Sehari absen, meja Dani penuh bunga, cokelat, dan surat. Dani tidak menyentuhnya sama sekali. Duduk tenang di kursinya.
Tatapan memuja itu semakin banyak. Dani bisa merasakannya walau dirinya bukan cenayang. Tanpa perlu dibaca, Dani tahu apa isi surat-surat menjijikkan itu.
“Aduh, muka Dani Ganteng kenapa?”
Tetapi tetap saja. Hanya Dera yang berani bicara langsung padanya, menyentuh luka Dani yang tidak diobati. Memerah di sana-sini. Kontras dengan kulitnya yang putih.
Kemarin malam juga esok harinya Dani memburu pengkhianat komunitas yang kabur membawa sejumlah uang dan informasi penting, untuk dijual ke wilayah musuh.
Dia kebetulan berkeliaran di wilayah Dani. Jadi Dani ditugaskan menangkapnya. Susah sekali mendapatkannya. Dani harus bekerja ekstra keras untuk melumpuhkannya.
Satu orang, dan Dani cukup dibuat kewalahan. Dia senior di komunitas. Cukup lihai menghindar dalam pertarungan tangan kosong. Jadilah wajahnya terdapat bekas luka di pipi dan sudut bibir. Beberapa di lengan akibat sabetan pisau. Dani tidak siap menerima serangannya. Itu terlalu tiba-tiba.Setelah ditangkap, dikirim ke markas, dia diadili.
Hari ini rambut Dani diikat tinggi, memamerkan anting putih bertitik hitam di telinga kanan. Memperjelas tahi lalat di ujung hidung yang memberi kesan memikat. Lukanya membuat gerah. Belum lagi lengannya yang tak bisa digerakkan bebas.
Para gadis di kelas hanya bisa menggigit bibir, menahan jeritan di kerongkongan. Menyaksikan secara langsung rupa-rupa cogan di televisi yang hadir di dunia nyata. Mereka menatap dari sudut-sudut. Tidak berani mendekat.
Pribadi Dani yang terlihat tak tersentuh dan dingin membuat mereka paham. Cukup menatap dari jauh, berteriak dalam diam. Sekumpulan ‘sampah’ di meja Dani tidak dibuang saja mereka bersyukur.
“Sini Dera kasih plester.”Dani menolak, memalingkan wajah. Benar-benar Aldera Gunawan seorang yang berani mendekati Dani.
“Sini, ih! Nanti Dera teriak, nih!”
Dani menurut. Mendengar cerewetnya Dani tidak tahan, tidak terbayangkan kalau Dera sampai berteriak.
Dera tersenyum senang. Menempel plester bergambar kura-kura di pipi dan sudut bibir Dani. “Hihi. Dani lutu banget.” Mencubit pipi Dani gemas.
Di sudut terdengar desisan tertahan. Tangan-tangan gatal ingin menyentuh Dani. Seperti apa kelembutan kulitnya?
Dani mengabaikan. Memilih membaca buku saku dan diam.
Dera mencebik. Dia diabaikan, tetapi dirinya masih punya satu pekerjaan. Tangan memangku dagu, menatap Dani dengan senyum terbaiknya.
***
Jika di lantai dua adalah gedung khusus kelas tiga, maka lantai pertama tempat kelas dua dan kelas satu berada. Rumor kalau ‘pemilik’ wilayah lantai satu itu kelas dua, juga didengar Dani.
Kelas dua IPS tepatnya.
Kelas dengan indeks prestasi berganti wali kelas sebanyak dua dalam setengah tahun. Pembuat onar, monster, tak terkendali, dan konotasi buruk lainnya.
Mereka, kompak satu kelas selalu menjahili guru yang mengajar. Tidak satu pun guru di SMA Husada betah berlama-lama. Para guru kebanyakan memberikan tugas dan PR daripada menjelaskan pelajaran di kelas.
Ketua kelasnya sendiri perempuan bersurai ungu. Eva namanya.
Kenapa tidak ada yang berani? Karena pacar Eva, Carlos, dia anak pemilik sekolah.
Kabar terbarunya, kepala sekolah mereka, bapak Jalal terhormat sudah menemukan guru pengganti sekaligus wali kelasnya. Guru yang untuk pertama kalinya berhasil menjinakkan kelas IPS.
Kabar pentingnya lagi … Dani tengah berhadapan dengan guru itu.
“Apa kabar, Pak Karma?” Ada nada mengejek di suara Dani. Mereka berdiri di lorong yang sepi.
Karma tersenyum sekilas. “Kau di sini? Tidak kusangka. Apa tidak ada tempat bermain lain yang bisa kau datangi?”
“Kau juga tidak pantas berada di sini.”
“Cih, kalau begitu pastikan saja kau tidak mengusik teritoriku, Bocah.”“Jika kau tidak memulai, Pak.”
“Baguslah, Nak. Masuk ke kelasmu. Ini masih pergantian jam kedua.”
Dani mengangguk kalem. Sekilas melihat luka tembak di lengan Karma, tersenyum rendah. Dia balik kanan lalu pergi.
Itu luka tembak yang Dani dengar tadi dari segerombolan siswi. Seorang guru biasa tidak akan pernah mendapatkan luka itu, dan dia masih bisa mengajar. Bukannya di rumah sakit.
Dua orang itu langsung mengabarkan situasi terkini pada atasan masing-masing.
Dani sungguh tidak menduga bertemu orang itu di sini. Dia itu-
“Hoi! Apa yang kau lakukan di sini, Anak Tampan? Melamun?” Seorang guru menegur Dani.
Dani secepat kilat mengubah mimik wajahnya. Urung menelepon Dee. “Mau ke UKS, Pak.”
Guru itu menganalisa wajah dan tangan Dani. Dia mengangguk, malah mengantarkan Dani ke UKS.
“Kau bisa obati sendiri?” tanyanya.
Dani mengangguk. “Saya bisa sendiri.”
Guru itu meninggalkan Dani setelah memastikannya baik-baik saja.
Dani mendesis pelan. Sama sekali tidak menduga bertemu orang berengsek itu di sini. Apa begini gambaran kalau dunia itu sempit? Lagi pula kenapa Dee tidak memberitahunya? Wanita itu! Awas saja dia.
Hendak mengambil P3K di lemari, ponsel Dani berdering. Muncul nomor tidak disimpan yang sangat Dani hapal luar kepala milik siapa. Dani menggeser panel hijau.
“Kau-”
“Tunggu dulu, Dani Sayang. Aku tahu kau akan mengumpat, tapi dengar, aku juga baru tahu informasi itu.” Dee mengklarifikasi. Ini bukan keteledorannya.
“Dia tiba dan mendaftar baru saja di sekolah ini. Hari ini mendaftar, hari ini juga dia bekerja. Kepala sekolah itu langsung menerimanya tanpa pikir panjang. Jarang sekali ada orang yang bersedia mendatangi kandang singa secara suka rela. Itu pilihan bagus untuk mengisi kekosongan.”
Dani berpikir cepat. Menerawang jauh apa dampaknya nanti. Terutama pada misinya.
“Kau bertemu dengannya?” Dee lebih dulu bertanya.
“Ya.” Dani membuka perban bekas yang lepek dengan darah.
“Dia pasti mengatakan sesuatu.”
“Dia bilang aku harus tahu batasan, maka dia akan begitu.” Membersihkan sisa darah, menutupi lukanya dengan plester di pipi, membuang sisa plester di sudut bibir.
Dani mengembalikan kotak P3K ke tempatnya. Menyugar anak rambut yang luruh ke belakang. Menunggu Dee bicara lagi.
“Kau lakukan apa yang dia minta. Fokus ke targetmu saat ini.”
Dani mengangguk meski Dee tidak bisa melihatnya. Satu, dua kata lagi, sambungan terputus. Dani akan kembali ke kelas, tetapi langkahnya tertahan melihat Aldera di pintu UKS.
***
“Dani bicara sama siapa? Kayaknya perempuan.” Dera tidak tahu Dani bisa bicara selembut itu pada seseorang. Pada dirinya masih ketus dan sesekali menjawab pendek.
“Kakak perempuanku,” jawab Dani asal. Menatap heran mimik kesal gadis kecil di sampingnya.
“Sungguh?” tanya Dera memastikan. Tadi dia izin keluar berniat mencari Dani di tengah jam pelajaran.
“Terserah.” Kenapa juga Dani melayani pertanyaan tidak penting Dera.
Apa gadis ini ingin tahu lebih banyak tentang kehidupannya? Dani menyeringai. Hm, setelah Dani membunuhnya nanti.
“Dani! Ngelamunin cewek tadi, ya?” Wajah Dera semakin jelek.
“Ya. Kenapa tidak?” kompor Dani.
Dera menghentakkan kakinya kesal. “Tau, ah! Dera kesel sama Dani!”
Dani sigap menangkap botol minuman yang dilemparkan Dera. Menatap kepergian gadis itu tak berminat.
Dari dulu Dani tidak bisa memahami kerja otak perempuan. Tidak Raya, Dee, atau Dera. Tidak bilang maunya apa, tahu-tahu sudah marah.
Kalau Darto, diberi setumpuk uang dia sudah senang. Tidak berbelit-belit.
Ada kertas tertempel di sana. Bertuliskan, ‘Dera suka Dani! Xixi!’Dani mengangguk-ngangguk tidak peduli. Dani juga akan sangat menyukainya jika tangannya sudah penuh dengan darahnya. Bau amis yang menyenangkan indera penciuman.
Ah, Dani akan menunggu dengan segala sabar yang dimilikinya. Membuang kertas di botol, meminum isinya. Bersiul pelan menuruni anak tangga.
Gadis ini mudah sekali jatuh cinta~
"Maafin Dera ya, Dani.""Lagi?"Jemari Dani bergerak menggenggam milik Dera yang awalnya hanya dipegang, membawanya ke atas, mengirim kecupan hangat."Jangan bilang maaf lagi, oke? Aku yang salah dan itu udah selesai. Jangan bahas lagi."Dera masih diam. Menekuri rumput depan rumahnya dengan perasaan gamang. Sesuatu masih mengganggunya. "Hei."Dera mendongak, hanya untuk melihat manik cokelat kehitaman Dani yang begitu memerangkap, mendapatkan Dera sepenuhnya. "Kamu harus terbiasa melupakan hal yang bukan salah kamu. Kamu harus terbiasa tidak merasa terbebani pada apa pun yang tidak ada hubungannya dengan kamu." Dani mengusap rambut Dera perhatian. "Kamu berhak bebas sama pikiran kamu sendiri. Bukan selalu menderita dengan pikiran orang lain. Bisa?"Dera mengangguk paham. "Janji?""Janji."Dani tersenyum. Senyum yang menjadi favorit Dera saat ini. Mungkin ... selamanya. "Masuk sana.""Dani juga hati-hati di jalan. Jangan ngebut.""Iya.""Beneran jangan ngebut, ya!""Iya, Sayang."
Guru perempuan berbada ramping itu asik menjelaskan pelajaran kimia dengan wajah semringah. Berbanding terbalik dengan keadaan para muridnya yang berasap dan mengantuk. Sangat tidak menyukai pelajaran aksi-reaksi satu itu. Meski seluruh jendela di kelas telah dibuka lebar-lebar, membiarkan angin mengisi seluruh ruangan, panas matahari masih saja terasa. Terlebih di dua bangku dari belakang. Panasnya lebih kentara karena keberadaannya dua kali lebih dekat dari siapa pun. Dera melirik Dani takut-takut. Figurnya masih tampak menawan meski sedang serius mendengarkan penjelasan guru. Rahang kokoh yang jarang dimiliki anak seusia mereka, rambut diikat tinggi, hidung mancung disertai tahi lalat, membuatnya terlihat manis juga ... ah, bagaimana Dera mengatakannya? Dera pura-pura mengusap pipi ketika kepala Dani bergerak, mencatat sesuatu di kertas. "Sshh, hampir aja ketahuan," gumam Dera sepelan mungkin. Pura-pura mencatat sesuatu
"Kau ingin membunuhku?"Tubuh Dera bergetar bukan main merasakan tatapan menusuk Dani. Jelas menuduh dan sama sekali tidak ingin diafirmasi. Dera ketakutan. Itu yang pertama kali tiba di alam sadarnya. Otaknya memerintahkan mundur, tetapi hatinya lebih cepat menyela. "Dani ... kenapa?" Masih perhatian menanyakan keadaan sang pujaan hati walau suaranya mirip tikus terjepit. Dani berdiri begitu saja tanpa kata, menatap Dera lewat lirikan mata, meninggalkannya di sana. Tangan Dani terkepal kuat hingga berdarah karena tergores kuku sendiri. Tidak tahan. Inginnya Dani akan menghantam kepala Dera saat itu juga saat masa kelamnya bangkit tanpa aba-aba. Tanpa rambu peringatan.Telinga Dani berdenging, menghentikan langkah lebarnya. Sakit di kepalanya kembali lagi. "Sialan!"Tidak mendengarkan teriakan tubuhnya yang kesakitan, Dani tegap berjalan ke arah parkiran. Kepalannya yang berdarah beralih mencengkeram ulu hati erat. L
Jalanan kota sore itu tidak sepadat biasanya. Agak lengang dan berjalan lancar. Semilir angin bertiup landai, asik bercengkrama syahdu dengan dedaunan. Dera dan Dani mampir di warung makan pinggir jalan karena si ratu berteriak lapar. Akhirnya sang raja mau tak mau menghentikan motor di tempat makan mana saja. Awalnya Dani akan membawa Dera ke resto, tetapi cewek itu segera membelokkan Dani di warung makan pinggir jalan yang baru buka. Baru memulai dagangannya. "Dera sering makan di sini dulu sama ayah, ibu, tapi udah jarang sekarang. Soalnya ayah sibuk."Mereka duduk berhadapan di kursi plastik tanpa sandaran dan dibatasi meja panjang yang cukup menampung sepuluh orang. Dani baru tahu fakta satu itu. Maklum keparat itu tidak ada di rumah tadi. Sibuk? Sibuk menghancurkan hidup orang maksudnya? "Kerja apa Ayahmu?" Dani bertanya karena murni ingin tahu. Sebagian karena dendam, sebagian karena misi, sebagiannya lagi agar Dera m
Motor Dani terparkir di depan rumah minimalis bercat putih. Tidak besar, tetapi terlihat nyaman dan asri dengan beberapa pot tanaman di sekitar pagar kayu yang juga putih. Seketika uforia dalam dada Dani naik. Mengalir ke tangannya yang mengepal erat, tidak sabar bertemu bandit besar dalam rumah itu. Gunawan. Inti dari misi payah ini. Dani menggeser pagar kayu, masuk ke halaman, lalu mengetuk pintu. Tepat diketukan ketiga, pintu terbuka, menampilkan figur wanita tiga puluhan dengan baju rumah. Wajahnya khas keibuan. Rambut kecokelatan hasil diwarnai yang digulung ke atas, mirip konde. Dia tersenyum ramah, bertanya, "Cari siapa, Nak?"Dani menarik senyum, menyalami tangannya. "Ada Dera, Tante? Saya teman sekolahnya." Mencoba terdengar hangat dan dekat. "Ah, teman Dera yang namanya Dani?" Dani tidak menjawab, hanya mengangguk. Tidak kaget melihat ibu Dera sudah tahu tentangnya. "Ayo masuk, masuk. Panggil aja tante Ma
Selasa malam. Dani kedatangan tamu spesial di rumahnya. Dee sungguhan datang secara nyata menemui Dani setelah sebelum-sebelumnya hanya berkomunikasi jarak jauh. Duduk nyaman di sofa sembari melihat-lihat interior rumah anak asuhnya yang glamor, tetapi sepi di saat yang sama. Perabotannya hanya sedikit, namun berkelas dan gemerlap. Jika orang yang melihat tahu akan kualitas barang serta harganya, pasti akan mengira Dani orang kaya tujuh turunan. Kamuflase dari Darto tidak pernah main-main. "Ke mana robotmu itu?" tanya Dee melihat Dani membawa dua kaleng kopi tanpa nampan. Ah, untuk nampannya itu, anak asuhnya memang tidak tahu sopan santun. Dee mengakuinya. Dani meletakkan satu kaleng kopi di meja, membuka miliknya, lalu diteguk sedikit. "Kumatikan. Kerjanya lambat dan mengganggu."Dee mencebik, ikut membuka kopi kalengnya. "Bagaimana misimu?"Dani melirik Dee sinis. Dia tahu kedatangan Dee memang untuk menanyakan hal itu, tetapi tidak langsung-langsungan b