Share

Bab 3

last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-02 20:17:05

"Lakukan sekali lagi di sini, di depanku!" bentakku.

Kedua makhluk tak beradab di depanku terperangah. Sejurus kemudian, si Jalang tampak memucat, sedangkan Mas Herlan menyorotku tajam penuh amarah. Kutajamkan pandangan ke arah dua manik mata suamiku. Aku melihat kilatan api kemarahan di matanya.

Dia memang suamiku, orang yang mengatakan telah berubah karena diriku, kini menampakkan wujud aslinya. Inikah wujud asli suamiku sebelum menikah?

Lima tahun dia menutup perbuatan amoralnya di depanku. Di balik topeng lemah lembutnya dia mengelabui. Andai aku tak membutakan mata, tak menulikan telinga, tidak mematikan logika atas perbuatan Mas Herlan di masa lalu, aku tidak akan menelan kekecewaan sebesar ini.

Susah payah aku mematikan rasa, mengubur dalam-dalam rasa cinta yang tak bertuan, dan  menyerahkan segenggam hati ini untuk mengabdi padanya yang bernama suami. Apa balasannya?

Sendirian menggenggam bara, berharap kupantikkan di atas pelita, mengubah sisi gelap  hidupku yang hampir tanpa cahaya menjadi terang seiring waktu. Nyatanya, aku kecewa.

Seperti wanita di luar sana yang menyandang predikat istri, aku pun terluka. Peraduan yang menjadi saksi pergumulan kami dalam ikatan halal, kini nampak tak ubahnya kubangan lumpur hina. Aku jijik!

Sejijik apa pun aku memandang mereka yang telah menorehkan setitik noda di atas ranjang pengantinku, aku tidak boleh berbuat di luar logika. Apa tadi, aku menyuruh mereka melakukan perbuatan menjijikkan itu sekali lagi di depanku? 

Aku masih waras.

Tuhan, ampuni aku. Aku juga manusia biasa, di mana sisi gelap dan cahaya bertahta mengisi ruang dalam raga yang hina ini.

Kutatap sekali lagi kedua sosok di hadapanku bergantian. Mas Herlan masih dengan amarahnya, sementara wanita jalang itu masih memaku di tempatnya.

"Pergi kalian!" jeritku.

"Dan kau, sundal! Jangan tampakkan lagi wajah menjijikkanmu di hadapanku!" tunjukku ke wajahnya.

Secepat kilat perempuan itu menyambar tasnya di atas meja rias dan segera berlari ke arah pintu tanpa menghiraukan keberadaan Mas Herlan.

Napasku masih memburu menahan gejolak yang sedari tadi meminta untuk diluapkan. Detik ini aku masih berharap Mas Herlan memohon, meminta untuk dimaafkan. Sakit memang sakit, tapi pernikahan yang telah berjalan selama lima tahun, tidak begitu saja ingin aku putuskan.

Tak menyangka, kata maaf yang aku harapkan keluar sekali lagi dari mulut suamiku, nyatanya sorot tajam penuh kebencian yang aku dapatkan.

"Awas kau, perempuan mandul!" 

Kedua tangan suamiku yang lima tahun mendekapku, memberikan ketenangan saat aku butuh sandaran, memeluk tubuh di malam-malam panjang, mendorong kedua bahuku hingga aku terhempas di atas ranjang. Aku diam melihat suamiku mengejar wanita jalang itu dan membanting pintu.

Ya Allaah, ya Rabb. Akankah Kau takdirkan pernikahanku hanya sampai di sini? 

Kuatkan aku, jadikan sabarku tak berbatas, ya Allaah.

Kubaringankan tubuhku memeluk guling. Kuremas kuat-kuat guling dalam pelukan, berharap bisa meredakan nyeri di dada. Sakit sekali ya Allaah. 

***

"Tak berpikir sekali lagikah untuk menerima Herlan, Ndhuk?" kata Ibu, saat aku memberitahu bahwa aku menerima pinangan Mas Herlan, lebih dari lima tahun yang lalu.

"Setiap orang punya masa lalu, Bu. Icha pun sama. Restui kami agar bisa saling melengkapi. Doakan Icha," kataku sambil menjatuhkan kepala di pangkuan Ibu.

"Ibu mana yang tidak akan merestui pernikahan anaknya, Ndhuk?"

Ibu menarik tubuhku dalam pelukannya. Aku yang meminta restu, kenapa Ibu yang menangis?

Kulonggarkan pelukan Ibu. Ada anak sungai di sana, siap mengalir. 

"Ibu ...?" panggilku mengisyaratkan tanya melalui suara.

Kepala Ibu menengadah, mencoba menghalau bulir bening agar tak lolos. Tangan tuanya menyeka kedua sudut netra.

"Sabar, Ndhuk. Kamu pasti kuat." lirihnya.

Ibu, aku hanya meminta restumu, tapi mengapa justru kau memberikan apa yang tidak aku minta? 

Sabar? Sabar atas apa? Atas takdirku memilih Mas Herlan sebagai suamikukah?

***

Aku tak ingin menjadi wanita lemah di mata para pengkhianat itu. Aku harus kuat, aku harus sabar, seperti pinta Ibu. 

Beranjak dari tempat tidur, kulangkahkan kaki gontai menuju lemari pakaian. Kuambil koper besar di atas nakas. Satu persatu baju yang telah tertata rapi, kumasukkan ke koper. Sesekali, kuusap ujung mata dengan jemari. Cincin pernikahan yang selama lima tahun melekat di jari manis, kulepas lalu kuletakkan di kotak kecil berwarna biru, kuselipkan di antara tumpukan baju suamiku. Aku berjanji, ini adalah terakhir aku menginjakkan kaki di ruang peraduanku dan Mas Herlan. Entah suatu hari takdir akan mempertemukan kami kembali, aku tak bisa menolaknya.

Kurapikan sisa-sisa pergulatan suamiku dan perempuan itu. Aroma parfum itu bahkan masih memenuhi indera penciuman.

Berpisah mungkin bukan pilihan terbaik, tapi pengkhianatan yang nyata terpampang di depan mata juga bukan hal yang bisa aku terima. Aku bisa memaafkan, tapi untuk melanjutkan pernikahan yang sudah tidak sehat, apa aku sanggup? Keyakinanku bahwa semua akan berubah dan baik-baik saja, nyatanya terpatahkan.

Selesai merapikan semua, kusemprot seluruh ruangan dengan pengharum sebanyak-banyaknya. Aku tidak ingin ada jejak wanita itu tertinggal di ruang tidur kami. Sprei dan selimut yang telah ternoda cairan laknat dari pergulatan dua manusia tak berakhlak itu, kubuang begitu saja di kolong tempat tidur. Biarlah Mas Herlan saja yang akan mencucinya.

Aku jijik.

Tidak banyak baju yang aku bawa, hanya beberapa potong yang muat di koper. Peralatan make up kumasukkan ke dalam tas tersendiri beserta charger ponsel. Perhiasan selain cincin pernikahan, kubawa semua karena itu sudah menjadi hakku. Surat tanah dan kendaraan, aku tidak berpikir untuk mengambilnya. Hanya saja, buku rekening bank  atas namaku dan Kartu ATM, aku bawa serta. Lumayan cukup untuk kebutuhanku selama menenangkan diri.

Hati tak rela sebenarnya harus menyerah pada pelakor itu, tapi apa daya janji sudah terucap. Tidak ada konsekuensi selain berpisah bila salah satu di antara kami melakukan perselingkuhan.

Kutarik gagang koper menuju ruang tamu. Aku tak bermaksud pergi hari ini, namun untuk 2-3 hari ke depan, aku perlu menenangkan diri, tidak ingin bertemu muka dulu dengan suamiku.

Di pojokan ruang tamu, koper itu kuletakkan. Kuhempaskan tujuh di sofa sambil membuka gawai. Pada aplikasi hijau, kutambahkan chat pada kontak yang aku beri nama Josh.

[,,,???] send.

Itu adalah kode yang kami sepakati saat aku dan Josh berkomunikasi, baik chat Wa, messenger, atau yang lain.

Centang biru. Josh mengetik ....

[???,,,] 

Aman.

[Would you please to call me Josh?]

[Sure, i can]

Tenggorokanku terasa kering. Aku pun beranjak ke dapur untuk mengambil minum. 

Baru beberapa langkah, aku merasakan kepalaku berat. Kupejamkan mata beberapa saat sambil mencari pegangan. Gawai di tanganku bergetar. Kuangkat tanpa melihat nama si pemanggil.

"Cha!" sapa suara di seberang sana. 

Tubuhku limbung sebelum aku bersuara. Selanjutnya aku tak ingat apa-apa.

***

Kepalaku masih terasa pusing saat aku membuka mata. Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan di mana aku terbaring. Wallpaper berbentuk papan catur dengan warna hitam putih mendominasi dinding ruangan. Ini bukan kamarku. Batinku.

Pintu kamar terbuka. Kulihat Josh membawa nampan berisi makanan dan segelas susu. Tersenyum manis dia mendekatiku dan duduk di bibir ranjang. 

"Josh?"

"Makanlah, perutmu perlu diisi."

"Aku di mana?"

"Di rumahku."

"Jadi...?"

"Ya. Kamu pingsan saat aku tiba di rumahmu."

"Josh ...."

Aku ingin mengatakan semua pada Josh, tapi kepalaku masih berdenyut.

"Sudahlah, jangan banyak tanya. Makan dan minum obatnya!" titah Josh.

"Obat?"

"Ya."

"Aku kenapa?"

"Sudah kubilang, jangan banyak tanya. Dokter bilang kamu harus makan dan banyak istirahat."

Kuambil piring berisi makanan dan lauknya dari nampan. Aku makan dengan lahapnya karena sedari pagi belum ada makanan sedikit pun yang masuk ke perutku.

Mendapati tatapan dan senyum aneh Josh, kuhentikan kegiatan makanku.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?"

Josh salah tingkah.

"Eh, itu, nggak papa."

"Katakan Josh, dokter bilang apa?"

Nasi yang tinggal satu suapan, urung kumakan. Kuletakkan piring ke atas nakas di sisi tempat tidur.

"Menginaplah beberapa hari di sini." 

"Tapi Josh ...."

"Jangan aktifkan hpmu!" perintahnya.

Kulihat dia mengambil gawaiku yang tergeletak di atas bantal kemudian memasukannya ke dalam saku celananya. 

"Josh!" panggilku.

Josh hanya melirik sekilas, kemudian berlalu  tanpa menghiraukan panggilanku.

.

.

.

TBC

Lara Hati Icha

#3

#Kubawa_benihmu_Saat_Kau_menalakku

"Lakukan sekali lagi di sini, di depanku!" bentakku.

Kedua makhluk tak beradab di depanku terperangah. Sejurus kemudian, si Jalang tampak memucat, sedangkan Mas Herlan menyorotku tajam penuh amarah. Kutajamkan pandangan ke arah dua manik mata suamiku. Aku melihat kilatan api kemarahan di matanya.

Dia memang suamiku, orang yang mengatakan telah berubah karena diriku, kini menampakkan wujud aslinya. Inikah wujud asli suamiku sebelum menikah?

Lima tahun dia menutup perbuatan amoralnya di depanku. Di balik topeng lemah lembutnya dia mengelabui. Andai aku tak membutakan mata, tak menulikan telinga, tidak mematikan logika atas perbuatan Mas Herlan di masa lalu, aku tidak akan menelan kekecewaan sebesar ini.

Susah payah aku mematikan rasa, mengubur dalam-dalam rasa cinta yang tak bertuan, dan  menyerahkan segenggam hati ini untuk mengabdi padanya yang bernama suami. Apa balasannya?

Sendirian menggenggam bara, berharap kupantikkan di atas pelita, mengubah sisi gelap  hidupku yang hampir tanpa cahaya menjadi terang seiring waktu. Nyatanya, aku kecewa.

Seperti wanita di luar sana yang menyandang predikat istri, aku pun terluka. Peraduan yang menjadi saksi pergumulan kami dalam ikatan halal, kini nampak tak ubahnya kubangan lumpur hina. Aku jijik!

Sejijik apa pun aku memandang mereka yang telah menorehkan setitik noda di atas ranjang pengantinku, aku tidak boleh berbuat di luar logika. Apa tadi, aku menyuruh mereka melakukan perbuatan menjijikkan itu sekali lagi di depanku? 

Aku masih waras.

Tuhan, ampuni aku. Aku juga manusia biasa, di mana sisi gelap dan cahaya bertahta mengisi ruang dalam raga yang hina ini.

Kutatap sekali lagi kedua sosok di hadapanku bergantian. Mas Herlan masih dengan amarahnya, sementara wanita jalang itu masih memaku di tempatnya.

"Pergi kalian!" jeritku.

"Dan kau, sundal! Jangan tampakkan lagi wajah menjijikkanmu di hadapanku!" tunjukku ke wajahnya.

Secepat kilat perempuan itu menyambar tasnya di atas meja rias dan segera berlari ke arah pintu tanpa menghiraukan keberadaan Mas Herlan.

Napasku masih memburu menahan gejolak yang sedari tadi meminta untuk diluapkan. Detik ini aku masih berharap Mas Herlan memohon, meminta untuk dimaafkan. Sakit memang sakit, tapi pernikahan yang telah berjalan selama lima tahun, tidak begitu saja ingin aku putuskan.

Tak menyangka, kata maaf yang aku harapkan keluar sekali lagi dari mulut suamiku, nyatanya sorot tajam penuh kebencian yang aku dapatkan.

"Awas kau, perempuan mandul!" 

Kedua tangan suamiku yang lima tahun mendekapku, memberikan ketenangan saat aku butuh sandaran, memeluk tubuh di malam-malam panjang, mendorong kedua bahuku hingga aku terhempas di atas ranjang. Aku diam melihat suamiku mengejar wanita jalang itu dan membanting pintu.

Ya Allaah, ya Rabb. Akankah Kau takdirkan pernikahanku hanya sampai di sini? 

Kuatkan aku, jadikan sabarku tak berbatas, ya Allaah.

Kubaringankan tubuhku memeluk guling. Kuremas kuat-kuat guling dalam pelukan, berharap bisa meredakan nyeri di dada. Sakit sekali ya Allaah. 

***

"Tak berpikir sekali lagikah untuk menerima Herlan, Ndhuk?" kata Ibu, saat aku memberitahu bahwa aku menerima pinangan Mas Herlan, lebih dari lima tahun yang lalu.

"Setiap orang punya masa lalu, Bu. Icha pun sama. Restui kami agar bisa saling melengkapi. Doakan Icha," kataku sambil menjatuhkan kepala di pangkuan Ibu.

"Ibu mana yang tidak akan merestui pernikahan anaknya, Ndhuk?"

Ibu menarik tubuhku dalam pelukannya. Aku yang meminta restu, kenapa Ibu yang menangis?

Kulonggarkan pelukan Ibu. Ada anak sungai di sana, siap mengalir. 

"Ibu ...?" panggilku mengisyaratkan tanya melalui suara.

Kepala Ibu menengadah, mencoba menghalau bulir bening agar tak lolos. Tangan tuanya menyeka kedua sudut netra.

"Sabar, Ndhuk. Kamu pasti kuat." lirihnya.

Ibu, aku hanya meminta restumu, tapi mengapa justru kau memberikan apa yang tidak aku minta? 

Sabar? Sabar atas apa? Atas takdirku memilih Mas Herlan sebagai suamikukah?

***

Aku tak ingin menjadi wanita lemah di mata para pengkhianat itu. Aku harus kuat, aku harus sabar, seperti pinta Ibu. 

Beranjak dari tempat tidur, kulangkahkan kaki gontai menuju lemari pakaian. Kuambil koper besar di atas nakas. Satu persatu baju yang telah tertata rapi, kumasukkan ke koper. Sesekali, kuusap ujung mata dengan jemari. Cincin pernikahan yang selama lima tahun melekat di jari manis, kulepas lalu kuletakkan di kotak kecil berwarna biru, kuselipkan di antara tumpukan baju suamiku. Aku berjanji, ini adalah terakhir aku menginjakkan kaki di ruang peraduanku dan Mas Herlan. Entah suatu hari takdir akan mempertemukan kami kembali, aku tak bisa menolaknya.

Kurapikan sisa-sisa pergulatan suamiku dan perempuan itu. Aroma parfum itu bahkan masih memenuhi indera penciuman.

Berpisah mungkin bukan pilihan terbaik, tapi pengkhianatan yang nyata terpampang di depan mata juga bukan hal yang bisa aku terima. Aku bisa memaafkan, tapi untuk melanjutkan pernikahan yang sudah tidak sehat, apa aku sanggup? Keyakinanku bahwa semua akan berubah dan baik-baik saja, nyatanya terpatahkan.

Selesai merapikan semua, kusemprot seluruh ruangan dengan pengharum sebanyak-banyaknya. Aku tidak ingin ada jejak wanita itu tertinggal di ruang tidur kami. Sprei dan selimut yang telah ternoda cairan laknat dari pergulatan dua manusia tak berakhlak itu, kubuang begitu saja di kolong tempat tidur. Biarlah Mas Herlan saja yang akan mencucinya.

Aku jijik.

Tidak banyak baju yang aku bawa, hanya beberapa potong yang muat di koper. Peralatan make up kumasukkan ke dalam tas tersendiri beserta charger ponsel. Perhiasan selain cincin pernikahan, kubawa semua karena itu sudah menjadi hakku. Surat tanah dan kendaraan, aku tidak berpikir untuk mengambilnya. Hanya saja, buku rekening bank  atas namaku dan Kartu ATM, aku bawa serta. Lumayan cukup untuk kebutuhanku selama menenangkan diri.

Hati tak rela sebenarnya harus menyerah pada pelakor itu, tapi apa daya janji sudah terucap. Tidak ada konsekuensi selain berpisah bila salah satu di antara kami melakukan perselingkuhan.

Kutarik gagang koper menuju ruang tamu. Aku tak bermaksud pergi hari ini, namun untuk 2-3 hari ke depan, aku perlu menenangkan diri, tidak ingin bertemu muka dulu dengan suamiku.

Di pojokan ruang tamu, koper itu kuletakkan. Kuhempaskan tujuh di sofa sambil membuka gawai. Pada aplikasi hijau, kutambahkan chat pada kontak yang aku beri nama Josh.

[,,,???] send.

Itu adalah kode yang kami sepakati saat aku dan Josh berkomunikasi, baik chat Wa, messenger, atau yang lain.

Centang biru. Josh mengetik ....

[???,,,] 

Aman.

[Would you please to call me Josh?]

[Sure, i can]

Tenggorokanku terasa kering. Aku pun beranjak ke dapur untuk mengambil minum. 

Baru beberapa langkah, aku merasakan kepalaku berat. Kupejamkan mata beberapa saat sambil mencari pegangan. Gawai di tanganku bergetar. Kuangkat tanpa melihat nama si pemanggil.

"Cha!" sapa suara di seberang sana. 

Tubuhku limbung sebelum aku bersuara. Selanjutnya aku tak ingat apa-apa.

***

Kepalaku masih terasa pusing saat aku membuka mata. Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan di mana aku terbaring. Wallpaper berbentuk papan catur dengan warna hitam putih mendominasi dinding ruangan. Ini bukan kamarku. Batinku.

Pintu kamar terbuka. Kulihat Josh membawa nampan berisi makanan dan segelas susu. Tersenyum manis dia mendekatiku dan duduk di bibir ranjang. 

"Josh?"

"Makanlah, perutmu perlu diisi."

"Aku di mana?"

"Di rumahku."

"Jadi...?"

"Ya. Kamu pingsan saat aku tiba di rumahmu."

"Josh ...."

Aku ingin mengatakan semua pada Josh, tapi kepalaku masih berdenyut.

"Sudahlah, jangan banyak tanya. Makan dan minum obatnya!" titah Josh.

"Obat?"

"Ya."

"Aku kenapa?"

"Sudah kubilang, jangan banyak tanya. Dokter bilang kamu harus makan dan banyak istirahat."

Kuambil piring berisi makanan dan lauknya dari nampan. Aku makan dengan lahapnya karena sedari pagi belum ada makanan sedikit pun yang masuk ke perutku.

Mendapati tatapan dan senyum aneh Josh, kuhentikan kegiatan makanku.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?"

Josh salah tingkah.

"Eh, itu, nggak papa."

"Katakan Josh, dokter bilang apa?"

Nasi yang tinggal satu suapan, urung kumakan. Kuletakkan piring ke atas nakas di sisi tempat tidur.

"Menginaplah beberapa hari di sini." 

"Tapi Josh ...."

"Jangan aktifkan hpmu!" perintahnya.

Kulihat dia mengambil gawaiku yang tergeletak di atas bantal kemudian memasukannya ke dalam saku celananya. 

"Josh!" panggilku.

Josh hanya melirik sekilas, kemudian berlalu  tanpa menghiraukan panggilanku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kubawa Benihmu Saat Kau Menalakku   Bab 11b

    Diraihnya Rosa dalam gendongan Hendar. Ia peluk bocak cantik yang gurat wajahnya sangat mirip dengan Dewi itu erat, seakan ia tak akan bertemu lagi dengan buah hati tercintanya itu."Papa ...." ucap Rosa."Papa sayang Rosa."Diciuminya wajah Rosa bertubi-tubi."Ocha cayang Papa uga.""Jangan nakal, baik-baik sama Ayah Hendar sama Ibu Erna, ya?"Rosa mengangguk sambil mengerjab-ngerjab lucu.Masih teringat perbincangan itu dua belas tahun yang lalu antara dirinya dan papa kandung Rosa, majikannya.Sejak saat itu, Aditya tak memperbolehkan lagi Hendar dan istrinya bekerja di rumahnya, tapi sebagai gantinya ia tetap memberi gaji kepada mereka karena mengasuh Rosa.Hendar terhenyak dari lamunan saat Icha memegang lengannya."Kak Rosa nggak apa-apa. Bantu Ibu siapkan makan, gih! Biar Ayah yang bujuk Kak Rosa."Icha pun berlalu menuju dapur dan mendapati Bu Erna sedang memotong sayur. Tok! Tok! Tok!"Buka pintunya, Nak! Ini Ayah," panggil Hendar."Ayah jahat! Rosa benci Ayah!" seru Rosa da

  • Kubawa Benihmu Saat Kau Menalakku   Bab 11a

    "Apa ada hal penting yang sehingga Pak Aditya mengutus Anda ke mari?""Itu tujuan saya ke mari, Pak.""Maksud Bapak?""Saya diminta Pak Adit untuk mengambil Non Rosa ....""Kenapa bukan Pak Adit dan Bu Dewi yang datang ke mari?""Pak Adit ....""Pak Adit kenapa?" tanya Hendar."Keluarga Pak Adit sedang ada masalah cukup berat, Pak.""Maksudnya?""Depresi Nyonya Dewi hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan membaik, dan Non Yoshi juga sakit ....""Innalillaahi ....""Non Yoshi sakit apa?""Saya tidak tahu persis, Pak. Pak Adit tidak mengatakan detailnya. Beliau hanya mengatakan akan mengusahakan pengobatan untuk Nyonya Dewi dan putrinya jauh dari sini, dan Pak Adit ingin Non Rosa ikut serta""Beri kami waktu untuk bicara dengan Rosa.""Tapi berapa lama, Pak? Pak Adit meminta secepatnya untuk membawa Non Rosa.""Secepatnya akan kami kabari."Tanpa Hendar sadari, Rosa mendengar pembicaraan ayah dan tamunya di balik pintu ruang tengah. Tiba-tiba raut wajahnya berubah."Kak ...!

  • Kubawa Benihmu Saat Kau Menalakku   Bab 10b

    Sikap aneh yang ditunjukkan oleh Dewi, menurut dokter yang menanganinya, merupakan gejala yang umum ditunjukkan oleh seorang ibu pascamelahirkan. Jika kehamilan ibaratnya roller coaster yang mengaduk-aduk emosi, pasca melahirkan mungkin lebih tepat seperti tornado yang mengacaukan emosi. Perubahan suasana hati, kekesalan yang tiba-tiba menyerang, tangisan yang seringkali tak beralasan, adalah hal-hal yang mungkin sorang ibu rasakan tanpa bisa dikendalikan. Melahirkan menyebabkan tubuh seorang ibu melalui beberapa penyesuaian hormon yang terkadang sangat 'liar'. Di sisi lain, saat harus berjuang berdamai dengan perubahan hormon tersebut, ada si Kecil yang masih sangat membutuhkan perhatian sang ibu. Hal ini menimbulkan pergolakan yang menyebabkan perasaan sedih, stres, dan gelisah atau yang disebut dengan postpartum depression (PPD).Postpartum Depression atau PPD, adalah suatu bentuk depresi klinis yang dimulai setelah kelahiran bayi. Gejala umumnya meliputi : kehilangan selera mak

  • Kubawa Benihmu Saat Kau Menalakku   Bab 10a

    Siapakah Rosa, sehingga ia begitu berarti untuk Josh dan hidupnya?Flashback onDua gadis kecil berlari-lari di hamparan pasir di sepanjang pantai saat senja hari. Keduanya tertawa lepas mengiringi tenggelamnya sang surya menuju peraduan di ufuk barat.Sementara di bangku panjang terbuat dari bambu yang berjajar di antara deretan pohon cemara, tampak seorang laki-laki memperhatikan kedua gadis itu seraya menyunggingkan senyumnya. Menyesap kopi hitam yang dipesan di warung tak jauh dari tempatnya duduk, ia sandarkan punggungnya di sandaran kursi. Matanya tak lepas mengawasi keduanya.Terengah-engah kedua gadis yang beranjak remaja itu menghampiri laki-laki berusia 38 tahun itu."Icha capek, Ayah," keluh anak gadis yang lebih kecil. Diraihnya gelas berisi es teh di depan laki-laki yang dipanggilnya ayah."Kak Rosa juga capek," timpal gadis yang lebih besar.Keduanya menghenyakkan tubuh di samping kanan kiri ayah mereka. Mereka menyandarkan kepala di kedua bahu ayahnya."Sudah cukup main

  • Kubawa Benihmu Saat Kau Menalakku   9b

    "Sampai kapan aku harus menunggu, Lan?" gerutu Nora kesal."Nunggu apa?""Perutku sudah membesar, tapi kau tak kunjung menikahiku secara sah." Nora mulai kesal dengan sikap Herlan."Aku juga bingung, Nora! Keberadaan Icha saja aku tak tahu." Herlan tak kalah kesal karena Nora terus mendesaknya."Tanya Josh! Dia pasti tahu keberadaan perempuan memyebalkan itu.""Mau cari mati tanya Josh, hah?" geram Herlan. Matanya tajam menyorot istri keduanya itu."Turunkan gengsimu. Apa salahnya ngomong baik-baik sama dia? Bila perlu kau mengiba di kakinya.""Sinting kamu! Bila dia tahu aku mencari Icha hanya untuk menceraikannya, apa kamu bisa menjamin aku akan hidup, hah?""Lalu bagaimana nasibku, Lan?""Seandainya sampai anak ini lahir kau belum menikahiku secara resmi, gimana Lan?" Sambung Nora."Pusing aku, Nora. Bisa nggak mulutmu itu diam sebentar?"'Kemungkinan terburuk, kamu hanya akan menjadi istri kedua jika Icha mau menandatangani surat pernyataan bersedia dimadu. Itu pun harus melalui s

  • Kubawa Benihmu Saat Kau Menalakku   Bab 9a

    Josh melenggang meninggalkan rumah orang tua Herlan menuju mobilnya. Saat hendak membuka pintu mobil, gawai di saku celananya bergetar.Panggilan dari Ina. Saat hendak mengangkat, panggilan terputus.[Kakak, Kak Icha pingsan]Pesan dari Ina.Tanpa membuang waktu, Josh segera memasuki mobilnya dan segera melaju dengan kecepatan tinggi. Dia berbalik arah menuju kediaman ibu Icha.Tiga puluh menit perjalanan, akhirnya Josh sampai. Ia turun dari mobil dan segera berlari menuju ke dalam. Dilihatnya Icha terbaring di sofa dengan wajah pucat. Di sampingnya, Bu Erna dan Ina berusaha menyadarkan Icha dengan mengoles minyak kayu putih di ujung hidung Icha."Icha kenapa?" tanya Josh panik."Tadi Kak Icha ke kamar mandi, terus muntah-muntah. Pas aku susul, dia sudah pingsan di depan kamar mandi," terang Ina."Kakak akan telpon dokter."Ina hanya mangangguk.Josh merogoh ponsel di saku kemejanya kemudian mencari kontak seseorang. Dokter Fahmi, dokter keluarga Josh.Berulang kali Josh memencet tand

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status