Mataku mengerjap, merasa silau dari cahaya yang ada di atasku. Lalu kesadaran membawaku ke alam nyata, saat kulihat Arvan duduk di samping sambil menggenggam tanganku erat, dan membawa ke pipinya yang hangat.Sejenak aku lupa apa yang terjadi, namun rasanya seperti mimpi ketika pria itu berada di sini dengan wajah cemasnya. Aku bahagia tentu saja.Lalu tiba-tiba rasa nyeri dalam perut berdenyut kuat. Memikirkan apa penyebabnya, barulah ‘ku ingat apa yang terjadi sesaat sebelum aku berakhir seperti ini.Aku ingin mengatakan semuanya pada Arvan, agar pria itu segera menangkap si pelaku.Sheva, wanita itu bertindak nekat dengan menusukku hingga berdarah-darah, dan rasa sakit di perut saat itu membuatku tidak sadarkan diri.Arvan meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja. Termasuk aku harus menurut keinginannya agar cepat sembuh. Dan untuk sementara waktu, mengatakan agar aku tidak banyak pikiran. Aku berharap Arvan juga bisa menyelesaikan semuanya.Pintu ruangan yang diketuk membuat
Sampai di hari kepulanganku ke rumah, aku tidak bertemu dengan Arvan kembali. Entah kemana pria itu perginya aku tidak tahu. Hanya saja aku berdoa semoga dia dalam keadaan baik-baik saja.Aku banyak bercerita tentang pria itu pada Mama dan Papa. Meski awalnya Mama tidak menyukai Arvan dikarenakan pria itu yang tidak menjagaku dengan baik, tapi setelah aku meyakinkan dan menjelaskan semuanya, Mama akhirnya mengutarakan kesalahannya pada pria itu.“Ya ampun, Mama nggak tahu kalau Arvan se-protektif itu untuk menjagamu. Mama bahkan membentaknya karena dia gagal melindungimu,” ujar Mama tampak merasa bersalah.“Tapi ngomong-ngomong, apa kamu serius menyukai dia?” Ingat Ze, statusmu itu janda anak dua, sedangkan Arvan itu adalah bujangan. Lagian inget kasusnya juga. Meskipun dia dinyatakan tidak bersalah setelah dia naik banding, tapi ‘kan tetap saja sekali arang tercoreng di muka, selamanya orang takkan percaya. Ya, seperti itu istilahnya,” lanjut Mama mengemukakan kekhawatirannya.“Ins
(Mereka masuk ke dalam kamar yang sama.)Kubaca dengan seksama pesan dari seseorang yang kuminta untuk mengintai suamiku dan gundiknya.(Baik, terima kasih,) balasku singkat.Menarik nafas panjang untuk meredakan sesak yang ada dalam dada, aku keluar dari kamar hotel yang kini kutempati. Langkahku cepat bersama manager hotel yang sebelumnya kupinta bantuannya.Tanpa mengetuk pintu dahulu. Pria yang berdiri di sampingku langsung menempelkan card key untuk kemudian pintu terbuka lebar. Langkahku cepat masuk ke dalam kamar, melihat sepasang pria dan wanita tengah melakukan itu dengan keadaan tanpa sehelai benang pun.Berdehem pelan, kulihat wajah keduanya yang langsung terperanjat dengan mata membulat, lalu buru-buru menarik selimut untuk menutupi raganya yang tak berbalut.“Zea?!” lirih si gundik.“Mama?” Pria yang berbalik dengan gundiknya itu melotot menatap ke arahku. Suamiku juga terkejut melihatku berdiri bersama beberapa orang yang salah satunya memegang handycam.“Pakai pakai
(Bu Aisyah meninggal dunia. Kalian diminta segera datang ke rumah duka.) Kubaca pesan dari pengurus rumah tangga. Seseorang yang selama ini dipercaya oleh keluarga besar ibu mertua, mengurusi tetek bengek seisi rumah mewahnya. Aku menghela nafas, lalu merapikan koper dan hendak pergi. Tak kupedulikan seseorang yang masih memperhatikan dengan kening berlipat-lipat. Menyesal di saat-saat terakhir kehidupannya aku tidak berada di sisi ibu mertua. Kalau saja beliau tidak menyuruhku untuk menelusuri dan menjemput putra tersayangnya, mungkin saat ini di sana tangisku sedang pecah melepas kepergiannya.“Mau ke mana kamu, Ze? Kamu tidak berniat pulang malam ini juga, ‘kan? Perjalanan Surabaya—Bandung sangat melelahkan. Kita pulang besok sore.” Pria yang menyentuh wanita lain beberapa saat lalu itu menyentuh lenganku. Tapi, lekas aku menepisnya dengan kasar. Jijik rasanya bersentuhan dengannya sekarang.“Jangan mendikte kapan aku boleh dan tidak boleh pulang. Bersiaplah untuk pemakaman ib
Gegas kutinggalkan kamar, meninggalkan Mas Raga sendirian dengan emosinya yang menggebu. Terdengar suara benda-benda yang dibanting setelahnya. Mungkin dia melampiaskannya pada barang-barang yang ada di dalam. Dan sekali lagi, aku tidak peduli. Bagiku yang terpenting sekarang adalah pergi jauh darinya. Aku juga akan segera mengakhiri biduk rumah tangga kami. Tak guna mempertahankan seorang pengkhianat seperti dia.Afni sedang bermain di tengah rumah bersama dengan para sepupunya. Tak kulihat keberadaan Dika di sana. Mungkin dia sedang bersama baby sitter dan bodyguard-nya di tempat lain, entah.Mbak Anisa—kakaknya Mas Raga sedang menutup mulut. Tatapannya melihat ponsel di depannya dengan wajah terkejut. Heh, dia pasti sudah melihat kabar terbaru tentang adiknya.Wanita itu mengangkat wajah begitu mendengar langkah kakiku yang mendekat.“Apa ini, Zea? Ini pasti ulahmu, ‘kan? Ayo, ngaku!” Mbak Anisa melotot, “Mbak nggak percaya kamu setega itu pada Raga? Atau jangan-jangan ponselmu di
“Ada apa, Arvan?!” tanyaku sambil menenangkan anak-anak yang juga ikut terkejut setelah mobil tiba-tiba berhenti.“Seseorang menikung dan menghalangi jalan. Dan saya sepertinya tahu mobil siapa itu,” jawabnya dengan wajah dingin. “Tunggu sebentar, Bu.” Gegas pria itu keluar dan menutup pintu.Aku menelisik melihat wanita yang turun dari mobilnya sendiri. Di sana wanita itu menatap kesal. Sheva. Penampilannya begitu cetar khas seorang pelakor. Rok span warna putih dengan paha yang terekspos, belum lagi dadanya yang terlihat menyembul besar. Pantas Mas Raga begitu tergila-gila dengan pesonanya. Mirisnya dia hanya bisa berzina bukan diperistri secara resmi.Wanita itu berkacak pinggang dan berseru ke arah Arvan. Terjadi perdebatan sengit setelahnya. Sheva sampai menunjuk wajah Arvan. Dasar tidak sopan.“Kalian tunggu di sini bareng Mbak, ya. Mama mau ke luar dulu.” Afni dan Dika yang tidak tahu apa-apa itu langsung menurut.Aku membuka pintu mobil dengan cepat untuk menghampiri ked
"Papa, Mama, kapan kalian datang? Ayo masuk, Ma, Pa,” ajakku pada keduanya. Aku tidak menyangka kalau papa dan mama akan datang secepat ini dari kota kembang. Meski jelas tujuannya untuk menelusuri apa yang terjadi dengan pernikahanku dan pengkhianatan Mas Raga, tapi melihatnya datang tiba-tiba jadi ketakutan sendiri untukku. Aku takut keduanya menyalahkan dan tidak mendukung.“Zea, kami mau bicara serius denganmu.” Mama langsung bersuara begitu kusalami keduanya.“Ma, ada Afni dan Dika. Kita bicara nanti saja,” tegur Papa mengingatkan Mama yang sepertinya tak tahan ingin mencecarku dengan berbagai pertanyaan seputar suamiku.Mama menghela nafas untuk kemudian menghambur pada anak-anak yang mendekat.Setelah masuk ke ruangan, kupersilahkan mereka untuk menikmati minum yang disediakan oleh ART.Afni dan Dika sepertinya bahagia atas kedatangan nenek dan kakeknya. Mereka pun bersenda gurau dan bercengkrama.“Sebelum ke sini kami silaturahmi ke kediaman mertuamu. Mereka sepertinya marah
“Papa, Mama, kapan kalian datang? Ayo masuk, Ma, Pa,” ajakku pada keduanya. Aku tidak menyangka kalau papa dan mama akan datang secepat ini dari kota kembang. Meski jelas tujuannya untuk menelusuri apa yang terjadi dengan pernikahanku dan pengkhianatan Mas Raga, tapi melihatnya datang tiba-tiba, itu jadi ketakutan sendiri untukku. Aku takut keduanya menyalahkan dan tidak mendukung atas tindakan yang aku lakukan.“Zea, kami mau bicara serius denganmu.” Mama langsung bersuara. Rupanya beliau tidak sabar begitu kusalami keduanya."iya, Ma." Aku pasrah karena sadar semuanya tak bisa ditutup-tutupi lagi. “Ma, ada Afni dan Dika. Kita bicara nanti saja,” tegur Papa mengingatkan Mama yang sepertinya tak tahan ingin mencecarku dengan berbagai pertanyaan seputar suamiku."Oh ya, udah, deh."Mama menghela nafas untuk kemudian menghambur pada anak-anak yang mendekat. Sepertinya mereka juga kangen pada nenek dan kakeknya.Setelah masuk ke ruangan, kupersilahkan mereka untuk menikmati minum ya