"Rio percaya sama istri Rio, Ma. Rum bukan Kinanti yang suka memanipulasi."
Wah. Apa aku tidak salah dengar? Bang Rio membelaku dengan menjelekkan Kinanti?
Hmm, aku menunggu mertuaku itu membela diri.
" Maaf, bukan Rio mau belain Rum, mama harusnya gak ngomong begitu. Gak ada yang bilang basi, Ma. Rum murni cuma nanya, Rum heran lihat Rio mengecap rasanya beda dengan sambal ayam yang biasa Rum masak, itu saja." Bang Rio ngotot membelaku. Ia mendekati Tante Sari yang mukanya ditekuk masam.
"Kalau tidak suka ya gak usah dimakan, ingat saja, yang namanya gak punya duit banyak-banyak bersyukur, jangan sampai sombong padahal nihil yang mau disombongin, masa sudah diberi hati minta jantung, masih beruntung ada yang ngasih sambal, daripada makan pakai garam," celoteh Tante Sari tidak berhenti.
Aku memilih diam. Cukup jadi penonton perdebatan mertua dan suami. Jika aku masuk dalam perdebatan mereka, tentu saja Tante Sari merasa dapat angin segar untuk kembali menyerang kata.
"Mama," panggilnya lembut. Mengusap bahu Tante Sari, sambil menarik napas. Mungkin Bang Rio menyesal melawan ibunya, secara ibu itu keramat. Surga anak ada di telapak kakinya.
Tapi aku tidak tahu apa yang ada di pikiran mertuaku itu, mengapa setelah sembilan tahun lamanya berumah tangga dengan Bang Rio, tahun ini ia menunjukkan wajah permusuhan.
Bang Rio membasuk tangannya, menghentikan suapan nasi. Melirik sekilas ke arahku. Selera makan suamiku itu pasti sudah menguap. Kasihan, tunggu mamanya pergi, aku masakin telor ceplok. Biasanya Bang Rio suka.
Jangankan pergi, Tante Sari tetap memasang mata melototnya, dengan wajah yang benar-benar hendak menerkam.
"Ayam goreng di rumah Rehan enak kok, Ma, tadi Rivo juga makan pakai ayam goreng buatan Tante Kinanti. Enak banget apalagi yang dibuat krispi kaya kentucky."
Tiba-tiba Rivo bersuara. Wajah Tante Sari berubah melunak, sepertinya ia merasa di atas angin mendengar kalimat Rivo. Tersenyum licik ia berkacang pinggang. Menarik bibirnya sedikit ke atas, ia mendekati Rivo, mengelus kepala Rivo seolah makhluk paling menyayangi cucunya.
Aku terbelalak dengan ucapan polos putraku. Kalau enak mengapa rasanya beda dengan ayam goreng yang dia kasih ke sini?
"Nah tu dengarin apa kata anak kamu, enak." Tante Sari menekan kalimat 'enak'
"Kasih support sama suami, biar tau masakan itu enak, bukan malah mencuci otaknya biar berpikir itu sambal basi. Gak bersyukur disumbangin orang. Sekarang kamu tau 'kan Rio, jangan-jangan emang istri kamu ini sengaja bikin sambal itu berubah tidak enak, coba sini mama cicipin." Tante Sari mengambil sendok, dengan gaya bak Farah Queen ia menaruh sambal ke telapak tangan, seolah mencicipi masakan berharga dari chef terkenal.
"Mama!" Suara Bang Rio sedikit meninggi. Wajahnya merah padam, mungkin ia tersinggung dengan ulah ibunya sendiri.
"Kenapa Rio, ini mamah kamu, mertua Rumi, wajar mama ajarin menantu mama untuk hal baik, jangan dibela jika istri itu ucapannya salah."
Tante Sari semakin menggebu. Tangannya kini sudah berpindah ke pinggang lagi, lidahnya sedikit berdecak, pamer. Seolah ayam goreng buatan Kinanti itu berasal dari restoran termahal dengan bumbu luar biasa dan chef pemenang event.
Aku geleng kepala, sudah tidak nyaman dengan situasi ini. Akhirnya aku memilih inisiatif sendiri, aku mendekati Tante Sari.
"Iya, maaf ... Tante. Rum salah nanya ke Bang Rio. Maafin Rum! Rum yang salah," ujarku mengambil tangan Tante Sari. Ini kulakuakan biar masalah gak sampai ke mana-mana,
"Ayuk, Bang. Dilanjut makannya," ucapku menengahi. Kuusap bahu Bang Rio menenangkan. Daripada jadi panjang kali alas kali lebar kali sisi kali tinggi. Eh. Mana ada ilmu matematika begitu ya.
Jangan sampai meruncing dan merembes ke mana-mana. Itu saja, jadi aku mengalah meminta maaf, mengalah bukan berarti kalah.
"Gulai ikan salai tadi masih ada, Rum?" tanya Bang Rio, yang kusadari ia tidak suka ayam goreng buatan Kinanti itu.
"Udah abis dari tadi, Bang."
"Ya udah, beliin abang telor aja aja ya, Rum, ceplokin mata sapi," ucap Bang Rio membuat wajah Tante Sari menyala bara lagi.
"Apaan sih kamu, Yo. Ini ada sambal enak kok malah beli telur. Aneh-aneh saja, jangan-jangan kamu sungkan atau malu karena kamu dan Kinanti pernah ada rasa. Terus kamu malu-malu kucing makan masakannya, mama jadi curiga, jangan-jangan sebenarnya kamu masih cinta sama Kinanti."
Senyum Tante Sari mengembang, melirikku sekilas. Aku hampir saja salto guling-guling.
Ada rasa. Huek. Pengen muntah.
"Mama, sini duduk! Besok suruh Kinanti buat ayam goreng lagi, terus suruh Rumi menantu mama masak ayam goreng juga. Entar mama cicipin, biar tau bedanya di mana. Dan ... mama harus tau, Rio tidak pernah naksir perempuan sampai Rio mengenal Rum. Jadi Rio mohon jangan memperkeruh suasana, Rio sendiri heran dengan sikap mama, ada apa? kenapa mama benci sama Rum? alasan apa? kalau gak enak hati harusnya mama punya alasan untuk itu, Rum bahkan tidak pernah ketemu mama kecuali lebaran, rasanya tidak mungkin ada salah paham di sini, kecuali memang mama membencinya karena dia istrinya Rio."
Kalimat Bang Rio lembut. Ia menarik napasnya panjang, merangkul bahu ibunya. Tapi kalimat Bang Rio sangat mengena. Skak Mat. Aku ikut mendekat.
"Mah, Rum tau, Rio tidak suka masakan yang memakai terlalu banyak penyedap. Makanya dia nanya, perut Rio tidak cocok makanan yang begitu. Jangan salah sangka sama Rum, Rio tau kok, mama nasehatin yang baik. Kita sudahi ya! Biar Rio makan pakai telor ceplok, bukannya dari kecil Rio emang suka telor diceplokin? Rio mohon mama sama Rum bisa serumah dengan damai, hanya enam bulan paling lama, jika Rio dipanggil kerja, in sya Allah gak sampai sebulan."
Bang Rio mengusap-usap bahu Tante Sari lagi, Sepertinya ia sudah cukup tenang, mampu mengontrol emosinya yang sempat hendak meledak.Memasang senyum termanis. Begitulah bakti seorang Rio pada ibunya.
"Bang Rum ke warung dulu ya." Aku beranjak pergi setelah Bang Rio mengangguk.
Aku meninggalkan ibu dan anak itu di dapur, entah apa yang mereka bicarakan, gegas saja pergi ke warung, membeli telor. Ternyata di warung ada Kinanti yang sedang membeli sesuatu kebutuhannya. Entah apa dia beli. Aku tak bertanya.
"Hai, Rum," sapanya lebih dulu.
"Assalamualaikum, Kinan. Sehat?"
"Seperti yang kamu lihat, aku sehat banget tanpa kurang satu apapun," jawabnya sambil menunjuk tubuhnya yang masih singset. Aku tersenyum kecil.
"Mak, telor satu," pintaku pada Mak Rona yang tengah membungkus belanjaan Kinanti.
"Cuma satu, Rum?" tanya Mak Rona, heran, biasanya tiap tahun aku beli dua tandan telor isi tiga puluh enam.
"Iya, Mak. Ini Bang Rio mintanya cuma satu," jawabku tak enak hati jadinya. Nasib orang dari rantau, selalu dianggap berduit.
"Loh, Bang Rio makan pakai telor ceplok doank?" tanya Kinanti tiba-tiba mengerut keningnya heran.
Mungkin dia heran, mengapa Bang Rio minta telpor ceplok, padahal dia sudah capek-capek masak ayam goreng semangkuk.
"Iya, Kin. Makasih ya ayam goreng yang kamu kasih, enak. Aku juga ngak ngerti kenapa nih Bang Rio minta telur ceplok, mungkin efek kebiasaan makan ayam, jadi sekarang minta telurnya."
Sengaja kujelaskan begitu agar Kinanti tidak sakit' hati. Setiap manusia ada sisi baiknya, hanya kadang cinta yang buta, ambisi yang membius bisa melumpuhkan logika.
"Yuk, Kin. Main ke rumah!" ajakku setelah telur dibungkus plastik.
"I ... Iya, nanti malam aku main ke sana," jawabnya gugup. Padahal aku cuma mengajak main ke rumah. Kok jawabannya jadi gugup.
Kinanti oh Kinanti. Aku jadi ingat peristiwa tentang wanita itu lagi.
Saking cintanya sama Bang Rio, ia sampai rela meruntuhkan harga dirinya dengan membuat cerita rekayasa, seolah-olah mereka pacaran atau pernah pacaran.
Bahkan mengirimi chat fitnah begitu.
Untung tidak kuperpanjang, bisa-bisa dia sudah berada di jeruji besi.
"Aku pamit ya, Kin. Mak Rona makasih telornya." Aku beranjak pergi. Sudah sampai di rumah aku menggoreng telor ceplok setengah matang saja, diberi irisan bawang goreng. Bang Rio makan dengan lahap.
"Untuk teman mancing nanti bawa bekal apa?" tanyaku mengingat mereka mau pergi ke Empang, dan kali kecil di sawah kiri.
"Ngak usah, Rum. Kan baru makan. Masih kenyang," tolak Bang Rio. Aku manggut-manggut.
*
Pukul 22.08 aku melirik jam di dinding kamar. Bang Rio dan Rivo sedari tadi sudah berangkat ke sawah kiri.
"Rum, Tante ada yang mau ditanya sama kamu," tiba-tiba Tante Sari sudah berdiri di depan pintu kamar.
"Ya, Nte. Masuklah, Alya sudah tidur."
Tante Sari duduk di tepi ranjang kecil besi itu.
"Kamu cemburu ya sama Kinanti?"
"Cemburu? Maksunya Tante?" tanyaku hati-hati.
Untuk apa aku cemburu pada Kinanti?
Pertanyaan lucu.
"Ya, Tante cuma nanya, kamu cemburu sama Kinanti, secara dia lebih dalam segala hal dari kamu sekarang, kalau dulu mungkin kamu menang, sekarang kamu bisa lihat siapa Kinanti, kan? Agen hasil kebun orang-orang kampung, pandai menjaga wajah dan tubuhnya tetap singset, jauh lebih muda, apa kamu cemburu, karena tubuh kamu sekarang gendutan, terus wajah kamu mulai ada flek-flek hitamnya, Kinanti malah makin glowing."
Tante Sari mengibas tangannya ke udara. Aku memilih tidak menanggapi.
"Kenapa, Rum harus cemburu sama Kinanti, Tante? setiap wanita punya keindahannya tersendiri, dulu Rum glowing karena penghasilan Bang Rio masih mencukupi, saat ini Rum tidak memikirkan bedak, glowing atau skinker apapun untuk mempercantik wajah, Rum hanya berpikir untuk menyelamatkan lambung anak-anak Rum, Tante," jelasku lugas.
Apa yang ada dalam otaknya sampai bertanya begitu padaku.
"Lah ... Itu masalah ayam goreng kamu besar-besarkan, sampai sampai orang warung tau semua, kalau Kinanti ngasih kita ayam goreng. Kamu sengaja mau bikin malu. Tadi kamu ketemu Kinan, kan di warung?"
Haruskah aku menjelaskan?
Palingan si Kinan sudah cerita duluan. Memotong beberapa bagian cerita, menambahkan sebagian, dan entah apa lagi. Jadilah sebuah ghibah yang menarik. Bukankah sedari dulu ia memang hobi ghibah dan suka menambahi cerita. Makanya Bang Rio ilfil melihatnya.
Padahal bertemu dengannya di warung tidak sampai lima menit. Hmm, ternyata ceritanya bisa sampai satu jam.
"Eh, Rum. Mertua nanya itu dijawab, malah diam! Kamu cemburu kan sama Kinanti? Sampai memfitnah masakannya biar menarik simpati Rio."
Aku mau jawab apa?
Palingan si Kinan sudah cerita duluan. Memotong beberapa bagian cerita, menambahkan sebagian, dan entah apa lagi. Jadilah sebuah ghibah yang menarik. Padahal bertemu dengannya di warung tidak sampai lima menit. "Eh, Rum. Mertua nanya itu dijawab, malah diam?" Aku mau jawab apa? Ntar malah salah lagi. Tapi, bukan Tante Sari namanya kalau obrolannya berhenti sampai di situ. Aku sudah mengenalnya sejak keluar dari rahim ibuku, untung punya anak ganteng, sholeh dan penyayang, kalo tidak. Bakal adu jetos mertua versus menantu. "Tadi Kinanti cerita sama Tante, kamu ketemu dia di kedai beli telur, ekpresi kamu itu lo, kok kayak orang sewot jumpa dia, bukannya terimakasih sudah dikasih ayam goreng buat sambal kita satu rumah, eh kamu malah nyeritain kalo si Rio gak suka ayam goreng buatannya. Terus ngapain juga, diceritain kalo si Rio itu tidak suka penyedap rasa. Gak baik seperti itu, harusnya kamu ngucapin terimakasih, sudah gak perlu sampai harus bilang ayam gorengnya gak enak, jadi,
"Gilang sudah abang kenal lama lo, dia itu kan teman abang waktu masih kerja di perusahaan yang lama, pas kita baru-baru nikah," "Oh, Rumi gak tau," jawabku. "Iyalah, kan kamu tau nya cuma sama abang," Kerling nakalnya, membuatku tersenyum. "Kasian deh, Abang. Si tamu masih enam hari lagi baru mudik," ucapku membuatnya tertawa. Mengelus pucuk kepala ini dengan lembut sekali. Coba aja Kinanti ngintip. Huwaaa. "Berarti Gilang pernah kerja di kota kita donk, Yang. Kok abang gak pernah cerita ke Rum?" tanyaku menyimpan heran. "Ih, ngapain juga abang ceritain dia ke kamu, Dik. yang ada aneh, Sayang! Lagian kamu kenal abang, 'kan? Abang kurang suka bergaul akrab seperti orang-orang, punya sahabat saling bestian, abang lucu aja gitu.""Nah, itu yang mau Rum tanyain sama abang, sayang! gak suka bergaul akrab tapi kok bisa niat mancing bareng.""Sebenarnya itu niatnya si Rivo, Dik. Kamu tau sendiri si Rivo hobi banget mancing. Abang dengar dia ngajak Rehan anaknya Gilang buat mancing.
"Rum Rum ....""Rio, bertahanlah!" tiba-tiba hening. "Bang Rio kenapa?" teriakku menggigil. Tidak satu orang pun yang mendengar. Ingin rasanya menangis. Jantungku gemuruh hebat. Apa yang terjadi pada suamiku, Tuhan? Mondar mandir melupakan Alya yang sudah duduk sempurna menatap bingung ke arahku."Mama, ngapain kayak setrikaan? maju mundur?" tanya Alya heran. Tanganku gemetar. Kupeluk Alya ketakutan.Napas ini tidak lagi beraturan tarikannya. "Rio terpeleset di kali, ada ular tadi, Rum. Rio ... eh Rio dipatuk, sekarang gak bisa ngomong, tolong, Rum! panggilin keluarga sekarang. Pergi ke rumahku katakan pada Kinanti untuk menyiapkan mobil. Kita bawa Rio ke rumah sakit?" "Apa!" Rio-ku kenapa? Lemas sudah kaki ini. Penjelasan Gilang membuat tubuhku rasa melayang tak berpijak pada Bumi. Suamiku tercinta, lelaki yang begitu mencintai meski dengan cara sederhana. Tuhan ... tolong dia!Dalam keadaan bingung, kalut entah harus melakuka
"Dik," panggil Bang Rio setelah membuka netranya yang beberapa waktu lalu tertidur. Aku menyeka ujung mata, tanpa sadar ternyata aku ikut terlelap di sampingnya. "Iya sayang, Rum di sini," jawabku mendekat kewajahnya. Kugenggam tangan berinfus itu, mentransfer kekuatan agar hatinya tenang. "Mama, mana?" tanyanya lemah. Betapa ia anak yang berbakti. Andai saja Bang Rio tahu seperti apa watak asli ibunya itu. Ah, aku tidak tega mengatakannya. Suatu hari Bang Rio akan melihat sendiri seperti apa Wanita yang ia anggap malaikat itu di belakangnya. "Tadi di sini, mungkin pulang sebentar, atau ke depan. Apa mau Rum cariin?" tawarku basa-basi. Tante Sari tidak pamitan entah ke mana. Aku curiga, bercampur bingung, entah mengapa hati ini menangkap' signal waspada, melihat tingkah ipar dan Tante Sari yang berbisik melirik Bang Rio saat pingsan membuat aku bertanya-tanya.Apa mereka merasa senang dengan kejadian yang menimpa suamiku?Sekarang aku ikut bingung mau menjawab pertanyaan Bang Rio
Setelah mendapat penjelasan dari dokter mengenai serum, obat dan kadar dosis yang harus diminum Rio. Aku memutuskan pulang. Bang Rio lebih dulu sampai karena memakai mobil Kinanti. Sedangkan aku sengaja singgah di pasar bersama Rivo. Aku juga sengaja menyuruh Mili membawa Alya. ada sesuatu hal yang harus aku kerjakan yang tidak boleh ada yang tahu. Entah mengapa aku punya firasat yang tidak nyaman dan tidak enak untuk kurasakan Tapi aku tidak tahu mengapa tiba-tiba merasa seperti itu.Rivo info Aku sengaja pulang bersamaku sedangkan Aliya walaupun sedikit drama menangis dan merajuk Ia tetap kupaksa untuk satu mobil bersama Bang Rio dan Kinanti. Rivo anak lelaki, dia tidak peka dengan sekitar. Makanya lebih baik di pulang denganku.Berbeda dengan Alya. Apapun perbincangan di dalam mobil. Aku pasti bisa mengorek dari Alya nantinya. Anak perempuan itu memang tidak sama dengan anak lelaki. Aliya meskipun masih berusia kecil dan belum sekolah tapi putriku itu sangat peka terhadap gunjingan
"Setelah memastikan suamiku baik-baik saja di sini, sebelum enam puluh hari aku akan kembali untuk membawa suamiku, bukan hanya suamiku saja, Tante. Tapi aku akan membawa segala aset di kampung ini. Apa Tante paham! Aku pastikan warisan yang acap kalian ributkan akan berpindah nama." Ucapanku begitu tegas. Tante Sari tampak shock mendapat perlawanan.Ia terbelalak kaget. Tidak menyangka aku yang biasa memilih mengalah kini melotot melawan ucapannya. Bahkan memanggil diriku dengan sebutan 'aku' bukan 'Rum'***"Kamu itu ya, Rum. Ngomong kok sombong sekali. Aset kampung plus warisan. Tidak usah terlalu banyak ngehalu, takutnya kamu depresi. Mending jualan risoles, bakwan atau apa saja yang bisa menyambung nafkah anak-anak kamu. Kalian sekeluarga memang cocok hidup makan halu, tak ada bedanya dengan si Yuni. Bisa-bisanya kamu ngehalu bakal jadi tuan tanah di sini. Bangun ... jangan mimpi!" Tante Sari mengibaskan tangannya. Aku tertawa mendengar balasan Tante Sari. Terlihat jelas ia men
Hari ini aku baru saja selesai mencuci baju Alya dan Rivo, kemudian berencana akan bicara kembali kepada Bang Rio tentang tinggal di kota. Semoga saja suamiku itu mengijinkan kami, dan aku terhindar dari nenek sihir yang ada di rumah ini.Baru saja kakiku melangkah ke dalam dapur tiba-tiba nenek sihir yang kumaksud sudah di depan mata.Entah ke mana Mili, Dini dan Jini, sepertinya trio kwek-kwek itu tidak terlihat di rumah ini, lebih tepatnya jarang terlihat. Tapi aku tidak kepo apa yang mereka kerjakan di luar, di dalam maupun di sekolahan.Terutama setelah mengetahui semua cerita Bang Rio tentang sosok Om Santoso dan Tante Yuni, semua cerita itu membuatku shock, agak sedikit kasihan melihat nasib Tante Sari yang di duakan, dengan kepongahan dan kesombongannya, aku semakin yakin bahwa Tante Sari punya kelainan jiwa.Mana ada di atas dunia ini yang menandatangani keputusan suaminya boleh menikah lagi kecuali karena sakit jiwa. Jiwanya sakit karena ambisi harta.Aku melangkah tergesa-ge
"Mau gimana lagi, Ma, untung Kak Kinan mau minjamin kita duit. pokoknya Dini gak mau tau. Dini wajib kuliah. Titik." Gelegar suara Dini mengangetkan aku yang sedang memotong wortel. Pinjam. Kinan. Bukannya kemarin itu duitnya Bang Rio. Sedari pagi mereka berdebat soal kuliah, dan segala tetek bengkel keuangan. Kalimat Dini membuat Tante Sari menatapku lalu mengarah Ke Dini dengan emosi. "Kenapa Dini bilang pinjam Kinan, Tante? bukanya kemarin Bang Rio ngasih Tante Duit," potongku pada pembicaraan mereka. Tentu saja aku tidak suka, jerih payah Bang Rio, jadi Jerih payah Kinanti. Apalagi sebenarnya duit itu untuk usaha kami. Harta satu-satunya yang dimiliki suamiku. "Ini urusan ibu dan anak. Bukan urusan kamu, urus saja si Alya dan Rivo," jawab Tante Sari cuek melotot padaku. Lalu ia seolah memberi kode pada Dini. Agar nanti saja melanjutkan perbincangan mereka. oh ... jadi! sama anak sendiri dia berani menyembunyikan fakta. Apalagi sama orang lain. "Tentu saja sekarang menjadi ur