Cerai!" Teriakan kecil yang begitu bahagia keluar dari kerongkongan Tante Sari. "Iya, Ma. Tadi Mas Gilang teriak malahan pas ngomong, 'ia Kinan ... Sekarang kau sah tidak lagi jadi istriku. Haram kau kusentuh' begitu bahasanya, Ma," adu Mili berapi-api pada Tante Sari sambil memamerkan struk pembayaran SPP di atas tikar. "Wah ... Bagus. Jadi si Rehan gi mana? Harusnya anak itu juga dibawa ayahnya," tepuk Tante Sari begitu semangat. Matanya berbinar, seakan ia baru saja menerima jackpot miliyaran."Enggak, malahan tadi nangis kejer. Ternyata si Rehan itu bukan anaknya Bang Gilang. Kasian juga ya, Ma. Anak kecil belum ngerti apa-apa. Tapi ngalamin nasib begitu. Kira-kira siapa di kampung ini pacarnya kak Kinanti? sampai menghamili tanpa Mas Gilang tau, tapi menurut Mili Mas Gilang baik juga. Kabarnya dia udah lama tau Rehan bukan anaknya, tapi masih menerima Kak Kinanti. Artinya dia cinta banget sama Kak Kinanti."Kulihat Dini masuk dari arah dapur, wajahnya menyiratkan tak senang at
Malam tiba. Sayup suara adzan isya berkumandang. Aku membawakan nasi dan lauk sup yang sudah kubuat spesial untuk Bang Rio. "Abang makan dulu, ya," suapku pada Bang Rio. Ia mengangguk, memberi tempat pada dudukan. "Alya sama Rivo sudah makan, Dik?" Aku menyuruh ia makan, yang diingat justru dua kurcaci kecil miliknya. Tentu saja Alya dan Rivo lebih dulu kuberi makan. Sebelum empat penyihir itu makan masakanku. "Alhamdulillah sudah.""Kamu sendiri sudah makan?""Perut seorang ibu akan terasa kenyang saat anak-anaknya bahagia dan merasa nyaman.""Dik, kenapa bilang begitu?" Bang Rio mengusap rambutku. Ia memang acap melakukannya untuk menenangkan aku. "Bang, kalau Rumi gak salah, selain pesangon, kita juga punya jamsostek untuk dicairkan, ya kan, Bang?" Hati-hati sekali aku memulai pembicaraan, aku tak ingin labi-labi penghisap darah itu mengetahui kalau kami masih punya simpanan cadangan. Suara sengaja kupelankan.Rencana yang telah kususun. Aku tahu, suamiku ini sangat lemah te
Maafkan Rum, Bang. Rum harus melanggar titah abang. Ini semua demi kebaikan kita bersama, demi keutuhan rumah tangga kita. Demi masa depan anak-anak kita nantinya. Aku mengetik pesan pada Hen. Tidak ada jalan lain. (Hen, kirim aku duit dua digit. Sekarang.)(Baiklah) balasnya dengan cepat. Setelah Kinanti pulang dan Tante Sari mengekorinya dari belakang. Aku kembali bercerita tentang niatku pada Bang Rio."Abang hanya ingin kamu di sini nemenin abang, Dik! In sya Allah abang segera sembuh kita kembali ke kota." Lelakiku itu menunduk. "Ya, tapi berapa lama? Sebulan dua bulan ... " Aku menahan lidah untuk tidak banyak bicara. Laki-laki yang tidak lagi memiliki apa-apa akan mudah tersinggung. "Bagaimana sekolah Rivo. Dia butuh kuota, butuh perlengkapan buku dan sebagainya, ditambah signal di sini kurang bagus. Rum harus manjat rumah orang mencari signal agar Rivo bisa daring," jelasku berusaha membuat Bang Rio mengerti. "Satu hari, dua hari. Tetangga mau mengerti, kalau sampai seti
Aku akan pergi, terserah abang izin atau tidak," ucapku berlalu dari hadapannya. "Rumi!" Aku sama sekali tidak menggubris teriakan Bang Rio berulang. Yakin seratus persen, Mamanya sedang tersenyum melihat menantunya ini bertengkar dengan anak ATM--nya. _IL Setelah membereskan semua pakaian Rivo dan Alya ke dalam koper. Disaksikan netra Bang Rio yang berkaca-kaca. Kelopak itu ... aku tak tahan melihatnya. Kuat Rum! Kuat ... aku mensugesti diri sendiri. "Mah, tadi Rivo liat Onti Dini di rumah Om Gilang," lapor Rivo padaku tepat di depan Bang Rio. Berhenti sejenak memasukkan pakaian ke dalam koper. Sejurus kemudian aku tidak menghiraukan celotehan Rivo. "Mungkin sedang mengambil sesuatu, Vo. Bisa jadi ngajarin Rehan," jawabku agar Rivo tidak berpikir ke mana-mana. Kembali melanjutkan aktivitas. "Tapi, Ma. Sekarang Tante Kinan kan tinggalnya gak di situ. Tadi Rivo mau ngajak Rehan maen, eh pas Rivo masuk ada Onti Dini sama Om Gilang," tuturnya dengan raut bingung. Sangat paham
"Sari itu punya rahasia besar yang tidak diketahui Rio, dan Santoso bukan tidak punya alasan buat poligami, walau aku tahu Yuni itu mantan pacarnya, suatu hari kamu akan tahu rahasia besar itu. Mana ada seorang wanita rela dipoligami kalo bukan karena sesuatu yang besar?" Aku tercenung. Apakah yang ada dalam pikiranku sama dengan Paman ini? Tunggu, Bang. Rumi akan kembali membongkar rahasia keluarga penjilat harta itu. * "Iya, Bu. Masih kosong ya, Bu? Alhamdulillah," lirih aku berucap menelpon Bu Relon. Pemilik kontrakan tempat aku dan Bang Rio dulu berjuang. Maafkan Rumi, Bang. Mungkin abang meragukan cinta Rumi, tapi tidak ada jalan lain selain ini agar kita bisa berkumpul lagi. Aku masih terngiang suara pengantar ojek itu, "rahasia Sari" begitu bunyinya. Kasihan suamiku jika yang ada dalam pikiran ini benar adanya, ingin rasanya segera mengadukan pada Bang Rio, tapi, aku takut. Takut lelaki itu justru mengira memfitnah keluarganya. Bang Rio bisa saja mengatakan aku berha
Tiittt. Kedua kali rem berdecit. Kenapa sih dengan si Hen? "Berarti Mili sama Dini bakal ke sini, Rum?" Aku diam saja, tidak merasa ingin menjawab. * "Ini rukonya, Rum, kita sudah sampai." Aku turun sebelum Hen membukakan pintu untukku. Hen memang aneh, membuat aku sedikit takut, kepalang basah, aku harus tetap maju. Hanya perlu meningkatkan kewaspadaan, meskipun dia kawan yang amat baik buatku saat ini. Menatap takjub ruko di depan netra, Rivo sudah berlari duluan menyusul Hen yang berdiri di depan penjual eskrim. Tepat di kiri ruko tempat yang akan kami tempati."Hen ini-- kan jalan protokol, besar lo sewa di sini," tanyaku ragu, terbayang algoritma yang akan terbang dari kepala. Hen tidak menggubris, ia lebih peduli menyuap es krim bersama Rivo. Memberi beberapa gorengan di piring, duduk santai di semen pembatas antar bangunan. "Enak, Mah. Mau gak?" Tawar Rivo padaku. Sedari dulu, aku bukan tipe penyuka es krim. Memilih duduk di kursi yang disediakan oleh penjual gorenga
"Kamu kok nggak pernah nanya tentang Rio sih, nggak pengen tahu kabar suami aku." Aku mencoba mencairkan suasana. Memalingkan wajah kembali membuka anak kunci. "Buat apa? Kan udah tau, tadi di mobil si Rivo cerita," sahut Hen tergelak. "Oleh-oleh penganan tadi boleh dibawa masuk, ya, atau mau kamu bawa pulang lagi?" "Bawa masuk aja, itu emang untuk Rivo." "Asiiik, makasih ya Om, Alya pasti suka, nanti Rivo bagi dua sama Alya." Rivo berlari kembali membuka mobil dan mengambil kue. "Oh iya terima kasih, Rum, udah nerima hadiah dari aku, pulang dulu, besok datang ke sana untuk pengecekan semua perbelanjaan sparepart seperti barang-barang yang lainnya juga nanti aku catat semuanya, kamu besok ada juga di sana, kan?" "Harus donk. Semua debt en kredit, bukannya bendahara wajib membuat laporan." Aku tertawa menanggapi keseriusan Hen menjalani kerjasama ini. "Insya Allah aku bisa sekalian juga ngenalin kamu dengan Deni dan Dery Didin, anak-anak PPL yang aku bilang tadi, kita bisa ber
Walau aku sepemikiran, tentu harus jelas semuanya, mengapa harus sekarang identitas Bang Rio seolah jadi bahan perbincangan, Setelah usianya matang, lulus kuliah, menikah, bahkan punya anak. Sangat tidak logis jika hanya karena saat ini Bang Rio pengangguran, serta merta semua seakan punya kepentingan membicarakan urusan pribadi suamiku itu. "Pas Tante balik ke Jakarta, Tante akan singgah ke rumah kamu, Rum. Pokoknya siapkan diri untuk kelanjutan kelicikan mereka." "Rum, paham, Tante," sahutku mengangguk, meski Tante Yuni tidak akan melihat anggukan kepala ini. "Segera, selagi Tante di sini, Rio masih aman, tapi ... Kelak kami berangkat ke Jakarta, bukan hanya ular berbisa yang akan menerkamnya, mereka semua akan berubah menjadi binatang tanpa rasa." Innalilahi ... Aku terdiam. Awas kalian, akan kupelihara singa-singa liar jika berani macam-macam dengan suamiku.Tanganku mengepal. Menahan endapan emosi yang memuncak untuk disalurkan. Meminum air putih--menenangkan diri, gegas men