Lara Hati Icha
Part 2
#kubawa_benihmu_Saat_Kau_Menalakku
***
Flashback
Sudah tiga hari Mas Herlan ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Dia pergi beserta staf kantor lainnya. Itu pamitnya padaku.
Seperti yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kali Mas Herlan ke luar kota, dia menyuruhku untuk menginap di rumah mertuaku sampai dia kembali. Kepergiannya kali ini pun dia berpesan agar aku jangan kembali ke rumah sebelum dia memberi kabar bahwa dia telah pulang.
Selama lima tahun mendampinginya, aku sudah hafal kebiasaannya, termasuk saat dia berbohong, dan hari saat dia pamit, sebenarnya aku menangkap sinyal kebohongan. Ada raut gelisah di wajahnya. Biarlah, aku berusaha menepis itu dan berharap itu hanya perasaanku.
Kuakui, sejauh yang kutahu dia berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelum menikah. Banyak gosip miring seputar pergaulan di masa lajangnya. Bukan aku tidak ingin tahu lebih jauh tentang masa lalunya, tapi aku menjaga agar jangan sampai berburuk sangka hanya karena katanya. Apa pun dan bagaimanapun dia dulu, yang menjadi suamiku adalah dia yang sekarang.
Dia memperlakukanku seperti istri pada umumnya. Mengajakku ke acara kantor dan dengan bangga memperkenalkan sebagai istrinya. Selama itu pun, aku bersyukur, apa yang dikhawatirkan Ibu tidak menjadi kenyataan.
Raut kebohongan yang aku tangkap, entah kenapa membuat pikiranku gelisah. Perasaanku tidak enak, walaupun selama tiga hari itu suamiku selalu menghubungi tiga kali dalam sehari, tak jua bisa menepiskan perasaan tidak enak.
Apakah aku harus menyusulnya? Sungguh pikiran bodoh. Toh, buat apa? Luar kota yang dia maksudkan pun aku tidak tahu. Menghubungi rekan sekantornya? Mustahil.
"Cha!" panggil mertuaku di saat aku sedang berperang dengan perasaan atas sinyal kebohongan itu.
Menoleh ke arah datangnya suara, aku tersenyum tipis mendapati mertuaku telah berdiri di belakang.
"I ... iya, Bu!" jawabku.
"Kenapa melamun?"
"Eh, anu Bu, saya lagi mikir sepertinya, ada yang tertinggal di rumah," bohongku.
"Berhargakah?" tanya mertuaku lagi.
"Em, obat buat Ibu yang sudah dibeli Mas Herlan sebelum ke luar kota, Bu," bohongku lagi.
Ah, entah. Pertama aku berbuat konyol seperti ini di depan mertua.
"Obat buat Ibu sudah habis, dan hari ini saya harus memberikannya pada Ibu. Apakah Ibu keberatan bila saya pamit mengambilnya?" lanjutku.
Ibu mengangguk mengerti.
"Pergilah, tapi setelah urusanmu selesai, segera pulang. Ibu enggak mau Herlan khawatir," pesan Ibu akhirnya.
'Iya, Bu. Terima kasih."
Berlalu dari hadapan Ibu, aku menuju kamar untuk mengambil tas dan ponsel. Duduk di tepi ranjang, kubuka aplikasi ojek online. Sambil menunggu konfirmasi dari driver, kuamati sekeliling kamar Mas Herlan. Masih sama seperti waktu aku menginap sendiri atau bersamanya.
Beberapa saat kemudian, ojek online yang kupesan memberitahu telah sampai di depan rumah. Bergegas aku melangkah meninggalkan kamar.
"Pergi dulu, Bu," pamitku pada Ibu mertua sambil kucium tangannya, saat kami berpapasan di ruang tamu.
"Iya, hati-hati," pesannya sambil mengelus puncak kepalaku.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di rumah karena jarak rumahku dan mertua tidak terlalu jauh, hanya dua puluh menit perjalanan.
Tepat di depan pintu gerbang, aku turun. Kuamati gerbang rumah. Aneh. Kenapa pintunya terbuka? Padahal tiga hari yang lalu saat aku meninggalkannya, gerbang dalam keadaan terkunci rapat dan hanya aku dan Ms Herlan yang memegang kuncinya. Apakah Mas Herlan sudah pulang? Mustahil. Dia bilang ke luar kota selama seminggu, lagi pula Mas Herlan tidak memberitahu kalau hari ini pulang. Pikiran aneh pun segera menguasaiku.
Aku cepat-cepat turun dari ojek dan dengan langkah cepat menuju pintu depan
Aneh!
Pintu rumah terkunci rapat tapi ada sepatu Mas Herlan. Kecurigaan seketika menyergap.
Kuputar handle pintu. Terkunci. Merogoh tas slempangku, aku temukan kunci duplikat rumah. Kumasukkan pelan-pelan dan memutar handlenya. Setelah aku masuk ke rumah, yang pertama kali kutuju adalah kamar. Namun, pintu kamar itu sedikit terbuka. Sayup kudengar suara dua orang sedang berbicara tapi pelan sekali.
Kulepas alas kaki agar suara langkah tak bisa didengar. Kutajamkan pendengaran tepat di depan pintu tersebut dengan mengambil posisi aman dan tidak terlihat dari dalam kamar.
Suara obrolan ringan lama-lama menjadi desahan. Semakin lama semakin intens.
Tenang, Icha! Jangan bertindak bodoh.
Kuambil ponsel yang kini berada di saku gamisku. Mode kamera aku nyalakan. Kubuka pintu perlahan agar tidak menimbulkan suara.
Pemandangan menjijikkan terpampang di depan mata. Dua orang makhluk bernama manusia tengah bergumul di dalam selimut. Hanya sebagian kepala mereka yang menyembul.
Aku tak mau membuang-buang waktu. Pergumulan mereka kuabadikan dalam video ponselku. Jangan ditanya bagaimana perasaanku mendapati pemandangan menjijikkan itu. Marah, geram, benci, jijik, membaur. Dengan menutup mulut dan sesekali menyeka ujung kedua netra yang telah basah, aku tetap merekam adegan itu. Sampai saatnya tiba, erangan panjang keluar dari mulut kedua makhluk menjijikkan di depan mataku.
Tubuh mereka masih saling bertaut saat aku mulai membuka pintu kamar lebar-lebar, tanpa hentakkan. Walaupun begitu, suara pintu dibuka tetaplah bisa didengar di ruang tidur. Saat menyadari ada yang membuka pintu, tubuh mereka perlahan saling melepaskan. Kali ini aku mengambil gambar mereka dengan mode kamera.
Mata pria itu terbelalak saat menyadari aku tengah berada di kamar dan mengamati adegan mereka. Sontak mereka saling menutupi tubuh mereka dengan selimut.
Tatapanku datar tanpa ekspresi saat beradu pandang dengan suamiku. Sementara si perempuan tergesa-gesa memunguti pakaian yang berserakan di lantai kamar.
Dia lelakiku, suamiku lima tahun terakhir ini, memandangku dengan tatapan sendu dan wajah pucat.
Kupikir aku akan melakukan apa terhadapmu, Mas?
Pandanganku beralih pada wanita jalang yang masih dalam keadaan setengah telanjang. Dia bersusah payah memakai pakaian ketatnya. Namun, tampak kesulitan. Momen saat perempuan itu memunguti pakaian yang berserakan di lantai dalam keadaan telanjang, kuabadikan dengan kamera ponsel.
Kualihkan pandangan kembali pada suamiku. Nampaknya dia mencuri kesempatan saat aku memfoto wanita jalang itu, untuk memakai pakaian kerjanya kembali yang telah kusut.
Kudorong dengan keras pintu kamar dengan kaki kananku hingga menutup sempurna.
"Cha!" panggil Mas Herlan dengan suara tercekat.
"Mas bisa jelaskan."
Kutulikan telinga sambil berjalan ke arah suamiku berdiri mematung bersama perempuan itu. Setelah jarak kami hanya beberapa jengkal, kulucuti tubuh keduanya dengan tatapan tajam penuh amarah. Namun, bukan Icha jika harus melampiaskannya dengan cara bar-bar. Kepala mereka tertunduk. Hening tanpa suara dalam ruangan berukuran 4x4 meter ini.
Tiba-tiba Mas Herlan menjatuhkan tubuhnya di hadapanku. Dia berdiri dengan bertumpu pada kedua lututnya.
"Maafkan Mas, Cha...." Suamiku mengiba. Mencoba meraih tanganku, tapi aku menepisnya kasar.
"Katakan, berapa kali kalian melakukan ini!"
Diam
Tak ada yang berani menjawab. Si jalang masih menunduk, sesekali terdengar isak tangisnya. Mas Herlan masih bersimpuh di depan kakiku. Bahunya berguncang.
"Jawab!" teriakku.
Masih diam.
"Baiklah kalau kalian tidak mau menjawab. Anggap saja satu kali kalian melakukannya di depan mataku...." Aku menjeda kalimatku.
Aku tahu, mereka sedang menunggu kalimat apa lagi yang akan keluar dari mulutku.
"Lepaskan pakaian kalian sekarang juga tanpa tersisa satu pun yang melekat di tubuh kalian!" jeritku.
Keduanya terperangah. Si sundal memundurkan badannya hingga menempel dinding, sementara Mas Herlan spontan berdiri.
"Kalian tuli, hah?"
"Lepaskan sekarang juga!"
Mas Herlan melangkah mendekatiku. Ditatapnya wajahku dengan sorot tajam dan wajah memerah, rahangnya mengeras.
"Kamu gila, Cha!" bentaknya.
"Katakan! Berapa kali kalian melakukan ini?"
"Baik! Empat kali. Puas kamu sekarang?"
Lihatlah! Menjijikkan sekali bukan? Mereka yang berbuat nista, tanpa rasa malu justru mengintimidasiku.
Kuambil ponsel, kubuka galeri dan mencari rekaman adegan menjijikkan mereka. Kuklik tombol share. Namun, belum sempat kutekan kontak mana yang akan kubagi, Mas Herlan membentakku lagi.
"Apa maumu, Cha?"
"Lakukan sekali lagi di sini, di depanku!" teriakku memerintah.
Lara Hati Icha
Part 2
#kubawa_benihmu_Saat_Kau_Menalakku***
FlashbackSudah tiga hari Mas Herlan ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Dia pergi beserta staf kantor lainnya. Itu pamitnya padaku.
Seperti yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kali Mas Herlan ke luar kota, dia menyuruhku untuk menginap di rumah mertuaku sampai dia kembali. Kepergiannya kali ini pun dia berpesan agar aku jangan kembali ke rumah sebelum dia memberi kabar bahwa dia telah pulang.
Selama lima tahun mendampinginya, aku sudah hafal kebiasaannya, termasuk saat dia berbohong, dan hari saat dia pamit, sebenarnya aku menangkap sinyal kebohongan. Ada raut gelisah di wajahnya. Biarlah, aku berusaha menepis itu dan berharap itu hanya perasaanku.
Kuakui, sejauh yang kutahu dia berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelum menikah. Banyak gosip miring seputar pergaulan di masa lajangnya. Bukan aku tidak ingin tahu lebih jauh tentang masa lalunya, tapi aku menjaga agar jangan sampai berburuk sangka hanya karena katanya. Apa pun dan bagaimanapun dia dulu, yang menjadi suamiku adalah dia yang sekarang.
Dia memperlakukanku seperti istri pada umumnya. Mengajakku ke acara kantor dan dengan bangga memperkenalkan sebagai istrinya. Selama itu pun, aku bersyukur, apa yang dikhawatirkan Ibu tidak menjadi kenyataan.
Raut kebohongan yang aku tangkap, entah kenapa membuat pikiranku gelisah. Perasaanku tidak enak, walaupun selama tiga hari itu suamiku selalu menghubungi tiga kali dalam sehari, tak jua bisa menepiskan perasaan tidak enak.
Apakah aku harus menyusulnya? Sungguh pikiran bodoh. Toh, buat apa? Luar kota yang dia maksudkan pun aku tidak tahu. Menghubungi rekan sekantornya? Mustahil.
"Cha!" panggil mertuaku di saat aku sedang berperang dengan perasaan atas sinyal kebohongan itu.
Menoleh ke arah datangnya suara, aku tersenyum tipis mendapati mertuaku telah berdiri di belakang.
"I ... iya, Bu!" jawabku.
"Kenapa melamun?"
"Eh, anu Bu, saya lagi mikir sepertinya, ada yang tertinggal di rumah," bohongku.
"Berhargakah?" tanya mertuaku lagi.
"Em, obat buat Ibu yang sudah dibeli Mas Herlan sebelum ke luar kota, Bu," bohongku lagi.
Ah, entah. Pertama aku berbuat konyol seperti ini di depan mertua.
"Obat buat Ibu sudah habis, dan hari ini saya harus memberikannya pada Ibu. Apakah Ibu keberatan bila saya pamit mengambilnya?" lanjutku.
Ibu mengangguk mengerti.
"Pergilah, tapi setelah urusanmu selesai, segera pulang. Ibu enggak mau Herlan khawatir," pesan Ibu akhirnya.
'Iya, Bu. Terima kasih."
Berlalu dari hadapan Ibu, aku menuju kamar untuk mengambil tas dan ponsel. Duduk di tepi ranjang, kubuka aplikasi ojek online. Sambil menunggu konfirmasi dari driver, kuamati sekeliling kamar Mas Herlan. Masih sama seperti waktu aku menginap sendiri atau bersamanya.
Beberapa saat kemudian, ojek online yang kupesan memberitahu telah sampai di depan rumah. Bergegas aku melangkah meninggalkan kamar.
"Pergi dulu, Bu," pamitku pada Ibu mertua sambil kucium tangannya, saat kami berpapasan di ruang tamu.
"Iya, hati-hati," pesannya sambil mengelus puncak kepalaku.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di rumah karena jarak rumahku dan mertua tidak terlalu jauh, hanya dua puluh menit perjalanan.
Tepat di depan pintu gerbang, aku turun. Kuamati gerbang rumah. Aneh. Kenapa pintunya terbuka? Padahal tiga hari yang lalu saat aku meninggalkannya, gerbang dalam keadaan terkunci rapat dan hanya aku dan Ms Herlan yang memegang kuncinya. Apakah Mas Herlan sudah pulang? Mustahil. Dia bilang ke luar kota selama seminggu, lagi pula Mas Herlan tidak memberitahu kalau hari ini pulang. Pikiran aneh pun segera menguasaiku.
Aku cepat-cepat turun dari ojek dan dengan langkah cepat menuju pintu depan
Aneh!
Pintu rumah terkunci rapat tapi ada sepatu Mas Herlan. Kecurigaan seketika menyergap.
Kuputar handle pintu. Terkunci. Merogoh tas slempangku, aku temukan kunci duplikat rumah. Kumasukkan pelan-pelan dan memutar handlenya. Setelah aku masuk ke rumah, yang pertama kali kutuju adalah kamar. Namun, pintu kamar itu sedikit terbuka. Sayup kudengar suara dua orang sedang berbicara tapi pelan sekali.
Kulepas alas kaki agar suara langkah tak bisa didengar. Kutajamkan pendengaran tepat di depan pintu tersebut dengan mengambil posisi aman dan tidak terlihat dari dalam kamar.
Suara obrolan ringan lama-lama menjadi desahan. Semakin lama semakin intens.
Tenang, Icha! Jangan bertindak bodoh.
Kuambil ponsel yang kini berada di saku gamisku. Mode kamera aku nyalakan. Kubuka pintu perlahan agar tidak menimbulkan suara.
Pemandangan menjijikkan terpampang di depan mata. Dua orang makhluk bernama manusia tengah bergumul di dalam selimut. Hanya sebagian kepala mereka yang menyembul.
Aku tak mau membuang-buang waktu. Pergumulan mereka kuabadikan dalam video ponselku. Jangan ditanya bagaimana perasaanku mendapati pemandangan menjijikkan itu. Marah, geram, benci, jijik, membaur. Dengan menutup mulut dan sesekali menyeka ujung kedua netra yang telah basah, aku tetap merekam adegan itu. Sampai saatnya tiba, erangan panjang keluar dari mulut kedua makhluk menjijikkan di depan mataku.
Tubuh mereka masih saling bertaut saat aku mulai membuka pintu kamar lebar-lebar, tanpa hentakkan. Walaupun begitu, suara pintu dibuka tetaplah bisa didengar di ruang tidur. Saat menyadari ada yang membuka pintu, tubuh mereka perlahan saling melepaskan. Kali ini aku mengambil gambar mereka dengan mode kamera.
Mata pria itu terbelalak saat menyadari aku tengah berada di kamar dan mengamati adegan mereka. Sontak mereka saling menutupi tubuh mereka dengan selimut.
Tatapanku datar tanpa ekspresi saat beradu pandang dengan suamiku. Sementara si perempuan tergesa-gesa memunguti pakaian yang berserakan di lantai kamar.
Dia lelakiku, suamiku lima tahun terakhir ini, memandangku dengan tatapan sendu dan wajah pucat.
Kupikir aku akan melakukan apa terhadapmu, Mas?
Pandanganku beralih pada wanita jalang yang masih dalam keadaan setengah telanjang. Dia bersusah payah memakai pakaian ketatnya. Namun, tampak kesulitan. Momen saat perempuan itu memunguti pakaian yang berserakan di lantai dalam keadaan telanjang, kuabadikan dengan kamera ponsel.
Kualihkan pandangan kembali pada suamiku. Nampaknya dia mencuri kesempatan saat aku memfoto wanita jalang itu, untuk memakai pakaian kerjanya kembali yang telah kusut.
Kudorong dengan keras pintu kamar dengan kaki kananku hingga menutup sempurna.
"Cha!" panggil Mas Herlan dengan suara tercekat.
"Mas bisa jelaskan."
Kutulikan telinga sambil berjalan ke arah suamiku berdiri mematung bersama perempuan itu. Setelah jarak kami hanya beberapa jengkal, kulucuti tubuh keduanya dengan tatapan tajam penuh amarah. Namun, bukan Icha jika harus melampiaskannya dengan cara bar-bar. Kepala mereka tertunduk. Hening tanpa suara dalam ruangan berukuran 4x4 meter ini.
Tiba-tiba Mas Herlan menjatuhkan tubuhnya di hadapanku. Dia berdiri dengan bertumpu pada kedua lututnya.
"Maafkan Mas, Cha...." Suamiku mengiba. Mencoba meraih tanganku, tapi aku menepisnya kasar.
"Katakan, berapa kali kalian melakukan ini!"
Diam
Tak ada yang berani menjawab. Si jalang masih menunduk, sesekali terdengar isak tangisnya. Mas Herlan masih bersimpuh di depan kakiku. Bahunya berguncang.
"Jawab!" teriakku.
Masih diam.
"Baiklah kalau kalian tidak mau menjawab. Anggap saja satu kali kalian melakukannya di depan mataku...." Aku menjeda kalimatku.
Aku tahu, mereka sedang menunggu kalimat apa lagi yang akan keluar dari mulutku.
"Lepaskan pakaian kalian sekarang juga tanpa tersisa satu pun yang melekat di tubuh kalian!" jeritku.
Keduanya terperangah. Si sundal memundurkan badannya hingga menempel dinding, sementara Mas Herlan spontan berdiri.
"Kalian tuli, hah?"
"Lepaskan sekarang juga!"
Mas Herlan melangkah mendekatiku. Ditatapnya wajahku dengan sorot tajam dan wajah memerah, rahangnya mengeras.
"Kamu gila, Cha!" bentaknya.
"Katakan! Berapa kali kalian melakukan ini?"
"Baik! Empat kali. Puas kamu sekarang?"
Lihatlah! Menjijikkan sekali bukan? Mereka yang berbuat nista, tanpa rasa malu justru mengintimidasiku.
Kuambil ponsel, kubuka galeri dan mencari rekaman adegan menjijikkan mereka. Kuklik tombol share. Namun, belum sempat kutekan kontak mana yang akan kubagi, Mas Herlan membentakku lagi.
"Apa maumu, Cha?"
"Lakukan sekali lagi di sini, di depanku!" teriakku memerintah.
Diraihnya Rosa dalam gendongan Hendar. Ia peluk bocak cantik yang gurat wajahnya sangat mirip dengan Dewi itu erat, seakan ia tak akan bertemu lagi dengan buah hati tercintanya itu."Papa ...." ucap Rosa."Papa sayang Rosa."Diciuminya wajah Rosa bertubi-tubi."Ocha cayang Papa uga.""Jangan nakal, baik-baik sama Ayah Hendar sama Ibu Erna, ya?"Rosa mengangguk sambil mengerjab-ngerjab lucu.Masih teringat perbincangan itu dua belas tahun yang lalu antara dirinya dan papa kandung Rosa, majikannya.Sejak saat itu, Aditya tak memperbolehkan lagi Hendar dan istrinya bekerja di rumahnya, tapi sebagai gantinya ia tetap memberi gaji kepada mereka karena mengasuh Rosa.Hendar terhenyak dari lamunan saat Icha memegang lengannya."Kak Rosa nggak apa-apa. Bantu Ibu siapkan makan, gih! Biar Ayah yang bujuk Kak Rosa."Icha pun berlalu menuju dapur dan mendapati Bu Erna sedang memotong sayur. Tok! Tok! Tok!"Buka pintunya, Nak! Ini Ayah," panggil Hendar."Ayah jahat! Rosa benci Ayah!" seru Rosa da
"Apa ada hal penting yang sehingga Pak Aditya mengutus Anda ke mari?""Itu tujuan saya ke mari, Pak.""Maksud Bapak?""Saya diminta Pak Adit untuk mengambil Non Rosa ....""Kenapa bukan Pak Adit dan Bu Dewi yang datang ke mari?""Pak Adit ....""Pak Adit kenapa?" tanya Hendar."Keluarga Pak Adit sedang ada masalah cukup berat, Pak.""Maksudnya?""Depresi Nyonya Dewi hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan membaik, dan Non Yoshi juga sakit ....""Innalillaahi ....""Non Yoshi sakit apa?""Saya tidak tahu persis, Pak. Pak Adit tidak mengatakan detailnya. Beliau hanya mengatakan akan mengusahakan pengobatan untuk Nyonya Dewi dan putrinya jauh dari sini, dan Pak Adit ingin Non Rosa ikut serta""Beri kami waktu untuk bicara dengan Rosa.""Tapi berapa lama, Pak? Pak Adit meminta secepatnya untuk membawa Non Rosa.""Secepatnya akan kami kabari."Tanpa Hendar sadari, Rosa mendengar pembicaraan ayah dan tamunya di balik pintu ruang tengah. Tiba-tiba raut wajahnya berubah."Kak ...!
Sikap aneh yang ditunjukkan oleh Dewi, menurut dokter yang menanganinya, merupakan gejala yang umum ditunjukkan oleh seorang ibu pascamelahirkan. Jika kehamilan ibaratnya roller coaster yang mengaduk-aduk emosi, pasca melahirkan mungkin lebih tepat seperti tornado yang mengacaukan emosi. Perubahan suasana hati, kekesalan yang tiba-tiba menyerang, tangisan yang seringkali tak beralasan, adalah hal-hal yang mungkin sorang ibu rasakan tanpa bisa dikendalikan. Melahirkan menyebabkan tubuh seorang ibu melalui beberapa penyesuaian hormon yang terkadang sangat 'liar'. Di sisi lain, saat harus berjuang berdamai dengan perubahan hormon tersebut, ada si Kecil yang masih sangat membutuhkan perhatian sang ibu. Hal ini menimbulkan pergolakan yang menyebabkan perasaan sedih, stres, dan gelisah atau yang disebut dengan postpartum depression (PPD).Postpartum Depression atau PPD, adalah suatu bentuk depresi klinis yang dimulai setelah kelahiran bayi. Gejala umumnya meliputi : kehilangan selera mak
Siapakah Rosa, sehingga ia begitu berarti untuk Josh dan hidupnya?Flashback onDua gadis kecil berlari-lari di hamparan pasir di sepanjang pantai saat senja hari. Keduanya tertawa lepas mengiringi tenggelamnya sang surya menuju peraduan di ufuk barat.Sementara di bangku panjang terbuat dari bambu yang berjajar di antara deretan pohon cemara, tampak seorang laki-laki memperhatikan kedua gadis itu seraya menyunggingkan senyumnya. Menyesap kopi hitam yang dipesan di warung tak jauh dari tempatnya duduk, ia sandarkan punggungnya di sandaran kursi. Matanya tak lepas mengawasi keduanya.Terengah-engah kedua gadis yang beranjak remaja itu menghampiri laki-laki berusia 38 tahun itu."Icha capek, Ayah," keluh anak gadis yang lebih kecil. Diraihnya gelas berisi es teh di depan laki-laki yang dipanggilnya ayah."Kak Rosa juga capek," timpal gadis yang lebih besar.Keduanya menghenyakkan tubuh di samping kanan kiri ayah mereka. Mereka menyandarkan kepala di kedua bahu ayahnya."Sudah cukup main
"Sampai kapan aku harus menunggu, Lan?" gerutu Nora kesal."Nunggu apa?""Perutku sudah membesar, tapi kau tak kunjung menikahiku secara sah." Nora mulai kesal dengan sikap Herlan."Aku juga bingung, Nora! Keberadaan Icha saja aku tak tahu." Herlan tak kalah kesal karena Nora terus mendesaknya."Tanya Josh! Dia pasti tahu keberadaan perempuan memyebalkan itu.""Mau cari mati tanya Josh, hah?" geram Herlan. Matanya tajam menyorot istri keduanya itu."Turunkan gengsimu. Apa salahnya ngomong baik-baik sama dia? Bila perlu kau mengiba di kakinya.""Sinting kamu! Bila dia tahu aku mencari Icha hanya untuk menceraikannya, apa kamu bisa menjamin aku akan hidup, hah?""Lalu bagaimana nasibku, Lan?""Seandainya sampai anak ini lahir kau belum menikahiku secara resmi, gimana Lan?" Sambung Nora."Pusing aku, Nora. Bisa nggak mulutmu itu diam sebentar?"'Kemungkinan terburuk, kamu hanya akan menjadi istri kedua jika Icha mau menandatangani surat pernyataan bersedia dimadu. Itu pun harus melalui s
Josh melenggang meninggalkan rumah orang tua Herlan menuju mobilnya. Saat hendak membuka pintu mobil, gawai di saku celananya bergetar.Panggilan dari Ina. Saat hendak mengangkat, panggilan terputus.[Kakak, Kak Icha pingsan]Pesan dari Ina.Tanpa membuang waktu, Josh segera memasuki mobilnya dan segera melaju dengan kecepatan tinggi. Dia berbalik arah menuju kediaman ibu Icha.Tiga puluh menit perjalanan, akhirnya Josh sampai. Ia turun dari mobil dan segera berlari menuju ke dalam. Dilihatnya Icha terbaring di sofa dengan wajah pucat. Di sampingnya, Bu Erna dan Ina berusaha menyadarkan Icha dengan mengoles minyak kayu putih di ujung hidung Icha."Icha kenapa?" tanya Josh panik."Tadi Kak Icha ke kamar mandi, terus muntah-muntah. Pas aku susul, dia sudah pingsan di depan kamar mandi," terang Ina."Kakak akan telpon dokter."Ina hanya mangangguk.Josh merogoh ponsel di saku kemejanya kemudian mencari kontak seseorang. Dokter Fahmi, dokter keluarga Josh.Berulang kali Josh memencet tand