Andi pulang dengan langkah gontai. Kepalanya terasa berat, seolah dipenuhi beban yang tak kunjung reda. Masalah rumah tangganya saja belum selesai, kini ditambah dengan ancaman dari bosnya di kantor. Laporan yang ia buat tadi ternyata salah lagi, dan ia harus mengulangnya dari awal. Besok, ia bisa saja menerima surat pemecatan.
Saat membuka pintu kamar, suara keluhan Anisa langsung menyambutnya. "Kamu pulangnya lama banget sih, Mas?" Andi menghela napas, melepas sepatunya dengan lesu. "Iya, lagi banyak kerjaan." Ia tak ingin menambah beban Anisa dengan keluhannya sendiri. "Aku capek tahu, urus Disa sendirian." Nada suara Anisa terdengar penuh kejengkelan. "Kalau kaya gini terus, mending aku pulang ke rumah orang tuaku dulu sementara." Andi menatap istrinya yang berdiri di ambang pintu kamar, menggendong Disa yang tampak rewel. "Di rumah kan ada Ibu, ada Hera. Kamu bisa minta tolong mereka kalau capek." AnisaAndini sudah bersiap di atas motornya, tangannya menggenggam setang erat, siap untuk pergi. Namun, suara teriakan minta tolong dari keluarga ayahnya membuatnya menghentikan gerakan."Cepat, Ratna! Hera udah kesakitan!" seru Bu Rodhiah cemas, menggandeng Hera yang sedang menahan kontraksi. Mereka bergerak tergesa-gesa menuju mobil pick-up milik Ratna yang terparkir di halaman.Ratna berdiri didepan mobilnya dan menatap mereka dengan tajam. "Kenapa harus pakai mobilku, Bu? Itu ada motor. Ada motor Andi, motor Firda, bahkan motor Hera juga. Pakai motor aja," sarannya, mencoba mencari solusi lain.Mata Bu Rodhiah menyala penuh kemarahan. "Kamu tuh punya otak nggak, sih? Hera mau melahirkan! Kalau pakai motor, mbrojol di jalan gimana?"Andini yang sejak tadi memperhatikan, turun dari motornya dan berjalan mendekat. Ia melihat ibunya, Ratna, dipojokkan oleh keluarga ayahnya. Hatinya menghangat dengan amarah."Mobil ini
"Assalamu alaikum," ucap Andi masuk ke dalam rumah sambil membawa nasi kotak dengan tumpukan 10 di tangan kanan, dan 10 tumpuk di tangan kiri."Wa alaikum salam," jawab Bu Rodhiah yang sedang duduk bareng Hera."Kamu bawa apa Mas?" tanya Hera."Ini nasi kotak pesanan Anisa untuk acara nanti malam," jawab Andi meletakan nasi kotak yang ia bawa susun di pinggir tembok."Istrimu dari tadi marah-marah terus. Kamu tuh kalau mau ambil nasi kotak, ngomong dulu ke istrimu, biar dia nggak mencari kamu," ucap Bu Rodhiah."Assalamu alaikum." Tiba-tiba saja terdengar suara seorang wanita dari luar rumah."Wa alaikum salam," jawab Andi."Loh, kok ada Mbak Ratna ada apa?" tanya Hera merasa bingung melihat Ratna dan seorang wanita di belakangnya, membawa nasi kotak.Pintu kamar Anisa terbuka, muncullah Anisa dari dalam kamarnya. "Kamu darimana saja sih Mas? Aku telepon kam
Andi mengajak Linda ke warung bakso pinggir jalan setelah mengantarkan Wawan pulang ke rumahnya. Malam sudah larut, hanya ada beberapa pelanggan yang masih duduk menikmati semangkuk bakso panas. Lampu warung yang temaram membuat suasana semakin sunyi. Andi menatap adiknya yang duduk di depannya, tampak lelah dan sedikit gelisah. "Kamu kenapa kerja di tempat seperti itu, Lin? Apa nggak ada kerjaan lain selain tempat itu?" tanya Andi, tatapannya tajam menusuk ke dalam mata adiknya. Linda menunduk, memainkan ujung sendok di mangkuknya. "Mau kerja di mana lagi, Mas? Kamu kan tahu, aku nggak punya pengalaman kerja," jawabnya lirih. Andi menarik napas panjang, berusaha menahan emosi. "Jangan bilang, kerjaanmu yang dulu juga di situ?" tanyanya, nadanya lebih pelan tapi penuh tekanan. Linda masih terdiam. Tangannya sedikit gemetar, menandakan kegelisahan yang ia rasakan. Andi memijat keningnya, merasa sesak di dadany
Andi pulang dengan langkah gontai. Kepalanya terasa berat, seolah dipenuhi beban yang tak kunjung reda. Masalah rumah tangganya saja belum selesai, kini ditambah dengan ancaman dari bosnya di kantor. Laporan yang ia buat tadi ternyata salah lagi, dan ia harus mengulangnya dari awal. Besok, ia bisa saja menerima surat pemecatan. Saat membuka pintu kamar, suara keluhan Anisa langsung menyambutnya. "Kamu pulangnya lama banget sih, Mas?" Andi menghela napas, melepas sepatunya dengan lesu. "Iya, lagi banyak kerjaan." Ia tak ingin menambah beban Anisa dengan keluhannya sendiri. "Aku capek tahu, urus Disa sendirian." Nada suara Anisa terdengar penuh kejengkelan. "Kalau kaya gini terus, mending aku pulang ke rumah orang tuaku dulu sementara." Andi menatap istrinya yang berdiri di ambang pintu kamar, menggendong Disa yang tampak rewel. "Di rumah kan ada Ibu, ada Hera. Kamu bisa minta tolong mereka kalau capek." Anisa
Linda menghela napas panjang, menatap suaminya yang baru saja pulang kerja dengan wajah penuh lelah. Tapi lebih dari itu, ada kemarahan yang sejak siang ia pendam.Bagaimana Linda tidak marah. Dari kemarin, ponselnya terus saja ada panggilan dari nomor asing. Yang tak lain adalah debt collector dari aplikasi pinjaman online. Yang dimana Robi telah meminjam hutang, dengan jaminan atas nama Linda. Tapi suaminya tidak pernah membayar cicilan hutang tersebut."Sumpah, Mas! Aku tuh capek banget sama kamu. Kenapa kamu nggak berubah-berubah? Main judi, pinjam online. Mau sampai kapan?" suara Linda bergetar menahan emosi.“Siapa sih Lin yang main judi dan pinjam online, jangan asal tuduh deh.”“Asal tuduh kamu bilang? Terus yang setiap hari meneleponku menagih hutang kamu itu apa namanya? Hah!”Robi melepas sepatu dengan malas. "Suami baru pulang, bukannya disuguhin teh atau kopi. Lah ini malah disuguhin omelan," protesnya. "Ini sebabnya aku mala
Bu Rodhiah duduk di tepi ranjangnya, membiarkan tubuhnya yang lelah bersandar pada sandaran kursu yang sudah mulai lapuk. Wanita paruh baya itu menghembuskan napas panjang, merasakan nyeri di punggungnya setelah seharian bekerja di warung."Alhamdulillah, Ya Allah, hari ini warung rame," gumamnya sambil menghitung lembaran uang di tangannya.Namun, senyum syukurnya tak bertahan lama. Matanya menatap kosong pada tumpukan uang yang belum cukup untuk menutup setoran hutang bank. Ia menggenggam uang itu erat, seolah berharap bisa melipatgandakannya hanya dengan kemauan."Aku harus bisa menyisihkan sebagian buat bayar hutang. Kalau nggak, tanah itu bisa melayang," bisiknya dengan nada putus asa.Bu Rodhiah termenung. Semakin tua, hidupnya terasa semakin berat. Ia iri melihat teman-teman pengajiannya yang selalu tampil dengan tas dan perhiasan baru, sementara dirinya bahkan tak lagi bisa membeli gamis yang dulu selalu ia koleksi. Orang-orang mengira hid