tak suka.Ratini justru tersenyum, dia seolah sedang mengejek dengan pertanyaan Abi."Senang ya... Sekarang jadi istri satu-satunya Abi Usman sang Sultan!" Ratini berjalan mengitariku. Apa maunya?"Katakan, ada apa kalian datang kesini!" kali ini aku bersuara sedikit lantang."Duh...duh.... Sepertinya dua pasang suami istri ini sudah tak sabar untuk berganti nasib!" Dengan sombong R
Dengan rasa berdebar aku masih terus memandang pada mobil Abi yang baru datang, karena memang semua kaca yang hitam membuat kami tak tahu apakah Abi sendiri atau orang lain.Pak Sobri keluar lebih dulu dari sisi kemudi. Kalau Pak Sobri saja sudah boleh pulang berarti?Pak Sobri membuka pintu sisi belakang, dari samping ada Bagus yang keluar dan belakang Bagus Abi-lah yang menampakan wajahnya."Umi sepuh!" pekiku melihat wanita yang baru saja pintunya dibukakan oleh Pak Sobri.Aku langsung berlari mendekat, rasa haruku tak dapat kutahan lagi."Umi Sepuh baik-baik saja?" tanyaku khawatir pada wanita itu.Dia tersenyum, "aku baik-baik saja, Sal.""Syukurlah, Umi. Salma sangat khawatir.""Tentulah seperti itu, orang yang sudah menganggap Umi sebagai orang tuanya pasti akan sangat mengkh
"Sudah... Ayo kita pergi mengantar Ami dulu, nanti kita bicarakan setelah pulang!" Abi kali ini berkata tenang. Mungkin hanya menutupi saja, aku yakin dia sedang tak baik-baik saja.Aku mengangguk dan keluar, semua sudah siap untuk pergi mengantar Ami kepembaringan terakhir. Bahkan Abi meminta untuk mengantikan orang yang telah siap menopang keranda Ami.Aku dipapah Bik Sani yang juga tak surut tangisnya mengantar kepergian Ami. Sungguh aku tak kuat melihat Ami untuk terakhir kalinya. Saat tubuh Ami dimasukan keliang lahat, aku kembali tergugu, rasanya sesak sekali melihat orang yang telah merawatku dari kecil kini pergi untuk selamanya. Belum lagi aku sempat membalas jasa-jasanya.Abah terlihat tegar, walau aku tahu dia juga sangat kehilangan Ami. Karena selama ini dialah yang telah menemani hari-harinya. Sedangkan aku? Anak satu-satunya jauh darinya. Hingga kadang mereka mengeluh kesepian. Ya Allahhh.
Aku terbengong ketika Abi mengatakan bahwa kemarin sempat bersitegang merebutkan Nita. Kenapa Abi tak mengatakannya? Apakah ini yang membuat Abi semarah itu padaku, hingga merasa aku tak patut di maafkan! Aku menatap satu persatu dari Mila, Nita sampai Abi. Tak terkecuali Bagus. Mereka hanya terdiam dan lebih banyak mengangguk ketika Abi berkata."Sekarang kalau kamu tak percaya, tanyakan saja pada istriku yang merencanakan semua ini jika sungguh aku tak tahu apa-apa!" Abi menatapku."Maaf, Abi! Aku juga minta maaf, kemarin aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai abdi negara dan melindungi Nita yang notabennya masih di bawah umur. Jadi saat aku ketahui bahwa Nita sudah menikah di usianya yang masih belum genap 17 tahun, kami melakukan investigasi."Jadi Bagus ini seorang polisi? Pantas saja tubuh dia begitu atletis."Sekali lagi maafkanku, Bi! Yang menyeret kedalam rana hukum."
Aku berusaha bersikap biasa, Abi masih diam. Tak ada banyak kata seperti biasa, bahkan dia memilih menghindar dariku. Mungkin saja dia masih kecewa atas apa yang telah aku lakukan. Terlebih tenyata Nita memang sudah benar-benar bercerai, aku tahu karena Nita memberitahuku lewat sambungan telfon."Sal! Usman akan pergi keluar kota, coba kamu ikutlah!" perintah Umi Sepuh saat kami makan malam.Kutatap Abi yang masih sibuk makan tanpa terganggu dengan apa yang baru saja disampaikan Umi Sepuh."Tapi, Umi... Salma tak ingin jauh dengan Juna dalam waktu lama. Lagian takut juga menganggu Abi." aku tertunduk, masih ada rasa segan pada Abi."Usman!" kali ini Umi Sepuh beralih pada Abi."Iya, Umi.""Ajaklah istrimu untuk liburan, honeymoon kedua mungkin!""Nanti saja, Umi. Aku pergi untuk urusan bisnis, kalau sampai na