LOGINPagi itu langit mendung, seakan tahu betapa muramnya hatiku.
Kami duduk berdampingan di mobil menuju kantor notaris. Di antara kami hanya ada suara radio yang samar dan denting jarum jam dari dasbor.
Aku sesekali mencuri pandang ke Bayu. Dia menggenggam setir dengan satu tangan, dan tangan lainnya menopang dagu. Wajahnya serius, tapi tidak gugup. Seolah dia tahu semua akan berjalan sesuai rencananya.
Tapi dia tidak tahu, kali ini aku juga punya rencana.
Kupastikan flashdisk cadangan terselip rapi di dalam saku blazerku, dan ponsel dalam mode perekam otomatis. Sementara Nindya sudah menunggu di kafe seberang kantor notaris, dengan kamera ponsel menghadap ke arah gedung.
“Aku sudah bicara sama Notaris Dina,” kataku membuka percakapan. “Katanya kita bisa pakai surat kuasa sementara sebelum revisi total.”
Bayu mengangguk. “Bagus. Supaya cepat.”
Kupelajari ekspresinya. Tak ada kecurigaan. Hanya kesabaran aneh yang menyelimuti dirinya—tenang, seperti hewan pemangsa yang tahu mangsanya akan segera menyerah.
Kantor notaris berada di ruko tiga lantai, modern dan rapi. Ruangan Dina hangat, penuh wangi kayu manis dan bunga kering.
“Silakan duduk,” ujar Dina ramah.
Bayu duduk lebih dulu. Aku di sebelahnya.
“Kita akan tinjau ulang isi wasiat Pak Hartono, lalu membahas distribusi kepemilikan sementara sesuai keinginan Bu Rani.”
“Sebentar, Bu,” sela Bayu. “Saya mau pastikan, ini bukan pembatalan, ya? Hanya penyederhanaan akses?”
Dina mengangguk. “Benar. Semua hak tetap seperti di surat wasiat awal. Tapi proses transfer administratif akan dibuat lebih efisien.”
Bayu menghela napas lega. “Oke. Lanjut.”
Dan saat itulah aku melihat sesuatu—tatapan cepat Bayu ke tumpukan berkas di meja. Tangannya bergerak sekilas, menyentuh folder biru, lalu menariknya mundur pelan.
Aku tahu folder itu. Folder asli wasiat. Dina tadi menyodorkan salinan. Tapi Bayu tahu yang mana yang berisi surat asli.
Dan dia ingin itu kembali.
Aku berdehem pelan. “Bu Dina, boleh saya lihat yang asli?”
Bayu menegang. Tapi Dina sudah mengulurkan folder biru itu padaku.
Aku buka perlahan. Mataku menyapu tulisan tangan khas Pak Hartono. Dan di akhir halaman...
...ada satu tanda tangan yang berbeda.
“Ini bukan tanda tangan Papa,” ucapku pelan.
Bayu menoleh cepat. “Apa maksudmu?”
Aku mengangkat kertas itu. “Tanda tangan terakhir ini... bukan Pak Hartono. Ini huruf awalnya salah. Lihat, ini bukan ‘H’, tapi ‘K’. Dan goresannya gemetar. Ini dipalsukan.”
Dina terkejut. “Saya—saya nggak pernah periksa tanda tangan itu sedetail ini…”
Bayu bangkit berdiri. “Sudah cukup. Ini cuma peralihan administrasi, bukan audit tanda tangan.”
“Tapi kamu tahu, kan, Mas?” aku berdiri juga. “Kamu tahu tanda tangan ini palsu. Karena kamu yang menyelipkannya.”
Bayu menatapku tajam. Napasnya mulai berat, tapi ia berusaha menahan amarahnya di depan Dina.
“Rani, kamu mulai ngawur,” katanya dingin.
“Dan kamu mulai panik,” balasku pelan, tanpa melepaskan pandangan dari matanya.
Dina berdiri gugup. “Mohon maaf, saya rasa… kita perlu menunda ini sampai semua pihak bisa menyepakati dengan kepala dingin.”
Bayu mendengus. “Tentu. Kami akan bicara di luar dulu.”
Tanpa menunggu jawaban, dia menarik lenganku keluar ruangan. Tangannya mencengkeram erat, terlalu erat. Tapi aku tidak melawan. Biarkan dia tunjukkan wajah aslinya.
Begitu kami keluar dari kantor notaris dan mencapai trotoar, dia mendorong lenganku lepas.
“Apa maksudmu tadi?” bisiknya penuh tekanan. “Kamu rekam aku?! Kamu jebak aku?!”
Aku tetap tenang. “Kamu bilang ini cuma administrasi. Tapi kamu lebih tertarik sama dokumen asli. Kenapa? Takut kalau orang tahu kamu palsukan?”
Matanya membelalak. Wajahnya berubah, lebih gelap, lebih buas.
“Kamu pikir kamu siapa, hah? Kamu pikir kamu bisa mainkan aku?”
“Kamu yang lupa siapa aku,” bisikku. “Aku istrimu. Aku ibu dari anakmu. Dan kamu berniat membunuh kami berdua dengan cara paling licik.”
Dia terdiam. Tapi tatapannya berubah—bukan lagi amarah, tapi bahaya. Seperti seseorang yang merasa tak punya pilihan lagi.
“Berhenti sekarang, Rani. Atau kamu bakal nyesel.”
Aku mundur selangkah. Jantungku berdegup cepat.
Dia melirik sekeliling. Tidak sadar, dari arah seberang jalan, Nindya sudah mengarahkan kamera ke arahnya.
“Kalau kamu mikir rekamanmu cukup buat bikin aku jatuh… kamu salah besar,” ucap Bayu, pelan tapi penuh racun. “Karena kamu belum tahu siapa yang sebenarnya menarik benang dari semua ini.”
Aku mengerutkan alis. “Apa maksudmu?”
Dia hanya tersenyum miring. Lalu berbalik, melangkah pergi dengan tenang. Meninggalkanku berdiri sendiri di trotoar, gemetar dalam kebingungan.
Dan saat aku hendak kembali ke dalam kantor notaris, ponselku bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal.
“Kamu mulai terlalu dekat ke inti. Jangan sampai anakmu yang jadi gantinya.”
Malam itu aku tidak langsung tidur. Ada sesuatu yang menggangguku—sesuatu yang belum selesai.Setelah Lita tertidur, aku keluar dari kamar dengan hati-hati. Di ruang tamu, Bayu masih terjaga—duduk di kursi roda sambil menatap televisi yang tidak menyala. Hanya menatap layar hitam dengan pandangan kosong."Bayu," panggilku pelan.Dia tersentak, lalu menoleh. "Rani. Aku pikir kamu sudah tidur.""Belum bisa tidur." Aku duduk di sofa di seberangnya. "Kamu juga?""Aku... banyak pikiran." Dia mengusap wajahnya dengan tangan. "Besok kan giliran Lukman bersaksi. Giliran dia bicara.""Kamu takut dia akan bilang sesuatu yang... memberatkanmu?"Bayu terdiam lama. Lalu mengangguk pelan. "Lukman bukan orang bodoh. Dia pasti tahu kalau dia sudah kalah. Dan orang yang sudah kalah... kadang akan coba seret orang lain ikut jatuh bersamanya.""Tapi kamu sudah kooperatif. Kamu sudah bersaksi melawan dia. Jaksa pasti akan pertimbangkan itu.""Aku tahu. Tapi tetap saja..." Bayu menatap tangannya sendiri.
Hari keempat persidangan dimulai dengan suasana yang lebih tegang dari hari-hari sebelumnya. Mungkin karena semua orang tahu hari ini adalah hari terakhir presentasi bukti keuangan—hari di mana Bu Ratna akan "menutup" kasus korupsi dengan bukti-bukti final yang paling menghancurkan.Atau mungkin karena di luar gedung, massa demonstran sudah berkumpul sejak subuh—ribuan orang dengan poster, spanduk, dan megafon. Mereka tidak hanya dari Jakarta, tapi dari berbagai kota—Bandung, Surabaya, Yogyakarta, bahkan Papua. Semua datang untuk menuntut satu hal: keadilan."TANGKAP SEMUA KORUPTOR!""KEMBALIKAN UANG RAKYAT!""HUKUMAN MATI UNTUK LUKMAN!"Teriakan itu terdengar sampai ke dalam gedung pengadilan, menciptakan pressure yang luar biasa besar—bukan hanya untuk Lukman dan Hotman, tapi juga untuk hakim yang akan memutuskan vonis nanti.Kami masuk lewat pintu samping seperti biasa, tapi kali ini dengan pengawalan ekstra ketat. Polisi bersenjata lengkap berjaga di setiap sudut. Sepertinya pihak
Pagi itu aku terbangun dengan kepala berdenyut. Mimpi buruk lagi—tapi kali ini bukan tentang pembakaran gudang atau penculikan Lita. Kali ini tentang angka-angka yang mengejarku, tentang 47 triliun rupiah yang berubah jadi monster raksasa yang menelanku hidup-hidup.Aku duduk di pinggir tempat tidur, menarik napas panjang. Lita masih tertidur di sampingku, wajahnya damai. Setidaknya malam ini dia tidak bermimpi buruk.Aku keluar kamar dengan pelan, menuju dapur. Arjuna sudah di sana—membuat kopi dengan mesin tua yang berbunyi keras."Pagi," sapanya tanpa menoleh. Seperti dia sudah tahu aku yang datang."Pagi," jawabku sambil duduk di meja kecil. "Kamu tidak tidur?""Tidur. Tapi tidak nyenyak." Dia menuangkan kopi ke dua cangkir, menyodorkan satu padaku. "Kamu juga?""Mimpi buruk. Tentang angka-angka."Arjuna tertawa kecil—tawa yang tidak ada sukanya. "Aku juga. 47 triliun itu... terlalu besar untuk dibayangkan. Tapi terlalu nyata untuk diabaikan."Kami duduk dalam diam sebentar, menye
Malam itu aku tidak langsung pulang ke safe house. Setelah sidang selesai, Bu Ratna meminta kami semua berkumpul di kantornya—ruang meeting kecil di gedung KPK dengan jendela menghadap lampu-lampu kota Jakarta yang mulai menyala. "Besok adalah hari yang sangat penting," katanya sambil membuka laptop. Di layar proyektor, muncul diagram rumit—alur transaksi keuangan dengan panah-panah mengarah ke berbagai rekening. "Kita akan presentasikan bukti keuangan. Ini adalah jantung dari kasus korupsi Lukman." Aku menatap diagram itu dengan kepala pusing. Angka-angka, nama perusahaan asing, istilah-istilah perbankan yang tidak kufahami—semuanya terlihat seperti jaring laba-laba yang sangat rumit. "Apa hakim akan mengerti semua ini?" tanyaku ragu. "Itulah tantangannya," jawab Bu Ratna. "Hotman akan coba buat ini semakin rumit—membingungkan hakim dengan istilah teknis, mempertanyakan metodologi ahli kami, membuat seolah-olah semua transaksi ini adalah praktik bisnis normal." "Lalu bagaima
Hari ketiga persidangan dimulai dengan suasana yang sedikit berbeda. Setelah kesaksian yang intens kemarin—Bayu yang mengungkapkan semua kejahatan, aku yang nyaris roboh di podium saksi—hari ini giliran saksi-saksi pendukung yang akan memperkuat kesaksian kami.Bu Ratna mengatakan ini adalah strategi penting: "Hotman sudah coba diskreditkan kalian dengan menyerang motif pribadi. Sekarang kita tunjukkan bahwa bukan hanya kalian yang melihat kejahatan Lukman. Ada banyak orang lain—orang yang tidak punya hubungan pribadi dengannya—yang juga jadi korban atau saksi."Saksi pertama yang dipanggil adalah Nyonya Surya.Dia berjalan ke podium dengan tongkat kayunya—langkah yang lebih pelan dari biasanya. Usianya tujuh puluh tahun lebih, tapi matanya masih tajam. Setiap ketukan tongkatnya di lantai kayu terdengar seperti palu hakim—tegas, tidak bisa dibantah.Dia bersumpah dengan suara yang jelas meski bergetar karena emosi yang tertahan."Saksi, tolong sebutkan nama lengkap dan hubungan Anda de
Setelah istirahat lima belas menit, sidang dilanjutkan. Kali ini, giliran aku yang dipanggil ke podium saksi.Jantungku berdebar sangat keras saat aku berjalan ke depan. Ratusan pasang mata menatapku—wartawan, penonton, hakim, Lukman. Tapi yang paling membuatku gugup adalah kamera—kamera yang menyiarkan langsung ke seluruh Indonesia. Jutaan orang sedang menontonku sekarang.Aku bersumpah dengan tangan gemetar, lalu duduk di kursi saksi. Bu Ratna berdiri dengan senyum menenangkan—seperti dia tahu betapa gugupnya aku."Saksi, tolong sebutkan nama lengkap dan hubungan Anda dengan kasus ini.""Nama saya Rani Kartika. Saya istri dari Bayu Sasmita. Dan saya... korban dari percobaan pembunuhan yang diperintahkan oleh Lukman Hadiwijaya."Suaraku bergetar di awal, tapi perlahan menjadi lebih stabil."Saksi, kapan Anda pertama kali tahu tentang kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa?""Tahun lalu. Setelah surat wasiat almarhum Hartono Sasmita tiba di rumah saya. Di surat itu, saya ditunjuk seba







