Share

Fitnah Kinan

Author: Inoeng Loebis
last update Huling Na-update: 2022-11-16 01:25:01

Sebenarnya perutku terasa lapar. Gulai tadi siang sudah habis. Biarlah menahan lapar, menunggu Bang Rio pulang dari mesjid, daripada aku makan dan nanti ada masalah.

"Assalamualaikum," suara Bang Rio bersamaan si sulungku Rivo mengucap salam langsung menerobos kamar.

"Katanya mau main dulu sama Rehan, kok gak jadi?" Tanyaku pada Rivo sengaja dengan suara sedikit keras, agar Tante Sari mendengar, tidak terjadi salah paham lagi. Jangan sampai ia berpikir aku melarang Rivo untuk ke rumah Kinanti.

"Gak jadi, kata papah mau ngajak Rivo mancing di kali kecil yang dekat sawah,"

"Iya, Dik. Biar Rivo gak bosan, abang bawa ke kali dekat sawah kiri itu, masih ingat gak?" Tanyanya tersenyum mengenang. Eh dia bernostalgia.

Sawah kiri.

Iya, ingat donk. Tiap lebaran tiba, aku sengaja main atau ikut nenek memetik kopi di sawah kiri. Pinggiran sebelum sawah ada tanaman kopi warisan nenek.

Sebelah kanan dari sawah kiri itu berbatasan langsung dengan sawahnya Bang Rio. Sengaja banget aku dulu. Ingin melihat wajah Glenn Alinskie versi malu-malu dari jarak dekat.

Wajahku mendadak memanas. Bang Rio mengingatkan kejadian belasan tahun lalu.

"Kok senyum sendiri, ingat masa lalu, ya?" Usilnya mendelik Mesra. Aih, lupa ada si Rivo.

Aku membalas tajam sambil menarik ujung alis berkode arah Rivo. Bang Rio tertawa. Mengusap lembut kepalaku, berganti mengusap Rivo juga.

Satu di antara tingkahnya yang selalu bikin aku senyum sepanjang hari. Bunga-bunga seakan bermekaran setiap saat di hati ini.

Bang Rio begitu cerdas, juga baik dalam menunjukkan kasih sayang seorang tulang punggung keluarga.

"Ya sudah, sana maen sama Papa, tapi makan dulu," saranku sambil menguncir rambut Alya yang datang dari ruangan membawa kuncir kudanya yang tertinggal tahun lalu. Ada-ada saja si Alya, masih ingat saja barang pribadi.

Kami berempat beranjak menuju dapur.

Bang Rio dan Rivo duduk sebelahan.

"Mah, Rivo gak makan lagi, ya. Tadi udah makan di rumah Rehan," tolaknya saat aku hendak mengambil nasi ke piring.

"Itu kan tadi siang, Nak. Sekarang makan malam,"

"Tapi masih kenyang, tadi dikasih kue bolu sama es krim goreng,"

"Siapa yang ngasih?"

"Tante Kinanti," jawab Rivo membuat Bang Rio melirikku. Aku berdiri di samping Bang Rio.

"Mantanmu, Bang!" Bisikku usil menjamin Rivo tidak akan dengar.

Bang Rio menyepak kecil betisku. Melirik tak suka. Aku tertawa, senang rasanya ngerjain suami tercinta.

"Abang gak pernah pacaran, jangankan sama dia, sama siapapun juga gak pernah. Pacarannya cuma sama kamu itupun setelah menikah," protesnya panjang, Rivo menghadap ke arah kami berdua, lalu diam menikmati cubitan ayam goreng dari piring papanya.

"Kok rasa ayamnya kayak pakai penyedap gini, ya." Lidah bang Rio berdecak beberapa kali.

Aku mengangkat bahu, tersenyum lucu melihat ekpresi Bang Rio yang mirip orang sedang merasakan mangga kecut.

Kenapa, Bang? Basi?" Tanyaku yang sedari tadi belum merasakan ayam goreng ala Kinanti itu.

Ternyata suaraku menghadirkan Tante Sari di ambang pintu dapur menatap tajam ke arahku.

"Kamu bilang apa, Rum? Basi," Tanyanya ketus menghampiri meja makan.

Aku bingung. Pasti salah paham lagi.

"Rumi gak bilang sambalnya basi, Tante. Rumi lagi nanya Bang Rio kok pas makan wajahnya kayak lagi makan mangga gitu, apa sambalnya basi," jelasku pada Tante Sari.

Terlihat kesal di wajahnya.

"Harusnya kamu terimakasih sama Kinanti, zaman sulit pandemi seperti ini, masih ada orang baik yang ngasih sambal sampai sebanyak itu. Ayam lagi mahal."

Aku saling pandang dengan Bang Rio.

"Rumi benar, Ma. Dia cuma nanya," ucap Bang Rio pada Tante Sari.

"Mama udah makan?" Tanya Bang Rio kemudian, tersenyum pada ibunya.

"Nanya kok seperti itu, bersyukur dikasih orang, masa otak suami dicuci hal buruk!"

"Astagfirullah, mama, Rumi itu cuma nanya, karena ayam goreng ini lain rasanya di lidah Rio, Rumi tau benar mana yang Rio suka dan tidak suka sama rasa masakan,"

"Ini ayam goreng baru di goreng waktu di bawa kemari, mana mungkin basi."

"Gak ada yang bilang basi, Ma. Rumi cuma nanya, heran lihat Rio mengecap rasanya beda dengan sambal ayam yang biasa Rumi masak, itu saja." Bang Rio ngotot membelaku.

"Rio percaya sama istri Rio, Ma. Rum bukan Kinanti yang suka memanipulasi."

Wah. Apa aku tidak salah dengar? Bang Rio membelaku dengan menjelekkan Kinanti?

Hmm, aku menunggu mertuaku itu membela diri.

" Maaf, bukan Rio mau belain Rum, mama harusnya gak ngomong begitu. Gak ada yang bilang basi, Ma. Rum murni cuma nanya, Rum heran lihat Rio mengecap rasanya beda dengan sambal ayam yang biasa Rum masak, itu saja." Bang Rio ngotot membelaku. Ia mendekati Tante Sari yang mukanya ditekuk masam.

"Kalau tidak suka ya gak usah dimakan, ingat saja, yang namanya gak punya duit banyak-banyak bersyukur, jangan sampai sombong padahal nihil yang mau disombongin, masa sudah diberi hati minta jantung, masih beruntung ada yang ngasih sambal, daripada makan pakai garam," celoteh Tante Sari tidak berhenti.

Aku memilih diam. Cukup jadi penonton perdebatan mertua dan suami. Jika aku masuk dalam perdebatan mereka, tentu saja Tante Sari merasa dapat angin segar untuk kembali menyerang kata.

"Mama," panggilnya lembut. Mengusap bahu Tante Sari, sambil menarik napas. Mungkin Bang Rio menyesal melawan ibunya, secara ibu itu keramat. Surga anak ada di telapak kakinya.

Tapi aku tidak tahu apa yang ada di pikiran mertuaku itu, mengapa setelah sembilan tahun lamanya berumah tangga dengan Bang Rio, tahun ini ia menunjukkan wajah permusuhan.

Bang Rio membasuk tangannya, menghentikan suapan nasi. Melirik sekilas ke arahku. Selera makan suamiku itu pasti sudah menguap. Kasihan, tunggu mamanya pergi, aku masakin telor ceplok. Biasanya Bang Rio suka.

Jangankan pergi, Tante Sari tetap memasang mata melototnya, dengan wajah yang benar-benar hendak menerkam.

"Ayam goreng di rumah Rehan enak kok, Ma, tadi Rivo juga makan pakai ayam goreng buatan Tante Kinanti. Enak banget apalagi yang dibuat krispi kaya kentucky."

Tiba-tiba Rivo bersuara. Wajah Tante Sari berubah melunak, sepertinya ia merasa di atas angin mendengar kalimat Rivo. Tersenyum licik ia berkacang pinggang. Menarik bibirnya sedikit ke atas, ia mendekati Rivo, mengelus kepala Rivo seolah makhluk paling menyayangi cucunya.

Aku terbelalak dengan ucapan polos putraku. Kalau enak mengapa rasanya beda dengan ayam goreng yang dia kasih ke sini?

"Nah tu dengarin apa kata anak kamu, enak." Tante Sari menekan kalimat 'enak'

"Kasih support sama suami, biar tau masakan itu enak, bukan malah mencuci otaknya biar berpikir itu sambal basi. Gak bersyukur disumbangin orang. Sekarang kamu tau 'kan Rio, jangan-jangan emang istri kamu ini sengaja bikin sambal itu berubah tidak enak, coba sini mama cicipin." Tante Sari mengambil sendok, dengan gaya bak Farah Queen ia menaruh sambal ke telapak tangan, seolah mencicipi masakan berharga dari chef terkenal.

"Mama!" Suara Bang Rio sedikit meninggi. Wajahnya merah padam, mungkin ia tersinggung dengan ulah ibunya sendiri.

"Kenapa Rio, ini mamah kamu, mertua Rumi, wajar mama ajarin menantu mama untuk hal baik, jangan dibela jika istri itu ucapannya salah."

Tante Sari semakin menggebu. Tangannya kini sudah berpindah ke pinggang lagi, lidahnya sedikit berdecak, pamer. Seolah ayam goreng buatan Kinanti itu berasal dari restoran termahal dengan bumbu luar biasa dan chef pemenang event.

Aku geleng kepala, sudah tidak nyaman dengan situasi ini. Akhirnya aku memilih inisiatif sendiri, aku mendekati Tante Sari.

"Iya, maaf ... Tante. Rum salah nanya ke Bang Rio. Maafin Rum! Rum yang salah," ujarku mengambil tangan Tante Sari. Ini kulakuakan biar masalah gak sampai ke mana-mana,

"Ayuk, Bang. Dilanjut makannya," ucapku menengahi. Kuusap bahu Bang Rio menenangkan. Daripada jadi panjang kali alas kali lebar kali sisi kali tinggi. Eh. Mana ada ilmu matematika begitu ya.

Jangan sampai meruncing dan merembes ke mana-mana. Itu saja, jadi aku mengalah meminta maaf, mengalah bukan berarti kalah.

"Gulai ikan salai tadi masih ada, Rum?" tanya Bang Rio, yang kusadari ia tidak suka ayam goreng buatan Kinanti itu.

"Udah abis dari tadi, Bang."

"Ya udah, beliin abang telor aja aja ya, Rum, ceplokin mata sapi," ucap Bang Rio membuat wajah Tante Sari menyala bara lagi.

"Apaan sih kamu, Yo. Ini ada sambal enak kok malah beli telur. Aneh-aneh saja, jangan-jangan kamu sungkan atau malu karena kamu dan Kinanti pernah ada rasa. Terus kamu malu-malu kucing makan masakannya, mama jadi curiga, jangan-jangan sebenarnya kamu masih cinta sama Kinanti."

Senyum Tante Sari mengembang, melirikku sekilas. Aku hampir saja salto guling-guling.

Ada rasa. Huek. Pengen muntah.

"Mama, sini duduk! Besok suruh Kinanti buat ayam goreng lagi, terus suruh Rumi menantu mama masak ayam goreng juga. Entar mama cicipin, biar tau bedanya di mana. Dan ... mama harus tau, Rio tidak pernah naksir perempuan sampai Rio mengenal Rum. Jadi Rio mohon jangan memperkeruh suasana, Rio sendiri heran dengan sikap mama, ada apa? kenapa mama benci sama Rum? alasan apa? kalau gak enak hati harusnya mama punya alasan untuk itu, Rum bahkan tidak pernah ketemu mama kecuali lebaran, rasanya tidak mungkin ada salah paham di sini, kecuali memang mama membencinya karena dia istrinya Rio."

Kalimat Bang Rio lembut. Ia menarik napasnya panjang, merangkul bahu ibunya. Tapi kalimat Bang Rio sangat mengena. Skak Mat. Aku ikut mendekat.

"Mah, Rum tau, Rio tidak suka masakan yang memakai terlalu banyak penyedap. Makanya dia nanya, perut Rio tidak cocok makanan yang begitu. Jangan salah sangka sama Rum, Rio tau kok, mama nasehatin yang baik. Kita sudahi ya! Biar Rio makan pakai telor ceplok, bukannya dari kecil Rio emang suka telor diceplokin? Rio mohon mama sama Rum bisa serumah dengan damai, hanya enam bulan paling lama, jika Rio dipanggil kerja, in sya Allah gak sampai sebulan."

Bang Rio mengusap-usap bahu Tante Sari lagi, Sepertinya ia sudah cukup tenang, mampu mengontrol emosinya yang sempat hendak meledak.Memasang senyum termanis. Begitulah bakti seorang Rio pada ibunya.

"Bang Rum ke warung dulu ya." Aku beranjak pergi setelah Bang Rio mengangguk.

Aku meninggalkan ibu dan anak itu di dapur, entah apa yang mereka bicarakan, gegas saja pergi ke warung, membeli telor. Ternyata di warung ada Kinanti yang sedang membeli sesuatu kebutuhannya. Entah apa dia beli. Aku tak bertanya.

"Hai, Rum," sapanya lebih dulu.

"Assalamualaikum, Kinan. Sehat?"

"Seperti yang kamu lihat, aku sehat banget tanpa kurang satu apapun," jawabnya sambil menunjuk tubuhnya yang masih singset. Aku tersenyum kecil.

"Mak, telor satu," pintaku pada Mak Rona yang tengah membungkus belanjaan Kinanti.

"Cuma satu, Rum?" tanya Mak Rona, heran, biasanya tiap tahun aku beli dua tandan telor isi tiga puluh enam.

"Iya, Mak. Ini Bang Rio mintanya cuma satu," jawabku tak enak hati jadinya. Nasib orang dari rantau, selalu dianggap berduit.

"Loh, Bang Rio makan pakai telor ceplok doank?" tanya Kinanti tiba-tiba mengerut keningnya heran.

Mungkin dia heran, mengapa Bang Rio minta telpor ceplok, padahal dia sudah capek-capek masak ayam goreng semangkuk.

"Iya, Kin. Makasih ya ayam goreng yang kamu kasih, enak. Aku juga ngak ngerti kenapa nih Bang Rio minta telur ceplok, mungkin efek kebiasaan makan ayam, jadi sekarang minta telurnya."

Sengaja kujelaskan begitu agar Kinanti tidak sakit' hati. Setiap manusia ada sisi baiknya, hanya kadang cinta yang buta, ambisi yang membius bisa melumpuhkan logika.

"Yuk, Kin. Main ke rumah!" ajakku setelah telur dibungkus plastik.

"I ... Iya, nanti malam aku main ke sana," jawabnya gugup. Padahal aku cuma mengajak main ke rumah. Kok jawabannya jadi gugup.

Kinanti oh Kinanti. Aku jadi ingat peristiwa tentang wanita itu lagi.

Saking cintanya sama Bang Rio, ia sampai rela meruntuhkan harga dirinya dengan membuat cerita rekayasa, seolah-olah mereka pacaran atau pernah pacaran.

Bahkan mengirimi chat fitnah begitu.

Untung tidak kuperpanjang, bisa-bisa dia sudah berada di jeruji besi.

"Aku pamit ya, Kin. Mak Rona makasih telornya." Aku beranjak pergi. Sudah sampai di rumah aku menggoreng telor ceplok setengah matang saja, diberi irisan bawang goreng. Bang Rio makan dengan lahap.

"Untuk teman mancing nanti bawa bekal apa?" tanyaku mengingat mereka mau pergi ke Empang, dan kali kecil di sawah kiri.

"Ngak usah, Rum. Kan baru makan. Masih kenyang," tolak Bang Rio. Aku manggut-manggut.

*

Pukul 22.08 aku melirik jam di dinding kamar. Bang Rio dan Rivo sedari tadi sudah berangkat ke sawah kiri.

"Rum, Tante ada yang mau ditanya sama kamu," tiba-tiba Tante Sari sudah berdiri di depan pintu kamar.

"Ya, Nte. Masuklah, Alya sudah tidur."

Tante Sari duduk di tepi ranjang kecil besi itu.

"Kamu cemburu ya sama Kinanti?"

"Cemburu? Maksunya Tante?" tanyaku hati-hati.

Untuk apa aku cemburu pada Kinanti?

Pertanyaan lucu.

"Ya, Tante cuma nanya, kamu cemburu sama Kinanti, secara dia lebih dalam segala hal dari kamu sekarang, kalau dulu mungkin kamu menang, sekarang kamu bisa lihat siapa Kinanti, kan? Agen hasil kebun orang-orang kampung, pandai menjaga wajah dan tubuhnya tetap singset, jauh lebih muda, apa kamu cemburu, karena tubuh kamu sekarang gendutan, terus wajah kamu mulai ada flek-flek hitamnya, Kinanti malah makin glowing."

Tante Sari mengibas tangannya ke udara. Aku memilih tidak menanggapi.

"Kenapa, Rum harus cemburu sama Kinanti, Tante? setiap wanita punya keindahannya tersendiri, dulu Rum glowing karena penghasilan Bang Rio masih mencukupi, saat ini Rum tidak memikirkan bedak, glowing atau skinker apapun untuk mempercantik wajah, Rum hanya berpikir untuk menyelamatkan lambung anak-anak Rum, Tante," jelasku lugas.

Apa yang ada dalam otaknya sampai bertanya begitu padaku.

"Lah ... Itu masalah ayam goreng kamu besar-besarkan, sampai sampai orang warung tau semua, kalau Kinanti ngasih kita ayam goreng. Kamu sengaja mau bikin malu. Tadi kamu ketemu Kinan, kan di warung?"

Haruskah aku menjelaskan?

Palingan si Kinan sudah cerita duluan. Memotong beberapa bagian cerita, menambahkan sebagian, dan entah apa lagi. Jadilah sebuah ghibah yang menarik. Bukankah sedari dulu ia memang hobi ghibah dan suka menambahi cerita. Makanya Bang Rio ilfil melihatnya.

Padahal bertemu dengannya di warung tidak sampai lima menit. Hmm, ternyata ceritanya bisa sampai satu jam.

"Eh, Rum. Mertua nanya itu dijawab, malah diam! Kamu cemburu kan sama Kinanti? Sampai memfitnah masakannya biar menarik simpati Rio."

Aku mau jawab apa?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Ayam Goreng

    "Ma, Rivo ke mesjid dulu, ya. Ntar abis isya maen ke rumah Rehan lagi," pamit Lajangku membuyarkan lamunan. "Ri ... !" Teriakku. Kehilangan kata, putra satu-satunya telah menghilang di balik pintu. Semoga ini bukan ujian awal untukku. Gulai dan sekarang? Kinanti! "Kenapa,? Kok kamu teriak-teriak manggil si Rivo." Sudah seperti hantu, ibu mertua tiba-tiba nongol di depan pintu. Astaghfirullah. "Gak da, Tante. Si Rivo maen melulu, Rumi pengen dia istirahat. Baru juga sampai, malah keluyuran," jelasku sedikit malas. Air muka Tante Sari kelihatan tidak nyaman, ia menarik bibirnya ke kanan sedikit. Apa yang tengah ia pikirkan? "Heleh, kan dah dibilang si Rivo, ke rumahnya Rehan," timpalnya lagi. "Iya, tapi segan Rumi, Tante. Rivo makan di sana, malam ini kalo maen ke sana lagi, ntar makan lagi, Rumi cuma takut aja, Bang Rio lagi nganggur, jangan sampai anak-anak Rumi nyusahin orang lain," jelasku lagi. "Hadeehh, kamu ini ya Masih syukur ada yang kasih makan! Pake acara se

  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Tenang

    Setelah mereka pergi, suasana nampak semakin sepi. Bang Rio mengajak kami untuk masuk kembali kedalam rumah. Aku menuturi Bang Rio dari belakang. Hingga sampai di ruang tengah rumah itu, kami duduk bersama. Semua terasa hening. Bang Rio melipat tangannya di atas dada sambil terus diam. Sama seperti yang Aku lakukan. Mili pun tak bisa berbuat lebih selain melihat tingkah mereka yang jadi pendiam. "Kenapa jadi pada diam seperti ini? Bukanya seharusnya kita senang karena mkita menang?" Tanya Mili melirik liar ke dua belah arah. Aku menarik nafas dalam sekali lalu membuangnya hingga dadaku terasa lega. "Aku hanya kasihan melihat Kinanti dan Om Budiman di seret polisi seperti itu," ucapku lirih. Aku memang kesal dan dongkol dengan sikap dan kelakuan dari keduanya. Hingga taut wajah muram tak bisa aku sembunyikan. Tapi, rasa kemanusiaanku tiba-tiba saja muncul. Aku tak bisa bayangkan bagaimana mereka akan menderita di balik jeruji besi. Bang Rio duduk mendekat ke arahku. Dia adalah pria

  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Mereka Pergi

    4.Akhirnya aku berada di posisi ini. Dimana diriku sangat sebal melihat orang yang selalu bertingkah munafik. Merasa diri paling benar, tersenyum baik di hadapan kita namun di belakang aslinya sangat busuk.Aku mengeratkan genggaman tanganku hanya untuk menahan sebuah amarah. Benci dan muak menatap wajah wanita itu, sampai-sampai aku ingin sekali melemparkan sebuah pukulan di pelupuk matanya. Untung saja, aku tipe orang yang tak suka kekerasan.Menyelesaikan masalah ini dengan otak dingin lebih baik dibandingkan harus adanya pertumpahan darah. Bisa diingat oleh semuanya jika masalah besar kita bersangkutan dengan uang, maka jati diri seseorang bisa terlihat jelas. Hal yang sama nampak dari wajah Bang Romi. Matanya memerah setiap kali berhadapan dengan sosok Kinanti. Seperti sudah dijodohkan oleh tuhan, Kinanti bersikap acuh tak acuh percis dengan Budiman yang belum datang. "Jangan berbelit-belit lagi. Sebaiknya, kamu jujur saja. Semua ini a

  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Pelakor Menantang

    Aku dan  Bang Rio, sedang duduk di ruang tamu rumah. Kami merasa putus asa dalam upaya kami untuk membuktikan bahwa Om Om Budiman dan Kinanti  telah melakukan tindakan yang hendak mencelakakan Bang Rio.Tiba-tiba, pintu rumah terbuka dan Milli, adik iparku, tiba-tiba masuk dengan wajah yang pucat dan serius."Aku punya sesuatu untuk kalian berdua," katanya sambil menyerahkan sejumlah bukti kasus itu kepada kami.Bang Rio dan aku saling pandang, takjub dengan apa yang Milli berikan kepada kami.“Kamu dapatkan semua ini dari mana, Milli?” tanya Bang Rio. Milli menggelengkan kepalanya perlahan, “Abang dan Mbak Rum ga perlu tau, yang jelas semua bukti ini bisa membawa mereka ke terali besi,” katanya. Aku menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Akhirnya aku bisa menemukan keadilan untuk suamiku. “Di dalam sini juga ada bukti-bukti jika Om Budiman memang sudah menyabotase harta yang seharus

  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Istri terbaik.

    Bang Rio duduk di depan pengacara dengan sorot mata yang tajam. Ia merasa gerah dan marah karena sudah terlalu lama ia berdiam tentang masalah keluarganya."Pak, saya butuh bantuan Anda. Saya yakin ada masalah dalam keluarga Budiman," ujarnya sambil mengeluarkan sebuah folder dari tasnya.Pengacara itu memperhatikan Bang Rio dan menerima folder yang dia tawarkan. Dia membuat catatan dan menanyakan sedikit lebih banyak tentang situasi keluarga Budiman."Saya memiliki banyak bukti yang menunjukkan bahwa selama bertahun-tahun, mereka telah mengambil aset dan harta keluarga saya, termasuk rumah warisan ibu saya. Semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan saya dan bahkan tanpa itikad baik," lanjut Bang Rio sambil menatap tajam pengacara tersebut.Pengacara tersebut merasa kagum akan keseriusan Bang Rio dalam menyelesaikan permasalahan ini. Ia lalu bertanya tentang bukti yang dimiliki Bang Rio.Bang Rio kemudian

  • Kubeli Suamiku Dari Keluarganya   Aksi Mili

    Mili mengumpulkan semua orang di kampung halaman Bang Rio, termasuk aku dan Bang Rio menyusul Mili ke rumah yang ada di kampung. Ia berkata ada sesuatu yang penting untuk kami ketahui."Tumben Mili buat acara ginian, malah manggil orang sekampung lagi, kira-kira apa yang mau dibahas sama Mili?" Bang Rio bergumam Aku tidak pernah memberitahu pada Bang Rio tentang kerjasama aku dan Mili, aku hanya memberitahu beberapa narasi kerjasama yang tidak urgensi.Ternyata, Mili juga merasa sakit hati dan marah ketika dia mengetahui betapa banyak kesalahan ibunya telah dilakukan terhadap Bang Rio. Awalnya ia pikir ini hanya masalah salah paham, antara menantu dan mertua."Mili kira, kakak sama mama itu hanya misskomunikasi doank, apalagi selama di rumah kampung, Kakak dan mama selalu membahas masalah uang saja, jadi aku sama Dini, ya kirain kalian hanya salah paham tentang keseharian saja, palingan tentang sambal yang mungkin tidak sesuai selera atau Mama yang memang hobi pengen punya menantu kay

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status