"Mas, aku mau keluar dulu ya. Temanku kecelakaan," ujar Anisa dengan nada cemas sambil meraih tas kecilnya.
Andi, yang tengah duduk di sofa sambil memangku Disa, anak mereka yang baru berusia dua bulan lebih, langsung menatap istrinya. "Aku antar," katanya tegas.Anisa menggeleng cepat. "Nggak usah, Mas. Aku sendirian aja. Kamu jaga Disa. Dia lagi tidur, kan?"Andi melirik ke arah putrinya yang terlelap dalam dekapan. Tarikan napasnya terdengar berat, seakan ingin membantah, tapi dia tahu Anisa benar. Dia tidak bisa meninggalkan Disa sendirian."Yaudah, hati-hati. Jangan lama-lama," ucapnya akhirnya, meski raut wajahnya masih tampak ragu.Tanpa banyak bicara lagi, Anisa segera meraih kunci motor dan melesat keluar rumah. Hatinya penuh kegelisahan. Farhan Hartawan, pria yang selama ini menjadi tumpuannya dalam diam, mengalami kecelakaan. Bagaimana kondisinya sekarang?Sesampainya di Rumah Sakit BhaktiDi sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan, Robi duduk bersama beberapa temannya. Asap rokok mengepul di udara, bercampur dengan aroma kopi hitam yang mereka seruput. Mereka sudah berkumpul sejak tadi, mengobrol tentang banyak hal, dari kerjaan yang tak kunjung datang hingga tentang judi online yang sedang mereka mainkan. "Jadi kamu kembali lagi dengan istrimu, Rob?" tanya salah satu temannya, sambil mengaduk kopi dalam gelas kecilnya.Robi menyandarkan tubuhnya ke kursi plastik yang sudah reyot. Ia menghembuskan napas berat sebelum menjawab. "Iya. Mau gimana lagi? Di rumah orang tuaku, kena sindir terus gara-gara nggak kerja." Matanya melirik temannya dengan ekspresi malas. "Ya gimana mau kerja, motor aja nggak ada."Temannya tertawa kecil. "Untungnya kamu, Rob. Masih diterima istrimu meskipun punya banyak kesalahan."Robi menyeringai, bibirnya melengkung dengan kesombongan terselubung. "Dia nggak bisa lepas dari aku. Apapu
Rio menatap lembaran kertas di tangannya. Tanda tangan yang Andini minta sebagai syarat Alvin meminjam uang."Kamu ngomong apa ke mereka, kok bisa dapat tanda tangan secepat itu?" tanya Rio curiga, matanya mengamati Alvin yang berdiri dengan santai di depannya. "Kamu nggak bilang yang minta tanda tangan itu Andini, kan?"Alvin tertawa kecil, menggeleng. "Nggak kok. Santai aja, Rio."“Tapi ngomong-ngomong, Andini mau pakai buat apa?” tanya Alvin.“Entahlah. Aku pun nggak tahu,” jawab Rio pura-pura nggak tahu. “Yakin, kamu nggak tahu Yo?” tanya Alvin.“Iya,” jawab Rio singkat.Keduanya pun terdiam sesaat. Rio yang Alvin kenal, tidak seperti dulu. Jika dulu Rio akan bercerita semua apa yang dialaminya. Sekarang tidak. Bahkan Alvin baru tahu kemarin, kalau Andini sudah menjadi calon istri Rio. Entah kapan mereka jadian."Kamu berubah, Rio," lanjut Alvin tiba-tiba, suaranya le
"Mas, aku mau keluar dulu ya. Temanku kecelakaan," ujar Anisa dengan nada cemas sambil meraih tas kecilnya.Andi, yang tengah duduk di sofa sambil memangku Disa, anak mereka yang baru berusia dua bulan lebih, langsung menatap istrinya. "Aku antar," katanya tegas.Anisa menggeleng cepat. "Nggak usah, Mas. Aku sendirian aja. Kamu jaga Disa. Dia lagi tidur, kan?"Andi melirik ke arah putrinya yang terlelap dalam dekapan. Tarikan napasnya terdengar berat, seakan ingin membantah, tapi dia tahu Anisa benar. Dia tidak bisa meninggalkan Disa sendirian."Yaudah, hati-hati. Jangan lama-lama," ucapnya akhirnya, meski raut wajahnya masih tampak ragu.Tanpa banyak bicara lagi, Anisa segera meraih kunci motor dan melesat keluar rumah. Hatinya penuh kegelisahan. Farhan Hartawan, pria yang selama ini menjadi tumpuannya dalam diam, mengalami kecelakaan. Bagaimana kondisinya sekarang?Sesampainya di Rumah Sakit Bhakti
Bu Rodhiah tiba di rumah sakit tepat pukul delapan malam. Udara malam yang dingin menyelinap ke dalam jaket tipisnya saat ia melangkah menuju kamar rawat Hera. Di dalam tirai bagian Hera, hanya ada Hera yang terlelap di ranjang rumah sakit, dengan bayinya meringkuk di sampingnya. Cahaya lampu temaram membuat wajah Hera tampak lebih pucat, kelelahan masih tergambar jelas di raut wajahnya.Bu Rodhiah mendekat, lalu dengan lembut menepuk tangan putrinya."Hera," panggilnya pelan.Hera tersentak dan membuka matanya, lalu terkejut mendapati ibunya berdiri di samping tempat tidur."Ibu," gumamnya dengan suara serak.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Bu Rodhiah.“Sudah mendingan Bu. Ibu kok lama banget sih datangnya?”“Tadi tanggung, ada pembeli. Jadi nunggu melayani pembeli selesai, baru kesini,” jawab Bu Rodhiah."Alvin mana?" tanya Bu Rodhiah, matanya langsung menyapu ruangan, menc
"Maaf ya, Yo. Aku terlalu sering merepotkan kamu," ucap Andini pelan. Ada nada sungkan dalam suaranya sambil melanjutkan makanannya yang belum habis.Rio tersenyum kecil, menyandarkan punggungnya ke kursi. "Santai aja. Selama itu demi kebaikan, aku pasti dukung. Lagipula, rumah itu memang hak kamu dan adikmu. Kalian berhak mendapatkannya."Andini mendesah pelan. "Tapi aku butuh bukti otentik. Kalau nanti masalah ini diperdebatkan, aku nggak mau kalah begitu saja.""Kita berdoa aja, semoga Alvin bisa dapetin tanda tangan nenek dan om tantemu," kata Rio, suaranya penuh keyakinan."Aamiin," gumam Andini.Mereka kembali melanjutkan makan. Sendok-sendok beradu dengan piring, tapi keheningan di antara mereka terasa lebih berat dari sebelumnya. Sesekali, Rio melirik Andini yang duduk di hadapannya. Tatapannya lembut, nyaris sendu. Ia mengamati cara Andini menyuap makanan, caranya menghela napas sejenak sebelum mengambil
Hera akhirnya melahirkan melalui operasi sesar. Bayinya seorang perempuan, cantik, dengan wajah yang begitu mirip dengan Alvin.Di luar ruang operasi, Alvin asik duduk sambil bermain game nya. Saat seorang suster memanggil Alvin untuk masuk ke dalam, Alvin mengikutinya memasuki ruangan yang di dalamnya ternyata terdapat banyak ruangan lagi. Terlihat suster membawa bayi mungil dalam selimut putih, ia segera menghampiri."Pak, anaknya diazankan dulu," ucap suster itu sambil tersenyum.Alvin terdiam, menatap bayi kecil yang kini ada di hadapannya. Tubuhnya begitu mungil, wajahnya tenang meski napasnya masih terdengar kecil. Perlahan, ia mengulurkan tangan untuk menggendongnya. Tapi, begitu bayi itu ada di pelukannya, rasa panik justru menyerangnya."Istri saya mana, Bu?" tanyanya, suaranya terdengar kaku."Masih di ruang operasi. Sebentar lagi selesai."Alvin mengangguk, lalu kembali menatap bayinya.