Share

Bab 7

Penulis: Bun say
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-08 13:06:09

“Papa, Mama, kapan kalian datang?!” Mas Raga bertanya yang kutahu hanya basa-basi.

“Kenapa memangnya kalau kami datang. Apa kamu keberatan dengan kehadiran kami di rumah ini?!”

Mas Raga buru-buru menggeleng. Wajahnya diliputi dengan keterkejutan, “bu-bukan begitu maksudku, Pa.”

“Kami tidak tahu kalau seperti itu bahasamu kepada putri kami, Raga. Setelah dulu kau memintanya baik-baik untuk meminang putriku dan berjanji akan menemaninya dalam suka duka dan berjanji akan membahagiakannya, sekarang selain berkata keras di depan wajah istri dan anak-anakmu, kau juga berani mengkhianati dan menduakannya. Bahkan ternyata hubunganmu dengan wanita itu sudah selayaknya pasangan suami istri. Ck, kami benar-benar kecewa padamu. Apa kamu tidak sadar, kami membesarkan Zea untuk hidup bahagia bukan untuk disakiti apalagi disia-siakan seperti ini.” Papa bicara panjang lebar dengan rahang mengeras. Mas Raga yang tidak berkutik malah menggeleng berkali-kali.

“Aku minta maaf, Pa,” ucapnya sambil menunduk.

“Kamu tidak menyesalinya, ‘kan?!” tebak Papa mendesah. Pria paruh baya itu melepas kacamata untuk kemudian mendekat ke arah pria yang masih berstatus sebagai menantunya.

“Apa maksud Papa?!” Mas Raga tampak tak terima dengan ucapannya barusan.

Papa mempersilahkan pria itu untuk duduk di kursi dan mengobrol serius.

“Begini saja, Raga. Jika kamu sudah tidak menyukai Zea, alih-alih terus-terusan menyakitinya kenapa kamu tidak membereskan dulu semuanya. Kembalikan dia pada kami, agar kau juga bebas menikahi wanita itu. Jangan terus-terusan larut dalam dosa zina, ingat hukumnya berat. Dunia akhirat kami tidak ridho. Apalagi semuanya sudah terlanjur tersebar sekarang. Jadi, apalagi yang kau tunggu.” Papa menghembuskan nafasnya. “Jangan membentak putriku karena kami juga tidak pernah melakukannya. Hargai dia sebagaimana pertama kali kamu memintanya pada kami. Dan jika kamu tidak sanggup, kami tidak akan memberatkanmu untuk terus-terusan menjaganya. Kembalikan dia.”

“Pa, aku tidak berpikir jauh itu. Aku hanya khilaf.” Setelah semuanya terungkap, pria itu masih melakukan pembelaan.

Dih, dasar tidak tahu malu.

“Hanya khilaf, katamu?! Khilaf itu satu kali Raga, kalau terus-terusan itu namanya doyan,” sahut Mama yang sepertinya ikut geram.

Pria itu kemudian disidang di ruang tengah. Sengaja kubiarkan orang tuaku yang mengobrol dan menasehati Mas Raga. Aku sendiri sibuk menyiapkan sarapan untuk semua orang.

Beruntung anak-anak langsung diajak mandi oleh Mbak Dina. Hingga mereka tidak perlu mendengar obrolan kakek, nenek dan papanya.

Belum selesai Papa mengobrol dengan Mas Raga, tiba-tiba Arvan mendekat dengan selembar surat yang dibawanya.

“Maaf Pak Raga, Bu Zea, ada surat panggilan untuk kalian,” ucapnya dengan wajah serius seperti biasanya.

“Surat?!” Arvan mengangguk. Mas Raga buru-buru berdiri dan mengambil alih kertas berwarna krem itu, untuk kemudian dibacanya.

Melebarkan mata, pria itu melirik ke arahku. Meski pandangannya tidak terlalu garang, jelas dia terkejut dan tak bisa menutupi wajah gelisahnya.

“Surat dari mana itu, Mas?!” Kuambil lembaran putih itu setelah menghidangkan minuman di atas meja, kemudian membacanya dengan cepat.

Rupanya itu surat panggilan dari perusahaan maskapai yang kini menaungi suamiku.

“Kita diminta datang ke kantor siang ini,” ucapnya dengan desahan, demi melonggarkan paru-parunya yang terasa sesak.

“Oke, aku pasti akan datang,” sahutku tenang.

Aku pergi ke dapur meninggalkan mereka. Aku yakin lambat laun hal ini akan terjadi juga. Sebelumnya sempat kudengar kabar tentang teman Mas Raga yang juga kedapatan berselingkuh bahkan sampai nikah siri. Mereka pun dipanggil ke kantor tempat mereka bekerja, untuk kemudian ditindaklanjuti dan menerima sanksi yang harus diterima oleh para pelaku yang dinilai telah mencoreng nama baik perusahaan.

“Permisi, Pa, Ma.” Mas Raga menyusul ke dapur dan menutup pintu dengan cepat. Dia mendorongku hingga punggungku terantuk sink kitchen.

“Apa-apaan ini, Mas?! Kau mau berbuat kasar padaku di belakang orang tuaku?!”

“Kau lihat, baru dua hari kamu melakukan hal ini, orang-orang langsung menanggapinya. Apa kau tidak bayangkan apa yang akan atasan lakukan padaku nanti, ha! Mereka marah karena aku memikul tanggung jawab yang besar dan membawa nama-nama perusahaan!!”

“Dan kau masih menyalahkan aku. Begitu maksudmu?!”

“Memangnya siapa lagi yang harus ‘ku salahkan?! Tentu saja kamu lah. kalau saja kamu tidak menyebarkan semuanya, hal ini tidak akan terjadi,” tudingnya.

Mas Raga bicara dengan pikiran gusar. Aku mencebik, menatap dengan pandangan paling menyedihkan.

“Semuanya tidak akan terjadi kalau kau tidak berbuat zina lebih dulu!”

“Diam, jangan terus-terusan mengungkit apa yang sudah aku lakukan?!” sentaknya kasar.

Kutatap pria itu dengan pandangan tajam.

“Apa kamu tidak berpikir kalau ini adalah benih yang kau tanam, hm?! Aku hanya membantu menyebarkannya saja dan kau yang harus merasakan buah akibat dari perbuatanmu sendiri!!”

“Zea, kau masih tidak sadar juga atas semua kesalahanmu ini?!” geramnya sambil meremas bahu, sakit. Bisa kupastikan dia kesal karena aku terus-terusan mematahkan argumennya.

Aku mendorong dadanya membuat Mas Raga agak mundur ke belakang.

“Yang tidak sadar di sini, aku atau kau sebenarnya, Mas?! Ini adalah buah kesalahan yang kau lakukan. Jadi jangan coba-coba bermain api kalau kau tidak ingin terbakar sendiri. Dan setelah kau terbakar, kenapa kau menyalahkan orang lain yang ada di sekitarmu, hm?! Terima saja dan hadapi kenyataan kalau kau sudah hancur sekarang!! Aku yakin surat panggilan itu untuk mengesahkan pemecatanmu dari kantor secara tidak hormat.”

“Sial4n!!” Mas Raga kalap. Aku hendak berbalik meninggalkan pria itu. Percuma bicara dengan Mas Raga. Pria itu tidak sadar dan tidak menyesali tindakan yang sudah dia lakukan, yang bisanya hanya menyalahkan orang lain saja.

Ck! Dasar pria egois. Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab.

Mas Raga menahan dan meremas bahuku dengan cepat, lalu berbisik di telinga.

“Dengar Zea, kalaupun aku dipecat, aku tidak akan pernah melepaskanmu begitu saja, karena semuanya bermula darimu. Ingat itu baik-baik. Kalau perlu, aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang, apalagi lepas dariku dan anak-anak. Camkan itu baik-baik!!” ancam pria itu sambil menyenggol bahu dan meninggalkanku untuk kemudian membanting pintu.

Aku yang limbung terkejut dengan tingkahnya yang semakin lama semakin menjadi-jadi. Aku bahkan tidak menemukan kelembutan dari sikap dan perangainya.

Ya Tuhan, aku semakin tidak mengenal suamiku sendiri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kubongkar Perselingkuhan Suami Pilotku   Bab 38

    Sampai di hari kepulanganku ke rumah, aku tidak bertemu dengan Arvan kembali. Entah kemana pria itu perginya aku tidak tahu. Hanya saja aku berdoa semoga dia dalam keadaan baik-baik saja.Aku banyak bercerita tentang pria itu pada Mama dan Papa. Meski awalnya Mama tidak menyukai Arvan dikarenakan pria itu yang tidak menjagaku dengan baik, tapi setelah aku meyakinkan dan menjelaskan semuanya, Mama akhirnya mengutarakan kesalahannya pada pria itu.“Ya ampun, Mama nggak tahu kalau Arvan se-protektif itu untuk menjagamu. Mama bahkan membentaknya karena dia gagal melindungimu,” ujar Mama tampak merasa bersalah.“Tapi ngomong-ngomong, apa kamu serius menyukai dia?” Ingat Ze, statusmu itu janda anak dua, sedangkan Arvan itu adalah bujangan. Lagian inget kasusnya juga. Meskipun dia dinyatakan tidak bersalah setelah dia naik banding, tapi ‘kan tetap saja sekali arang tercoreng di muka, selamanya orang takkan percaya. Ya, seperti itu istilahnya,” lanjut Mama mengemukakan kekhawatirannya.“Ins

  • Kubongkar Perselingkuhan Suami Pilotku   Bab 37

    Mataku mengerjap, merasa silau dari cahaya yang ada di atasku. Lalu kesadaran membawaku ke alam nyata, saat kulihat Arvan duduk di samping sambil menggenggam tanganku erat, dan membawa ke pipinya yang hangat.Sejenak aku lupa apa yang terjadi, namun rasanya seperti mimpi ketika pria itu berada di sini dengan wajah cemasnya. Aku bahagia tentu saja.Lalu tiba-tiba rasa nyeri dalam perut berdenyut kuat. Memikirkan apa penyebabnya, barulah ‘ku ingat apa yang terjadi sesaat sebelum aku berakhir seperti ini.Aku ingin mengatakan semuanya pada Arvan, agar pria itu segera menangkap si pelaku.Sheva, wanita itu bertindak nekat dengan menusukku hingga berdarah-darah, dan rasa sakit di perut saat itu membuatku tidak sadarkan diri.Arvan meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja. Termasuk aku harus menurut keinginannya agar cepat sembuh. Dan untuk sementara waktu, mengatakan agar aku tidak banyak pikiran. Aku berharap Arvan juga bisa menyelesaikan semuanya.Pintu ruangan yang diketuk membuat

  • Kubongkar Perselingkuhan Suami Pilotku   Bab 36

    “Arvan, apa-apaan kamu? Apa yang kamu lakukan pada Ezra?!” Tiba-tiba Bu Widya keluar dari kamar tempat Zea dirawat dan memburu pria itu, lalu membantu membangunkannya. “Ezra, kamu nggak apa-apa? Bibirmu berdarah itu,” ujarnya panik dan kesal padaku.“Saya nggak apa-apa, Tante.” Ezra menatap tajam tapi tak kupedulikan. Awas saja kalau bertemu di luaran sana, akan kupatahkan lehernya jika dia berani mengusikku.“Ampun ya, kamu Arvan. Bisa-bisanya kamu bertingkah kasar di rumah sakit. Heuh, sudah kayak preman saja!”Ezra tersenyum sinis karena dibela seperti memiliki seorang dewi penolong. Dia merasa di atas angin saat Bu Widya membawa pria itu masuk ke dalam ruangan. Terlihat tatapan meremehkan darinya yang ditujukan padaku.Sejak kapan pria itu dekat dengan Bu Widya, padahal dengan Zea saja bahkan baru bertemu beberapa kali saat di mall dan mampir ke rumahnya. Selebihnya aku jelas tahu kalau Ezra tidak dekat dengan wanita itu.“Arvan, bisa kita bicara sebentar?” tanya Pak Budi keluar

  • Kubongkar Perselingkuhan Suami Pilotku   Bab 35

    POV Arvanda Pradipta Ponsel yang berdering membuatku terpaksa menepikan kendaraan di bahu jalan. Doni—pria yang kusuruh untuk menjaga Zea dan dua anaknya, menghubungi.Tak biasanya dia nyepam sampai lima kali panggilan. Doni hafal sifatku. Jika tak diangkat, artinya aku sedang sibuk dan akan menghubungi kembali nanti.Dan sekarang, otakku dipenuhi rasa gelisah dan prasangka.“Ada apa, Don?” Langsung kutanya pria itu tanpa peduli.“Van, kayaknya lo harus balik lagi ke sini. Zea masuk rumah sakit!” ujarnya terdengar panik disusul suara sirine dari ambulan yang terdengar getir di telinga.“Katakan yang jelas, ada apa?! Apa terjadi sesuatu sama Zea?!” Entah kenapa perasaanku tiba-tiba gelisah. Apalagi terdengar suara beberapa orang di belakang pria itu.“Zea ditusuk oleh seseorang. Sorry, Van. Aku ‘gak nyangka bakal kejadian kayak gini!”“Shitt!!” Aku mengumpat tak sadar sambil memukul setir. Tak menduga akan kecolongan seperti ini. Padahal Doni sudah aku wanti-wanti untuk menjaga ca

  • Kubongkar Perselingkuhan Suami Pilotku   Bab 34

    Tunggu, apa maksudnya?Apa Arvan sering membicarakanku pada orang tuanya. Tapi sejak kapan? Dan apa saja yang dia katakan.Aku masih bertarung dengan pikiranku sendiri, saat pria itu bertambah garang dan menatapku tajam.“Suruh dia pergi dari sini, atau bapak sendiri yang akan menyeretnya keluar!” usirnya tanpa rasa kemanusiaan.Aku terkejut, begitupun Afni dan Dika. Keduanya merapatkan badan dengan gemetar.“Ma, aku takut,” cicit Dika.“Ma, ayo kita pulang.” Afni ikut merengek tak bisa kutenangkan. Jujur aku tak menyangka akan dihadapkan dengan situasi seperti ini.“Pak, sabar dulu. Kenapa mesti ngomong seperti itu? Zea dan anak-anaknya adalah tamu kita. Rasanya tidak pantas Bapak bicara seperti itu.” Wanita yang sepertinya ibunya Arvan berdiri dan mendekati pria yang menatap dingin tersebut. Afni dan Dika juga seketika mengatupkan bibir, mungkin takut dengan cara pandangnya saat melihatku.“Ibu diam saja, biar Bapak sendiri yang ngomong pada anak itu. Apa dia tak sadar dengan apa

  • Kubongkar Perselingkuhan Suami Pilotku   Bab 33

    “Zea? Ada apa, dan kenapa kamu pulang lagi?”Karena pikiranku yang kacau, aku tidak sadar kalau ternyata Arvan sudah ada di rumah bersama Dika. Anak itu sudah tampan dengan rambutnya yang terlihat basah. Arvan juga tengah menyuapinya makan. Di tangan pria itu, Dika tampak lebih ceria.“Ze, kenapa kamu nggak menjawab pertanyaanku? Kamu dan Afni baik-baik saja, ‘kan?” tanyanya terdengar khawatir.Aku menggeleng lemah dan mendekat padanya. Tak peduli apapun, aku menjatuhkan badan ke pelukan pria itu yang sigap menyambut dengan penuh tanya.Cukup lama kami berpelukan. Bahkan dapat kudengar suara jantungnya yang bertalu. Sudah lama aku tak mendapatkan pelukan nyaman seperti ini. Dan di pelukan Arvan, sesaat aku merasa tenang.Aku melepas pelukan dan mendesah berat, masih tak berani menatap wajahnya.“Maaf, dan … makasih.”“Ceritakan apa yang terjadi sampai-sampai membuatmu gelisah seperti ini? Apa ada seseorang yang menyakitimu, atau kamu bertemu dengan Sheva, atau bahkan Pak Raga mungki

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status