...
“Loh, kok kamu di sini, Nin?” Ibu mertua tampak kaget begitu sampai ruangan Mas Ahmad dan melihatku yang sudah ada di sini.“Lah, Mbak Mita tadi nggak tanya Nina ada di mana. Asal nyerocos ae … malu nggak?” sindirku pada Mbak Mita. Dia melengos dan memilih duduk di kursi samping ranjang Mas Ahmad.“Kok bisa gini, sih, Mad? Mbak loh sudah bilang, nikah sama Nina itu bikin apes dan ekonomi seret. Wetonnya itu tiban apes. Ya jadi gini ‘kan kamu?” ucap Mbak Mita.Sungguh nih ipar kagak ada akhlak banget sumpah. Apa coba mengatakan hal seperti itu. Bahkan, Ibu mertua juga tidak membelaku sama sekali.“Nggak ada kaitannya sama weton, Mbak. Ahmad lagi apes aja. Jani nggak ikut?”Aku tahu Mas Ahmad sedang mengalihkan pembicaraan. Sedangkan aku memilih keluar ruangan Mas Ahmad. Malas harus mendengarkan ocehan ipar macam Mbak Mita. Bukan enak didengar, yang ada bikin telinga disko rutinan.“Mau ke mana, Nin?” cegah Mas Ahmad saat tanganku ingin menarik gagang pintu.“Ngadem bentar di luar. Di sini gerah, banyak hawa alam baka,” sarkasku lalu pergi begitu saja.Aku berjalan menuju ruang tunggu pasien yang berada di depan ruangan para pasien. Sembari menunggu para keluarga Mas Ahmad berembuk hal unfaedah di dalam, aku memilih membuka ponsel sambil memainkan aplikasi facebok yang hanya mode picek bin buta ini. Maklum gaes … namanya juga kaum gratisan. Beruntung ni aplikasi berbaik hati menyediakan layanan baca hanya teks. Coba tambahin layanan, hanya baca takdir masa depan. Aih …Bosen menscroll status tanpa gambar, aku memilih memasukkan ponselku kembali. Memainkan kaki, mengayunkan ke depan dan belakang sambil mengapit kedua tangan di sela-sela pahaku. Bukan dingin, tapi rasanya kek bosen aja di rumah sakit. Aku berpikir untuk jalan-jalan di rumah sakit ini. Aku bisa menganggap ini wisata keliling gratis, mana rumah sakitnya gede banget lagi. Pasti pemiliknya orang kaya raya yang uangnya nggak berseri. Keknya kalau uangnya jatuh di depanku satu gepok, dia nggak bakalan kerasa kehilangan kalinya.Baiklah. Aku memilih bangkit dan berjalan-jalan ke sekeliling koridor rumah sakit. Siapa tahu kehaluanku menemukan uang segepok milik orang tajir jadi kenyataan.Aku mengitari ruang demi ruang, dari ruang inap sampai ruang obat dan bedah. Semuanya tampak bagus. Tapi sebagus-bagusnya rumah sakit, kagak bakalan enak ketika sudah memasukkinya. Contohnya Mas Ahmad.“Nin.”Suara yang berasal dari belakang, membuatku enggan menengok. Nyatanya, di sampingku ada ruang jenazah yang sialnya sudah aku lewati.“Nin.”“Ya Tuhan, tolonglah hambaMu ini dari gangguan syetan yang terkutuk,” bisikku, berharap si setan di belakangku pergi.“Nin, ini kamu?”Suara itu? Sumpah, horor banget dah. Mana ada suara mantan di ruang jenazah. Fix, ini gangguan setan mantan yang mengusik konsentrasiku.“Please, jangan ganggu aku, Tan oh Setan. Aku anak baik, istri baik dan menantu yang baik,” ucapku menangkupkan kedua tanganku sambil berbalik dengan menutup mataku. Aku ingin berlari dan kembali saja ke ruangan Mas Ilham.“Nin.”Aku merasa tanganku dicekalnya. Aku pun hendak berteriak dan tangannya justru membungkamku.“Jangan teriak. Ini Abang.” Suara itu membuatku memberanikan diri membuka mata.“Bang Asraf?”Aku hampir tak percaya. Kenapa aku bisa bertemu dengan lelaki yang dulu pernah dekat dan … oh, nggak. Ini pasti mimpi.Aku mengucek mataku tak percaya, mengedipkan netra ini tiga kali. Siapa tahu ini mimpi dan orang yang tadi ada di depanku ini hanya ilusi tak bertepi. Wes, mirip karo lagu mbok.“Kamu kira ini mimpi, ya? Sama. Abang juga. Kamu apa kabar?” tanyanya sambil tersenyum.Senyum itu, ya Tuhan. Manis syekali sumpah, Merqueen aja lewat sama senyum Bang Ashraf.“Ba-ik. Abang a-pa kabar?” tanyaku gugup. Mungkin lebih ke salah tingkah plus malu. Melihat penampilan Bang Asraf, mendadak aku ingin pesan pintu ajaib Doraemon untuk kembali ke masa enam tahun yang lalu saat kami masih sama-sama di bangku SMA.“Baik. Kamu sedang ngapain di rumah sakit ini?” tanyanya lembut, selembut sprei Bonita. Lembut, halus dan tidak akan luntur. Eih“Eh, itu, anu.”Walah ini mulut kenapa jadi kek kaset jaman dahulu yang suka ngadat sembarangan. Napa sih ketemu mantan di saat yang nggak tepat? Mana aku masih pake gamis obralan bekas 10 rebuan lagi. Lebih ke malu aja sih, padahal biasanya juga malu-maluin.“Kita berbincang di sana saja, bisa? Masa kita ngobrol di depan ruang jenazah. Nanti dikira mau talqin mayit.”“Ah, Abang, Mah. Merinding ini,” pungkasku tertawa kecil dan kemudian langsung ikut duduk di kursi yang tak jauh dari ruangan Mas Ahmad.“Lama nggak jumpa, masih awet ya wajahnya. Sama sekali nggak pangling Abang sama Nina,” ucapnya.“Masa? Tambah kucel iya, Bang. Mana bukan SPG lagi sekarang pekerjaannya. Sekarang jadi pengacara doang.”“Iyakah?”“Iya. Pengacara, pengangguran banyak acara,” kelakarku sambil tersenyum kecil.“Bang Asraf, kerja di sini?”“Nggak. Temani Fildan praktek aja. Abang lagi libur.”“Dokter juga?”“Alhamdulillah. Berkat doa kamu. Kamu udah nikah?”Eih … ini nih yang suka kadang menggoda iman istri yang berniat solehah sama suami. Mau jujur udah nikah, takut dia jaga jarak. Nggak jujur, takut paginya datang bawa rombongan buat ngelamar. Wes, angel … angel.“Alhamdulillah, Bang. Udah,” lirihku.Ada raut kekecewaan tergambar dalam wajahnya, namun aku mencoba menetralkan juga gedoran setan yang mengganggu imanku ini. Siapa sih yang nggak terseponga pada sosok lelaki extra sempurna ini. Mana ganteng, tajir, dokter lagi.“Syukurlah. Selamat, ya. Lagi ngapain di rumah sakit?”“Suami Nina kecelakaan kerja tadi. Kakinya kejatuhan coran bangunan.”“Innalillahi, Abang ikut prihatin. Dirawat di kamar berapa?”“Kamar Dahlia 32.”“Oh, semoga cepat sembuh, ya, Nin. Parah ya?”“Lumayan. Sepertinya harus libur nggak kerja.”“Nggak apa, rezeki nggak akan ke mana, pasti ada saja. Tinggal di mana sekarang?”Dari nada dan cara dia bertanya sudah berbeda dari saat awal tadi berbincang, sebelum Bang AShraf tahu statusku sudah beristri.“Di rumah mertua. jl Belimbing, Wanasiri.”“Baiklah kalau begitu. Semoga lain waktu bisa bertemu lagi. Boleh minta nomer telepon? Siapa tahu nanti lewat sana dan Abang bisa mampir.”“Mampir? Jangan deh.”“Kenapa?” tanyanya kaget. “Oh, pasti dimarahi suamimu, ya?”“Enggak. Nggak enak aja.”“Tapi boleh dong minta nomer WA? Siapa tahu akan ada acara reuni nanti, kamu bisa ikut. Selama ini kamu nggak pernah nampak di acara reuni sekolah kita.”“Hehehe, iya. Nggak pede,” jawabku jujur.“Kenapa? Hidung masih berlubang. Mata ada dua, kaki dua, tangan dua. Masa kalah sama yang nggak sempurna.”Aku hanya tersenyum dan pertemuan ini menjadi berkesan karena sikap Bang Asraf yang tidak macam-macam dan tidak membahas hal yang lebih jauh mengenai keluargaku. Kami juga hanya berbincang sebentar dan dia pamit setelah dirasa cukup mengetahui kabarku. Mantan oh mantan, bisa aja bikin hati ini jumpalitan. Dalam hati ini sudah diceramahi habis-habisan, agar mengamankan kodrat sebagai istri....“Habis dari mana? Suami lagi sakit malah kamu ngeluyur,” sembur Mbak Mita.“Suka-suka Nina. Daripada di sini liat Mbak Mita, lama-lama bisa ikutan sakit. Mas, Nina pulang dulu, ya? Mau balikin motor sekalian ambil baju ganti,” pamitku.“Eh, nggak usah. Kelamaan nanti di rumah kalau kamu yang pulang. Biar Mbak aja sama Ibu yang pulang ke rumah,” cegah Mbak Mita.Alah, aku tahu modusnya. Palingan dia malas berlama-lama di rumah sakit. Mana bisa dia direpotkan sama aku dan yang lain. “Nggak usah, Mbak. Nina bentaran doang. Ngapain lama-lama. Kayak nggak ada kerjaan aja di sini.”“Ya emang gak ada. Kamu kan kerjaannya cuma nyusahin Ahmad.”Aku memutar bola mata jengah. Ibu mertua hanya diam saja, tak ikut menyela atau mendebat pernyataan Mbak Mita yang terdengar sangat tidak sopan.“Mad, Ibu pulang dulu, ya? Jani takut nyariin. Malam ini sama Nina saja di rumah sakit nggak apa, kan? Besok Ibu ke sini pagi-pagi sekalian bawa sarapan buat kamu dan Nina. Ya?” pamit Ibu mertua.“Ya, Bu. I
Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, Mas Ahmad bisa pulang. Jangan ditanya biaya rumah sakitnya. Sebanyak dosa tetangga yang suka gibahin aku setiap hari. Beruntung sebagian biaya rumah sakit ditanggung BPJS sehingga aku masih sanggup mmebayarnya.“Kalau suami sakit itu, nggak usah ngelayap terus,” ucap Mbak Mita dengan nada menyindir saat aku baru hendak pergi ke warung. Sudah seminggu, kondisi Mas Ahmad belum bisa berjalan sendiri dan aku yang harus membantunya banyak hal.“Mau ke mana, Mbak?” tanya Jani.“Ke depan. Kenapa? Mau kasih ongkos jalan?”“Nitip beliin seblak sih,” perintahnya.“Beli sendiri, kakinya masih kuat jalan kan? Kalau udah nggak bisa jalan, tuker tambah saja sama kaki gajah,” selorohku.Aku berjalan mengabaikan wajah wajah yang mungkin saja kesal karena ucapanku. Bodo amat lah, aku lagi mode suntuk. Bagaimana tidak, biaya rumah sakit Bang Ahmad yang ditanggung BPJS sisanya aku bayar sendiri. Uang simpanan harus terkuras dan keluarga Mas Ahmad tak ada yang m
Sejak aku minta izin kerja dan ditolak mentah mentah sama Mas Ahmad, aku pun hanya bisa pasrah. Setiap hari, Ibu mertua merepet dan meminta banyak hal padaku. Menyuruhku ini itu, sampai telinga rasanya panas dan berdengung. Lagi lagi, emosiku hanya reda jika Mas Ahmad sudah menenangkanku. Sabar. Begitu yang Mas Ahmad selalu ucapkan. Entah sampai kapan sabar ini harus aku jalani. Nyatanya, paket sabar unlimited tak mungkin dijual di toko kelontong sehingga aku pun berada di titik jenuh dan stress setiap hari nya.“Ahmad belum sembuh?” tanya Mbak MIta dengan tatapan mengejek seperti biasanya.“Liat aja di dalam, pake tanya lagi,” jawabku malas, tanganku fokus mencabuti rumput.“Ditanya songong!”“Situ nanya belagu! Setiap hari pertanyaannya sama, nggak ada pertanyaan lain apa? Bosan dengernya,” jawabku.Semakin hari, diladeni dan disabarkan mereka semakin melunjak. Mereka selalu saja memancing amarahku bahkan dengan mengatakan hal-hal yang kadang membuat ku harus mengeluarkan kata-kat
Pagi hari aku sudah bangun awal. Sengaja agar Ibu dan Jani belum bangun, aku sudah selesai. Aku tak mau mereka ribut, mencari perkara dan memakan semua hasil yang sudah aku siapkan sejak semalam. Aku Menggoreng sempolan, lalu meletakkannya dalam wadah kotak hadiah sabun yang aku simpan di kamar. Tentu saja aku simpan yang sekiranya bisa aku gunakan, jika di luar akan lenyap dalam seketika. 50 tusuk sempol aku buat. Aku pun bisa mendapatkan 50 ribu jika sampai habis nantinya karena aku menjualnya 1000 per tusuk.“Ini buat Mas, udah Nina sisakan. Buat Ibu dan Jani juga sudah di atas meja, sarapan udah Nina masak juga. Jadi, boleh Nina berangkat sekarang?” tanyaku.“Ini masih jam 6, Nin. Nggak terlalu pagi?”“Biar banyak yang beli, Nina pergi dulu ya?” Aku bersalaman pada mas Ahmad sebelum pergi.Saat keluar dari kamar aku melihat janin yang sedang menikmati Sempur yang aku sisakan. Terlihat Dia sangat menikmati dengan nasi hangat yang sudah aku masak."Kamu habiskan semua, Jan?" tany
"Laris?" tanya Mas Ahmad begitu aku sampai di kamar. Dia tersenyum kalau membiarkan ku duduk di sampingnya."Alhamdulillah. Setidaknya aku bisa membeli bahan lagi untuk jualan besok. Hari ini belum terlihat hasilnya tetap insya Allah besok pasti bisa lebih banyak lagi. Hanya sisa 5000, boleh aku tabung?" tanyaku.Mas Ahmad tersenyum lalu meraih tanganku dan mengusapnya."Itu hasil dari pekerjaanmu dan gunakan apapun sesuai dengan keinginan. Asal, kamu tidak punya rasa sombong dan juga tidak boleh berbangga diri meskipun sudah mencari uang sendiri.""Insyaallah, Mas. Ingatkan Nina kalau lupa, ya?" ucapku.Aku mengambil toples bekas sosis yang aku simpan di dalam lemari lalu aku masukkan uang itu ke dalamnya. Uang 5000 pertama yang menjadi awal aku berjualan Sempol dan berniat akan mulai berusaha untuk bisa bangkit dengan kaki sendiri dan berusaha untuk membantu Mas Ahmad mencari nafkah."Mas udah makan?" tanyaku."Udah, sempolan bikinan kamu enak banget. Tadi Mas habiskan sama ibu," u
"Perkara ikan saja kamu bikin geger, Nina," ucap ibu mertuaku."Kalau ngambilnya ngomong sih Nggak masalah Bu, ini ngambilnya diam-diam banyak banget lagi. Di rumah Ini kan juga butuh makan dan ada 4 orang yang harus Nina penuhi perutnya biar nggak kelaparan. Isinya cuman 10 diambil 7, sisa 3. Lalu Nina makan apa?""Kamu kan bisa goreng lagi atau membelinya lagi. Apa-apa dibikin ribut, malu sama tetangga ribut sama saudara sendiri. Kamu kan juga punya uang, nggak usah pelit sama saudara sendiri.""Bukan Nina pelit, tapi Mbak Mita Yang keterlaluan. Salah Mbak Mita sendiri selalu bikin ribut sama aku!"Selera makanku mendadak hilang mendengar Ibu lebih membela anaknya yang mencuri ikan itu. Aku tidak jadi mengambil nasi dan langsung masuk ke kamar lalu merebahkan diri di atas kasur. Mas Ahmad yang mendengar perdebatanku hanya mengusap pundak lalu mengatakan sabar seperti biasanya."Sabar, Nina. Mas janji Setelah sembuh nanti bakalan beliin kamu ikan yang lebih banyak. Nggak usah diambi
"Mas, Aku senang kamu pulang. Rindu rasanya melihatmu setelah beberapa hari tidak pulang ke rumah," ucap Mbak Mita manja. Padahal biasanya wanita itu terlihat galak dengan suaminya dan kali ini terasa aneh karena mendadak menjadi manja dan genit setelah suaminya pulang dengan membawa mobil.Ramli memang bekerja di salah satu perusahaan yang terletak di kota. Biasanya selalu bolak-balik seminggu sekali dan kali ini kepulangannya menjadi istimewa karena dia membawa mobil yang cukup bagus ke rumah."Aneh sekali kalian, biasanya kan aku memang pulang tak menentu." Mas Ramli pun sepertinya heran melihat kelakuan dari istri dan juga keluarganya.Bukan hanya ibu dan Mbak Mita yang heboh melihat kepulangan kakak iparku tetapi Jani juga ikut heboh melihat mobil yang mentereng di depan halaman rumah."Ini sih keren banget! Kakak ipar berapa hari di rumah?" tanya Jani."Lusa aku sudah harus pulang karena mungkin aku akan sering bolak-balik ke rumah dan ke kantor. Sudah difasilitasi mobil dari p
“Kamu nggak ikut, Mas?” tanyaku. Aku lekas ternyata mas Ahmad nggak ikut pergi bersama dengan keluarganya. Dia terlihat tersenyum lalu aku pun duduk di sampingnya."Ikut ke mana?" "Kata tetangga tadi ibu sama Mbak Mita pergi jalan-jalan dengan mobil. Aku kira mas akan ikut," ucapku."Nggak lah, istriku sedang kerja masa aku enak enakan jalan-jalan. Mereka juga kan memang mau cari hiburan sedangkan aku cukup kamu jadi hiburan."Aku tersenyum. "Akhirnya, suamiku waras," kekehku.Mas Ahmad tersenyum. "Lagian kan memang aku nggak bisa jalan dengan baik. Yang ada nanti merepotkan mereka.""Ya nggak papa kalau memang mau refreshing di luar, Mas udah makan?" tanyaku. Melihat kondisi mas Ahmad yang belum juga sembuh-sembuh dari cedera kakinya membuat aku semakin tidak tega untuk menuntutnya banyak hal. Aku abaikan perasaan lelah ketika ditanyai oleh beberapa tetangga tentang kemampuan suamiku dalam mencari nafkah, bahkan adat dari beberapa mereka yang meremehkan kemampuan suamiku. Tuhan