"Bagaimana perkembangannya?"Tiga hari tidak ada kabar, Dee tahu-tahu menelepon lewat ponsel khusus di jam tiga pagi. "Aku punya saingan." Dani melempar dart di tangan. Lurus mengenai titik merah di papan bundar. Sepagi ini Dani selalu bangun untuk berolahraga. Biasanya di markas juga tidak akan tidur karena berjibaku dengan misi. Jadi, begitu mendapat telepon, Dani sedang dalam keadaan bugar. Tawa Dee meledak di ujung sana. Jenis tawa mengejek yang sudah lama tidak didengar Dani. "Jangan mulai, Dee." Dani menperingatkan. Dia sedang tidak ingin mendengar ejekan menjengkelkan Dee di pagi buta. "Ya, ya, baiklah." Terdengar Dee berusaha menyumpal tawanya dan bertanya serius. "Jadi apa yang kau lakukan, Sobat?""Aku membunuhnya?"Dee di sana mengangkat alis. "Jawab yang benar."Dani mendengkus mendengar nada tegas itu kembali. Melempar dart terakhir, lalu duduk di sofa. "Aku membiarkannya, sesekali kujahili.""Kau mendekati target hanya jika sainga
"Dani nanem stroberinya sendiri? Beneran?"Dani mengangguk kecil. Pasrah melihat taman kecilnya kini berubah kebun mini. Semuanya berisi stroberi yang sudah matang. Dari ujung ke ujung. Padahal sebelumnya hanya ada kaktus dan kaktus."Boleh Dera petik?""Tentu. Semuanya untukmu."Telinga Dera memanas mendengar itu. Segera mengambil keranjang, menyembunyikan wajah tomatnya dari Dani. Dera merasa ini seperti mimpi. Entah kebun stroberi di depannya, entah sikap Dani yang hangat padanya. Cowok itu terlihat ingin membuka diri pada Dera. Terlihat berusaha keras untuk tidak memakai wajah datarnya dan tersenyum. Dera terharu. Antara stroberi yang digigitnya sangat segar, atau Dani yang kini memasangkan topi di kepalanya.Dera berusaha tidak merusak momen langka ini. Terus memetik buah dan sesekali melihat Dani yang masih tampan meski berkeringat. Dera tiba setengah jam yang lalu. Disuguhkan pemandangan takjub melihat rumah mewah Dani yang hanya ditinggali
Bau amis darah menguar begitu pintu dibuka dari luar. Anyir dan membuat muntah jika tidak tahan. Seolah darahnya dipoles ke setiap dinding ruangan. Samar-samar terdengar erangan lemah ketika kaki berjalan semakin jauh ke dalam. Tertangkap siluet lelaki berambut gondrong tengah asik menendang tubuh seseorang. Menyeringai senang mendengar setiap umpatan, teriakan, dan erangan sakit dari mainannya. Tidak peduli wajah mainannya sudah hancur, sepatunya tetap menggesek, menendang, dan menginjak hingga puas. Hingga seluruh amarah dalam otaknya reda. "Hentikan Dani. Kita harus membawanya hidup-hidup."Satu suara melengking itu membuat kaki Dani yang akan menyepak, terhenti di udara. Kepalanya berputar perlahan, menatap bengis orang yang berani mengganggunya. "Bukan urusanmu," jawabnya dingin. "Kau sudah menghabisi seluruh orang di gedung ini sendirian! Jika kau tidak bisa mengendalikan nafsu binatangmu, aku tidak segan menantangmu d
Kelas Dera sedang tidak ada guru, mengikuti rapat penting yang tidak bisa ditinggal. Teman-temannya mulai rusuh. Bermain, bergosip, bahkan beberapa ada yang ke kantin. Dera sendiri mencoba tidur di bangkunya. Berusaha tidak melirik bangku kosong di sebelah yang sudah senyap selama empat hari. Dera merasa haus, tenggorokannya sering kering dan sakit, untuk kemudian tercekat.Dera rindu. Dirinya merindukan sosok dingin itu. "Dera pengen tidur, tapi berisik banget."Kepalanya makin ditenggelamkan di lekukan kedua tangan, mengabaikan suara-suara tidak jelas. "Eh, eh, si gila perhatian lagi tidur. Kita kerjain, yuk. Mumpung gak ada pawangnya," bisik cewek berbando kuning. "Pas banget. Gue lagi gabut." Ajakannya disetujui cewek bermata sipit. "Dan gue bawa ini!" serunya kecil memamerkan bola air yang kini ada gunanya. "Gila, nyiapin banget lo?" bando kuning terkikik senang. Menerima satu bola air di tangan. "Ya
"Ngghh, kok gak ada orang? Ke mana-aduh, kaget. Ih, Rain bikin kaget aja."Rain tersenyum manis, membelai kepala Dera pelan. "Udah bangun?" Dera balas tersenyum. "Ke mana anak-anak? Udah bel pulang, ya?""Belum. Istirahat mereka. Pada ke kantin.""Eh? Tumben satu kelas keluar. Biasanya mereka lebih banyak diem di kelas, lho." Lihat? Bahkan setelah dijahili bagimanapun, Dera masih memperhatikan teman-temannya.Rain mau tidak mau tersenyum miris. "Lo emang malaikat.""Hah? Apa? Siapa malaikat?""Elo. Gue ngomong sama lo dan cuma ada lo di ruangan ini." Dera tertawa canggung. "Ah, mana ada. Malaikat kan gak kayak kita, Rain. Gak ada manusia kayak gitu. Hihi."Ada. Itu lo, Dera. "Rain laper, gak?" Dera membuka tas, hendak mengeluarkan camilan, membaginya dengan Rain. Namun, cowok itu lebih dulu menghentikan pergerakan Dera, membawa bahu cewek pujaan hati menatap ke arahnya.
Dani terhunyung ke belakang merasakan pipinya dibogem sesuatu. Rain datang di saat yang tepat. Saat mulut bajingan Dani menghina cewek yang disukainya. "Berengsek!" Rain maju menerjang. Gerakannya terencana dan tertata. Tidak asal seperti tiga bandit sekolah beberapa waktu lalu. Serangannya mantap dan bertenaga. Ini pertama kalinya bagi Dani bisa dipukul mundur oleh lawan. Tidak menyangka jika orang itu adalah Rain. Dani menyeringai puas. Saingannya ternyata tidak hanya bisa diadu soal masalah hati, tetapi juga adu jotos. Yeah, Dani akan menikmati ini. Namun, berbeda dengan dirinya yang akan selalu membalas ketika diserang, kini Dani hanya bertahan, menangkis atau menghindari setiap serangan Rain. Sama sekali tidak melawan. Membiarkan Rain menumpahkan segala kekesalannya. Juga ...,"Rain! Udah berhenti! Dani kesakitan!"... untuk membuat Dera datang dengan sendirinya ke pelukan Dani. "Kenapa lo d
Selasa malam. Dani kedatangan tamu spesial di rumahnya. Dee sungguhan datang secara nyata menemui Dani setelah sebelum-sebelumnya hanya berkomunikasi jarak jauh. Duduk nyaman di sofa sembari melihat-lihat interior rumah anak asuhnya yang glamor, tetapi sepi di saat yang sama. Perabotannya hanya sedikit, namun berkelas dan gemerlap. Jika orang yang melihat tahu akan kualitas barang serta harganya, pasti akan mengira Dani orang kaya tujuh turunan. Kamuflase dari Darto tidak pernah main-main. "Ke mana robotmu itu?" tanya Dee melihat Dani membawa dua kaleng kopi tanpa nampan. Ah, untuk nampannya itu, anak asuhnya memang tidak tahu sopan santun. Dee mengakuinya. Dani meletakkan satu kaleng kopi di meja, membuka miliknya, lalu diteguk sedikit. "Kumatikan. Kerjanya lambat dan mengganggu."Dee mencebik, ikut membuka kopi kalengnya. "Bagaimana misimu?"Dani melirik Dee sinis. Dia tahu kedatangan Dee memang untuk menanyakan hal itu, tetapi tidak langsung-langsungan b
Motor Dani terparkir di depan rumah minimalis bercat putih. Tidak besar, tetapi terlihat nyaman dan asri dengan beberapa pot tanaman di sekitar pagar kayu yang juga putih. Seketika uforia dalam dada Dani naik. Mengalir ke tangannya yang mengepal erat, tidak sabar bertemu bandit besar dalam rumah itu. Gunawan. Inti dari misi payah ini. Dani menggeser pagar kayu, masuk ke halaman, lalu mengetuk pintu. Tepat diketukan ketiga, pintu terbuka, menampilkan figur wanita tiga puluhan dengan baju rumah. Wajahnya khas keibuan. Rambut kecokelatan hasil diwarnai yang digulung ke atas, mirip konde. Dia tersenyum ramah, bertanya, "Cari siapa, Nak?"Dani menarik senyum, menyalami tangannya. "Ada Dera, Tante? Saya teman sekolahnya." Mencoba terdengar hangat dan dekat. "Ah, teman Dera yang namanya Dani?" Dani tidak menjawab, hanya mengangguk. Tidak kaget melihat ibu Dera sudah tahu tentangnya. "Ayo masuk, masuk. Panggil aja tante Ma