"Mas yakin Kamu sengaja usil begini biar Ibu kesal dan membawa Minah untuk pulang kan?" Tanya Mas Ahmad saat kami akhirnya memutuskan duduk di belakang rumah Pak Darmaji. Aku sengaja mengajak Mas Ahmad untuk ngumpet terlebih dahulu. "Ya gimana lagi, wanita itu kegatelan dan ibu juga aneh karena seperti ingin membuat mas itu dekat sama dia. Mumpung Dia sedang berbaik hati menawarkan pekerjaan alangkah baiknya diterima saja. Siapa tahu habis mencabuti rumput di sana dia langsung lahiran dan pergi dari desa ini.""Istriku ini memang usilnya nggak ketulungan. saat kecil pasti kamu sangat tomboy ya?" Mas Ahmad terkekeh saat mengatakan hal ini. "Nggak juga, aku kalem dan tidak neko-neko. Sama persis saat lagi diajak ngamar sama suami sendiri," kekehku.Dari kejauhan aku melihat ibu dan Mina berjalan menuju ke rumah. Aku melihatnya dari belakang rumah dokter muji dan akhirnya aku pun tersenyum pada mas Ahmad."Kan? Aku bilang juga apa? Mana mungkin wanita itu dengan sukarela mau membantumu
Aroma masakan tercium dari radius terdekatku. Aku yang baru selesai sholat magrib berjamaan di masjid pun langsung penasaran dengan bau sedap dari dalam rumah. Aku mengucapkan salam bersama dengan Mas Ahmad dan terlihat Ibu sedang menikmati makanan lezat di atas meja.“Wuih, makan makan nih!” ucapku yang langsung duduk di samping Mbak Mita. Mata kakak iparku langsung menajam saat aku pura pura dekat dengannya. Padahal bukan karena ingin makan makanan yang ada di meja, hanya ingin terlihat akur saja dengan ibu mertua. Lelaki yang menjadi suamiku pun tersenyum. Dia yakin aku adalah wanita yang istimewa karena bisa sesabar itu membaurkan diri dengan keluarganya yang sangat sangat menyebalkan itu.“Dari siapa, Bu?” tanya Mas Ahmad.“Dari Minah, tadi dia belikan di kedai baru depan sana. Dia bilang kenal dengan pemiliknya, jadi banyak bonus dan dikasih kita semua. Minah memang wanita yang gaul dan nggak kampungan. Teman temannya pengusaha semua, makanya dapat kemurahan seperti ini,” puji
“Abang abang kalau mau main ke rumah mertua Nina, kabari dulu ya? Takutnya nggak ada persiapan, nggak enak kan kalau disajikan air putih doang,” ucapku.“Sip, nanti Abang kabari. Nunggu Bang Cakra libur ya, dia kan yang kantor sendiri.”Dari ketiga kakak kakakku, hanya Bang Cakra yang memang mempunyai pekerjaan mapan. Dia kerja di perusahaan pengiriman barang dan menjabat sebagai orang penting di sana. Sebenarnya belum lama sih dia bekerja di sana, baru setelah satu tahun pasca aku menikah, jabatan Bang Cakra yang tadinya hanya karyawan biasa akhirnya diangkat menjadi Manager di kantornya. “Bang Angga, ngantor makanya. Jadi nggak nganan kalau Bang Cakra terlihat ganteng dengan setelan jasnya sedangkan Bang Angga masih dengan celana sobeknya. Euu … nggak banget,” kekehku.“Ya nggak apa apa, meski pakaian tak modis tapi ciwi ciwi udah nganteri di belakang layar udah kayak panjangnya antrian BLT, Dek. Jangan salah! Sedangkan Bang Cakra, beuh .. mana ada pacar. Teman dekat saja nggak a
Aku hendak pergi berjualan. Aku bungkam tanpa suara apapun selain tangan yang aku ulurkan dan bersalaman dengan suamiku. Jika biasanya aku selalu menyemangatinya kali ini aku diam saja. "Kenapa sih? Tumben banget pagi-pagi udah manyun.""Lagi pengen nelen orang jadi nggak usah tanya-tanya. Nina pergi dulu, assalamualaikum.""Waalaikumsalam. Semangat Sayang, semoga jualannya laris manis Tanjung kimpul.""Min."Aku menjawabnya dengan malas dan langsung keluar dari kamar. Aku mengabaikan suara Jani yang sudah berteriak meminta uang saku. Aku sedang kesal pada kakaknya dan aku juga sedang tidak ingin berbicara dengan keluarga suamiku yang sangat menyebalkan semuanya."Mbak, uang sakunya mana? Udah diminta dari tadi juga," pinta Jani dengan raut wajah kesalnya."Emangnya aku mbakmu apa! Minta tuh sama Mbak kamu yang kaya raya dan sombong!""Mbak Mita nggak ada duit, Mbak Nina aja. Udah sih, ini Udah kesiangan loh."Untuk pertama kalinya aku memasang wajah kesal kepada bocah remaja itu. Me
Aku langsung berjalan dengan cepat menuju ke rumah. Aku mengabaikan ketika orang yang sedang ngerumpi di depan rumah dengan para tetangga dan langsung nyelonong tanpa menyapa mereka. Aku yakin setelah ini aku menjadi bahan kibahan selanjutnya dan aku tidak peduli tentang itu lagi. Hidup bertetangga apalagi bersama dengan mertua memang harus tebal telinga dan juga hati biar nggak selalu kurus termakan emosi.Aku langsung masuk ke dalam kamar mandi dan menuntaskan hajatku di sana. Rasanya mendadak mules dan tidak bisa lagi menunda-nunda untuk mengeluarkannya. Makanan yang dijualkan oleh Bu Hartati benar-benar enak dan luar biasa tetapi karena aku yang memakai level tinggi untuk bisa menikmatinya akhirnya perutku sakit sendiri dan mules karena terlalu kebanyakan cabai. Sudah lama aku berada di dalam kamar mandi sampai benar-benar merasa lega. Aku pun memutuskan untuk langsung istirahat di kamar dan mengunci pintu kamarnya agar tidak diganggu oleh para wanita di depan sana.Terdengar gedo
Sepertinya aku tidur cukup lama karena saat aku bangun suara adzan sudah berkumandang dan itu artinya aku sudah 3 jam tidur Setelah Mas Ahmad memijitku dan membalurkan minyak kayu putih pada tubuhku. Hal yang membuat aku merasa lebih baik adalah Mas Ahmad yang lebih mendengarkan keinginanku daripada permintaan dari keluarganya itu. Permintaan yang sampai saat ini belum pernah dikabulkan oleh mas Ahmad adalah pindah dari rumah ini karena bagi Mas Ahmad baktinya pada sang ibu adalah Dengan menemani sang Ibu meskipun berdarah-darah dan penuh cacian.Sebenarnya hal ini sangat keliru karena berbakti tidak harus dengan satu rumah tetapi sepertinya Mas Ahmad hanya mau pindah jika kami memang sudah mempunyai rumah yang menetap dan bukan ngontrak. Kata Mas Ahmad Jika ngontrak sama saja seperti aku membuang-buang uang yang tidak menghasilkan apa-apa dan itu aku pikir masuk akal. Jika saja ada rumah murah yang bisa dikredit 200.000 sebulan pasti sudah aku ambil meskipun harus membayarnya seumur
Berhubung aku libur nggak jualan, aku bantu Mas Ahmad bebersih di rumah Pak Darmuji. Sekalian aku pun ingin menemaninya seharian ini. Aku sangat senang karena Mas Ahmad pun tak keberatan, Pak Darmuji pun terlihat datang berkunjung lagi pagi ini.“Tumben awal datangnya, Pak?” tanyaku pada Pak Darmuji.“Iya. Mau mengecek sudah atau belum pembersihan halaman rumahnya. Kamu lagi nggak jualan, Nin?” tanya Pak Darmuji.“Nggak, Pak. Lagi pengen nempel sama ayang, soalnya dianya udah jadi perangko hati Nina, Pak,” kekehku.“Ealah, bucin Mad istrimu ini,” kekeh Pak Darmuji. “Ini ada titipan dari Elle, dia baru pulang dari Jakarta. Katanya mau sampai dulu di Cilacap nyambut abangnya.”Aku menerima bungkusan putih besar dari Pak Darmuji. Dari aromanya sungguh enak dan lezat. Aku mempersilahkan Pak Darmuji duduk di teras dan mengambilkan air dari galon yang ada di sana.“Dalamnya sudah dikosongkan semua, Nin?” tanya Pak Darmuji.“Lah, memangnya harus dikosongkan, Pak?”“Ya iya, itu semua barang b
"Loh, apa ini, Nin?"Ibu mertuaku terlihat terkejut saat aku pulang dengan membawa banyak perabotan bekas ke rumah."Lumayan dikasih bekasan, bisa buat perabotan dasar sebelum punya rumah sendiri," jawabku."Barang bekas mau buat apa? Sampah!" sindir Mbak Mita. "Situ nggak mampu beli ya?""Ini memang sampah tetapi masih bisa dipakai dan digunakan dengan baik. Nina membawanya pulang juga bukan buat ibu maupun Mbak Nita pakai tetapi untuk digunakan Nina saat nanti punya rumah sendiri," jawabku.Mereka benar-benar orang yang songol dan menyebalkan. Barang yang aku bawa pulang ini belum rusak-rusak sangat dan masih sangat layak untuk dijadikan barang-barang koleksi isi rumah. Ada spring bed dan juga televisi serta lemari pakaian dan juga lemari bufet. Ada juga berbagai peralatan dapur yang tentu masih sangat bagus dan apik untuk dipakai."Mau ditaruh di mana semua barang-barang ini? Yang ada menu-menuhin lemari!" tanya Ibu."Sementara ini ditaruh di luar dulu katanya Mas Ahmad. Kalau mema