Share

Si Tamu Bulanan

Palingan si Kinan sudah cerita duluan. Memotong beberapa bagian cerita, menambahkan sebagian, dan entah apa lagi. Jadilah sebuah ghibah yang menarik.

Padahal bertemu dengannya di warung tidak sampai lima menit. 

"Eh, Rum. Mertua nanya itu dijawab, malah diam?"

Aku mau jawab apa? Ntar malah salah lagi.

Tapi, bukan Tante Sari namanya kalau obrolannya berhenti sampai di situ. Aku sudah mengenalnya sejak keluar dari rahim ibuku, untung punya anak ganteng, sholeh dan penyayang, kalo tidak. Bakal adu jetos mertua versus menantu.

"Tadi Kinanti cerita sama Tante, kamu ketemu dia di kedai beli telur, ekpresi kamu itu lo, kok kayak orang sewot jumpa dia, bukannya terimakasih sudah dikasih ayam goreng buat sambal kita satu rumah, eh kamu malah nyeritain kalo si Rio gak suka ayam goreng buatannya.

Terus ngapain juga, diceritain kalo si Rio itu tidak suka penyedap rasa. Gak baik seperti itu, harusnya kamu ngucapin terimakasih, sudah gak perlu sampai harus bilang ayam gorengnya gak enak, jadi, Rio lebih memilih makan telur daripada makan ayam,"

"Sebentar Tante," ucapku menyela kalimat panjang itu, membuat Tante Sari diam.

Mau tidak mau aku harus menyela ucapannya. Salah besar. Semua kalimat Tante Sari adalah tuduhan, fitnah. Kapan pula aku bilang ke Kinanti kalau ayam gorengnya tidak enak dan Bang Rio lebih suka kumasakin telur.

Astagfirullah.

"Kenapa, Rum? Kamu mau bilang Kinanti bohong, membela diri lagi, seperti tadi kejadian di dapur." 

Astaghfirullah. Aku kembali menelan Saliva, menahan cekat di tenggorokan, ada apa dengan mertuaku ini?

Tante Sari ternyata masih belum move on dari kejadian di dapur tadi. mode tak suka karena aku menyela omongannya bertambah dengan gurat benci. 

Aku sadar sedari dulu hanya Om Santoso yang sangat setuju dengan pernikahanku. Tapi, seiring waktu Tante Sari menerima keberadaan diri ini. Bahkan kami sering belanja bersama jika lebaran tiba, membuat kue bersama, tertawa berdua, Tante Sari juga kerap curhat tentang kisah cintanya dengan beberapa pemuda desa zaman dahulu kala.

Sembilan tahun bukan waktu yang sejenak bercengkrama, kenangan demi kenangan kami ukir bersama di keluarga ini. 

Kini, terik mentari selama sembilan tahun, seakan tak berarti hanya karena hujan sehari.

Hujan sehari? aku bingung dengan istilah itu. Ibuku bilang, arti hujan sehari itu, ketika kita pernah berbuat kesalahan, nah ini yang aku tidak tau. Kesalahan apa yang telah aku perbuat sampai mertua segitunya menilai?

Aku menikah saat Mili masih kecil, Dini belum mengerti apa-apa saat itu. Sedangkan Jini masih belum berakal juga. Kini mereka semua sudah beranjak dewasa

Aku bagai memiliki tiga adik sekaligus mendapatkan Bang Rio. Pulang kampung, biasanya akulah yang berkutat di dapur bersama Tante Sari. Sambil masak kami selalu bercerita apa saja, dari gosip baru, artis kawin cerai, usaha terkini, bahkan presiden yang tak kunjung berbeda tingkahnya dari zaman merdeka. 

Selalu berakhir tawa, tanpa jeda. Sungguh tontonan indah antara menantu dan mertua.

Tiada lagi hari untuk kukenang, sejak berencana menumpang, kisah mentari bersinar sebab hujan telah tiba harus aku jalani. Aku harus mengerti mereka semua berubah.

Aku harus mengerti, kebahagiaan hanya ketika kita kaya di mata mereka.

Om Santoso tidak terlihat sudah beberapa hari selama kami datang. Aku lupa menanyakan pada Bang Rio, sedangkan bertanya pada mertua, lebih besar rasa sungkan daripada rasa penasaranku. 

Di mana ayah dari ayahnya anak-anakku itu? Sudah dua hari tidak kelihatan sama sekali.

Bahkan Bang Rio tidak bercerita apapun padaku. Ini sesuatu yang aneh, tidak biasa.

 "Hei, Tante bicara sama kamu, dengar gak sih! Pura-pura telmi kamu ini."

Kali ini, Kinanti akan kubuat kapok selalu dalang fitnah. Dia tidak berubah walau sembilan tahun telah berjalan. Tahun-tahun lalu Kinanti tidak pernah mengganggu, mungkin karena kami pulang kampung hanya beberapa hari. Sekarang tentu dia tahu kami akan di sini sampai Bang Rio mendapatkan pekerjaan.

"Kenapa diam kamu, Rum? Terasa kalau salah, apalagi mengucapkan kata-kata itu di kedai, kalo tukang kedainya dengar gi mana?"

"Apa yang Tante bilang itu fitnah, sama sekali tidak pernah Rum lakukan, jangankan untuk bercerita tentang ayam goreng buatan Kinanti, menyapanya saja sebenarnya Rum sungkan, Rum gak pandai buat ramah-ramahan tanpa sebab, dan mungkin Tante masih ingat pesan Kinanti, saat awal menikah dulu yang sangat vulgar itu masih teringat jelas. Tante lupa?

Untung Rum maafkan, kalau menurut Tante, Rum itu suka menjelekkan orang dan cemburu kepada Kinanti, kenapa tidak dari awal, waktu kami baru nikah saja, Kinanti itu Rum permalukan. Asal tante tau, Kinanti bukan level perempuan yang harus Rum cemburui, bahkan saat itu Rum punya bukti kuat buat mempermalukannya, ternyata Rum tidak lakukan apapun, justru memaafkan pesan mesumnya itu. Sekarang cuma gara-gara ayam goreng, trus Tante percaya Kinanti mengatakan hal seperti itu di warung? Tante bisa tanya sama tukang warungnya,apa Fitnah perempuan murahan itu benar atau tidak." jelasku panjang lebar, dadaku sedikit naik turun. Kesal, kecewa masuk sekaligus.

Sesak. Entahlah aku sedikit sensitif.

"Wah, apa yang kamu katakan ini sudah terlihat jelas kamu cemburu sama Kinanti, Rum! kalau tidak benar, ngapai juga kamu emosi," ucap Tante Sari menyimpulkan sendiri.

"Cemburu?" tanyaku ulang mengerut dahi. Tadinya tidak ingin melayani Tante Sari. Tapi mulutnya sungguh keterlaluan, aku juga punya daya sabar.

Astagfirullah. Aku menahan untuk tidak berkata-kata lagi. Entah mengapa hati ini jengkelnya bukan main. Ingin kugeprek rasanya mulut comberan Kinanti itu.

"Ya iya lah kamu cemburu. Buktinya kamu nge gas, kalau gak benar ya santai saja, lagian ngapain Tante nanyain hal begituan sama tukang kedai, kayak kurang kerjaan aja, bisa jadi tukang kedainya dengar, tapi demi netral dia diam saja, namanya juga kedai!  Takut donk dia musuhan sama orang. Entar malah gak laku dagangannya, makanya yang namanya tukang jualan pasti netral."

Melirik masam wajah mertuaku, aky kembali diam saja, sama sekali tidak menyahut lagi, sengaja berpura-pura melipat baju, yang baru saja Alya berantakin, aku bersyukur dengan tingkah Alya, jadi bisa kulipat ulang dengan rapi. Sebagai alasan menghindari lidah mertua.

Menyibukkan diri dengan yang lain. Membongkar pakaian yang sebenarnya sudah kurapikan. Beresin ulang saja, daripada melayani hati orang yang sudah buta. Entah apa yang menjadikan Tante Sari berubah, kembali ke zaman dahulu--Kembali tidak menyukaiku.

"Punya menantu kok gini amat, payah!" gerutunya ngedumel sendiri karena tidak kulayani.

Ternyata benar. Dengan diam diri, Tante Sari keluar dari kamar. Walau wajahnya sedikit menggambarkan tidak senang.

Aku menepuk-nepuk punggung Alya yang bergerak hendak terbangun akibat suara yang sedikit berisik. Melonggarkan pinggang, aku berbaring di sisi Alya. Menatap langit-langit kamar. Mataku basah. 

Titt ponsel dengan signal ilang timbul berbunyi. Suara pesan masuk.

(Rum, ini Tante Yuni. Kamu sekarang di kampung? tante juga di kampung)

Aku langsung telonjak kaget membaca pesan adik ibuku itu.

(Tante Di mana? rumah nenek dulu?) tanyaku. Soalnya rumah nenek dari ibuku itu kosong sejak semua sanak saudara ibu memilih tinggal di perantauan termasuk Tante Yuni. Setahuku adik bungsu ibu itu ada di Jakarta. Bukan di kampung.

(Tante beli tanah di ujung kampung dekat ke jalan raya, besok kita ketemuan, yuk! soalnya besok sore Tante sudah harus kembali ke Jakarta) tulisnya menjawab pesanku.

Tumben! Biasanya Tante Yuni hanya pulang kampung sekali setahun, kadang malah jadi dua tahun sekali. 

Lebaran masih empat bulanan lagi, kok Tanteku itu ada di kampung? apa Tante Yuni tidak bekerja?

TIIt, suara vibrasi ponsel. Nama tante Yuni ada di layar.

"Ya, Tante,' ucapku melirik ke arah pintu kamar seolah ada yang mengetuk.

"Dik sayang, Alhamdulillah ada kabar gembira buat kita." 

Aku hampir terlonjak kaget, mendengar suara berat dari sosok yang ingin kumenangis di dadanya. Menyelinap masuk kamar dan langsung berada tepat bersandar di bahuku.

"Kok kaget gitu? lagi nelpon siapa?"

"Gak siapa-siapa kok,Tante Yuni--kangen katanya," jawabku tipis, sengaja agar Tante Yuni mendengarkan lalu mematikan sambungan selular.

Ada apa sampai semringah begitu. Bela-belain datang ke rumah, lumayan jauh berjalan kaki.

Pelan tanpa suara, tiba-tiba sudah berada di kamar. Bisa aja Bang Rio mengatur gerakan kakinya.

 Bang Rio mengunci kamar segera. Menghampiriku dengan senyumnya yang tak lekang. Siapa coba yang tidak jatuh cinta tiap hari. 

Suamiku ini bisa membuat jantungku bermasalah detaknya.

"Kabar gembira apa, Abang? Rumi liat wajah semringah abang tiap hari, udah berasa dapat kabar gembira melulu," gombalku pada suami sendiri, bukan suami orang.

Ia menarikku mendekat. Melingkari tangannya di pinggang, pinggang yang lebih lebar sedikit dari pinggangnya Kinanti. Wangi segar sabun Lux menguar. Jadi traveling ke mana-mana ini otak.

"Si tukang gombal sampe tua tetap aja suka ngegombal, suami sudah jadi pengangguran aja dirayu mulu, gak pengen kebalikannya, sesekali abang yang rayu," ucap Bang Rio memainkan alisnya ke atas. Makin mempererat pelukan.

Aduch pikiranku.

Sayangnya, si tamu bulanan baru saja mengetuk pintu. Sial kan? Padahal kampung Bang Rio dingin banget. Minta dikelonin tiap saat rasanya. Astagfirullah. Otak oh otak.

Perlakuan mesra itu sampai lupa aku menanyakan di mana Rivo. Apa Bang Rio meninggalkan sendiri di kali? 

"Sayang, coba tebak kabar gembira apa yang mau abang sampaikan?"

"Ih ... Gak tau donk. Masa disuruh nebak, kalo Rumi sih, ada kabar buruk yang mau disampaikan," jawabku membelalakkan netra Bang Rio.

"Kabar buruk apa sayang?" tanya Bang Rio kaget, wajah semringahnya berubah cemas. 

"Kenapa, Dik?" tanyanya lagi mengusap lembut pipiku. Aduch jadi lupa mau ngerjain suami. Malah dikerjain duluan.

"Kabar buruk apa?" Tak sabar ia bertanya lagi, wajah cemasnya mengalahkan logika di mana ia mencuri berkali-kali bibirku yang ingin berucap. Dasar suami.

"Gi mana caranya Rumi bisa cerita kalo abang ciumin melulu," cubitku pada pinggangnya.

Ia tertawa. Lalu membawaku dalam dada.

"Kamu cerita duluan, kabar buruk apa, sayang?"

"Ini nih, si tamu bulanan datang, padahal kan pengennya jangan datang biar Alya punya adik," jawabku tak berdosa. Bang Rio langsung tertawa terbahak. Mengacak rambutku. Tawanya hampir saja membangunkan Alya.

 Aku menyumbat mulut merah tanpa bau nikotin itu agar berhenti tertawa. 

Tentu saja menyumbat dengan mulutku juga. Istri mesum sama yang halal boleh ya?

"Kamu ini, abang kirain apa-an?" Ia masih tersenyum, memandangku penuh cinta. Kalau sudah begini, seribu kali difitnah Kinanti tidak akan membuatku emosi.

Ada saatnya aku mengadukan perihal itu padanya, bukan saat ini. Bang Rio sedang down. Pada fase butuh support bukan butuh celotehan istri tentang ibunya, yang ada ia bakal tambah down.

"Kontrak abang sudah habis, suratnya dikirim via email barusan, sisa kontrak yang seharusnya--dibayar rapel. Tadi sms banking sudah memberitahu. Angkanya lumayan, kalo kamu tidak betah di sini. Kita kembali ke kota, buat usaha. Gi mana sayang?"

Aku menatap wajah lelaki pengertian ini. Tanpa kuceritakan telepati suami istri itu tidak berhijab.

"Rumi ikut abang aja. Apapun keputusan abang, Rumi ikut. Btw mana Rivo? Abang tinggalin Rivo di kali? Sendirian?" Tanyaku bertubi-tubi takut terjadi sesuatu pada Rivo.

Bang Rio malah tertawa, 

"Tenang sayang, suami Kinanti ternyata juga hobi mancing, bareng tadi perginya. Gilang,"

Suami Kinanti?

"Ih tapi gak bagus abang ninggalin Rivo sama orang yang kita tidak kenal dekat," protesku pada Bang Rio.

"Gilang sudah abang kenal lama lo, dia itu kan teman abang waktu masih kerja di perusahaan yang lama, pas kita baru-baru nikah,"

"Oh, Rumi gak tau,"

"Iyalah, kan kamu tau nya cuma sama abang," 

Kerling nakalnya, membuatku tersenyum.

"Kasian deh, Abang. Si tamu masih enam hari lagi baru mudik," ucapku membuatnya tertawa. Mengelus pucuk kepala ini dengan lembut sekali.

Coba aja Kinanti ngintip. 

Huwaaa. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status