Share

Bab 2

Lara Hati Icha

Part 2

#kubawa_benihmu_Saat_Kau_Menalakku

***

Flashback

Sudah tiga hari Mas Herlan ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Dia pergi beserta staf kantor lainnya. Itu pamitnya padaku. 

Seperti yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kali Mas Herlan ke luar kota, dia menyuruhku untuk menginap di rumah mertuaku sampai dia kembali. Kepergiannya kali ini pun dia berpesan agar aku jangan kembali ke rumah sebelum dia memberi kabar bahwa dia telah pulang.

Selama lima tahun mendampinginya, aku sudah hafal kebiasaannya, termasuk saat dia berbohong, dan hari saat dia pamit, sebenarnya aku menangkap sinyal kebohongan. Ada raut gelisah di wajahnya. Biarlah, aku berusaha menepis itu dan berharap itu hanya perasaanku.

Kuakui, sejauh yang kutahu dia berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelum menikah. Banyak gosip miring seputar pergaulan di masa lajangnya. Bukan aku tidak ingin tahu lebih jauh tentang masa lalunya, tapi aku menjaga agar jangan sampai berburuk sangka hanya karena katanya. Apa pun dan bagaimanapun dia dulu, yang menjadi suamiku adalah dia yang sekarang.

Dia memperlakukanku seperti istri pada umumnya. Mengajakku ke acara kantor dan dengan bangga memperkenalkan sebagai istrinya. Selama itu pun, aku bersyukur, apa yang dikhawatirkan Ibu tidak menjadi kenyataan.

Raut kebohongan yang aku tangkap, entah kenapa membuat pikiranku gelisah. Perasaanku tidak enak, walaupun selama tiga hari itu suamiku selalu menghubungi tiga kali dalam sehari, tak jua bisa menepiskan perasaan tidak enak.

Apakah aku harus menyusulnya? Sungguh pikiran bodoh. Toh, buat apa? Luar kota yang dia maksudkan pun aku tidak tahu. Menghubungi rekan sekantornya? Mustahil.

"Cha!" panggil mertuaku di saat aku sedang berperang dengan perasaan atas sinyal kebohongan itu.

Menoleh ke arah datangnya suara, aku tersenyum tipis mendapati mertuaku telah berdiri di belakang.

"I ... iya, Bu!" jawabku.

"Kenapa melamun?"

"Eh, anu Bu, saya lagi mikir sepertinya, ada yang tertinggal di rumah," bohongku.

"Berhargakah?" tanya mertuaku lagi.

"Em, obat buat Ibu yang sudah dibeli Mas Herlan sebelum ke luar kota, Bu," bohongku lagi.

Ah, entah. Pertama aku berbuat konyol seperti ini di depan mertua.

"Obat buat Ibu sudah habis, dan hari ini saya harus memberikannya pada Ibu. Apakah Ibu keberatan bila saya pamit mengambilnya?" lanjutku.

Ibu mengangguk mengerti.

"Pergilah, tapi setelah urusanmu selesai, segera pulang. Ibu enggak mau Herlan khawatir," pesan Ibu akhirnya.

'Iya, Bu. Terima kasih."

Berlalu dari hadapan Ibu, aku menuju kamar untuk mengambil tas dan ponsel. Duduk di tepi ranjang, kubuka aplikasi ojek online. Sambil menunggu konfirmasi dari driver, kuamati sekeliling kamar Mas Herlan. Masih sama seperti waktu aku menginap sendiri atau bersamanya.

Beberapa saat kemudian, ojek online yang kupesan memberitahu telah sampai di depan rumah. Bergegas aku melangkah meninggalkan kamar.

"Pergi dulu, Bu," pamitku pada Ibu mertua sambil kucium tangannya, saat kami berpapasan di ruang tamu.

"Iya, hati-hati," pesannya sambil mengelus  puncak kepalaku.

Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di rumah karena jarak rumahku dan mertua tidak terlalu jauh, hanya dua puluh menit perjalanan.

Tepat di depan pintu gerbang, aku turun. Kuamati gerbang rumah. Aneh. Kenapa pintunya terbuka? Padahal tiga hari yang lalu saat aku meninggalkannya, gerbang dalam keadaan terkunci rapat dan hanya aku dan Ms Herlan yang memegang kuncinya. Apakah Mas Herlan sudah pulang? Mustahil. Dia bilang ke luar kota selama seminggu, lagi pula Mas Herlan tidak memberitahu kalau hari ini pulang. Pikiran aneh pun segera menguasaiku.

Aku cepat-cepat turun dari ojek dan dengan langkah cepat menuju pintu depan

Aneh! 

Pintu rumah terkunci rapat tapi ada sepatu Mas Herlan. Kecurigaan seketika menyergap.

Kuputar handle pintu. Terkunci. Merogoh tas slempangku, aku temukan kunci duplikat rumah. Kumasukkan pelan-pelan dan memutar handlenya. Setelah aku masuk ke rumah, yang pertama kali kutuju adalah kamar.  Namun, pintu kamar itu sedikit terbuka. Sayup kudengar suara dua orang sedang berbicara tapi pelan sekali.

Kulepas alas kaki agar suara langkah tak bisa didengar. Kutajamkan pendengaran tepat di depan pintu tersebut dengan mengambil posisi aman dan tidak terlihat dari dalam kamar.

Suara obrolan ringan lama-lama menjadi desahan. Semakin lama semakin intens.

Tenang, Icha! Jangan bertindak bodoh.

Kuambil ponsel yang kini berada di saku gamisku. Mode kamera aku nyalakan. Kubuka pintu perlahan agar tidak menimbulkan suara.

Pemandangan menjijikkan terpampang di depan mata. Dua orang makhluk bernama manusia tengah bergumul di dalam selimut. Hanya sebagian kepala mereka yang menyembul.

Aku tak mau membuang-buang waktu. Pergumulan mereka kuabadikan dalam video ponselku. Jangan ditanya bagaimana perasaanku mendapati pemandangan menjijikkan itu. Marah, geram, benci, jijik, membaur. Dengan menutup mulut dan sesekali menyeka ujung kedua netra yang telah basah, aku tetap merekam adegan itu. Sampai saatnya tiba, erangan panjang keluar dari mulut kedua makhluk menjijikkan di depan mataku.

Tubuh mereka masih saling bertaut saat aku mulai membuka pintu kamar lebar-lebar, tanpa hentakkan. Walaupun begitu, suara pintu dibuka tetaplah bisa didengar di ruang tidur. Saat menyadari ada yang membuka pintu, tubuh mereka perlahan saling melepaskan. Kali ini aku mengambil gambar mereka dengan mode kamera. 

Mata pria itu terbelalak saat menyadari aku tengah berada di kamar dan mengamati adegan mereka. Sontak mereka saling menutupi tubuh mereka dengan selimut.

Tatapanku datar tanpa ekspresi saat beradu pandang dengan suamiku. Sementara si perempuan tergesa-gesa memunguti pakaian yang berserakan di lantai kamar. 

Dia lelakiku, suamiku lima tahun terakhir ini, memandangku dengan tatapan sendu dan wajah pucat.

Kupikir aku akan melakukan apa terhadapmu, Mas?

Pandanganku beralih pada wanita jalang yang masih dalam keadaan setengah telanjang. Dia bersusah payah memakai pakaian ketatnya. Namun, tampak kesulitan. Momen saat perempuan itu memunguti pakaian yang berserakan di lantai dalam keadaan telanjang, kuabadikan dengan kamera ponsel.

Kualihkan pandangan kembali pada suamiku. Nampaknya dia mencuri kesempatan saat aku memfoto wanita jalang itu, untuk memakai pakaian kerjanya kembali yang telah kusut.

Kudorong dengan keras pintu kamar dengan kaki kananku hingga menutup sempurna.

"Cha!" panggil Mas Herlan dengan suara tercekat.

"Mas bisa jelaskan."

Kutulikan telinga sambil berjalan ke arah suamiku berdiri mematung bersama perempuan itu. Setelah jarak kami hanya beberapa jengkal, kulucuti tubuh keduanya dengan tatapan tajam penuh amarah. Namun, bukan Icha jika harus melampiaskannya dengan cara bar-bar. Kepala mereka tertunduk. Hening tanpa suara dalam ruangan berukuran 4x4 meter ini.

Tiba-tiba Mas Herlan menjatuhkan tubuhnya di hadapanku. Dia berdiri dengan bertumpu pada kedua lututnya.

"Maafkan Mas, Cha...." Suamiku mengiba. Mencoba meraih tanganku, tapi aku menepisnya kasar.

"Katakan, berapa kali kalian melakukan ini!" 

Diam

Tak ada yang berani menjawab. Si jalang masih menunduk, sesekali terdengar isak tangisnya. Mas Herlan masih bersimpuh di depan kakiku. Bahunya berguncang.

"Jawab!" teriakku.

Masih diam.

"Baiklah kalau kalian tidak mau menjawab. Anggap saja satu kali kalian melakukannya di depan mataku...." Aku menjeda kalimatku.

Aku tahu, mereka sedang menunggu kalimat apa lagi yang akan keluar dari mulutku.

"Lepaskan pakaian kalian sekarang juga tanpa tersisa satu pun yang melekat di tubuh kalian!" jeritku.

Keduanya terperangah. Si sundal memundurkan badannya hingga menempel dinding, sementara Mas Herlan spontan berdiri.

"Kalian tuli, hah?"

"Lepaskan sekarang juga!"

Mas Herlan melangkah mendekatiku. Ditatapnya wajahku dengan sorot tajam dan wajah memerah, rahangnya mengeras.

"Kamu gila, Cha!" bentaknya.

"Katakan! Berapa kali kalian melakukan ini?"

"Baik! Empat kali. Puas kamu sekarang?"

Lihatlah! Menjijikkan sekali bukan? Mereka yang berbuat nista, tanpa rasa malu justru mengintimidasiku.

Kuambil ponsel, kubuka galeri dan mencari rekaman adegan menjijikkan mereka. Kuklik tombol share. Namun, belum sempat kutekan kontak mana yang akan kubagi, Mas Herlan membentakku lagi.

"Apa maumu, Cha?"

"Lakukan sekali lagi di sini, di depanku!" teriakku memerintah.

Lara Hati Icha

Part 2

#kubawa_benihmu_Saat_Kau_Menalakku

***

Flashback

Sudah tiga hari Mas Herlan ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Dia pergi beserta staf kantor lainnya. Itu pamitnya padaku. 

Seperti yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kali Mas Herlan ke luar kota, dia menyuruhku untuk menginap di rumah mertuaku sampai dia kembali. Kepergiannya kali ini pun dia berpesan agar aku jangan kembali ke rumah sebelum dia memberi kabar bahwa dia telah pulang.

Selama lima tahun mendampinginya, aku sudah hafal kebiasaannya, termasuk saat dia berbohong, dan hari saat dia pamit, sebenarnya aku menangkap sinyal kebohongan. Ada raut gelisah di wajahnya. Biarlah, aku berusaha menepis itu dan berharap itu hanya perasaanku.

Kuakui, sejauh yang kutahu dia berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelum menikah. Banyak gosip miring seputar pergaulan di masa lajangnya. Bukan aku tidak ingin tahu lebih jauh tentang masa lalunya, tapi aku menjaga agar jangan sampai berburuk sangka hanya karena katanya. Apa pun dan bagaimanapun dia dulu, yang menjadi suamiku adalah dia yang sekarang.

Dia memperlakukanku seperti istri pada umumnya. Mengajakku ke acara kantor dan dengan bangga memperkenalkan sebagai istrinya. Selama itu pun, aku bersyukur, apa yang dikhawatirkan Ibu tidak menjadi kenyataan.

Raut kebohongan yang aku tangkap, entah kenapa membuat pikiranku gelisah. Perasaanku tidak enak, walaupun selama tiga hari itu suamiku selalu menghubungi tiga kali dalam sehari, tak jua bisa menepiskan perasaan tidak enak.

Apakah aku harus menyusulnya? Sungguh pikiran bodoh. Toh, buat apa? Luar kota yang dia maksudkan pun aku tidak tahu. Menghubungi rekan sekantornya? Mustahil.

"Cha!" panggil mertuaku di saat aku sedang berperang dengan perasaan atas sinyal kebohongan itu.

Menoleh ke arah datangnya suara, aku tersenyum tipis mendapati mertuaku telah berdiri di belakang.

"I ... iya, Bu!" jawabku.

"Kenapa melamun?"

"Eh, anu Bu, saya lagi mikir sepertinya, ada yang tertinggal di rumah," bohongku.

"Berhargakah?" tanya mertuaku lagi.

"Em, obat buat Ibu yang sudah dibeli Mas Herlan sebelum ke luar kota, Bu," bohongku lagi.

Ah, entah. Pertama aku berbuat konyol seperti ini di depan mertua.

"Obat buat Ibu sudah habis, dan hari ini saya harus memberikannya pada Ibu. Apakah Ibu keberatan bila saya pamit mengambilnya?" lanjutku.

Ibu mengangguk mengerti.

"Pergilah, tapi setelah urusanmu selesai, segera pulang. Ibu enggak mau Herlan khawatir," pesan Ibu akhirnya.

'Iya, Bu. Terima kasih."

Berlalu dari hadapan Ibu, aku menuju kamar untuk mengambil tas dan ponsel. Duduk di tepi ranjang, kubuka aplikasi ojek online. Sambil menunggu konfirmasi dari driver, kuamati sekeliling kamar Mas Herlan. Masih sama seperti waktu aku menginap sendiri atau bersamanya.

Beberapa saat kemudian, ojek online yang kupesan memberitahu telah sampai di depan rumah. Bergegas aku melangkah meninggalkan kamar.

"Pergi dulu, Bu," pamitku pada Ibu mertua sambil kucium tangannya, saat kami berpapasan di ruang tamu.

"Iya, hati-hati," pesannya sambil mengelus  puncak kepalaku.

Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di rumah karena jarak rumahku dan mertua tidak terlalu jauh, hanya dua puluh menit perjalanan.

Tepat di depan pintu gerbang, aku turun. Kuamati gerbang rumah. Aneh. Kenapa pintunya terbuka? Padahal tiga hari yang lalu saat aku meninggalkannya, gerbang dalam keadaan terkunci rapat dan hanya aku dan Ms Herlan yang memegang kuncinya. Apakah Mas Herlan sudah pulang? Mustahil. Dia bilang ke luar kota selama seminggu, lagi pula Mas Herlan tidak memberitahu kalau hari ini pulang. Pikiran aneh pun segera menguasaiku.

Aku cepat-cepat turun dari ojek dan dengan langkah cepat menuju pintu depan

Aneh! 

Pintu rumah terkunci rapat tapi ada sepatu Mas Herlan. Kecurigaan seketika menyergap.

Kuputar handle pintu. Terkunci. Merogoh tas slempangku, aku temukan kunci duplikat rumah. Kumasukkan pelan-pelan dan memutar handlenya. Setelah aku masuk ke rumah, yang pertama kali kutuju adalah kamar.  Namun, pintu kamar itu sedikit terbuka. Sayup kudengar suara dua orang sedang berbicara tapi pelan sekali.

Kulepas alas kaki agar suara langkah tak bisa didengar. Kutajamkan pendengaran tepat di depan pintu tersebut dengan mengambil posisi aman dan tidak terlihat dari dalam kamar.

Suara obrolan ringan lama-lama menjadi desahan. Semakin lama semakin intens.

Tenang, Icha! Jangan bertindak bodoh.

Kuambil ponsel yang kini berada di saku gamisku. Mode kamera aku nyalakan. Kubuka pintu perlahan agar tidak menimbulkan suara.

Pemandangan menjijikkan terpampang di depan mata. Dua orang makhluk bernama manusia tengah bergumul di dalam selimut. Hanya sebagian kepala mereka yang menyembul.

Aku tak mau membuang-buang waktu. Pergumulan mereka kuabadikan dalam video ponselku. Jangan ditanya bagaimana perasaanku mendapati pemandangan menjijikkan itu. Marah, geram, benci, jijik, membaur. Dengan menutup mulut dan sesekali menyeka ujung kedua netra yang telah basah, aku tetap merekam adegan itu. Sampai saatnya tiba, erangan panjang keluar dari mulut kedua makhluk menjijikkan di depan mataku.

Tubuh mereka masih saling bertaut saat aku mulai membuka pintu kamar lebar-lebar, tanpa hentakkan. Walaupun begitu, suara pintu dibuka tetaplah bisa didengar di ruang tidur. Saat menyadari ada yang membuka pintu, tubuh mereka perlahan saling melepaskan. Kali ini aku mengambil gambar mereka dengan mode kamera. 

Mata pria itu terbelalak saat menyadari aku tengah berada di kamar dan mengamati adegan mereka. Sontak mereka saling menutupi tubuh mereka dengan selimut.

Tatapanku datar tanpa ekspresi saat beradu pandang dengan suamiku. Sementara si perempuan tergesa-gesa memunguti pakaian yang berserakan di lantai kamar. 

Dia lelakiku, suamiku lima tahun terakhir ini, memandangku dengan tatapan sendu dan wajah pucat.

Kupikir aku akan melakukan apa terhadapmu, Mas?

Pandanganku beralih pada wanita jalang yang masih dalam keadaan setengah telanjang. Dia bersusah payah memakai pakaian ketatnya. Namun, tampak kesulitan. Momen saat perempuan itu memunguti pakaian yang berserakan di lantai dalam keadaan telanjang, kuabadikan dengan kamera ponsel.

Kualihkan pandangan kembali pada suamiku. Nampaknya dia mencuri kesempatan saat aku memfoto wanita jalang itu, untuk memakai pakaian kerjanya kembali yang telah kusut.

Kudorong dengan keras pintu kamar dengan kaki kananku hingga menutup sempurna.

"Cha!" panggil Mas Herlan dengan suara tercekat.

"Mas bisa jelaskan."

Kutulikan telinga sambil berjalan ke arah suamiku berdiri mematung bersama perempuan itu. Setelah jarak kami hanya beberapa jengkal, kulucuti tubuh keduanya dengan tatapan tajam penuh amarah. Namun, bukan Icha jika harus melampiaskannya dengan cara bar-bar. Kepala mereka tertunduk. Hening tanpa suara dalam ruangan berukuran 4x4 meter ini.

Tiba-tiba Mas Herlan menjatuhkan tubuhnya di hadapanku. Dia berdiri dengan bertumpu pada kedua lututnya.

"Maafkan Mas, Cha...." Suamiku mengiba. Mencoba meraih tanganku, tapi aku menepisnya kasar.

"Katakan, berapa kali kalian melakukan ini!" 

Diam

Tak ada yang berani menjawab. Si jalang masih menunduk, sesekali terdengar isak tangisnya. Mas Herlan masih bersimpuh di depan kakiku. Bahunya berguncang.

"Jawab!" teriakku.

Masih diam.

"Baiklah kalau kalian tidak mau menjawab. Anggap saja satu kali kalian melakukannya di depan mataku...." Aku menjeda kalimatku.

Aku tahu, mereka sedang menunggu kalimat apa lagi yang akan keluar dari mulutku.

"Lepaskan pakaian kalian sekarang juga tanpa tersisa satu pun yang melekat di tubuh kalian!" jeritku.

Keduanya terperangah. Si sundal memundurkan badannya hingga menempel dinding, sementara Mas Herlan spontan berdiri.

"Kalian tuli, hah?"

"Lepaskan sekarang juga!"

Mas Herlan melangkah mendekatiku. Ditatapnya wajahku dengan sorot tajam dan wajah memerah, rahangnya mengeras.

"Kamu gila, Cha!" bentaknya.

"Katakan! Berapa kali kalian melakukan ini?"

"Baik! Empat kali. Puas kamu sekarang?"

Lihatlah! Menjijikkan sekali bukan? Mereka yang berbuat nista, tanpa rasa malu justru mengintimidasiku.

Kuambil ponsel, kubuka galeri dan mencari rekaman adegan menjijikkan mereka. Kuklik tombol share. Namun, belum sempat kutekan kontak mana yang akan kubagi, Mas Herlan membentakku lagi.

"Apa maumu, Cha?"

"Lakukan sekali lagi di sini, di depanku!" teriakku memerintah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status