[Sayang, aku jemput Rianti dulu ya. Setelah itu pulang]
[Say, maaf ya aku ngerepotin Ardi terus]
Riri menatap nanar pada layar ponselnya, kedua pesan yang dikirim dari orang yang berbeda itu selalu membuat hatinya tak karuan.
Ardi adalah suaminya, lelaki yang telah menikahinya dua tahun yang lalu. Mereka menikah setelah melalui proses perkenalan yang singkat, Ardi teman kakaknya Riri yang jatuh cinta lalu mantap menikahi Riri hingga kini dua tahun menikah tetap bahagia meski belum diberikan anak.
Rianti adalah sahabat Ardi, mereka konon bersahabat sejak SMP bahkan hingga kuliah pun di satu kampus yang sama hanya beda jurusan, saat proses perkenalan dengan Riri, Ardi pernah memperkenalkan Rianti pada Riri. Riri merasa semua biasa saja, apalagi setelah Rianti menikah Riri pikir semua akan berakhir.
Tapi Riri salah, persahabatan mereka tak ada bedanya. Tak ada sekat antara keduanya, baik Ardi atau Rianti merasa biasa saja. Mereka sering meminta izin pada Riri untuk sekedar jalan berdua meski Riri diajak tapi justru Riri selalu merasa menjadi orang ketiga di antara mereka berdua.
Riri merasa akhir-akhir ini suami dan sahabatnya itu semakin dekat, apalagi setelah suami Rianti dipindah tugaskan sementara Rianti belum bisa ikut pindah karena masih memiliki bayi kecil jadi alasan Rianti untuk menolak ikut dengan suaminya, suami Rianti justru menitipkan Rianti pada Ardi. Maka semakin sesak Riri merasakan semua ini.
"Mas, bisa kita bicara?" ajak Riri saat Ardi usai bersih-bersih.
"Ada apa sayang?"
Ya, Ardi memang selalu romantis dan tak pernah menyebut nama pada Riri, hampir setiap detik pun selalu berkirim pesan ketika sedang bekerja, harusnya Riri tak perlu curiga tapi tetap saja perempuan mana yang akan kuat melihat kedekatan suaminya dengan perempuan lain meski mereka bilang tak ada apa-apa dan biasa saja.
Riri duduk di samping suaminya itu, menatap serius lelaki itu.
"Sebetulnya bagaimana perasaan kamu pada Rianti?" tanya Riri.
Bukan menjawab, Ardi malah tertawa. Riri mengernyit, gelak tawa Ardi sama sekali tak lucu baginya, pertanyaan serius itu tak Ardi gubris dengan serius.
"Kamu mulai cemburu lagi ya?" tanyanya.
Riri terdiam, Ardi meraih tangan Riri dan memandang perempuan yang dipilihnya dua tahun yang lalu.
"Dengarkan aku, memegang amanah itu harus sungguh-sungguh. Rianti tak punya siapapun selain kita disini, suaminya sudah menitipkan dia padaku tepatnya pada kita iya kan? Jadi aku hanya sekedar menjalankan amanah, lagi pula kalau aku ada perasaan sama dia sudah sejak dulu aku pacari perempuan itu."
"Tapi mas…"
Ardi menutup mulut Riri dengan telunjuknya hingga Riri terdiam, rasanya ia tak bisa berbuat secara terang-terangan soal suami dan sahabatnya itu.
"Percayalah, Mas tetap akan menjaga pernikahan kita."
Didekap tubuh mungil istrinya itu, Ardi meyakinkan hati Riri tapi tetap saja sebagai seorang istri yang memiliki cinta di hatinya untuk Ardi, Riri tak rela ada perempuan lain dalam kehidupan mereka sekalipun itu hanya sekedar sahabat atau bahkan teman biasa sekalipun. Bukankah setiap perempuan hanya ingin menjadi satu-satunya di hati lelakinya?
Ardi selalu berhasil membuat Riri kembali tenang dengan kegundahannya dan semua berjalan seperti biasa, tapi nyatanya tak serta merta membuat Riri tenang. Apalagi jika melihat status-status yang dipasang Rianti, belum pesan-pesan izin yang dikirim Rianti, Riri memiliki akses membuka handphone Ardi dan dia akan sangat merasa berbeda ketika membaca pesan antara Ardi dan Rianti yang bagi mereka lagi-lagi biasa tapi berbeda untuk Riri.
"Memang manggilnya masih harus bee?" tanya Riri kesal saat melihat isi pesan mereka.
"Sudah terbiasa mungkin, tapi aku nggak kan? Eh, meski kadang masih deh."
Riri merengut, suaminya itu seolah menganggap semua biasa saja. Panggilan Bee dan Hanhan seolah biasa bagi mereka, sahabatan tapi seperti berkasih, lalu mereka seolah merasa tak bersalah memperlihatkan semua itu di depan Riri bahkan setelah menikah sekalipun.
"Ini kalau suaminya Rianti baca gimana?" tanya Riri kembali.
"Ya aku gak tahu, tapi kayaknya dia gak bakal seterbuka aku deh."
Riri tertegun, pikirannya semakin dipenuhi rasa yang tak menentu. Oke, selama ini suaminya itu tak pernah menutupi apapun, semua ia ketahui, bahkan sikapnya pun tak ada yang berubah tapi kedekatan mereka? Argh, Riri mengacak rambutnya.
"Kenapa sayang?"
"Nggak, aku masuk dulu ya mas."
"Lho, mau kemana? Ini film nya belum beres lho."
"Tidur, capek."
Ardi hanya tersenyum melihat tingkah istrinya itu, lalu kembali fokus pada layar di depannya. Malam kian larut, Riri yang sudah tertidur menggeliat, lalu ia perlahan membuka matanya dan sedikit terkejut melihat sisi sampingnya masih kosong, tak ada Ardi di sampingnya. Lalu ia melirik jam di ponselnya sudah pukul dua malam, rasa penasaran menyerang pikirannya, dimana Ardi?
Perlahan Riri bangkit dan berjalan menuju ruang televisi dimana terakhir kalinya mereka bertemu sebelum akhirnya Riri pamit masuk ke kamar.
Tak ada sosok yang dicarinya, lalu Riri mencari di setiap sudut rumah dan yang ia temukan hanya secarik kertas yang ditempel di pintu lemari es.
'Sayang, maaf aku gak tega bangunin kamu. Rianti telepon minta tolong anaknya kejang, aku antar dia ke rumah sakit. Maaf ya sayang.'
Terduduk lemas, tangan meremas kertas itu. Riri tak bisa berkata apa-apa lagi, ia menggigit bibirnya, amarahnya kini tak bisa ia tahan lagi. Sejauh ini kah persahabatan itu? Hati Riri merasa hancur meski ia tahu mereka bersahabat sebelum Riri hadir tapi apa pantas jika masih selalu seperti ini saat keduanya sudah sama-sama memiliki pasangan?
Riri segera bangkit dari duduknya, tangannya ia sapu membersihkan buliran-buliran air bening yang tanpa sadar membuat anak sungai di pipinya, hatinya tak bisa berbohong lagi. Semua tingkah mereka yang seolah biasa saja itu semakin menyakitkan bagi Riri dan tak bisa ia menahan lagi.
Ia buka lemari baju Ardi, memasukan pakaian Ardi pada sebuah koper lalu mendorong koper itu dan menyimpannya di dekat pintu. Riri menunggu kedatangan lelaki yang sudah memporakporandakan jiwanya itu.
Samar-samar suara gemuruh mobil membuat Riri perlahan membuka matanya. Ia tertidur kembali karena menangis semalaman, matanya bengkak dan wajahnya kusut, jam menunjukkan pukul enam, Riri kehilangan waktu subuhnya hingga dia bergegas ke kamar mandi, mandi dan sholat subuh meski sudah siang.
Pintu kamar terbuka, sosok yang ia tunggu memberikan senyuman padanya, Riri dingin tak membalas senyuman itu, seketika Ardi heran melihat koper di dekat pintu kamar.
"Apa ini?" tanyanya.
"Yang kamu lihat?" tanya Riri kembali.
"Kamu mau kemana sayang? Kamu marah karena aku pergi, iya? Aku kan…."
"Stop!" Riri mengangkat tangannya membuat Ardi berhenti bicara.
Tatapannya tajam menatap kedua netra lelaki yang dicintainya, Ardi terlihat sangat terkejut mendengar teriakan Riri.
"Kamu kenapa sih dek? Mendadak seperti ini, kamu kan tahu kalau aku dan Rianti itu….""Iya, aku tahu. Aku tahu mas, aku tahu kamu dan Rianti itu bersahabat bahkan sekalipun sebelum kamu mengenal aku, aku tahu itu mas. Berulang kali kamu bilang bahwa dia adalah sahabat kamu, menemani kamu berjuang bekerja keras hingga sekarang kamu sukses semua berkat dukungan dia, iya kan?" "Nah, iya itu kamu tahu jadi…""Jadi kenapa tidak kamu nikahi dia saja mas?" tekan Riri."Kenapa kamu malah menikahi aku, berkenalan denganku dan mengajak mengarungi hidup berumah tangga? Kenapa kamu tak menikahi Rianti? Lalu kalian bisa saling memiliki berdua selamanya hingga dunia pun tahu kalian saling mencintai, kenapa mas kenapa?" Riri terus meraung, ia keluarkan semua emosi yang sudah menggunung laksana letusan yang memancarkan lahar panas. "Kamu jahat Mas," tekan Riri. Seketika Ardi terdiam, wajahnya pucat pasi ketika mendapat penekanan dari Riri. Riri sudah tak bisa membendung amarahnya lagi, dua tahun
"Izinkan aku pergi dulu, akan aku selesaikan semuanya. Lalu kita bicara," ucap Ardi mendekat."Pergilah, tak perlu kembali.""Riri, aku mohon." Riri bergeming, ia sudah tak mau menyikapi apa-apa lagi soal mereka. Seolah sudah menyerah dan pasrah. Ardi kemudian keluar dari kamar, sedangkan Riri kembali mengurai air mata melihat lelaki itu nyatanya sudah memilih perempuan itu daripada dirinya. Cukup lama berdiam, Riri memutuskan untuk bangkit dan membersihkan wajahnya dari air mata itu. Bergegas bersiap hendak pergi, langkah kaki keluar kamar diiringi suara gesekan antara wajan dan spatula, betapa Riti terkejut mendapati Ardi tengah memasak, bukankah tadi dia? "Sayang, aku sudah buat nasi goreng kesukaan kamu." Riri diam, dia tak menggubris ucapan suaminya itu, kali ini hatinya sudah kuat untuk membuat suaminya berpikir. "Aku akan pergi, kamu masih disini.""Aku gak kemana-mana, ya tadinya aku mau menghampiri Rianti karena butuh bantuan buat mengantar makanan kesukaannya ke rumah s
"Istriku marah, dia sudah cemburu berat sama kamu.""Hahaha… wajarlah, mungkin kita terlalu intens bertemu. Tapi kan aku cuma ketika butuh bantuan kamu aja gak tiap waktu." "Iya, tapi sayangnya tiap kamu butuh itu istriku juga butuh aku, jadi maaf kalau aku beberapa hari ini gak bisa bantu kamu.""Yah, mau gimana lagi. Aku sudah harus merelakan sahabat yang aku punya sejak SMP, aku bantu dia ngerjain tugas-tugas sekolah, aku juga bantu kasih pinjam modal untuk usaha, sekarang mungkin sudah waktunya aku kasih dia ke perempuan lain yang tinggal enaknya." "Jangan gitu dong, Han. Aku tak bermaksud seperti itu.""Tak apa, aku ngerti kok. Memang dari dulu kamu gak pernah peka sama aku, bee."Tut tut tutPanggilan pun terputus, Ardi menghela nafas berat. Ardi merasakan kekecewaan yang dalam pada diri Rianti, tapi dia pun tak bisa membiarkan Riri terus marah padanya. Ardi mengacak rambutnya dan berteriak meluapkan emosi yang menghantam jiwanya. Di tempat lain, Riri menyetujui ide Laras dna
"Ah, akhirnya kamu jawab panggilan aku. Kamu dimana?" tanya Ardi lega. "Di rumah Laras sekalian ngopi.""Oh, ya sudah aku kesitu. Tunggu ya!" "Nggak perlu mas, aku gak mau bertemu kamu sebelum kamu menyelesaikan urusan kamu dengan Mbak Rianti."Ardi tampak mulai kesal lagi, wajahnya menunjukkan kekecewaan atas sikap Riri yang menolak untuk ditemui. Tapi dia berusaha tetap tenang."Sayang, aku sudah ngomong sama Rianti untuk tidak bisa membantunya dalam waktu dekat ini."Riri menghela nafas, ia faham kenapa Rianti tadi menelponnya dan marah mungkin Ardi sudah menghubungi Rianti. "Ayolah sayang, jangan kayak gini. Please." Ardi merajuk, Riri mulai tak kuasa melihat wajah Ardi yang memelas itu. Segala cara dilakukan Ardi untuk membujuk Riri agar mau ditemui dan pulang lalu duduk berdua menyelesaikan semua ini. Riri menatap Laras, meminta sarannya. Nyatanya Laras hanya mengangkat kedua bahu dan tangannya saja mengisyaratkan semua keputusan ada di tangan Riri. "Maaf mas, saat ini bel
"Rianti…." Ardi tertegun melihat perempuan itu sudah berdiri di depannya dan mengulas senyum khas miliknya. Lalu waktu seolah berjalan menuju dimensi yang telah terlalui ketika mereka pertama kali bertemu beberapa tahun silam tepatnya saat keduanya duduk di bangku kelas dua sekolah menengah pertama. Ardi adalah siswa pindahan dari sekolah di kampung tempat tinggalnya, ia ikut tinggal bersama paman dan bibinya karena keterbatasan ekonomi orang tuanya yang dengan empat orang anak, Ardi adalah anak kedua. Sebagai anak kampung Ardi tak banyak gaya dan kehadirannya membuat para pelajar siswi berdecak kagum, wajahnya yang ganteng itu ditambah dengan sikap ramah dan pendiamnya membuat Ardi terlihat cool di mata para pelajar siswi, begitupun di mata Rianti. Gadis ini terpesona sejak pandangan pertama, ketika Ardi sedang duduk di taman sekolah sambil membaca buku dengan agresif Rianti menghampirinya bahkan membuat Ardi kaget. "Hay," sapa Rianti. Ardi masih terdiam, dia menutup bukunya.
"Dengan kamu menerima kehadiran dia di hidup kamu artinya kamu memang tak pernah bisa hidup jauh dari Mbak Rianti, Mas." "Sayang, dengarkan aku dulu. Semua tidak seperti yang kamu kira, aku bisa jelaskan semuanya." "Apa? Apa yang mau kamu jelaskan mas? Aku harus masuk mengendap-endap ke rumah ku sendiri karena mendengar kasak - kusuk mencurigakan ternyata ada dua pasangan sejoli yang selalu bersembunyi di balik kedok persahabatan, iya?" Ardi terlihat semakin serba salah, sementara Rianti merasa puas dan senang. Senyum sumringah dan tatapan penuh kepuasan melihat pasangan itu bertengkar. "Harusnya kalian menikah saja, untuk apa kalian pura-pura menikah dengan orang lain tapi masih saja saling berhubungan hah?" "Sayang, kamu tenang ya. Tenang dulu," ucap Ardi mencoba menenangkan Riri yang emosi. Sikutan tangan Laras membuat Riri keluar dari lamunannya itu."Sayang, kamu akhirnya pulang." Riri mencoba menguasai diri, inginnya marah kayak khayalannya itu tapi sesuai kesepakatan yan
"Jadilah istriku, akan kubuat kamu bahagia."Kalimat itu menggema di telinga Riri manakala menatap foto pernikahannya. Pernikahan yang baru seumur jagung itu kini dihantam badai yang sangat kuat, ia merasa terlalu cepat hal ini terjadi. Bukan kah ujian orang ketiga adalah ujian di sepuluh tahun kedua? Lalu kenapa ia harus menghadapinya bahkan di saat pernikahannya masih seumur anak yang baru bisa berlari.Harusnya saat ini ia masih merasakan keharmonisan rumah tangga, bukan justru sebaliknya. Riri mendekap foto itu dengan erat lalu memejamkan mata, kini ia harus memilih antara mempertahankan atau mengakhiri semuanya.Samar-samar Riri mendengar suara adzan berkumandang, perlahan ia membuka matanya. Foto yang sejak tadi dipelul erat sudah tak ada dan kembali terpajang di atas nakas, bahkan dia pun telah berbeda posisi, me
"Kamu bisa bersikap tenang, lalu kita duduk berdua menyelesaikan semua ini. Aku tuh cape dituduh terus sama kamu."Riri mematung mendengar ucapan suaminya yang lagi-lagi menghentikan langkahnya untuk pergi. "Kalau kamu pergi lalu menceritakan semua persoalan kita pada ibu, apa yakin semua akan selesai?" "Setidaknya mereka tahu kelakuanmu." Ardi mengusap wajah kasar, ia masih mencoba tidak terpancing emosi atas sikap istrinya itu. Ardi maju beberapa langkah hingga tepat di depan Riri. Perlahan meraih tangan Riri dan menjatuhkan tas yang dipegang oleh Riri. Tatapan Ardi lekat pada dua netra yang sudah mengering, tak ada lagi air mata bagi Riri meski hatinya sudah terasa perih. "Tetaplah disini, aku akan menjelaskan semuanya." Riri masih bergeming, terpaku dalam bayangan kisah cintanya dengan lelaki yang akhirnya menikahinya itu. Perjalanan yang terbilang singkat memang hanya kurang lebih delapan bulan sampai menikah. Riri mantap menikah bukan tanpa sebab karena melihat keseriusan