POV Luna"Aku sudah menyelesaikannya, kau bisa mengeceknya sekarang." Setelah mengucapkan itu, aku mengirim file ke e-mail yang digunakannya mengirim ke komputer yang aku pakai. Ia masih mengamati naskah tersebut di monitornya. Aku melihat ke arahnya sejenak sambil menunggu instruksi berikutnya, berharap tak ada kesalahan yang aku lakukan. "Mmm, lumayan! Tambahkan sentuhan akhir di bagian biodata," titahnya padaku. Meskipun ia tidak tersenyum sedikit pun saat mengucapkannya padaku, tetapi aku cukup senang mendengar pujiannya atas kinerjaku.Aku pun melanjutkan mengedit lagi. Kali ini dengan sedikit semangat. Dalam bekerja apapun, aku sangat serius dan fokus, sehingga tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul 16.50. Setelah itu aku selesai dengan pekerjaanku. File tersebut aku kirim balik padanya kemudian mematikan komputer kerjaku. Beberapa karyawan mulai beranjak dari tempat kerja mereka masing-masing. Bunyi kendaraan meraung-raung, bahkan asap motor tua pun sudah mengepul, t
POV LunaAku bangun hampir kesiangan. Setelah membersihkan diri, aku menuju ruang makan. Melihat makanan yang telah tersaji, nafsu makanku tiba-tiba muncul. Aku langsung melahapnya karena sangat lapar.Semalam, aku makan tidak terlalu banyak karena terlalu mengantuk. Karena terlalu larut malam menunggu Arga dan ia belum pulang, aku memutuskan tidur terlebih dahulu setelah makan seadanya.Subuh tadi, ia sudah berangkat ke kantor. Arga sudah memberitahuku sebelumnya. Jadi, aku harus berangkat sendiri ke kantor tanpa diantar olehnya. Tapi, dia sudah janji akan menjemputku nanti sore.Sebuah taksi telah tiba di depan rumah. Aku pun beranjak dari tempat duduk dan menuju taksi. Setengah jam berlalu, aku tiba di kantor. "Halo, Bu Luna! Selamat pagi!" Pak William menyapaku di meja kerja. Aku cukup terkejut dan merasa canggung kalau disapa di meja kerjaku langsung. Belum lagi dilihat oleh beberapa karyawan lain yang sedang duduk. Aku sedikit bertanya-tanya, kenapa dia tidak memanggilku ke
POV Luna"Kau harus berhati-hati dengan Celine. Dengar-dengar, wanita itu menyukai Pak William juga.""Iya, seperti dugaanmu! Mereka sama-sama menyukai Pak William dan selalu mencari cara untuk menarik perhatiannya. Siapa saja yang berani menarik perhatian Pak William, maka secara otomatis orang tersebut akan menjadi musuh mereka juga."Jadi, itu masalahnya! Pantas saja, dia tidak suka padaku dan bahkan cemburu saat Pak William berbicara padaku, bukan padanya. Setelah berbincang cukup singkat dengan mereka berdua, aku pun kembali ke meja kerjaku. Rani dan Ivony lebih dulu pergi karena mereka tiba-tiba menerima sebuah panggilan.Saat sedang menunggu lift terbuka, dua orang wanita di sebelahku sedang berbisik-bisik, kemudian bertanya padaku, "Apakah benar tas yang kau miliki itu, tiruan?" "Bagaimana mungkin kau sangat percaya diri berjalan dengan barang palsu?""Lebih baik jujur dengan diri sendiri daripada harus memaksakan terlihat kaya, tapi palsu." Aku menoleh ke arah mereka, "Apak
POV ArgaSemenjak Luna bekerja, aku melihatnya selalu merenung. Ia tidak seantusias saat pertama kali akan bekerja. Aku sangat gelisah melihat perubahannya yang selalu murung. Akhirnya beberapa hari yang lalu, aku memutuskan untuk menjemputnya dan sekaligus untuk melihat sendiri. Dahiku berkerut saat aku melihat mobil putih berhenti di depan mobilku. Seorang lelaki menyapa Luna dan menawarkan untuk mengantar Istriku pulang. Aku sulit mengenali wajah lelaki itu dari dalam mobilku karena hanya setengah bayangannya yang memantul dari cermin.Deru jantungku berdegup kencang. Gigi gerahamku saling bergesekan. Wajahku berubah merah padam. Sorotan mataku menyipit dan tidak berkedip, masih menatap lurus ke depan. Aku tidak bisa mendengar jelas apa yang diucapkan lelaki itu karena posisiku agak jauh. Saat menunggu Luna, aku tidak sengaja mendengar suara para karyawan wanita sedang menggunjingkan Luna. "Saya tidak mengerti, kenapa karyawan baru itu sangat tebal muka, meskipun sudah ditah
POV Luna"Permisi Tuan. Pakaian, tas, dan sepatu milik Nona sudah tiba." Aku berjalan menuju pintu hendak melihat mobil yang membawa pakaian, sepatu, dan juga tas yang telah Arga beli untukku. "Baik, bawa semua ke dalam." Arga belum melepas genggamannya di pinggangku.Semua barang yang dibeli hampir saja memenuhi seisi mobil. Aku hampir kehabisan napas karena terkejut. Aku tak tahu apa yang sedang Arga pikirkan.Awalnya aku berpikir ini merupakan kejutan ulang tahunnya atau anniversary pernikahan kami, tapi ternyata tidak. Aku sudah mengecek hari ulangtahunnya dan juga tanggal pernikahan kami, tapi tidak cocok.Tanggal ulangtahunku pun masih sangat jauh. Aku berhenti mencari tahu maksudnya. Aku pun turut mengikutinya ke kamar setelah memeriksa semua item pakaian, tas, dan sepatuku. Semua telah sesuai dengan pesanan.Malam yang hangat telah kami lewati. Aku hampir saja tidak bisa berjalan dengan baik. Rasa nyeri masih terasa karena kebuasan Arga semalam. Mengingatnya membuat pipiku k
POV Arga"Dasar wanita jalang tidak tahu malu! Kau memanggil tuan ini dengan menyebut namanya. Apakah kau tidak tahu tata krama?" Mataku melirik sekilas ke mejanya. Dia yang tadi mengenalkan diri dengan nama Celine. "Dasar wanita jalang! Kau memang wanita bermuka tebal. Hanya karena kau membaca nama yang tersemat di dadanya, kau seolah mengenalnya untuk menarik perhatiannya!" "Kau memang pelacur yang berpengalaman!"Tiba-tiba bunyi tamparan keras melekat ke pipi wanita di depanku. Kalau aku tidak salah dialah yang bernama Lusi. Aku masih mengingatnya ketika dia mengejek Luna."Aku punya nama. Apakah kau tidak tahu membaca papan nama yang ada di meja kerjaku?" Luna menatapnya tajam. Bibirnya bergetar. Mataku membulat saat melihat Luna yang cukup berani menampar pipi wanita di sampingnya."Kau ... Wanita jalang! Berani sekali menamparku. Apa kau bisa keluar hidup-hidup dari tempat ini?" Wanita itu histeris. Matanya seakan melompat dari tempatnya.Saat tangannya akan mendarat di pipi L
POV Luna"Selamat sore, Tuan. Tadi, ada seorang wanita yang mencari Non Luna." Pak Yanto mendatangi kami ketika Arga akan memarkirkan mobil.Aku saling pandang dengan Arga karena bingung. Kalau wanita yang dimaksud adalah salah seorang klien di perusahaan Arga, mungkin Pak Iwan yang akan menghubungi Arga. Namun, Wanita tersebut mencariku."Bapak tidak mempersilakan dia untuk masuk dulu?""Dia tidak mau, Non. Setelah aku bilang Non Luna masih kerja, dia langsung pergi.""Apakah ada yang ingin dia sampaikan, Pak?""Sepertinya, tidak ada, Non.""Pak Yanto ingat ciri-cirinya seperti apa?""Rambutnya ikal, tingginya sebahu, dan kulitnya kuning langsat, dan mungkin usianya sekitar 20-an."Arga menoleh padaku dan mengucapkan, "Apakah mungkin itu Rita?"Dari ciri-ciri yang disebutkan oleh Pak Yanto, Rita yang sangat memenuhi. "Apakah Pak Yanto lihat tanda di keningnya?""Oh, iya. Aku baru ingat! Ada tanda bintil hitam.""Baik, Pak. Terima kasih.""Sama-sama, Non."Aku hampir saja tidak mengi
Dia terlihat sangat jauh berbeda, tidak terlihat seperti anak gadis yang kukenal dulu. Bila ditaksir, dress yang dipakainya berkisar jutaan, tidak kurang sedikit pun nilainya dari mata siapa saja yang melihat."Rita!" "Panggil aku Nyonya Peter!" ucapnya sambil berkacak pinggang. "Dia Tuan Peter, calon suamiku dan juga salah seorang pemilik saham di perusahaan ini."Dahiku berkerut saat mendengar ucapannya. "Kau yang bernama Luna?""Iya, benar, Tuan." Lelaki itu menatapku dengan tatapan penuh hasrat. "Saya banyak mendengar tentangmu dari Rita!" Aku sedikit merinding ditatap seperti itu dan matanya masih terpaku menatapku. Matanya tidak berkedip sedikit pun. Aku tidak berani menatap padanya, aku mengalihkan pandangan ke arah lain.Aku sudah menduga bahwa Rita telah membicarakan sesuatu yang buruk tentangku. Mungkin dibumbui dengan cerita-cerita fiksi buatannya agar terdengar dramatis.Ia dari dulu tidak pernah suka padaku, bahkan tidak menganggapku sebagai kakak atau apapun namanya.