"Aku sendiri tidak tahu cerita mengenai liontin itu. Yang pasti benda itu sudah melingkar di leherku sejak aku bayi. Itu keterangan yang kudapatkan dari simbok," jawab Sarita.
" Aku Sagara Arnold Waluyo, tunggu satu minggu hasil tes dna. Sementara satu minggu ini kamu bisa lakukan apa saja sesuka hatimu," papar Sagara."Apa yang harus aku lakukan, pertama bagaimana caraku memanggilmu, Tuan?" tanya Sarita dengan nada bingung."Cukup panggil aku Saga. Jika hasil dna itu cocok baru kita bahas selanjutnya."Setelah berucap, ujung jari Sagara pun menekan lagi tombol merah. Pintu terbuka dan menampilkan wajah Aulia. Gadis itu berjalan mendekat pada Sarita dan mengajak perempuan itu untuk keluar."Permisi Tuan Muda!" pamit Aulia sambil membungkukkan badannya.Sarita yang tidak mengerti tata cara keluarga tersebut hanya diam. Dia langsung berjalan keluar dari ruang kerja dan menunggu Aulia di luar, berdiri di samping pintu. Aulia pun keluar sambil menutup pintu dengan gerak pelan."Mari ikut saya ke bawah, Nona. Anda harus bertemu dengan Mbok Rukmi, beliau yang akan menjelaskan semua!"Sarita hanya mengangguk, suaranya terlihat mahal untuk dikeluarkan. Aulia terus berjalan hingga di ujung lorong pada pintu lift. Sarita terus mengikuti langkah gadis tersebut hingga masuk ke dalam lift. Di sinilah Sarita mulai membuka suara."Apakah kamu sudah lama kerja dengan keluarga Waluyo, Lia?" tanya Sarita.Suara yang begitu lembut dan pelan membuat Aulia harus menajamkan pendengarannya. Setelah yakin dengan kalimat tanya yang keluar dari bibir nona barunya itu barulah Aulia merespon dengan anggukan kepala."Saya kerja dengan tuan muda baru dua tahun, sebelumnya saya ikut nyonya di Ausi,"balas Aulia."Australia?""Benar, Nona."Ting!Lift pun berhenti setelah terdengar bunyi, kemudian pintu terbuka. Aulia pun mempersilakan Sarita untuk jalan lebih dulu. Aulia hanya mengatakan arah jalan yanh harus di lalui oleh majikan barunya.Kedua bola mata Sarita tidak henti melihat keseluruhan interior rumah tersebut. Hampir semua dindingnya berwarna biru laut, ataupu telur asin. Sarita terus melangkah hingga berhenti di ruang makan. Disana dia disambut oleh wanita paruh baya yang masih terlihat sisa kecantikannya."Selamat datang di mansion tulip, Nona Muda! Saya Mbok Rukmi," sapa Rukmi."Sarita, Mbok.""Cantik seperti mendiang nyonya muda," balas Rukmi.Lalu wanita itu berjalan di sisi lain ruang tersebut. Terlihat Rukmi menarik sebuah laci meja dan mengeluarkan sebuah album berwarna biru. Di dekapnya album tersebut saat berjalan mendekat pada Sarita, kemudian album itu diserahkan pada Sarita."Lihat dan pahami album usang ini, Nona. Semoga Anda mengerti!"Sarita menerima album usang yang masih bersih dan rapi. Lembar demi lembar dibuka perlahan, sesekali jari jemarinya mengusap gambar yang menampilkan wajah cantik. Sekilas wajah itu mirip dengan wajahnya saat masih duduk di bangku SMA."Siapa wanita yang sednag menggendong bayi cantik ini, Mbok?" tanya Sarita saat membuka lembar yang kesekian menampilkan wanita muda dengan bayi perempuan yang cantik."Itu adalah Nyonya beaar saat masih muda bersama Nyonya muda Alinsky," jawab Rukmi, "Di sampingnya, adalah Ayahnya den Sagara yang masih berumur dua tahun.""Tampan. Apa hubungan Bayi kecil itu dengan Tuan Sagara?""Bibi. Bayi kecil itu adalah ibu Nona," jawab Rukmi, "Itu yang diperkirakan oleh Den Saga, semoga benar.""Sarapan dulu, Non!" kata Aulia.Sarita menatap menu yang dihidangkan oleh Aulia, saat melihat udang krispy nafsu makannya meningkat. Dengan gerak pelan, Sarita membalik puringnya kemudian menyendok nasi, sambal dan udang. Rukmi menatap Sarita penuh haru, dia bersyukur siapa pun yang menemukan bayi merah itu adalah orang yang baik."Enak, Mbok. Boleh aku nambah?" tanya Sarita."Kenyangkan perutnya, Non. Apalagi sepertinya lagi isi ya?""Iya, Mbok," jawab Sarita.Rukmi tersenyum, kemudian dia memberesi piring dan gelas kotor setelah Sarita selesai makan. Wanita muda itu pun duduk melamun di kursi makan.Hari terus berjalan, Sarita masih aktif ke kampus jalani rutinitas sebagai mahasiswa tingkat akhir. Skripsi yang dibuat oleh Bagaskara dibiarkan saja oleh Sarita, wanita itu lebih memilih untuk membuat ulang."Apa kabar hubungan kamu dengan dosen itu, Sari?" tanya Sisil."Aku sudah keluar, hanya menunggu suray cerai saja.""Secepat itukah? Lalu sekarang kamu tinggal di mana?" tanya Sisil."Awalnya aku ingin ke rumah kamu, tetapi ... Ada seseorang yang menolongku," papar Sarita.Kedua sahabat masih berbicara saling berbagi cerita, sampai lupa waktu. Sarita tiba-tiba ingat bahwa hati ini adalah hari penentuan jati dirinya. Hasil DNA akan keluar sore ini."Aku harus pulang, maaf, Sil!""Kamu naik apa, aku antar ya!" pinta Sisil."Tidak perlu, lebih baik aku sendiri. Terima kasih!"Sisil tersenyum lalu berdiri memeluk sahabat untuk hari terakhir dalam satu minggu. Sisil menatap sendu sahabatnya, dia mengerti swmua derita yang dialami oleh sahabatnya itu. Namun, Sarita tidak pernah mengeluh akan jalan cerita hidup."Hati-hati, Sari!"Akhirnya Sarita pun naik angkot menuju ke mansion tulip. Tidak butuh waktu lama angkotnya pun sampai di depan gerbang putih yang tinggi. Wanita itu masuk melalui pintu samping khusus pejalan kaki."Sore, Pak!" sapa Sarita."Iya, Non."Sarita pun berjalan menuju ke pintu utama. Belum sampai, pintu sudah terbuka menampilkan wajah Aulia. Senyum wanita itu mengembang menyambut datangnya Sarita."Mari saya antar langsung ke kamar, Nona! Setelah beberes segera temui Tuan Saga," kata Aulia.Mereka pun segera masuk lift, beberapa waktu akhirnya sampai juga di lantai yang dituju. Sarita segera melangkah menuju ke kamar, dia langsung pergi mandi.Beberapa saat kemudian Sarita keluar dari kamar dan langsung berjalan menuju ke ruang kerja Sagara. Sarita mengetuk pintu tiga kali, baru terdengar suara dari dalam."Maaf jika aku terlambat!" ujar Sarita."Duduklah! Ini hasil tes itu. Buka saja!"Sarita terdiam, matanya menatap deretan huruf yang menyatakan kecocokan 100%. Wanita itu menatap pada pria di depannya, lalu mengangguk."Bagaimana langkah kamu selanjutnya, Sarita?" tanya Sagara."Aku ingin lahiran lebih dulu, kemudian perbaiki sikapku untuk membalas semua ini!" "Bagus. Apa perlu kamu pegang salah satu perusahaan milik Bibi Alinsky? Kebetulan ada butik juga, mungkin pas buat lancarkan rencana kamu," ungkap Sagara.Sarita terdiam. Dia belum berfikir ke sana. Yang jelas wanita itu inginkan lahiran dengan selamat, untuk pertama itu yang terlintas di otaknya. Mengenai kuliahnya hanya nunggu proses wisuda."Boleh aku bertanya, bukan, lebih tepatnya meminta bantuanmu, Saga!""Hemm!""Dua minggu lagi aku wisuda, di sana ada pria itu sebagai pendamping dekan. Aku ingin tidak datang, tolong ambilkan ijazahku. Bisakah?" tanya Sarita dengan nada rendah."Jika soal itu tidak masalah bagiku. Jangan khawatir, semua pasti akan beres.""Baiklah, aku lelah dengan kabar mendadak ini.
Sarita menuriti langkah putranya meninggalkan wanita bersama putrinya yang cantik itu. Tanpa Sarita tahu, Sagara telah melihat dan mendengar semua kalimat perempuan itu. Dahinya mengernyit, seakan dia pernah melihat wajah perempuan tersebut."Paman!" teriak Alifian saat dilihatnya Sagara berdiri dengan bersedekap dan bersandar pada badan mobil. Alifian pun berjalan cepat cenderung berlari menuju ke Sagara, dia segera memeluk kaki panjang pria tersebut. Sagara membungkuk dan meraih tubuh mungil ponakannya itu."Hai jagoan om, apa kabar?" tanya Sagara sambil berjalan menujubke sisi mobil yang lain untuk membukakan pintu Sarita. "Silakan masuk, Mama!" kata Alifian."Hehe, terima kasih, Sayang!" balas Sarita. Kemudian Sagara membukakan pintu lainnya untuk Alifian. "Masuk dan duduk yang baik!""Siap, Paman!"Sagara tersenyum, lalu berjalan memutar menuju ke kursi kemudi. Ekor matanya sempat melihat wajah kaget wanita yang menghina Sarita tadi. Senyum tipis bahkan hampir tidak terlihat t
"Maaf, Anda salah orang!" Sarita langsung melangkah pergi meninggalkan kedua orang masa lalunya.Aulia pun mengikuti langkah Sarita dari belakang sebelumnya memastikan pada salah satu karyawan untuk memerhatikan dua pembeli itu."Bunda, Bagas tidak salah lihat 'kan. Tadi itu benar Saritaku?" tanya Bagaskara."Jangan ngaco kamu, Bagas. Jangan rusak malam indah Ni Luh Ayu!" bisik Madam Anne.Wanita yang dimaksud oleh Madam Anne adalah salah satu putri pejabat penting yang meminang Bagaskara dengan alasan bisnis. Saat ini bisnis Bagaskara sedang naik dan termasuk pembisnis muda berbakat. Namun, akhir-akhir ini muncul pembisnis wanita muda yang cukup kompeten.Bagaskata masih tertarik akan sosok wanita yang menurutnya adalah mantan istrinya itu. Segera dikejarnya wanita itu, saat sampai di depan butik terlihat sosok itu masuk mobil sedan mewah berkelas dan berharga langit. Bagaskara berdecak lirih."Andai dia benar Sarita, lalu bagaimana bisa secepat itu hidupnya bisa berubah?" gumam Bag
Pembawa acara segera memulai acaranya. Satu per satu barang dilelang dengan cara bertahap. Ni Luh terlihat begitu antusias kala sebuah kalung permata bertahtakan belian rubi merah."Kak, tawar kalung itu untukku!" pinta Ni Luh Ayu."Baik, persiapkan saja uangnya!" "Iih, iya uang Kakak lah. Itu masih standart kok harganya!"Bagaaskara berdecak, dia datang karena ingin tahu sejauh mana perhelatan kaum atas. Namun, justru terjebak dengan permintaan dari Ni Luh yang sejak tadi merengek meminta barang. Padahal sejak mula wanita itu berjanji tidak akan hijau mata, tetapi nyatanya 39 juta dana Bagaskara sudah melayang untuk amal."Aku sudah gelontorkan uang sebanyak 30 juta. Apa belum cukup?" "Satu lagi, Sayang. Ya, ya!" pinta Ni Luh Ayu sambil membelai dada Bagaskara.Lelaki itu mendesah lirih, apalagi jemari Ni Luh sudah mulai berjalan menuju ke pangkal pahanya. Bagaskara melirik tajam. Ni Luh hanya tersenyum nakal."Huft huu, baiklah. Mulai lah!"Begitu mendengar apa yang dikatakan oleh
"Mama!" Seorang anak laki-laki naik ke panggung menghampiri Sarita dan Sagara. Pria kecil yang tampan berjalan tegap."Hai, Tampan. Siapa nama kamu?" tanya pembawa acara."Alifian Waluyo!""Wow, apakah ini mama dan papa kamu?" "Iya, ini keluargaku."Sagara tersenyum, lalu diraihnya tubuh mungil ponakannya dan digendong pada tangan kiri. Kemudian tangan kanannya meraih jemari Sarita dan menariknya lembut menuruni tangga. Sepasang mata menatap sosok pria kecil itu, sorot matanya mulai sendu."Mungkinkah itu benihku dulu? Tampan," gumam Bagaskara."Kau sempat tanam benihmu, Kak? Pada wanita itu, aku tidak percaya," kata Ni Luh.Bagaskara tidak memedulikan apa yang ditanyakan oleh Ni Luh, pria itu menatap terus pada tiga orang yang berjalan menuju ke sudut ruang mencari bangku yang nyaman. Pembawa acara sudah memberi kode bahwa waktunya ramah tamah."Mama, Alif haus!" ujar Alifian"Tunggu di sini, biar paman yang ambilkan. Jaga mama kamu, Jagoan!"Tanpa menunggu jawaban, Saraga segera b
"Berhenti, Kak. Apa yang Kakak lakukan, lihat semua orang menatapmu!" desis Ni Luh.Bagaskara menyentak tangan Ni Luh, dia tidak peduli. Langkahnya terus mengejar Sarita. Namun, wanita itu sudah menghilang di tengah kerumunan para tamu dan pengunjung malam amal. Bagaskara pun melangkah menuju meja yang tadi dilihatnya ada pria kecil."Kosong, kemana mereka pergi," gumam Bagas, lalu saat ada pelayan yang melewatinya pria itu pun bertanya, "Maaf, tahukan kamu dimana Tuan Sagara dan keluarga?""Ough, Tuan Sagara baru saja meninggalkan acara ini bersama Nona Sarita, Tuan.""Terima kasih!"Bagaskara pun melangkah meninggalkan lokasi malam amal tanpa mengajak Ni Luh. Wanita itu ditinggal tanpa kabar hingga membuat Ni Luh mencari sosok Bagaskara "Shit, dasar pria tidak tau diuntung. Enak saja tinggalkan aku begitu saja. Awas saja kamu, Sarita. Semua ini gara-gara kamu!"Ni Luh pun menghubungi sopir pribadinya agar segera menjemputnya. Malam semakin merangkak menuju pagi, tetapi mata Sarita
Pagi hari Bagaskara berniat ingin mengetahui semua informasi mengenai bocah laki-laki kecil yang bersama Sarita. Senyum tipis tercetak di wajah tampannya."Aku harus mulai dari butik itu, mungkin dari sana bisa kudapatkan informasi," batin Bagaskara.Setelah merasa yakin akan idenya, Bagaskara pun segera melajukan kendaraannya menuju ke butik tempat dia melihat pertama kali mantan istrinya. Jalanan yang lancar membuat laju mobil Bagaskara tidak terjebak mancet, sehingga dalam waktu belasan menit dia sudah sampai di depan butik.Butik sudah terlihat ramai di jam kerja, banyak pengunjung yang datang silih berganti tanpa henti. Mereka selalu membawa beberapa paper bag. "Rupanya kamu sudah sukses, Sarita. Aku tidak menyangka jika kamu memiliki kekayaan dan peluang bisnis. Andai aku tahu dari awal mungkin tak kucerai kamu, Sarita!" gumam Bagaskara.Sebuah mobil sedan mewah keluaran terbaru meluncur perlahan dan berhenti tepat di depan butik, seorang wanita turun dengan pakaian yang seder
Bagaskara terdiam sendiri di sudut kamar, pikirannya menerawang pada masa lalu saat dia pertama kali menggauli tubuh indah Sarita. Memang diujung juniornya tidak terdapat noda darah sedikitpun, tetapi rasa nikmat dan sempit begitu membuat dia merasa ketagihan. Rasa yang tidak sama saat dia menyentuh tubuh wanita lainnya yang biasa menemani ranjang."Rasa yang terkadang membuatku gila, tetapi sesuatu sudah menodai kepercayaanku," gumam Bagaskara."Apakah memagbenar anak itu adalah daah dagingku, tetapi jika bukan mengapa kau erasa ada yang berbeda dari tatapan mata indah itu?" Bagaskara masih terus bermonolog membayangkan jika anak itu adalah darah dagingnya.Cukup lama Bagaskara berdiri di sudut ruang itu hingga ingatannya tertuju pada Mbok Marni. Maka senyum tipis pun terbit di bibir pria itu. Gegas dia keluar dari kamarnya dan menuju ke rumah belakang tempat Mbok Marni tinggal selama ini di mansion tersebut bersama para pelayan lainnya.Bagaskara pun melangkah cepat menuju ke rumah