Berita Dani menjadi pahlawan kesiangan menyebar ke satu sekolah.
“Dani, Dani! Tungguin Dera, dong!”
Dani juga tidak perlu bekerja keras mendekati gadis itu.
Dera datang mengejarnya. Berjalan beriringan dengan Dani. Dia segera melempar senyum lebar, antisipasi kalau ‘teman barunya’ akan marah.
“Dani mau ke mana? Nanti Dera antar. Dani ‘kan anak baru, gak tau tempat-tempat di sini. Ke mana? Kantin? Dani lapar?” tanyanya perhatian.
Dani memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Dera sangat cerewet. Sangat sesuai dengan penjelasan Dee tempo hari.
Dani pikir dia bisa menahannya dengan pura-pura tuli seperti biasa, tetapi ini terlalu tidak tertahankan.
Gunjingan mereka saja kalah.
Sialnya Dee memperingatkan kalau Dani sebisa mungkin menahan diri untuk hal-hal tidak perlu. Seolah dia tahu apa yang akan Dani lakukan.
Maka Dani kali ini menjawab, “Antarkan aku ke sana.”
Dera bersorak gembira. Menggeret Dani ke kantin, tempat teramai kedua setelah kelas.
Di kantin, Dera berkali-kali disapa. Beberapa berani bertanya siapa yang bersamanya, atau sekedar panggilan bertanya kabar.
Dera seperti super star. Terkenal di mana-mana. Seolah setiap semenit berlalu, akan ada yang menyebut namanya, tersenyum, melambaikan tangan. Namun, Dani tidak melihat gadis ini mempunyai teman. Setidaknya teman di kelas.
“Jangan duduk situ.” Dera memperingatkan. Menarik Dani berdiri, pindah ke meja lain.
Sesaat Dani menangkap rona takut. Tangan Dera sedikit gemetar.
“Kenapa? Tidak ada meja kosong lagi.”
“Kita pindah ke kantin lain kalau begitu. Di sini-" Dani duduk lagi. Tidak mendengarkan. Kakinya lelah digerakkan. Kantin ini letaknya menjorok ke dalam dari area kelas terakhir sebelum berbelok, turun tangga, masuk ke belakang lagi.
“Duduk. Aku lelah.” Dani mengisyaratkan dengan dagunya. Dera duduk patah-patah. Senyum itu seketika luntur saat tiba di meja ini. Saat Dani memilih tetap duduk dan enggan berpindah.
Dani tidak menghiraukan. Juga bagaimana di sekitarnya mendadak hening, bahkan denting sendok pun tak lagi terdengar. Suasana aneh ini tidak membuat Dani bersiaga. Dia terlau muak ada di tempat ini. Rasanya ingin menyudahi misinya saja.
Segerombol langkah kaki menjawab ruangan yang mendadak senyap itu. Mendekat ke meja Dani dan Dera.
“Oy! Ini rupanya tampang anak baru itu!” Rambut keriting yang berdiri paling depan, bicara.
“Belagu banget nih anak duduk di sini. Gak ada takut-takutnya dari mukanya.” Si rambut cepak menambahi.
“Biasa. Super hero kesiangan tadi. Enaknya kita apain ni bocah, Bos!” Si gemuk berkata sumbang.
Mereka bicara bersahut-sahutan seperti preman ruko yang biasa Dani datangi. Semuanya serba biasa. Dani bosan. Tidak ada bedanya antara yang terpelajar dengan yang tidak.
Mereka ini juga anak kelas tiga, ‘kan?
Orang tinggi kurus yang dipanggil bos, tersenyum remeh. Wajahnya bisa dikatakan lumayan daripada tiga yang lain.
Dani tidak berkedip menatap empat orang sok jago ini, sedangkan Dera semakin berkeringat di bangkunya. Dani memproses informasi di kepalanya lagi.
Dee bilang apa lagi soal sekolah?
Akan selalu ada bajingan teri semacam ini di tiap sudutnya.
Dani ditarik kerah lehernya agar berdiri. Matanya beradu pandang dengan si bos yang justru terkekeh melihat tidak ada raut gentar di sana. Dani tidak berniat menurunkan harga dirinya sebagai orang terkuat kedua di komunitas.
Kalau Dee disebut tangan kanan Darto, maka Dani tangan kirinya. Dee memperingatkan kalau dirinya tidak boleh mencolok, Dee tidak berkata Dani akan diam saja saat dirinya direndahkan, bukan?
Jadi Dani tidak menyerang lebih dulu. Siap menerima tindakan apa pun.
Seperti prediksinya, si bos memukul dari kanan, mengincar wajah. Dani berkelit, memukul perut si bos dengan lutut. Si bos terdorong mundur. Terbatuk beberapa kali. Anak buahnya segera lompat menyerang membabi buta, maju sekaligus. Nampak begitu tersulut saat bosnya ‘disentuh’ tepat di depan mata.
Lagi-lagi Dani tidak membalas, mengikuti perintah Dee. Terus berkelit dan berkelit. Sesekali Dani mendorong badan satu dengan yang lain sampai bertubrukan.
Gerakan mereka asal-asalan. Jangan bicarakan kuda-kuda. Pukulan mereka saja bisa ditebak, sembarangan. Terus memukul angin, kesal, lalu menyerang penuh amarah.
Pelajaran pertama dari Darto jika dalam pertarungan, emosi kita harus netral. Tidak boleh terpancing apa pun. Karena saat di arena sungguhan, bertarung dengan musuh sungguhan, strategi juga penting selain kekuatan.
Lelah bermain dengan junior, Dani menendang punggung, tumit, dan lutut mereka bergantian. Terhentak ke lantai sambil memegangi bagian yang sakit.
Mereka terkapar di lantai tanpa Dani perlu menggerakkan tangannya. Tersimpan rapi di saku celana.
Dani kembali menjadi pusat perhatian. Seisi kantin tidak bisa menyembunyikan raut takjub mereka. Menyaksikan secara live ‘geng’ paling ditakuti satu sekolah, dikalahkan dengan mudah oleh anak baru.
Dani turun lebih dulu dari panggung pertunjukan itu. Diikuti Dera yang buru-buru mengejarnya.
***
“Dani keren, ih! Dani kok bisa kayak gitu? Jurus dari mana? Kebanyakan nonton Naruto ya? Kayak Guru Kakashi. Tangannya ada di saku celana terus. Wus-wus-wus!” Dera berseru-seru sambil membantu membenarkan posisi miring pot.
Dia kebetulan lewat di antara dua siswi yang bertugas menata pot-pot yang baru datang. Mengucap terima kasih. Dera balas mengangguk ramah. Terus mengekori Dani.
Mereka naik ke lantai dua, kembali ke kelas.
“Dera, bisa minta tolong?”
“Ya?” Dera bukan cuma menoleh, tetapi menghadapkan tubuhnya pada si pemanggil. Menghampirinya.
“Bisa bawain buku ini ke mejanya Pak Yayan?”
“Bisa. Yang mana aja?” Dera tetap melukis senyum. Cerah sekali.
“Yang ini aja dulu. Sisanya nanti aku yang bawa. Tolong, ya.”
“Oke.”
Dera mengambil beberapa buku paket, membawanya ke tujuan yang diminta. Dia begitu banyak membawa buku, tidak sadar kalau tubuhnya kecil dan tidak akan kuat menanggung berat begitu banyak. Namun, buku itu sampai di tempatnya tanpa kekurangan apa pun.
Dera kembali mendekati Dani setelah mengembalikan buku. Tidak ada ucapan terima kasih, atau basa-basi lainnya.
“Dera bisa bantu pindahin meja ini ke sana?”
“Oke.”
“Dera kamu tahu keterangan biologi yang ini gak? Bentar lagi Bu Farah masuk kelas. Lupa PR.”
“Gampang itu, mah! Sini!”
Tiba di kelas.
“Dera, hapusin papan, dong. Mumpung lo berdiri.”
“Beres!”
“Dera, bantuin gue ngitungin tugas matematika, kuy!”
“Siap! Yang mana?”
Dera sampai tidak sadar kalau Dani bukan masuk ke kelas, tetapi berjalan lurus ke suatu tempat. Dera sibuk melayani permintaan teman-temannya. Banyak yang meminta bantuannya hari ini. Entah kelas lain atau kelasnya sendiri. Semua mengenal Dera.
Mereka baik, maka Dera akan lebih baik. Mereka semua teman Dera. Dia suka jika dibutuhkan seseorang. Dirinya semaksimal mungkin membantu dan menyelesaikan sebisanya.
Dera adalah permata di tumpukan jerami. Selain cantik dan imut, dia sangat baik pada siapa pun. Membantu yang membutuhkan, selalu tersenyum, dan menjadi matahari di mana saja dia berada.
Seperti kali ini. Salah satu teman sekelasnya tengah menangis karena diputus sepihak oleh pacarnya.
Dera menyambangi meja Bunga. Memeluknya lama, mengusap rambutnya pelan. Berkata tidak perlu ada yang dipikirkan dari lelaki tidak tahu diri itu. Dia sudah rugi menyia-nyiakan gadis secantik dan semanis Bunga. Akan ada ganti yang lebih segala-galanya. Dera memberikan permen kapas kecil di dalam tasnya.
Makanan terakhir yang dia punya.
Bunga tersenyum. Memeluk Dera singkat, menerima permen kapas itu. Kelas kembali kondusif dan ceria. Tidak ada wajah murung, atau susah lagi.
Dera duduk di bangkunya. Menyadari Dani tidak ada, dia hendak mencari, tetapi guru bahasa indonesia terlanjur masuk. Dera terpaksa duduk lagi.
“Dani ganteng ke mana, ya?”
Hingga di pertengahan pelajaran pun Dani belum masuk juga. Dera jadi khawatir. Sebenarnya ke mana perginya murid baru itu? Apa dia tersesat?
Dani yang sejak tadi duduk di bangku belakang seberang Dera, menyisir rambut gondrongnya ke kiri. Menyaksikan semua perilaku targetnya hari ini. Memaki pelan, “Bodoh.”
***
Sehari absen, meja Dani penuh bunga, cokelat, dan surat. Dani tidak menyentuhnya sama sekali. Duduk tenang di kursinya.Tatapan memuja itu semakin banyak. Dani bisa merasakannya walau dirinya bukan cenayang. Tanpa perlu dibaca, Dani tahu apa isi surat-surat menjijikkan itu.“Aduh, muka Dani Ganteng kenapa?”Tetapi tetap saja. Hanya Dera yang berani bicara langsung padanya, menyentuh luka Dani yang tidak diobati. Memerah di sana-sini. Kontras dengan kulitnya yang putih.Kemarin malam juga esok harinya Dani memburu pengkhianat komunitas yang kabur membawa sejumlah uang dan informasi penting, untuk dijual ke wilayah musuh.Dia kebetulan berkeliaran di wilayah Dani. Jadi Dani ditugaskan menangkapnya. Susah sekali mendapatkannya. Dani harus bekerja ekstra keras untuk melumpuhkannya.Satu orang, dan Dani cukup dibuat kewalahan. Dia senior di komunitas. Cukup lihai menghindar dalam pertarungan tangan ko
Esoknya Dera menghindari Dani.Mereka tetap duduk sebangku, tetapi tidak ada yang berbicara.Lusanya juga.Sampai seminggu berturut-turut.Hari berikutnya, Dani akan masuk ke toilet sekolah saat telinganya mendengar nama yang tidak asing disebut-sebut. Dani berdiri di depan toilet, menyimak informasi."Ya si Dera 'kan emang gitu kali. Sok baik, centil, sok iye banget nolong orang. Kek caper gak, sih?""Kalo kata gue iya. Caper. Tuh cewek emang ganjen sama cogan-cogan. Cowok mana yang gak pernah dia gaet? Semuanya diembat. Sekarang giliran si anak baru. Abis deh koleksi cogan sekolah.""Sama guru juga." Suara berbeda. Totalnya tiga orang. "Apa-apa kalo dari guru pasti dia yang maju, sok bawain buku, sok akrab gitulah. Sampe gue denger nih, ya. Salah satu guru kita itu sempet dipepet sama dia juga!""Demi apa-""Shhttt. Jang
"Bagaimana? Mulai menyukainya?""Lain kali aku tidak akan melakukannya. Ini yang terakhir."Dani berbicara pada antingnya. Di dalamnya ada kamera sekaligus alat komunikasi dua arah. Seseorang dari sana dapat memantau atau memerintahkan sesuatu pada Dani. Sebaliknya, dia juga bisa membalas pembicaraan.Dee di seberang terkekeh pelan. "Kupikir kau menikmatinya. Kau terlihat sangat alami saat menariknya ke pelukanmu. Apa rasanya enak?""Kau pikir makanan?" Dani mendengkus. Motornya melaju santai ke jalan pulang. Dani sudah mengantar Dera--walaupun hanya sampai halte--memutuskan tidak berlama-lama meladeni ide konyol Dee agar Dera tidak lagi merajuk. Dia sudah menoleransi kontak fisik terlalu banyak hingga tangannya gatal ingin melakukan sesuatu."Oho! Kenapa? Kau mulai tidak terima sekarang, ya? Kau suka padanya?""Aku lebih menyukaimu."Dee seketika diam. Di
Jangan bertanya pada Dani apa yang terjadi selanjutnya. Dia sangat ingin membersihkan sebagian otaknya yang dicemari. Memori bodoh yang terus diputar pikirannya setiap pijakan kaki ke rumah.Berengsek. Berengsek. Berengsek."Lain kali aku akan menghindarinya. Ini benar-benar terlalu banyak!"Umpatan Dani berakhir ketika ponselnya berbunyi. Bunyi yang beda dengan dering panggilan Dera. Dani merogoh sakunya, mulai menjawab."Mobil plat nomor M 3387 akan tiba di hadapanmu sepuluh menit lagi. Pastikan kau masuk dan antar barang bawaannya dengan aman."Sambungan langsung terputus begitu kalimat itu tiba di ujungnya. Dani merasa ada hawa bagus mengelilinginya. Napasnya kembali teratur dan serius.Ini pengalihan yang amat baik.Tepat di menit ke sepuluh, mobil itu berhenti di samping Dani. Pintunya dibuka, Dani segera masuk dan duduk. Melihat dua orang bersamanya, dua lagi di depan. Menunduk, Dani me
Dera turun dari bus dengan ceria. Wajahnya berseri-seri dengan kedua pipinya yang menonjol bahagia. Dia mengingat kenangan semalam bersama Dani, menonton film di bioskop."Dani romantis juga. Hihi!"Romantis yang dimaksud Dera adalah saat Dani tiba-tiba mencondongkan tubuhnya pada Dera untuk mengambil popcorn di seberang. Ketika Dani akan kembali duduk, tatapan mereka sempat beradu sebelum Dani memutuskan pandangan.Romantis yang dirasakan sendiri.Dera berjalan sambil sesekali berjingkrak ke kanan dan ke kiri, menyenandungkan lagu favoritnya. Mengingat lagi bagaimana aroma tubuh Dani saat Dera memeluknya di rooftop dengan di bioskop, membandingkannya.Sama persis. Benar-benar tidak memakai parfum, apalagi memerlukannya. Itu saja sudah membuat Dera mabuk.Dera tidak tahu kalau aroma seperti kayu jati di pagi hari dan perpaduan mint yang
Dani berkelit ke samping lagi melihat tebasan pisau sembarangan itu. Terus saja menusuk sana-sini tidak peduli arah. Serangannya sangat khas dan sangat familiar. Dani sempat melihat empat orang berseragam itu lalu meringis kecil. Gerakan mereka sama cerobohnya dengan orang yang menyerangnya.Setidaknya jika mulut mereka angkuh, harus diimbangi dengan gerakan tubuh yang sama.Dani menguap bosan. Ini sama sekali tidak menghibur."Wah, wah! Dia nguap! Apa maksud lo gitu waktu berantem sama Kakak gue? Ngeremehin lo?!" sentak seseorang yang sedari tadi menonton.Nama di dadanya bertuliskan Jay, melotot marah karena sejak tadi Dani terus menghindar tanpa melawan, sedangkan kakaknya menyerang tiada henti bagai babi terluka.Senyum mengejek terukir makin lebar di wajah Dani, alisnya terangkat tinggi. "Menurutmu?""Berengsek!"BRAK!Pintu gudang terbuka lebar mendapat tendangan dari luar. Orang di dalam gudang terkejut bukan main melihat dua orang guru datang deng
"Tugas lo adalah bantu-bantu kerjaan OSIS selama seminggu dalam masa sanksi dari sekolah."Dani berdiri di samping Rian yang juga tengah berbicara pada anggota OSIS. Ada murid yang kena sanksi tingkat tiga, sanksi terberat sebelum dikeluarkan dari sekolah. Mereka menerima murid yang pertama kali melakukannya dalam satu tahun masa jabatan ini. Ini pertama kali. "Jadi kau akan membuatku menjadi kacung kalian?" Suara itu datar saja. Tidak meninggi juga tidak rendah, tetapi cukup untuk membuat bulu kuduk mendadak berdiri. Entah kenapa ... Dani begitu mendominasi saat berbicara. Atmosfernya jadi aneh dan sesak. Hanya Rian yang masih berdiri tegak dengan tatapan jengkel."Ya, kasarnya gitu." Rian terang-terangan. "Tapi karena bu Aina masih ngasih lo keringanan, beliau cuma khususin lo sama satu tugas aja. Bantu tugasnya Ketua OSIS." Lagi pula bicaranya aneh sekali? Terdengar sangat formal di telinga Rian. Sangat tidak nyaman. Belum lagi rambut gondrong dan
"Bagaimana perkembangannya?"Tiga hari tidak ada kabar, Dee tahu-tahu menelepon lewat ponsel khusus di jam tiga pagi. "Aku punya saingan." Dani melempar dart di tangan. Lurus mengenai titik merah di papan bundar. Sepagi ini Dani selalu bangun untuk berolahraga. Biasanya di markas juga tidak akan tidur karena berjibaku dengan misi. Jadi, begitu mendapat telepon, Dani sedang dalam keadaan bugar. Tawa Dee meledak di ujung sana. Jenis tawa mengejek yang sudah lama tidak didengar Dani. "Jangan mulai, Dee." Dani menperingatkan. Dia sedang tidak ingin mendengar ejekan menjengkelkan Dee di pagi buta. "Ya, ya, baiklah." Terdengar Dee berusaha menyumpal tawanya dan bertanya serius. "Jadi apa yang kau lakukan, Sobat?""Aku membunuhnya?"Dee di sana mengangkat alis. "Jawab yang benar."Dani mendengkus mendengar nada tegas itu kembali. Melempar dart terakhir, lalu duduk di sofa. "Aku membiarkannya, sesekali kujahili.""Kau mendekati target hanya jika sainga