"Fuih… syukurlah ternyata bukan itu." Anna mengusap dada, perasaannya menjadi lebih lega setelah memeriksa kondisinya di kamar mandi.
Anna berpikir, 'Jika bukan itu, artinya..." Ia tak perlu susah lagi, lagipula dia Randy sudah membelikannya obat di apotik. Ia memeriksa isi plastik tadi, dan... "Hah? I-ini kan?" Mata Anna melebar ketika melihat kantong plastik putih kecil di dalamnya. "Mas Randy membelikanku ini?Jangan-jangan dia mengira aku sedang…" Sungguh, wajahnya memerah, betapa malunya Anna saat ini. Bagaimana mereka bertemu setelah ini? Keluar dari kamar kecil, Anna kembali pada aktifitas mengajarnya seperti biasa, pekerjaan ini agak merepotkan, tapi murid-muridnya itu membuat dirinya terhibur. Sampai jam istirahat tiba, akhirnya sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. (Tak apa, lagipula aku tahu kamu sibuk.) Jawaban yang terkesan cuek, tapi setidaknya Aldi sudah menjawab pesannya. Tapi aku harus balas apa? Ia mengetik beberapa kata, lalu menghapusnya, dan mengulang hal sama hingga beberapa kali. "Huh, apa yang harus aku katakan?" Anna merasa sangat gelisah. "Sudahlah, cukup dengan stiker saja." Stiker senyum mungkin cukup berpengaruh, Anna lalu mematikan ponselnya lagi dan fokus pada murid-muridnya. Ketika jam istirahat, Anna merasa perutnya lapar, buru-buru dia menuju kantin dan memesan soporsi mie instan dengan telur, beberapa orang menyorot begitu tergesa-gesanya ia, namun Anna bersikap cuek dan tak peduli dengan lirikan mereka. Toh, yang penting dia tidak menganggu orang lain. Satu porsi mie instan, cukup membuatnya kenyang, setelahnya ia meminum obat pereda nyeri dan sakit perut. Baru saja meletakkan gelasnya, Anna kembali dikagetkan dengan kemunculan Randy yang tiba-tiba. "M-mas? Kenapa kamu muncul tanpa bersuara?" Hampir saja ia menyembur wajah pria itu saking kagetnya. Namun pria itu hanya terkekeh. "Kamu bahkan tak mengajakku makan siang, lihat piringmu saja sudah kosong, hukumanmu kali ini menemaniku makan." "Tapi mas..." "Muridmu sedang olahraga kan?" Kata-katanya terpatahkan oleh pria itu, Anna tak bisa mengelak kali ini. Percakapan mereka terhenti saat pria si pemilik kantin mengantarkan pesanan Randy. "Terima kasih pak." "Jangan beranjak kemanapun sebelum aku selesai makan." Anna terpaksa menurut, lalu menggulir ponselnya sambil cemberut. "Aku tak salah, kamu benar-benar mirip sekali dengan adikku, Anna." Mendengar itu Anna agak terkejut. Adik? Jadi Mas Randy punya adik perempuan? Anna bahkan baru tahu itu. Randy menghembus nafas, seakan ada problema yang belum terpecahkan. Anna melihat raut yang kini sendu menatap ke piring makannya. "Anna…" panggilan itu membuat Anna berhenti melihat ponsel, dan terfokus pada lawan bicaranya. "Jika aku mengatakan ini, apa kamu akan percaya?" Melihat mata Randy berkaca-kaca, ia tidak tega. "Apa maksudnya?" Anna menanggapinya dengan serius. "Sebenarnya, aku punya adik perempuan yang seusia denganmu." "Lalu?" Anna mengernyit, ingin mendengar kisah selanjutnya. "Yah, sifatnya hampir sama persis denganmu. Mungkin bagimu ini mustahil, tapi selama ini aku mencarinya kemana-mana, namun hasilnya nihil." "Jadi, adikmu mengembara?" Anna bertanya dengan polosnya, namun pria itu menggeleng. "Sosoknya menghilang entah kemana. Aku menyesal karena tak menjaganya saat itu." Raut wajah itu, membuat siapapun yang melihatnya ikut menjatuhkan air matanya. Anna tidak tahan dan terpaksa membuang muka. "Maaf mas, sebelumnya aku tidak tahu..." Anna terlihat menyalahkan dirinya. Namun, saat itu juga Randy merubah ekpresinya menjadi lebih ceria. "Hei, ayolah. Kenapa tampangmu begitu? Ini sama sekali tak mirip dengamu Anna, lihat wajahmu di cermin, kamu bahkan lebih jelek dari babon." Seketika tawanya meledak seolah tak ada beban apapun. "Mas Randy, aku ini bukannya anak kecil, usiaku sudah 30 tahun loh! Mungkin sebentar lagi rambutku malah beruban." Pria itu semakin mengencangkan tawanya. Jelas sekali ia memegangi perutnya menahan tawa. "Anna, jangan bilang kamu sengaja membuat lelucon untukku kan?" Anna tak menanggapi, kini dia tahu alasan di balik Randy yang menganggapnya sebagai adik. Meski begitu, tapi jika ingat tentang pembalut tadi… "Maaf, mas. Aku harus ke sana sebentar." Anna buru-buru ingin lari dari sana, namun sebelah tangannya sedang di tahan. "Sudah kubilang, temani aku sebentar. Kenapa malah pergi?" "A-aku..." "Apa perutmu baik-baik saja?" tanya Randy mengalihkan topik obrolan mereka. Anna tak dapat menyimpan lagi kegugupannya, namun setidaknya dia tidak melupakan sesuatu. "Obat tadi, makasih banyak mas." Dia mengangguk, entah apa isi benaknya sekarang, Anna tidak peduli lagi. Yang penting pria itu sudah menghabiskan makanannya. "Kita keluar sekarang." Selesai membayar makanannya, keduanya berjalan pelan keluar pintu kantin, melewati lorong sekolah dalam diam. Ehhmm… "Anna…" "Kamu sedang mikir apa?" tanya Randy membuka keheningan situasi. Tidak ada jawaban, Anna cukup menggeleng sebagai responnya. "Maaf, bukan ingin mencampuri urusan pribadimu, tapi apa kamu masih melajang?" Pertanyaan itu membuat Anna menoleh, penasaran. "Memangnya kenapa?" Anna bahkan tak mencemaskan apapun, dia sudah fix berpikir Randy menganggapnya sebagai adik. "Kamu serius?" Sekali lagi Anna mengangguk. Namun pria itu kini mengehentikan langkahnya, dan menghadapkan tubuhnya pada Anna. "Tak adakah orang kamu sukai?" Tiba-tiba Randy menyerahkan setangkai bunga kertas yang kebetulan ada di sekitar mereka. "Anna, aku ingin hubungan kita lebih dekat dari sekedar adik kakak." Anna membelalak, "Mas Randy kamu bilang apa sih? Kamu sengaja mengatakan ini dan memutuskan hubungan dekat kita?" Randy terdiam menunduk, tak berani menjawab apapun. "Jawab mas!" Anna jelas-jelas emosi mendengar pengakuan itu, tapi mendapati tak ada jawaban, ia menarik nafas. "Jika benar begitu, mulai hari ini kita tak perlu lagi bertemu, kalau pun berpapasan di jalan anggap saja kita tidak saling kenal." Setelah berbicara, Anna memutar tubuhnya berencana pergi. "Anna..." pria itu memeluk Anna dengan berani. "Tak bisakah aku mengisi hatimu Anna? Selama ini aku menyukaimu, bahkan saat sebelum kamu bercerai dari suamimu." "Mas Randy, tolong lepaskan. Orang-orang akan melihat kita dan menilai buruk tentangku." Anna mencoba meronta, namun pria itu semakin mengeratkan cengkeramannya. "Mas Randy, lepaskan!" Perlahan pelukan itu melonggar, beruntungnya saat itu mereka berada di tempat yang sepi, semua orang di sekolah sudah sibuk dengan aktivitas mereka. Saat itu, Randy menyentuh pelipisnya dengan panik. "Maafkan aku Anna, mungkin aku terlalu terobsesi dengan perasaanku." Anna tak menjawab, ia berdiri di sana dengan tubuh gemetar, lalu mencoba mundur beberapa langkah dan bersandar di dinding lorong sambil mengatur nafasnya yang tidak beraturan. Melihat situasi Anna sekarang, Randy memutuskan pergi. Namun belum jauh dari sana, langkahnya terhenti. "Pikirkan matang-matang agar kamu tidak menyesal, Anna." Kini tinggal Anna sendiri berdiri mematung di sana. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Dessy, bisa kita bicara?"Aldi terdiam melihat tatapan Anna yang tajam seakan siap menusuknya kapan saja, dia sepertinya sedang dijebak. Namun dia berusaha menjelaskan ini. "Anna, aku..." Aldi mencoba berbicara, tenggorokannya seolah tercekat."Jangan bohong lagi!" Anna tersentak. "Kamu dan wanita itu sudah bermal4m bersama di hotel, bukan?"Wajah Aldi pucat pasi. "Ti-tidak, darimana kamu tahu itu?"Anna tersenyum sinis. "Lihat, kamu sendiri gugup kan? Aku jelas tahu semuanya dari seseorang. Awalnya aku tak percaya saat orang itu menceritakan semuanya, tapi aku tidak sangka kamu akan..." Sebagai istri dia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. "Anna, aku benar-benar tidak tahu akan hal ini, aku dijebak, ada orang yang ingin memfitnahku Anna... aku hanya... ""Hanya apa?" tanya Anna, suaranya dingin. "Kamu sudah melakukannya dengan wanita itu bukan?" Aldi tak bisa menyangkalnya lagi, lagipula dia sudah seperti ini, dia bahkan tidak tahu cara membangun kepercayaan Anna lagi pada dirinya. "Maafkan aku
"Shit!" Aldi mengumpat begitu ia terbangun, kepalanya berdenyut pusing. Ketika sudah kembali sadar, pria itu melihat seorang wanita di yang masih terbaring di sebelahnya. Punggung polos yang mengg0da itu terlihat hingga dia terus mengucek matanya agar pandangannya menajam. "Tidak, rambut Anna bukan warna coklat, ini bukan Anna." Mendengar helaan nafas, wanita itu berbalik dan Aldi langsung terkejut. "H-Halen? J-jadi, semalam aku melakukan itu bersamanya..."'Tidak! Tidak mungkin!' Aldi menggeleng cepat sambil beringsut mundur sambil memperbaiki pakaiannya, ia menatap Halen dengan wajah pucat. "Ada apa?" Wanita itu bangkit sambil menutupi tubuh polosnya dengan selimut."Aku tak tahu apa yang kamu pikirkan, tapi apa kamu sengaja memberiku obat agar bisa tidur denganku?" Mendapat tuduhan itu, raut muka Halen berubah. "Apa? Kenapa kamu membalikkan fakta ini padaku? Harusnya kamu sadar diri dengan ulah tubuhmu!" sahutnya dengan nada ketus.Aldi memijat pelipisnya beberapa kali, 'Ya tuh
"Aldi, Aldi ... kenapa kamu tidur disini?" teriakan itu membuat Aldi kaget dan langsung terbangun. Pria itu mengucek matanya beberapa kali. "Ternyata tadi aku cuma mimpi." "Kamu benar Aldi kan?" Wanita itu mengulangi pertanyaannya, pandangannya terarah lurus pada wajah sosok pria di hadapannya."Ya, bagaimana kamu tahu namaku..." "Halen, mungkin kamu tidak ingat. Di masa lalu kamu menolongku dari bully an para kakak senior waktu sekolah menengah..." "Ya, aku ingat. Itu sudah lama sekali." "Syukurlah, kukira kamu tidak mengenalku sama sekali. Tapi, ngomong-ngomong, kamu kenapa?" Sebisa mungkin dia menahan gugupnya, sambil mencoba mencari alasan. "Ah, aku hanya sedikit pusing saja. Bukan masalah besar..." "Yakin nggak apa-apa? Di sana ada apotik, nanti singgah saja ke sana dan belilah obat sebelum pulang."Hanya tawa yang lepas sebagai jawaban, Aldi terlihat santai seakan sedang tidak menyimpan beban. "
"Permisi, bisakah saya melihat tas yang di etalase itu? Saya akan membelikannya untuk istri saya." Aldi menunjuk sebuah tas merk branded edisi terbatas di sebuah toko dalam mall pusat kota."Oh itu, baiklah. Tunggu sebentar, saya akan ambilkan." sahut pemilik toko berjilbab yang bergerak cepat meraih barang yang di tunjuk Aldi. "Ini pak, harganya ada pada label."Aldi memperhatikan label harga yang terpasang pada merk bagian depan, sungguh itu barang mewah dan mahal. " tersenyum memandangi barang. "Baiklah, tolong bungkuskan."Dengan cepat pelayan itu bergerak saja. "Terima kasih."Pelayan itu tersenyum pada pelanggannya dengan sopan. Raffaele berjalan keluar dari tempat itu dengan bangga, dia langsung melajukan mobilnya untuk kembali pulang. Namun, di jalan matanya tak sengaja melihat seorang wanita mengobrol dengan pria yang tak asing. "Bukankah itu..."***"Ohhh." Anna membulatkan mulutnya saat mereka mengobrol dan mulai tak canggung lagi dengan situasi. "Hanya itukah?" tanyanya m
"Aku sudah mentransfernya." Randy langsung memutus panggilannya, kemudian menyeringai memasang tampang penuh misteri. "Bukankah sudah kubilang, semuanya bisa kulakukan tanpa mengotori tanganku." Kemudian dia berdiri, dan keluar dari tempat kerjanya setelah melirik jam dinding sekilas.Pria itu merubah rautnya yang menakutkan tadi, ketika bertemu dengan pegawai kantor saat melihatnya keluar melewati kumpulan orang-orang itu. Tampak jelas, pria itu bermuka dua dan raut kepura-puraan itu di tujukan di depan istrinya."Ketua, ponsel anda kembali berbunyi." Seorang staf memberikan ponsel smartphone yang tadinya di biarkan tergeletak di meja kerjanya.Randy menghentikan langkahnya, kemudian menerima ponsel dan menjawab panggilan tersebut. "Halo…""Randy, bisa tolong datang ke kantor polisi sekarang, aku baru saja di interogasi di sini.""Maaf, aku sedang dalam suasana hati yang buruk sekarang, kuharap kamu tidak sedang membuat ma
"Mama ...."Ayunda yang baru saja membuka pintu masuk rumahnya, langsung berlari saat mendengar suara putranya menjerit. “Arlis, sayang, kamu kenapa nak? Kamu sakit?" sebagai ibu, Ayunda jelas langsung berlari mendatangi putranya dengan raut cemas. "Perutku terasa sangat sakit..." Meski bicaranya belum jelas, tapi pemuda kecil itu meringis sambil memegang perutnya."Kamu sudah makan? Atau jangan-jangan karena ingin pup'?" Pemuda kecil bernama Arlis itu mengeleng. Ayunda melihat sepasang mata milik pangeran kecilnya memerah karena menahan sakit. "Kalau begitu kita coba minum antibiotik, kamu tunggu disini sebentar, mama akan ambil kotak P3K." Ketika Ayunda ingin bergerak pergi, tapi saat ingin pergi, langkah Ayunda dicegat oleh Randy.“Kenapa kau menghalangiku? Kau tak lihat putraku kesakitan?” Ayunda berkat dengan ketus saat dirinya tak dibiarkan mengetahui masalah putranya sendiri. "Diamlah!" potong Randy. "Anakmu baik-baik saja."'Benarkah keadaannya baik? lalu kenapa dia menan