Linda menghela napas panjang, menatap suaminya yang baru saja pulang kerja dengan wajah penuh lelah. Tapi lebih dari itu, ada kemarahan yang sejak siang ia pendam.
Bagaimana Linda tidak marah. Dari kemarin, ponselnya terus saja ada panggilan dari nomor asing. Yang tak lain adalah debt collector dari aplikasi pinjaman online. Yang dimana Robi telah meminjam hutang, dengan jaminan atas nama Linda. Tapi suaminya tidak pernah membayar cicilan hutang tersebut."Sumpah, Mas! Aku tuh capek banget sama kamu. Kenapa kamu nggak berubah-berubah? Main judi, pinjam online. Mau sampai kapan?" suara Linda bergetar menahan emosi.“Siapa sih Lin yang main judi dan pinjam online, jangan asal tuduh deh.”“Asal tuduh kamu bilang? Terus yang setiap hari meneleponku menagih hutang kamu itu apa namanya? Hah!”Robi melepas sepatu dengan malas. "Suami baru pulang, bukannya disuguhin teh atau kopi. Lah ini malah disuguhin omelan," protesnya. "Ini sebabnya aku malaAndi mengajak Linda ke warung bakso pinggir jalan setelah mengantarkan Wawan pulang ke rumahnya. Malam sudah larut, hanya ada beberapa pelanggan yang masih duduk menikmati semangkuk bakso panas. Lampu warung yang temaram membuat suasana semakin sunyi. Andi menatap adiknya yang duduk di depannya, tampak lelah dan sedikit gelisah. "Kamu kenapa kerja di tempat seperti itu, Lin? Apa nggak ada kerjaan lain selain tempat itu?" tanya Andi, tatapannya tajam menusuk ke dalam mata adiknya. Linda menunduk, memainkan ujung sendok di mangkuknya. "Mau kerja di mana lagi, Mas? Kamu kan tahu, aku nggak punya pengalaman kerja," jawabnya lirih. Andi menarik napas panjang, berusaha menahan emosi. "Jangan bilang, kerjaanmu yang dulu juga di situ?" tanyanya, nadanya lebih pelan tapi penuh tekanan. Linda masih terdiam. Tangannya sedikit gemetar, menandakan kegelisahan yang ia rasakan. Andi memijat keningnya, merasa sesak di dadany
Andi pulang dengan langkah gontai. Kepalanya terasa berat, seolah dipenuhi beban yang tak kunjung reda. Masalah rumah tangganya saja belum selesai, kini ditambah dengan ancaman dari bosnya di kantor. Laporan yang ia buat tadi ternyata salah lagi, dan ia harus mengulangnya dari awal. Besok, ia bisa saja menerima surat pemecatan. Saat membuka pintu kamar, suara keluhan Anisa langsung menyambutnya. "Kamu pulangnya lama banget sih, Mas?" Andi menghela napas, melepas sepatunya dengan lesu. "Iya, lagi banyak kerjaan." Ia tak ingin menambah beban Anisa dengan keluhannya sendiri. "Aku capek tahu, urus Disa sendirian." Nada suara Anisa terdengar penuh kejengkelan. "Kalau kaya gini terus, mending aku pulang ke rumah orang tuaku dulu sementara." Andi menatap istrinya yang berdiri di ambang pintu kamar, menggendong Disa yang tampak rewel. "Di rumah kan ada Ibu, ada Hera. Kamu bisa minta tolong mereka kalau capek." Anisa
Linda menghela napas panjang, menatap suaminya yang baru saja pulang kerja dengan wajah penuh lelah. Tapi lebih dari itu, ada kemarahan yang sejak siang ia pendam.Bagaimana Linda tidak marah. Dari kemarin, ponselnya terus saja ada panggilan dari nomor asing. Yang tak lain adalah debt collector dari aplikasi pinjaman online. Yang dimana Robi telah meminjam hutang, dengan jaminan atas nama Linda. Tapi suaminya tidak pernah membayar cicilan hutang tersebut."Sumpah, Mas! Aku tuh capek banget sama kamu. Kenapa kamu nggak berubah-berubah? Main judi, pinjam online. Mau sampai kapan?" suara Linda bergetar menahan emosi.“Siapa sih Lin yang main judi dan pinjam online, jangan asal tuduh deh.”“Asal tuduh kamu bilang? Terus yang setiap hari meneleponku menagih hutang kamu itu apa namanya? Hah!”Robi melepas sepatu dengan malas. "Suami baru pulang, bukannya disuguhin teh atau kopi. Lah ini malah disuguhin omelan," protesnya. "Ini sebabnya aku mala
Bu Rodhiah duduk di tepi ranjangnya, membiarkan tubuhnya yang lelah bersandar pada sandaran kursu yang sudah mulai lapuk. Wanita paruh baya itu menghembuskan napas panjang, merasakan nyeri di punggungnya setelah seharian bekerja di warung."Alhamdulillah, Ya Allah, hari ini warung rame," gumamnya sambil menghitung lembaran uang di tangannya.Namun, senyum syukurnya tak bertahan lama. Matanya menatap kosong pada tumpukan uang yang belum cukup untuk menutup setoran hutang bank. Ia menggenggam uang itu erat, seolah berharap bisa melipatgandakannya hanya dengan kemauan."Aku harus bisa menyisihkan sebagian buat bayar hutang. Kalau nggak, tanah itu bisa melayang," bisiknya dengan nada putus asa.Bu Rodhiah termenung. Semakin tua, hidupnya terasa semakin berat. Ia iri melihat teman-teman pengajiannya yang selalu tampil dengan tas dan perhiasan baru, sementara dirinya bahkan tak lagi bisa membeli gamis yang dulu selalu ia koleksi. Orang-orang mengira hid
Linda duduk di kursi depan toko, tempat yang memang disediakan untuk pembeli yang menunggu. Namun, kali ini, dia bukan pembeli biasa. Jemarinya saling meremas, gelisah tak tertahankan. Sesekali, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan."Semoga saja Alvin bisa meminjamkan," gumamnya lirih, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai.Hatinya dipenuhi kecemasan. Jika Alvin tidak bisa membantunya, ke mana lagi dia harus mencari uang? Pikirannya melayang ke berbagai kemungkinan, tapi semua terasa buntu."Tolong aku, Ya Allah."Linda memejamkan mata sejenak, berusaha mengusir rasa putus asanya. Namun, suara langkah kaki dari arah toko membuatnya buru-buru membuka mata. Alvin berjalan mendekat, ekspresinya sulit ditebak.Begitu Alvin berdiri di depannya, Linda tak bisa menahan diri. "Gimana, Vin? Bisa nggak?" tanyanya cepat, suaranya penuh harap.Alvin tidak
Bu Rodhiah pingsan. Tubuhnya ambruk di sofa setelah pertengkaran antara Linda dan Hera memuncak. Keletihan dan tekanan batin yang ia rasakan selama ini akhirnya menguasai tubuh rentanya."Ibu!" pekik Hera panik.Linda, yang juga terkejut, segera membantu meluruskan tubuh sang ibu di atas sofa."Kita harus cari minyak angin!" ucap Hera buru-buru berlari ke dalam kamar ibunya. Tangannya gemetar saat membuka laci lemari di kamar ibu mereka. Setelah menemukannya, ia segera kembali ke ruang tamu dan mengoleskan minyak angin ke pelipis serta hidung Bu Rodhiah.Tak butuh waktu lama, tubuh Bu Rodhiah mulai bergerak sedikit. Napasnya masih berat, tapi matanya perlahan terbuka.Namun, belum sempat suasana tenang, Hera langsung melemparkan tuduhan. "Ini semua gara-gara Mbak Linda! Ibu jadi pingsan!" katanya dengan nada tajam.Linda mendengus kesal. "Aku? Kamu tuh yang teriak-teriak sampai ibu pusing!" balasnya,