"Kamu kenapa sih dek? Mendadak seperti ini, kamu kan tahu kalau aku dan Rianti itu…."
"Iya, aku tahu. Aku tahu mas, aku tahu kamu dan Rianti itu bersahabat bahkan sekalipun sebelum kamu mengenal aku, aku tahu itu mas. Berulang kali kamu bilang bahwa dia adalah sahabat kamu, menemani kamu berjuang bekerja keras hingga sekarang kamu sukses semua berkat dukungan dia, iya kan?"
"Nah, iya itu kamu tahu jadi…"
"Jadi kenapa tidak kamu nikahi dia saja mas?" tekan Riri.
"Kenapa kamu malah menikahi aku, berkenalan denganku dan mengajak mengarungi hidup berumah tangga? Kenapa kamu tak menikahi Rianti? Lalu kalian bisa saling memiliki berdua selamanya hingga dunia pun tahu kalian saling mencintai, kenapa mas kenapa?"
Riri terus meraung, ia keluarkan semua emosi yang sudah menggunung laksana letusan yang memancarkan lahar panas.
"Kamu jahat Mas," tekan Riri.
Seketika Ardi terdiam, wajahnya pucat pasi ketika mendapat penekanan dari Riri. Riri sudah tak bisa membendung amarahnya lagi, dua tahun membiarkan semua sandiwara itu terjadi. Berulang kali ia diingatkan kakaknya yang tak lain adalah teman Ardi, juga mengenal Rianti. Teringat ketika acara keluarga tahun lalu, saat Mas Raka, kakak Riri akan melangsungkan acara tunangan di malam hari Riri ngobrol dari hati ke hati dengan kakaknya itu.
"Setelah menikah nanti mungkin mas tak terlalu mengurusmu dek, mas harus fokus pada keluarga mas, sekarang mas tanya apa kamu baik-baik saja?" tanya Raka.
"Aku baik mas. Mas Raka tak perlu khawatir, semua kekhawatiran Mas Raka buktinya tak terjadi. Mas Ardi masih tetap sama seperti dulu, Mbak Rianti pun masih biasa saja."
"Kamu yakin?"
"Yakin Mas, lagi pula masa Mbak Rianti mau mengkhianati suaminya sih kayaknya dia perempuan itu baik deh."
"Apa yang kamu lihat belum tentu itu yang terjadi dek? Kakak sebetulnya masih tak setuju kamu dengan di Ardi itu, tapi mau gimana lagi kamu cinta dia," keluh Mas Raka.
"Mas Ardi juga cinta aku Mas, jadi tenang saja semua baik-baik saja."
"Baiklah, kalau terjadi apa-apa bilang sama Mas. Si Ardi berani nyakitin kamu maka dia sama saja menantang mati."
Riri hanya tersenyum, bayangan itu bermain di pikirannya. Kini apa yang dikhawatirkan kakaknya itu terjadi, tanpa Ardi sadar perlahan dia telah menorehkan luka di hati istrinya itu.
Andai ia mendengar nasehat kakaknya, seminggu sebelum pernikahan Mas Raka sudah pernah mengingatkannya tapi lagi Riri seolah terhipnotis sikap romantis yang Ardi hadirkan, hingga ia menepis semua kekhawatiran yang mendera hati Mas Raka.
Pernikahan pun terjadi, mereka memang hidup bahagia awalnya, Rianti pun tak lama menikah dengan lelaki pilihan neneknya. Dan pergi meninggalkan kota itu, tapi setelah neneknya wafat, Rianti kembali menempati rumah neneknya terjalin kembali kisah persahabatan itu yang sempat terjeda oleh jarak tapi tetap terhubung oleh media komunikasi. Lalu kini, keduanya semakin erat manakala suami Rianti tak ada di dekatnya. Riri sudah menyadari petaka yang akan menghampiri rumah tangganya itu.
"Kenapa diam?"
"Karena aku tak mencintainya, aku mencintai kamu."
"Bohong," desis Riri.
Riri menyunggingkan bibirnya, tatapannya penuh dengan kebencian, ucapan cinta yang baru saja ia dengar seolah bara api yang membakar jiwanya. Riri menarik nafas panjang meraup udara dengan buas lalu menghembuskannya perlahan.
Perlahan Riri berjalan menghampiri Ardi, lalu ia menatap lekat kedua netra itu.
"Pergi dari rumah ini," lirih Riri.
"Nggak, aku gak akan pergi dari rumah ini. Gak akan pergi ninggalin kamu," ucap Ardi.
Riri membuang tatapannya, dengan segera ia membuka mukena yang dipakainya lalu membereskan dan segera meraih tas miliknya. Ardi melihat hal itu langsung mencegah Riri yang akan hendak pergi, pagi itu berbeda dengan pagi biasanya. Suasana sungguh sangat gaduh.
"Kalau kamu gak akan pergi, aku yang akan pergi."
Brug
Riri tersungkur karena didorong kuat oleh Ardi, mata Riri melotot seumur pernikahannya ini adalah kali pertama Ardi berbuat kasar padanya.
Ardi segera mendekat mencoba meraih tubuh Riri dan meminta maaf, tapi Riri menjauh. Dering ponsel membuat Ardi berhenti sejenak merayu istrinya itu, ia melihat sekilas di layar nama Hanhan Rianti tertulis disana.
Antara istri dan sahabatnya, kini Ardi limbung. Satu sisi dia sangat peduli pada Rianti dan satu sisi tentu saja dia sangat perhatian pada Riri apalagi tengah marah seperti ini.
"Angkat saja, bukankah kamu sudah biasa memperlakukan aku seolah orang ketiga dalam hubungan kalian, hah?" gertak Riri.
Ardi masih diam, ponsel terus berdering hingga membuat Ardi akhirnya menyerah dan menjauh dari Riri lalu mengangkat teleponnya. Dari tempat duduk Riri dapat mendengar percakapan suaminya itu. Lalu tak lama Ardi masuk dengan gelisah.
"Pergi saja dan itu artinya telah jatuh talakmu untukku, maka aku tak mau disentuh lagi olehmu."
Mata Ardi terbelalak, mulutnya bungkam. Ia tak menyangka Riri yang selama ini terlihat baik-baik saja dengan hubungan antara dirinya dengan Rianti justru ternyata menyimpan kekesalan yang berujung pada kemarahan yang bertubi.
"Kenapa?" tanya Riri yang melihat Ardi hanya mematung.
Dering ponsel terus menggema semakin menambah kekacauan yang terjadi pada dua insan itu. Ardi gusar, dia kali ini berada pada dua pilihan yang seharusnya tak sulit untuk diputuskan jika memang Ardi benar-benar mencintai Riri.
"Izinkan aku pergi dulu, akan aku selesaikan semuanya. Lalu kita bicara," ucap Ardi mendekat."Pergilah, tak perlu kembali.""Riri, aku mohon." Riri bergeming, ia sudah tak mau menyikapi apa-apa lagi soal mereka. Seolah sudah menyerah dan pasrah. Ardi kemudian keluar dari kamar, sedangkan Riri kembali mengurai air mata melihat lelaki itu nyatanya sudah memilih perempuan itu daripada dirinya. Cukup lama berdiam, Riri memutuskan untuk bangkit dan membersihkan wajahnya dari air mata itu. Bergegas bersiap hendak pergi, langkah kaki keluar kamar diiringi suara gesekan antara wajan dan spatula, betapa Riti terkejut mendapati Ardi tengah memasak, bukankah tadi dia? "Sayang, aku sudah buat nasi goreng kesukaan kamu." Riri diam, dia tak menggubris ucapan suaminya itu, kali ini hatinya sudah kuat untuk membuat suaminya berpikir. "Aku akan pergi, kamu masih disini.""Aku gak kemana-mana, ya tadinya aku mau menghampiri Rianti karena butuh bantuan buat mengantar makanan kesukaannya ke rumah s
"Istriku marah, dia sudah cemburu berat sama kamu.""Hahaha… wajarlah, mungkin kita terlalu intens bertemu. Tapi kan aku cuma ketika butuh bantuan kamu aja gak tiap waktu." "Iya, tapi sayangnya tiap kamu butuh itu istriku juga butuh aku, jadi maaf kalau aku beberapa hari ini gak bisa bantu kamu.""Yah, mau gimana lagi. Aku sudah harus merelakan sahabat yang aku punya sejak SMP, aku bantu dia ngerjain tugas-tugas sekolah, aku juga bantu kasih pinjam modal untuk usaha, sekarang mungkin sudah waktunya aku kasih dia ke perempuan lain yang tinggal enaknya." "Jangan gitu dong, Han. Aku tak bermaksud seperti itu.""Tak apa, aku ngerti kok. Memang dari dulu kamu gak pernah peka sama aku, bee."Tut tut tutPanggilan pun terputus, Ardi menghela nafas berat. Ardi merasakan kekecewaan yang dalam pada diri Rianti, tapi dia pun tak bisa membiarkan Riri terus marah padanya. Ardi mengacak rambutnya dan berteriak meluapkan emosi yang menghantam jiwanya. Di tempat lain, Riri menyetujui ide Laras dna
"Ah, akhirnya kamu jawab panggilan aku. Kamu dimana?" tanya Ardi lega. "Di rumah Laras sekalian ngopi.""Oh, ya sudah aku kesitu. Tunggu ya!" "Nggak perlu mas, aku gak mau bertemu kamu sebelum kamu menyelesaikan urusan kamu dengan Mbak Rianti."Ardi tampak mulai kesal lagi, wajahnya menunjukkan kekecewaan atas sikap Riri yang menolak untuk ditemui. Tapi dia berusaha tetap tenang."Sayang, aku sudah ngomong sama Rianti untuk tidak bisa membantunya dalam waktu dekat ini."Riri menghela nafas, ia faham kenapa Rianti tadi menelponnya dan marah mungkin Ardi sudah menghubungi Rianti. "Ayolah sayang, jangan kayak gini. Please." Ardi merajuk, Riri mulai tak kuasa melihat wajah Ardi yang memelas itu. Segala cara dilakukan Ardi untuk membujuk Riri agar mau ditemui dan pulang lalu duduk berdua menyelesaikan semua ini. Riri menatap Laras, meminta sarannya. Nyatanya Laras hanya mengangkat kedua bahu dan tangannya saja mengisyaratkan semua keputusan ada di tangan Riri. "Maaf mas, saat ini bel
"Rianti…." Ardi tertegun melihat perempuan itu sudah berdiri di depannya dan mengulas senyum khas miliknya. Lalu waktu seolah berjalan menuju dimensi yang telah terlalui ketika mereka pertama kali bertemu beberapa tahun silam tepatnya saat keduanya duduk di bangku kelas dua sekolah menengah pertama. Ardi adalah siswa pindahan dari sekolah di kampung tempat tinggalnya, ia ikut tinggal bersama paman dan bibinya karena keterbatasan ekonomi orang tuanya yang dengan empat orang anak, Ardi adalah anak kedua. Sebagai anak kampung Ardi tak banyak gaya dan kehadirannya membuat para pelajar siswi berdecak kagum, wajahnya yang ganteng itu ditambah dengan sikap ramah dan pendiamnya membuat Ardi terlihat cool di mata para pelajar siswi, begitupun di mata Rianti. Gadis ini terpesona sejak pandangan pertama, ketika Ardi sedang duduk di taman sekolah sambil membaca buku dengan agresif Rianti menghampirinya bahkan membuat Ardi kaget. "Hay," sapa Rianti. Ardi masih terdiam, dia menutup bukunya.
"Dengan kamu menerima kehadiran dia di hidup kamu artinya kamu memang tak pernah bisa hidup jauh dari Mbak Rianti, Mas." "Sayang, dengarkan aku dulu. Semua tidak seperti yang kamu kira, aku bisa jelaskan semuanya." "Apa? Apa yang mau kamu jelaskan mas? Aku harus masuk mengendap-endap ke rumah ku sendiri karena mendengar kasak - kusuk mencurigakan ternyata ada dua pasangan sejoli yang selalu bersembunyi di balik kedok persahabatan, iya?" Ardi terlihat semakin serba salah, sementara Rianti merasa puas dan senang. Senyum sumringah dan tatapan penuh kepuasan melihat pasangan itu bertengkar. "Harusnya kalian menikah saja, untuk apa kalian pura-pura menikah dengan orang lain tapi masih saja saling berhubungan hah?" "Sayang, kamu tenang ya. Tenang dulu," ucap Ardi mencoba menenangkan Riri yang emosi. Sikutan tangan Laras membuat Riri keluar dari lamunannya itu."Sayang, kamu akhirnya pulang." Riri mencoba menguasai diri, inginnya marah kayak khayalannya itu tapi sesuai kesepakatan yan
"Jadilah istriku, akan kubuat kamu bahagia."Kalimat itu menggema di telinga Riri manakala menatap foto pernikahannya. Pernikahan yang baru seumur jagung itu kini dihantam badai yang sangat kuat, ia merasa terlalu cepat hal ini terjadi. Bukan kah ujian orang ketiga adalah ujian di sepuluh tahun kedua? Lalu kenapa ia harus menghadapinya bahkan di saat pernikahannya masih seumur anak yang baru bisa berlari.Harusnya saat ini ia masih merasakan keharmonisan rumah tangga, bukan justru sebaliknya. Riri mendekap foto itu dengan erat lalu memejamkan mata, kini ia harus memilih antara mempertahankan atau mengakhiri semuanya.Samar-samar Riri mendengar suara adzan berkumandang, perlahan ia membuka matanya. Foto yang sejak tadi dipelul erat sudah tak ada dan kembali terpajang di atas nakas, bahkan dia pun telah berbeda posisi, me
"Kamu bisa bersikap tenang, lalu kita duduk berdua menyelesaikan semua ini. Aku tuh cape dituduh terus sama kamu."Riri mematung mendengar ucapan suaminya yang lagi-lagi menghentikan langkahnya untuk pergi. "Kalau kamu pergi lalu menceritakan semua persoalan kita pada ibu, apa yakin semua akan selesai?" "Setidaknya mereka tahu kelakuanmu." Ardi mengusap wajah kasar, ia masih mencoba tidak terpancing emosi atas sikap istrinya itu. Ardi maju beberapa langkah hingga tepat di depan Riri. Perlahan meraih tangan Riri dan menjatuhkan tas yang dipegang oleh Riri. Tatapan Ardi lekat pada dua netra yang sudah mengering, tak ada lagi air mata bagi Riri meski hatinya sudah terasa perih. "Tetaplah disini, aku akan menjelaskan semuanya." Riri masih bergeming, terpaku dalam bayangan kisah cintanya dengan lelaki yang akhirnya menikahinya itu. Perjalanan yang terbilang singkat memang hanya kurang lebih delapan bulan sampai menikah. Riri mantap menikah bukan tanpa sebab karena melihat keseriusan
Getar ponsel dengan nada berbeda membuat Riri segera melepaskan cengkraman tangan Ardi yang sudah lemas. Panggilan dari Laras adalah hal yang paling ditunggu saat ini, beruntung Riri punya teman jago IT seperti Laras hingga ia merasa punya penyelidik yang handal. Bergegas menjauh dari Ardi, Riri mengangkat telepon itu."Dari hasil penyelidikan hari ini, Bayu suami si perempuan itu akan pulang akhir pekan ini usahakan kamu jangan dulu kemana-mana. Kita mainkan semuanya.""Oke." "Telepon dari siapa?" Riri terkejut dengan segera ia mematikan telepon itu dan memasukkannya ke dalam saku. Riri mencoba bersikap tenang, lalu ia mengulas senyum manis. Perubahan sikap yang terlalu cepat membuat Ardi heran, tapi Riri tak putus asa untuk membuat semua terlihat baik-baik saja. "Dari klien ku." "Klein ku, sejak kapan kamu menerima konsultasi lagi.""Ah, itulah mas. Mas Ardi itu terlalu ngurusin hidup orang sampai kegiatan istrinya pun lupa padahal aku pernah mengirim pesan izin untuk menerima p