Share

7. Garis Bayang

last update Last Updated: 2025-07-07 20:38:50

Kupandangi pesan itu berkali-kali.

“Kamu mulai terlalu dekat ke inti. Jangan sampai anakmu yang jadi gantinya.”

Setiap kata terasa seperti pisau yang menancap di kulitku. Ancaman itu jelas. Tapi yang membuatku lebih takut adalah… orang ini tahu caraku berpikir. Tahu bahwa aku tidak akan berhenti. Dan tahu di mana titik terlemahku.

Lita.

Aku segera menelpon Nindya. Suaraku bergetar meski kutahan sekuat mungkin.

“Kita harus bicarakan ini lebih serius. Ada orang lain. Seseorang yang lebih tinggi dari Bayu.”

Nindya tidak langsung menjawab. Tapi aku mendengar helaan napas beratnya.

“Aku tahu,” katanya akhirnya. “Aku pernah ketemu dia sekali. Tapi dia bukan tipe yang bisa kamu cari lewat G****e. Dia semacam pengatur lalu lintas uang haram di balik jaringan warisan Pak Hartono.”

“Jadi Bayu cuma pion?”

“Pion yang terlalu percaya diri. Dia pikir bisa kendalikan semuanya. Tapi begitu kamu mulai menyentuh dokumen asli, pihak atas pasti tahu.”

Kutarik napas panjang, berusaha tetap waras.

“Apa kita bisa buktiin semua ini ke polisi?”

“Belum. Kita butuh pemicu. Satu aksi nekat yang bisa jebak semuanya sekaligus.”

Aku menatap kalender. Hari ini tanggal 13. Besok… tanggal 14. Hari yang dilingkari spidol merah.

Dan aku mulai yakin, itu bukan tanggal ‘bebas’ bagi Bayu.

Itu tanggal pemusnahan.

Sepulang dari kantor notaris, aku menjemput Lita dari sekolah. Tak biasanya dia langsung memelukku erat begitu masuk ke mobil.

“Ada apa, Sayang?”

“Ada orang asing nungguin aku di depan gerbang sekolah tadi,” bisiknya ketakutan. “Dia bilang dia temennya Ayah.”

Nafasku tercekat.

“Apa dia bilang nama?”

Lita menggeleng. “Tapi dia ngasih aku permen. Aku nggak mau, aku lari ke dalam lagi. Ibu guru yang nemanin aku sampai Ayah jemput.”

“Ayah?”

“Iya. Tapi Ayah nggak dateng. Ibu guru nelepon ke rumah, katanya ibu aja yang jemput akhirnya.”

Tubuhku dingin. Aku tidak mengabari siapa pun kalau aku akan jemput Lita hari ini. Bayu pun tidak.

Berarti ada orang lain yang tahu pergerakanku. Seseorang yang bahkan sudah menyentuh keamanan anakku.

Aku membawa Lita langsung ke rumah. Lalu kukunci semua pintu dan jendela. Kutarik tirai. Mengaktifkan semua CCTV cadangan yang pernah kupasang saat renovasi rumah.

Malam ini aku tidak tidur.

Besok adalah tanggal 14.

Dan aku akan memastikan… akulah yang mulai lebih dulu.

Jam menunjukkan pukul 02.43 dini hari.

Aku duduk sendirian di ruang kerja, dikelilingi tumpukan berkas, ponsel dengan aplikasi rekam aktif, dan dua cangkir kopi dingin yang tak tersentuh. Pintu kamar Lita kukunci dari dalam, dan kunci cadangan sudah kusembunyikan di tempat yang hanya aku tahu.

Malam terlalu sunyi. Dan kesunyian begini biasanya bukan pertanda baik.

Dari laptop, aku membuka satu folder yang semula tak pernah kupedulikan. Folder dengan nama aneh: ARKA_REVISI_FINAL.

Di dalamnya, ada satu file dengan judul panjang:

“Surat Penunjukan Aset Darurat – Internal Only (RAH-14)”

Kubuka file itu.

Dan di sanalah nama itu muncul lagi. Bukan Bayu. Bukan aku. Tapi seseorang bernama Arka Satyawira.

Aku belum pernah mendengar nama ini sebelumnya. Tapi dia disebut sebagai penerima kuasa apabila pemegang utama aset—yaitu aku—meninggal atau dianggap tidak cakap hukum.

Arka memiliki hak mengambil alih semua aset, termasuk rumah, saham, dan surat-surat perusahaan Hartono Group.

Dan yang lebih mengejutkan… tanda tangan Bayu dan Om Hartono ada di sana. Tapi tanda tanganku? Tidak ada.

Aku tidak pernah ikut menyetujui dokumen ini.

Kupindai metadata dokumen: dibuat pada tanggal 14 bulan lalu, dicetak dari printer kantor cabang timur. Jam 02:14 pagi.

Siapa yang bekerja di kantor cabang timur sepagi itu?

Kutelepon Nindya.

“Aku nemu nama lain. Arka Satyawira. Dia yang akan ambil alih semuanya kalau aku mati.”

Hening di seberang.

“Kamu yakin?”

“Ada di dalam file legal resmi. Siapa dia?”

Nindya terdengar tegang. “Dia bukan sekadar nama. Dia investor lama yang pernah berseteru dengan Pak Hartono. Dulu dia ditendang keluar dari direksi, tapi tetap punya saham bayangan.”

“Saham bayangan?”

“Ya. Saham yang dipinjamkan atas nama proxy. Termasuk... atas nama Bayu.”

Deg.

“Jadi Bayu bukan pelaku utama... Dia cuma jalan masuk?”

“Dan kalau kamu mati, Arka langsung ambil alih semuanya. Tanpa perlu sidang. Tanpa perlu pembuktian. Karena kamu sudah dianggap menyetujui saat menikah dengan Bayu.”

Aku menggigit bibir. “Besok tanggal 14. Arti RAH-14 mungkin bukan tanggal acak.”

“Kalau kamu benar... maka besok kamu bukan cuma target.”

Aku menarik napas dalam. Menatap kamar Lita dari kejauhan.

“Aku akan akhiri semua ini besok. Dengan caraku.”

Pagi harinya, aku berdiri di depan cermin, mengenakan blazer hitam dan celana panjang. Rambut kutata rapi. Wajahku kututupi dengan makeup tipis, menyamarkan bekas kurang tidur.

Kali ini aku tidak akan diam. Tidak akan sembunyi.

Kubawa Lita ke rumah Nindya lebih awal. Kukatakan pada Lita bahwa bunda harus bekerja, tapi akan menjemputnya malam nanti.

Dia hanya mengangguk pelan, matanya berat, tapi percaya padaku.

Sebelum pergi, dia berbisik: “Bunda hati-hati, ya. Aku mimpi Ayah jatuh dari tangga.”

Kualihkan senyum. “Doakan Bunda lebih kuat dari tangga, ya?”

Tujuanku hari ini hanya satu: kantor pusat Hartono Group.

Di sana semua file asli, CCTV lama, dan laporan keuangan tersimpan. Termasuk akses ruang kerja Om Hartono yang kini konon dikunci mati.

Tapi aku punya kunci cadangan yang pernah diberikan Om saat ulang tahunku. Tak pernah kupakai. Sampai hari ini.

Aku akan cari tahu semua.

Dan kalau perlu—aku akan buka aib semuanya ke publik. Termasuk siapa Arka sebenarnya.

Karena sebelum mereka sempat menjatuhkanku...

Aku akan lebih dulu menyalakan peluru terakhirku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kubalas Pengkhianatan Suamiku   28: Pertarungan Terakhir

    Malam itu aku tidak bisa tidur. Lagi. Setiap kali memejamkan mata, aku melihat wajah Hartini yang pucat, suara Bayu yang bergetar, dan tatapan kosong Arka yang mulai retak.Besok adalah hari terakhir. Hari di mana semua kata-kata akan diucapkan, semua argumen akan disampaikan, dan keputusan akan dijatuhkan.Aku duduk di teras belakang rumah Pak Wibowo, menatap langit malam yang gelap. Tidak ada bintang. Hanya awan tebal yang menutupi segalanya—seperti ketidakpastian yang menggantung di atas kepala kami."Tidak bisa tidur juga?"Aku menoleh. Arjuna berdiri di ambang pintu dengan dua gelas teh hangat di tangan. Sudah jadi ritual kami—duduk bersama di malam sebelum hari penting, berbicara tentang apapun kecuali ketakutan kami."Terlalu banyak yang dipikirkan," jawabku sambil menerima gelas dari tangannya.Dia duduk di sampingku. "Bu Ratna bilang pledoinya sudah siap. Dia yakin hakim akan putuskan bersalah.""Tapi tidak ada yang pasti di dunia hukum," ujarku pelan. "Hartini dan Arka punya

  • Kubalas Pengkhianatan Suamiku   27: Pengakuan Seorang Anak

    Bayu didorong perlahan menuju podium saksi. Setiap gerakan kursi rodanya terdengar keras di ruang sidang yang hening. Paramedis membantunya berdiri—dengan susah payah—agar bisa bersumpah di depan hakim.Tangannya gemetar saat diangkat. Suaranya lemah saat mengucap sumpah. Tapi matanya... matanya penuh tekad yang tidak pernah kulihat sebelumnya.Setelah selesai bersumpah, dia duduk kembali di kursi roda. Monitor jantung portable yang terpasang di dadanya berkedip pelan—mengingatkan semua orang bahwa dia bisa saja tidak bertahan sampai persidangan selesai.Bu Ratna mendekatinya dengan tatapan lembut. "Saksi, apa Anda yakin bisa melanjutkan? Kondisi kesehatan Anda—""Saya yakin," potong Bayu dengan suara parau tapi tegas. "Ini... ini satu-satunya hal yang bisa saya lakukan untuk menebus semua kesalahan saya."Hakim Bambang mengangguk. "Silakan lanjutkan, Jaksa."Bu Ratna membuka berkas. "Saksi, tolong sebutkan nama lengkap dan hubungan Anda dengan terdakwa."Bayu menarik napas dalam—terd

  • Kubalas Pengkhianatan Suamiku   26: Hari Pembuktian

    Pagi itu aku bangun pukul lima subuh. Tidak bisa tidur lagi. Terlalu banyak yang berputar di kepala—skenario terburuk, kemungkinan-kemungkinan yang bisa salah, wajah-wajah orang yang sudah menderita karena Arka dan Hartini.Lita masih tertidur di sampingku, wajahnya tenang untuk pertama kalinya dalam beberapa hari. Aku tidak mau bangunkan dia. Biarkan dia tidur sedikit lebih lama di dunia yang masih aman.Di ruang makan, Pak Wibowo sudah duduk dengan setumpuk dokumen di depannya. Wajahnya serius, matanya merah—sepertinya dia juga tidak tidur semalam."Pagi," sapanya tanpa menoleh."Pagi," jawabku sambil menuangkan kopi. "Sudah siap?""Tidak ada yang benar-benar siap untuk hari seperti ini," ujarnya sambil membalik halaman. "Tapi kami sudah lakukan semua yang bisa kami lakukan. Sekarang tinggal eksekusi.""Bagaimana dengan jaksa? Apa mereka benar-benar bisa dipercaya?"Pak Wibowo akhirnya menatapku. "Jaksa Penuntut Umum yang akan tangani kasus ini adalah Bu Ratna Sari—salah satu jaksa

  • Kubalas Pengkhianatan Suamiku   25: Malam yang Panjang

    Hari ketiga di klinik Dr. Sari terasa seperti hari yang paling panjang. Kami semua mulai merasakan efek dari terkurung—Lita semakin pendiam, Arjuna lebih gelisah, dan Nyonya Surya yang biasanya tenang mulai tampak lelah.Hanya Bayu yang kondisinya perlahan membaik. Dr. Sari bilang lukanya mulai menutup, infeksinya terkontrol, dan dia sudah bisa makan bubur encer. Tapi dia masih sangat lemah—belum bisa duduk sendiri, apalagi berjalan."Kalau kondisinya terus membaik seperti ini, dia bisa bersaksi di pengadilan," kata Dr. Sari sambil memeriksa chart medis Bayu. "Tapi dia harus dibawa dengan kursi roda. Dan tidak boleh terlalu lama. Maksimal satu jam.""Itu cukup," ujar Pak Wibowo yang datang pagi itu dengan kabar terbaru. "Jaksa sudah atur jadwal persidangan. Empat hari lagi. Hari Senin pukul sepuluh pagi."Empat hari. Kami hanya perlu bertahan empat hari lagi.Tapi empat hari terasa seperti selamanya saat kamu tahu ada orang yang ingin kamu mati.Sore itu, Lita duduk di sampingku di ru

  • Kubalas Pengkhianatan Suamiku   24: Balas Dendam yang Tertunda

    Penangkapan Hartini menjadi berita utama di semua media hanya dalam hitungan jam. Foto wajahnya yang pucat, diborgol, dikawal polisi keluar dari rumah sakit—tersebar di televisi, koran, dan media sosial."RATU BISNIS KOTOR AKHIRNYA TERJERAT" "SKANDAL PEMBUNUHAN DAN KORUPSI DI KELUARGA HARTONO GROUP" "MISTERI KEMATIAN 20 TAHUN LALU AKHIRNYA TERKUAK"Kami menonton berita itu dari kamar hotel dengan perasaan campur aduk. Lega, tapi juga waspada. Karena kami tahu—Arka masih di luar sana."Dia tidak akan diam," kata Arjuna sambil menatap layar televisi. "Hartini ditangkap berarti jalur komunikasinya putus. Dia akan panik. Dan orang yang panik akan jadi lebih berbahaya.""Tapi polisi sudah bergerak," ujarku. "Pak Wibowo bilang mereka juga sedang kejar Arka.""Arka bukan orang bodoh. Dia pasti sudah antisipasi skenario terburuk." Nyonya Surya duduk dengan wajah serius. "Dia pasti punya rencana pelarian. Mungkin sudah keluar negeri sekarang.""Atau," Arjuna menatap kami, "dia masih di sini. M

  • Kubalas Pengkhianatan Suamiku   23: Pecahan yang Tersisa

    Kami tidak kembali ke rumah Kotagede. Terlalu berisiko. Nyonya Surya mengarahkan Pak Harto—yang asli, yang berhasil kami temukan terikat di bagasi mobil Pak Danang sebelum dia kabur—untuk menuju ke sebuah hotel kecil di pinggiran kota.Hotel itu sederhana, nyaris seperti losmen. Pemiliknya tidak banyak tanya, hanya memberi kunci kamar dengan tatapan curiga yang ditahan karena Nyonya Surya membayar tunai tiga kali lipat harga normal.Kamarnya kecil. Dua tempat tidur, satu kamar mandi, dan jendela kecil menghadap ke gang sempit. Tapi setidaknya aman. Untuk sementara.Lita langsung kutidurkan. Tubuhnya masih gemetar, matanya bengkak karena menangis. Aku duduk di sampingnya, menggenggam tangannya yang dingin sampai ia akhirnya tertidur—tidur yang tidak tenang, penuh gerakan gelisah dan erangan kecil.Setiap kali ia bergerak, aku mengelus rambutnya. Berbisik bahwa semuanya sudah aman. Meski aku sendiri tidak yakin.Di luar kamar, aku mendengar suara Arjuna dan Nyonya Surya berbicara pelan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status