Lara Hati Icha
Part 2
#kubawa_benihmu_Saat_Kau_Menalakku
***
Flashback
Sudah tiga hari Mas Herlan ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Dia pergi beserta staf kantor lainnya. Itu pamitnya padaku.
Seperti yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kali Mas Herlan ke luar kota, dia menyuruhku untuk menginap di rumah mertuaku sampai dia kembali. Kepergiannya kali ini pun dia berpesan agar aku jangan kembali ke rumah sebelum dia memberi kabar bahwa dia telah pulang.
Selama lima tahun mendampinginya, aku sudah hafal kebiasaannya, termasuk saat dia berbohong, dan hari saat dia pamit, sebenarnya aku menangkap sinyal kebohongan. Ada raut gelisah di wajahnya. Biarlah, aku berusaha menepis itu dan berharap itu hanya perasaanku.
Kuakui, sejauh yang kutahu dia berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelum menikah. Banyak gosip miring seputar pergaulan di masa lajangnya. Bukan aku tidak ingin tahu lebih jauh tentang masa lalunya, tapi aku menjaga agar jangan sampai berburuk sangka hanya karena katanya. Apa pun dan bagaimanapun dia dulu, yang menjadi suamiku adalah dia yang sekarang.
Dia memperlakukanku seperti istri pada umumnya. Mengajakku ke acara kantor dan dengan bangga memperkenalkan sebagai istrinya. Selama itu pun, aku bersyukur, apa yang dikhawatirkan Ibu tidak menjadi kenyataan.
Raut kebohongan yang aku tangkap, entah kenapa membuat pikiranku gelisah. Perasaanku tidak enak, walaupun selama tiga hari itu suamiku selalu menghubungi tiga kali dalam sehari, tak jua bisa menepiskan perasaan tidak enak.
Apakah aku harus menyusulnya? Sungguh pikiran bodoh. Toh, buat apa? Luar kota yang dia maksudkan pun aku tidak tahu. Menghubungi rekan sekantornya? Mustahil.
"Cha!" panggil mertuaku di saat aku sedang berperang dengan perasaan atas sinyal kebohongan itu.
Menoleh ke arah datangnya suara, aku tersenyum tipis mendapati mertuaku telah berdiri di belakang.
"I ... iya, Bu!" jawabku.
"Kenapa melamun?"
"Eh, anu Bu, saya lagi mikir sepertinya, ada yang tertinggal di rumah," bohongku.
"Berhargakah?" tanya mertuaku lagi.
"Em, obat buat Ibu yang sudah dibeli Mas Herlan sebelum ke luar kota, Bu," bohongku lagi.
Ah, entah. Pertama aku berbuat konyol seperti ini di depan mertua.
"Obat buat Ibu sudah habis, dan hari ini saya harus memberikannya pada Ibu. Apakah Ibu keberatan bila saya pamit mengambilnya?" lanjutku.
Ibu mengangguk mengerti.
"Pergilah, tapi setelah urusanmu selesai, segera pulang. Ibu enggak mau Herlan khawatir," pesan Ibu akhirnya.
'Iya, Bu. Terima kasih."
Berlalu dari hadapan Ibu, aku menuju kamar untuk mengambil tas dan ponsel. Duduk di tepi ranjang, kubuka aplikasi ojek online. Sambil menunggu konfirmasi dari driver, kuamati sekeliling kamar Mas Herlan. Masih sama seperti waktu aku menginap sendiri atau bersamanya.
Beberapa saat kemudian, ojek online yang kupesan memberitahu telah sampai di depan rumah. Bergegas aku melangkah meninggalkan kamar.
"Pergi dulu, Bu," pamitku pada Ibu mertua sambil kucium tangannya, saat kami berpapasan di ruang tamu.
"Iya, hati-hati," pesannya sambil mengelus puncak kepalaku.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di rumah karena jarak rumahku dan mertua tidak terlalu jauh, hanya dua puluh menit perjalanan.
Tepat di depan pintu gerbang, aku turun. Kuamati gerbang rumah. Aneh. Kenapa pintunya terbuka? Padahal tiga hari yang lalu saat aku meninggalkannya, gerbang dalam keadaan terkunci rapat dan hanya aku dan Ms Herlan yang memegang kuncinya. Apakah Mas Herlan sudah pulang? Mustahil. Dia bilang ke luar kota selama seminggu, lagi pula Mas Herlan tidak memberitahu kalau hari ini pulang. Pikiran aneh pun segera menguasaiku.
Aku cepat-cepat turun dari ojek dan dengan langkah cepat menuju pintu depan
Aneh!
Pintu rumah terkunci rapat tapi ada sepatu Mas Herlan. Kecurigaan seketika menyergap.
Kuputar handle pintu. Terkunci. Merogoh tas slempangku, aku temukan kunci duplikat rumah. Kumasukkan pelan-pelan dan memutar handlenya. Setelah aku masuk ke rumah, yang pertama kali kutuju adalah kamar. Namun, pintu kamar itu sedikit terbuka. Sayup kudengar suara dua orang sedang berbicara tapi pelan sekali.
Kulepas alas kaki agar suara langkah tak bisa didengar. Kutajamkan pendengaran tepat di depan pintu tersebut dengan mengambil posisi aman dan tidak terlihat dari dalam kamar.
Suara obrolan ringan lama-lama menjadi desahan. Semakin lama semakin intens.
Tenang, Icha! Jangan bertindak bodoh.
Kuambil ponsel yang kini berada di saku gamisku. Mode kamera aku nyalakan. Kubuka pintu perlahan agar tidak menimbulkan suara.
Pemandangan menjijikkan terpampang di depan mata. Dua orang makhluk bernama manusia tengah bergumul di dalam selimut. Hanya sebagian kepala mereka yang menyembul.
Aku tak mau membuang-buang waktu. Pergumulan mereka kuabadikan dalam video ponselku. Jangan ditanya bagaimana perasaanku mendapati pemandangan menjijikkan itu. Marah, geram, benci, jijik, membaur. Dengan menutup mulut dan sesekali menyeka ujung kedua netra yang telah basah, aku tetap merekam adegan itu. Sampai saatnya tiba, erangan panjang keluar dari mulut kedua makhluk menjijikkan di depan mataku.
Tubuh mereka masih saling bertaut saat aku mulai membuka pintu kamar lebar-lebar, tanpa hentakkan. Walaupun begitu, suara pintu dibuka tetaplah bisa didengar di ruang tidur. Saat menyadari ada yang membuka pintu, tubuh mereka perlahan saling melepaskan. Kali ini aku mengambil gambar mereka dengan mode kamera.
Mata pria itu terbelalak saat menyadari aku tengah berada di kamar dan mengamati adegan mereka. Sontak mereka saling menutupi tubuh mereka dengan selimut.
Tatapanku datar tanpa ekspresi saat beradu pandang dengan suamiku. Sementara si perempuan tergesa-gesa memunguti pakaian yang berserakan di lantai kamar.
Dia lelakiku, suamiku lima tahun terakhir ini, memandangku dengan tatapan sendu dan wajah pucat.
Kupikir aku akan melakukan apa terhadapmu, Mas?
Pandanganku beralih pada wanita jalang yang masih dalam keadaan setengah telanjang. Dia bersusah payah memakai pakaian ketatnya. Namun, tampak kesulitan. Momen saat perempuan itu memunguti pakaian yang berserakan di lantai dalam keadaan telanjang, kuabadikan dengan kamera ponsel.
Kualihkan pandangan kembali pada suamiku. Nampaknya dia mencuri kesempatan saat aku memfoto wanita jalang itu, untuk memakai pakaian kerjanya kembali yang telah kusut.
Kudorong dengan keras pintu kamar dengan kaki kananku hingga menutup sempurna.
"Cha!" panggil Mas Herlan dengan suara tercekat.
"Mas bisa jelaskan."
Kutulikan telinga sambil berjalan ke arah suamiku berdiri mematung bersama perempuan itu. Setelah jarak kami hanya beberapa jengkal, kulucuti tubuh keduanya dengan tatapan tajam penuh amarah. Namun, bukan Icha jika harus melampiaskannya dengan cara bar-bar. Kepala mereka tertunduk. Hening tanpa suara dalam ruangan berukuran 4x4 meter ini.
Tiba-tiba Mas Herlan menjatuhkan tubuhnya di hadapanku. Dia berdiri dengan bertumpu pada kedua lututnya.
"Maafkan Mas, Cha...." Suamiku mengiba. Mencoba meraih tanganku, tapi aku menepisnya kasar.
"Katakan, berapa kali kalian melakukan ini!"
Diam
Tak ada yang berani menjawab. Si jalang masih menunduk, sesekali terdengar isak tangisnya. Mas Herlan masih bersimpuh di depan kakiku. Bahunya berguncang.
"Jawab!" teriakku.
Masih diam.
"Baiklah kalau kalian tidak mau menjawab. Anggap saja satu kali kalian melakukannya di depan mataku...." Aku menjeda kalimatku.
Aku tahu, mereka sedang menunggu kalimat apa lagi yang akan keluar dari mulutku.
"Lepaskan pakaian kalian sekarang juga tanpa tersisa satu pun yang melekat di tubuh kalian!" jeritku.
Keduanya terperangah. Si sundal memundurkan badannya hingga menempel dinding, sementara Mas Herlan spontan berdiri.
"Kalian tuli, hah?"
"Lepaskan sekarang juga!"
Mas Herlan melangkah mendekatiku. Ditatapnya wajahku dengan sorot tajam dan wajah memerah, rahangnya mengeras.
"Kamu gila, Cha!" bentaknya.
"Katakan! Berapa kali kalian melakukan ini?"
"Baik! Empat kali. Puas kamu sekarang?"
Lihatlah! Menjijikkan sekali bukan? Mereka yang berbuat nista, tanpa rasa malu justru mengintimidasiku.
Kuambil ponsel, kubuka galeri dan mencari rekaman adegan menjijikkan mereka. Kuklik tombol share. Namun, belum sempat kutekan kontak mana yang akan kubagi, Mas Herlan membentakku lagi.
"Apa maumu, Cha?"
"Lakukan sekali lagi di sini, di depanku!" teriakku memerintah.
Lara Hati Icha
Part 2
#kubawa_benihmu_Saat_Kau_Menalakku***
FlashbackSudah tiga hari Mas Herlan ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Dia pergi beserta staf kantor lainnya. Itu pamitnya padaku.
Seperti yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kali Mas Herlan ke luar kota, dia menyuruhku untuk menginap di rumah mertuaku sampai dia kembali. Kepergiannya kali ini pun dia berpesan agar aku jangan kembali ke rumah sebelum dia memberi kabar bahwa dia telah pulang.
Selama lima tahun mendampinginya, aku sudah hafal kebiasaannya, termasuk saat dia berbohong, dan hari saat dia pamit, sebenarnya aku menangkap sinyal kebohongan. Ada raut gelisah di wajahnya. Biarlah, aku berusaha menepis itu dan berharap itu hanya perasaanku.
Kuakui, sejauh yang kutahu dia berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelum menikah. Banyak gosip miring seputar pergaulan di masa lajangnya. Bukan aku tidak ingin tahu lebih jauh tentang masa lalunya, tapi aku menjaga agar jangan sampai berburuk sangka hanya karena katanya. Apa pun dan bagaimanapun dia dulu, yang menjadi suamiku adalah dia yang sekarang.
Dia memperlakukanku seperti istri pada umumnya. Mengajakku ke acara kantor dan dengan bangga memperkenalkan sebagai istrinya. Selama itu pun, aku bersyukur, apa yang dikhawatirkan Ibu tidak menjadi kenyataan.
Raut kebohongan yang aku tangkap, entah kenapa membuat pikiranku gelisah. Perasaanku tidak enak, walaupun selama tiga hari itu suamiku selalu menghubungi tiga kali dalam sehari, tak jua bisa menepiskan perasaan tidak enak.
Apakah aku harus menyusulnya? Sungguh pikiran bodoh. Toh, buat apa? Luar kota yang dia maksudkan pun aku tidak tahu. Menghubungi rekan sekantornya? Mustahil.
"Cha!" panggil mertuaku di saat aku sedang berperang dengan perasaan atas sinyal kebohongan itu.
Menoleh ke arah datangnya suara, aku tersenyum tipis mendapati mertuaku telah berdiri di belakang.
"I ... iya, Bu!" jawabku.
"Kenapa melamun?"
"Eh, anu Bu, saya lagi mikir sepertinya, ada yang tertinggal di rumah," bohongku.
"Berhargakah?" tanya mertuaku lagi.
"Em, obat buat Ibu yang sudah dibeli Mas Herlan sebelum ke luar kota, Bu," bohongku lagi.
Ah, entah. Pertama aku berbuat konyol seperti ini di depan mertua.
"Obat buat Ibu sudah habis, dan hari ini saya harus memberikannya pada Ibu. Apakah Ibu keberatan bila saya pamit mengambilnya?" lanjutku.
Ibu mengangguk mengerti.
"Pergilah, tapi setelah urusanmu selesai, segera pulang. Ibu enggak mau Herlan khawatir," pesan Ibu akhirnya.
'Iya, Bu. Terima kasih."
Berlalu dari hadapan Ibu, aku menuju kamar untuk mengambil tas dan ponsel. Duduk di tepi ranjang, kubuka aplikasi ojek online. Sambil menunggu konfirmasi dari driver, kuamati sekeliling kamar Mas Herlan. Masih sama seperti waktu aku menginap sendiri atau bersamanya.
Beberapa saat kemudian, ojek online yang kupesan memberitahu telah sampai di depan rumah. Bergegas aku melangkah meninggalkan kamar.
"Pergi dulu, Bu," pamitku pada Ibu mertua sambil kucium tangannya, saat kami berpapasan di ruang tamu.
"Iya, hati-hati," pesannya sambil mengelus puncak kepalaku.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di rumah karena jarak rumahku dan mertua tidak terlalu jauh, hanya dua puluh menit perjalanan.
Tepat di depan pintu gerbang, aku turun. Kuamati gerbang rumah. Aneh. Kenapa pintunya terbuka? Padahal tiga hari yang lalu saat aku meninggalkannya, gerbang dalam keadaan terkunci rapat dan hanya aku dan Ms Herlan yang memegang kuncinya. Apakah Mas Herlan sudah pulang? Mustahil. Dia bilang ke luar kota selama seminggu, lagi pula Mas Herlan tidak memberitahu kalau hari ini pulang. Pikiran aneh pun segera menguasaiku.
Aku cepat-cepat turun dari ojek dan dengan langkah cepat menuju pintu depan
Aneh!
Pintu rumah terkunci rapat tapi ada sepatu Mas Herlan. Kecurigaan seketika menyergap.
Kuputar handle pintu. Terkunci. Merogoh tas slempangku, aku temukan kunci duplikat rumah. Kumasukkan pelan-pelan dan memutar handlenya. Setelah aku masuk ke rumah, yang pertama kali kutuju adalah kamar. Namun, pintu kamar itu sedikit terbuka. Sayup kudengar suara dua orang sedang berbicara tapi pelan sekali.
Kulepas alas kaki agar suara langkah tak bisa didengar. Kutajamkan pendengaran tepat di depan pintu tersebut dengan mengambil posisi aman dan tidak terlihat dari dalam kamar.
Suara obrolan ringan lama-lama menjadi desahan. Semakin lama semakin intens.
Tenang, Icha! Jangan bertindak bodoh.
Kuambil ponsel yang kini berada di saku gamisku. Mode kamera aku nyalakan. Kubuka pintu perlahan agar tidak menimbulkan suara.
Pemandangan menjijikkan terpampang di depan mata. Dua orang makhluk bernama manusia tengah bergumul di dalam selimut. Hanya sebagian kepala mereka yang menyembul.
Aku tak mau membuang-buang waktu. Pergumulan mereka kuabadikan dalam video ponselku. Jangan ditanya bagaimana perasaanku mendapati pemandangan menjijikkan itu. Marah, geram, benci, jijik, membaur. Dengan menutup mulut dan sesekali menyeka ujung kedua netra yang telah basah, aku tetap merekam adegan itu. Sampai saatnya tiba, erangan panjang keluar dari mulut kedua makhluk menjijikkan di depan mataku.
Tubuh mereka masih saling bertaut saat aku mulai membuka pintu kamar lebar-lebar, tanpa hentakkan. Walaupun begitu, suara pintu dibuka tetaplah bisa didengar di ruang tidur. Saat menyadari ada yang membuka pintu, tubuh mereka perlahan saling melepaskan. Kali ini aku mengambil gambar mereka dengan mode kamera.
Mata pria itu terbelalak saat menyadari aku tengah berada di kamar dan mengamati adegan mereka. Sontak mereka saling menutupi tubuh mereka dengan selimut.
Tatapanku datar tanpa ekspresi saat beradu pandang dengan suamiku. Sementara si perempuan tergesa-gesa memunguti pakaian yang berserakan di lantai kamar.
Dia lelakiku, suamiku lima tahun terakhir ini, memandangku dengan tatapan sendu dan wajah pucat.
Kupikir aku akan melakukan apa terhadapmu, Mas?
Pandanganku beralih pada wanita jalang yang masih dalam keadaan setengah telanjang. Dia bersusah payah memakai pakaian ketatnya. Namun, tampak kesulitan. Momen saat perempuan itu memunguti pakaian yang berserakan di lantai dalam keadaan telanjang, kuabadikan dengan kamera ponsel.
Kualihkan pandangan kembali pada suamiku. Nampaknya dia mencuri kesempatan saat aku memfoto wanita jalang itu, untuk memakai pakaian kerjanya kembali yang telah kusut.
Kudorong dengan keras pintu kamar dengan kaki kananku hingga menutup sempurna.
"Cha!" panggil Mas Herlan dengan suara tercekat.
"Mas bisa jelaskan."
Kutulikan telinga sambil berjalan ke arah suamiku berdiri mematung bersama perempuan itu. Setelah jarak kami hanya beberapa jengkal, kulucuti tubuh keduanya dengan tatapan tajam penuh amarah. Namun, bukan Icha jika harus melampiaskannya dengan cara bar-bar. Kepala mereka tertunduk. Hening tanpa suara dalam ruangan berukuran 4x4 meter ini.
Tiba-tiba Mas Herlan menjatuhkan tubuhnya di hadapanku. Dia berdiri dengan bertumpu pada kedua lututnya.
"Maafkan Mas, Cha...." Suamiku mengiba. Mencoba meraih tanganku, tapi aku menepisnya kasar.
"Katakan, berapa kali kalian melakukan ini!"
Diam
Tak ada yang berani menjawab. Si jalang masih menunduk, sesekali terdengar isak tangisnya. Mas Herlan masih bersimpuh di depan kakiku. Bahunya berguncang.
"Jawab!" teriakku.
Masih diam.
"Baiklah kalau kalian tidak mau menjawab. Anggap saja satu kali kalian melakukannya di depan mataku...." Aku menjeda kalimatku.
Aku tahu, mereka sedang menunggu kalimat apa lagi yang akan keluar dari mulutku.
"Lepaskan pakaian kalian sekarang juga tanpa tersisa satu pun yang melekat di tubuh kalian!" jeritku.
Keduanya terperangah. Si sundal memundurkan badannya hingga menempel dinding, sementara Mas Herlan spontan berdiri.
"Kalian tuli, hah?"
"Lepaskan sekarang juga!"
Mas Herlan melangkah mendekatiku. Ditatapnya wajahku dengan sorot tajam dan wajah memerah, rahangnya mengeras.
"Kamu gila, Cha!" bentaknya.
"Katakan! Berapa kali kalian melakukan ini?"
"Baik! Empat kali. Puas kamu sekarang?"
Lihatlah! Menjijikkan sekali bukan? Mereka yang berbuat nista, tanpa rasa malu justru mengintimidasiku.
Kuambil ponsel, kubuka galeri dan mencari rekaman adegan menjijikkan mereka. Kuklik tombol share. Namun, belum sempat kutekan kontak mana yang akan kubagi, Mas Herlan membentakku lagi.
"Apa maumu, Cha?"
"Lakukan sekali lagi di sini, di depanku!" teriakku memerintah.
"Lakukan sekali lagi di sini, di depanku!" bentakku.Kedua makhluk tak beradab di depanku terperangah. Sejurus kemudian, si Jalang tampak memucat, sedangkan Mas Herlan menyorotku tajam penuh amarah. Kutajamkan pandangan ke arah dua manik mata suamiku. Aku melihat kilatan api kemarahan di matanya.Dia memang suamiku, orang yang mengatakan telah berubah karena diriku, kini menampakkan wujud aslinya. Inikah wujud asli suamiku sebelum menikah?Lima tahun dia menutup perbuatan amoralnya di depanku. Di balik topeng lemah lembutnya dia mengelabui. Andai aku tak membutakan mata, tak menulikan telinga, tidak mematikan logika atas perbuatan Mas Herlan di masa lalu, aku tidak akan menelan kekecewaan sebesar ini.Susah payah aku mematikan rasa, mengubur dalam-dalam rasa cinta yang tak bertuan, dan menyerahkan segenggam hati ini untuk mengabdi padanya yang bernama suami. Apa balasannya?Sendirian menggenggam bara, berharap kupantikkan di atas pelita, mengubah sisi gelap hidupku yang hampir tanpa
POV AuthorTengah malam, Herlan kembali ke rumah. Keadaannya sangat kacau. Didapatinya rumah dalam keadaan gelap gulita, juga tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda ada orang di dalam. Sejak sore tadi, berkali-kali ia mencoba menghubungi Icha, tapi nihil. Nomor Icha tidak aktif dan status Wanya aktif 12 jam yang lalu. Itu artinya, satu jam setelah ia mengejar Nora, Icha menonaktifkan data seluler.Untuk menghubungi adik Icha dan mendatangi rumah ibunya, Herlan tak punya nyali. Dia tahu benar, Icha tidak akan mendatangi rumah orang tua ketika dia sedang bermasalah dengannya. Ditambah lagi, ibu dan adik Icha sangat membencinya. Icha hanya akan mendatangi sahabat baiknya, Josh.Sialnya, Herlan pun tidak punya cukup nyali untuk menanyakan keberadaan Icha pada sosok bar-bar Josh. Dua tahun yang lalu, nyawanya hampir melayang di tangan Josh kalau saja Icha tak mencegahnya. Saat itu terjadi pertengkaran hebat antara Icha dan Herlan setelah Herlan pulang diantar seorang perempuan dalam keadaan m
Bab 4bSementara itu di kediaman Josh.Icha sudah merasa lebih sehat setelah minum obat dan tidur beberapa jam. Tubuhnya menggeliat meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Dia edarkan pandangan ke sekeliling kamar. Piring dan gelas susu sudah tidak ada di tempatnya. Josh yang melakukannya. Batin Icha.Perempuan cantik itu bangkit dari pembaringan. Tangannya meraba-raba tempat tidurnya. Dia mencari ponselnya. Ah, Icha lupa, ponsel itu sudah disita oleh Josh.Icha beranjak menuju meja rias. Diamati wajahnya yang tanpa polesan make up, sembab. Krieeet.Icha menoleh ke arah pintu. Wajah Josh muncul dengan senyum manis menghiasi wajahnya."Sudah baikan, Cha?" sapa Josh."Yeay, seperti yang kaulihat.""Mandilah! Air hangat sudah kusediakan.""Aku tak membawa ganti.""Hmmm, aku tak bodoh. Lihat di dalam lemari! Ada beberapa potong aku bawa.""Benarkah?""Yes!""Kau tampak rapi, mau ke mana?" tanya Icha."Ada urusan. Aku pulang mungkin larut malam."Kening Icha berkerut."Urusan apa
"Perempuan sundal! Di mana Icha?!"Tuuuttt ....Panggilan terputus.Sial, sial, sial!Rutuk Herlan frustrasi.Kenapa perempuan jadi-jadian itu yang ke sekian kalinya menjadi malaikat penolong Icha?ArrrggghhhPrang, prang!Herlan membanting apa saja yang ada di hadapannya. Dia benar-benar putus asa. Masalah menjadi semakin rumit dengan kehadiran Josh. Awalnya, dia bermaksud meminta maaf pada Icha, membujuknya kembali agar tidak meminta cerai. Namun sial, Josh telanjur mengetahui. Walaupun Icha akan bungkam mengenai masalahnya dengan Herlan, Josh bukanlah tipe orang yang akan tinggal diam jika ada sesuatu yang belum ia dapatkan informasinya tentang Icha.Ada hubungan apa sebenarnya perempuan bar-bar itu dengan Icha? Batin Herlan.Membuat perhitungan dengan Josh, sama saja ia mencari mati.***"Kamu masih beruntung, Icha belum siap mengirimmu ke neraka. Sekali lagi kau berbuat kasar pada Icha, nyawamu melayang," bisik Josh di telinga Herlan, sesaat setelah ia siuman di ranjang rumah sak
Di koridor kantor, Herlan berjalan cepat agar segera sampai di ruangannya. Pintu ruang kerjanya terbuka. Saat dia membuka pintu lebih lebar, ia mendapati seorang perempuan berbaju seksi mengenakan blazer warna marun dengan rok span di atas lutut, memperlihatkan pahanya yang putih mulus, duduk di kursi kerja Herlan. Jantung Herlan berdesir menyaksikan pemandangan di depannya. Perlahan ia mendekati perempuan seksi itu setelah menutup ruangan dan menguncinya."Morning, sayang ...!" sapa wanita itu yang tak lain adalah Nora.Nora mendekati Herlan, dilingkarkannya kedua tangan Nora di leher Herlan. Tangan Nora membelai wajah Herlan. Tubuh Herlan menegang. Saat jarak wajah mereka tersisa beberapa senti, Herlan mendorong tubuh Nora."Cukup, Nora!" seru Herlan."Hey, kamu kenapa, Sayang?" protes Nora tak terima. Herlan segera mengehenyakkan tubuh di kursi kerjanya."Aku sedang tidak ingin diganggu, please! Keluar dari ruanganku!" titah Herlan."Hey, jangan bilang kamu berubah pikiran!" sergah
Di rumah Josh, Icha tampak sedang membersihkan dapur yang sedikit berantakan. Ia ditemani oleh mbok Surti, Asisten Rumah Tangga yang sudah beberapa bulan ini bekerja di rumah Josh. Sebelumnya, Mbok Surti bekerja di rumah orang tua Josh semenjak Josh berusia enam tahun."Mbak Icha istrirahat saja, biar Mbok yang beresin," kata Mbok Surti."Nggak apa-apa, Mbok. Saya kuat," jawab Icha."Tapi Non Yoshi pasti nanti marah sama Mbok.""Nggak akan, Mbok. Biar saya yang ngomong sama dia.""Tapi Non ....""Ehmm ehmmm," gumam seseorang di belakang Icha dan Mbok Surti.Mereka menoleh bersamaan ke arah datang nya suara."Non Yoshi ...?""Josh ...?""Ngapain kamu, Cha?" tanya Josh."Maaf, Non. Mbok yang salah.""Enggak, Josh. Aku yang ingin melakukan ini, bukan Mbok Surti.""Mbok ...?""Maaf, Non," kata Mbok Surti masih menunduk."Terlihat seperti Tuan Takurkah aku, Mbok, sampai segitu takutnya sama aku?"Mbok Surti mendongak. Wajah polos dan ekspresi bingungnya membuat Josh dan Icha terkekeh."Kam
Part 6a dan 6bJam dinding menunjukkan pukul setengah lima sore. Icha sudah bertekad akan segera menyelesaikan masalahnya. Apa pun keputusannya nanti, Icha sudah siap menerima, bahkan kemungkinan terburuk bila ia harus bercerai dari suaminya yang sudah menikahinya selama lima tahun."Assalamu'alaikum ...." Suara seseorang membuat Icha dan Mbok Surti yang sedang menikmati acara televisi, menoleh berbarengan."Wa'alaikumsalam," jawab Icha dan Mbok Surti serempak.Sesosok yang pembawaannya maskulin, berjalan menuju ke arah Mbok Surti dan Icha yang terpaku di tempatnya."Hei, kenapa bengong, Cha, Mbok?"Icha tersenyym, begitupun Mbok Surti.Josh mengulurkan tas kerjanya kepada Mbok Surti lalu menghenyakkan tubuh di samping Icha."Sudah siap, Cha?""Udah. Sekarang? Enggak capai, kamu, Josh?""Lumayqn, sih, tapi nggak apa-apa.Ayo!""Nggak mandi dulu?""Udah mandi tadi di kantor.""Oh ...."Icha meraih slingbag di atas meja dan segera mengikuti langkah Josh menuju keluar setelah berpamitan p
"Cha!" lirih Herlan.Icha mengangkat kedua tangannya di depan wajah, mengisyaratakan tak mau lagi mendengar alasan apa pun dari sosok di depannya yang telah menalaknya beberapa saat yang lalu."Aku menerima masa lalu, tapi maaf! Aku tak bisa menerima pengkhianatan setelah ada ikatan halal di antara kita.""Jangan munafik, Cha! Aku tahu kamu masih mencintaiku, kan?"Shit"Omong kosong macam apa, huh? Aku mencintaimu, berusaha mencintaimu. Namun, apa yang sudah kamu lakukan, Mas?""Aku hanya melakukan sekali, tapi kamu begitu murka. Apa kamu pikir kamu Tuhan hingga kamu menghakimiku seperti ini, hah?""Dia hamil darah dagingku, Cha!""Darah daging yang belum Tuhan beri dalam ikatan halal kita, tapi kau dapatkan dari perbuatan hina!" tegasku."Sekali lagi, aku hanya melakukannya dengan perempuan itu.""Kau lakukan hanya dengan wanita suci itu, tapi berkali-kali. Apa bedanya kamu dengan laki-laki pemuja selangkangan di luar sana?""Cukup, Cha!"Icha menoleh pada suaminya dengan tatapan men