Share

Kubuat Kau Mencintaiku!
Kubuat Kau Mencintaiku!
Penulis: Anis Jung Ji Jae

Teman Sebangku

Masa kini, 2021.

Berjalan kaki ke suatu tempat bukan gaya Dani. Dia mengikuti instingnya sebagai strategi bertemu target lebih cepat, juga karena jarak rumah dengan sekolah tidak terlalu jauh. Seratus meter ke utara, Dani akan tiba di gerbangnya. 

Pagi bergerak cepat seiring para siswa bergegas masuk. 

Lima menit lagi bel berdentang, berteriak nyaring membelah ramainya jalan dipadati motor dan mobil. Sekolah Dani ada di seberang jalan besar. Pepohonan merambat di sekitar trotoarnya, menjadi tempat teduh kala siang semakin terik. 

Dani tidak terlalu terburu-buru. Toh, dia juga baru masuk dan akan menyambangi ruang kepala sekolah sebelum ke kelas. Kelas berikut tempat duduk Dani sudah diatur sedemikian rupa agar sebangku dengan Aldera. 

Gadis itu duduk dua bangku dari belakang. Tempat yang cukup menguntungkan bagi Dani. 

Mengenali targetnya di antara banyak orang, Dani memperlambat langkah. Mengamati Aldera dari jauh. 

Gadis itu berambut pendek sebatas leher. Sama dengan rambut miliknya, tetapi lebih pendek. Bibirnya terus menarik senyum, berjalan riang padahal jam masuk akan segera berbunyi. 

Apa yang pernah Dee sampaikan tentang memikat gadis? Dekati secara langsung. 

Maka Dani mendekat. Lima langkah di depan Aldera, Dani langsung berlari kencang melihat seseorang akan menyerang gadis itu dengan pisau.

Crasshh.

Darah mengucur dari tangan Dani yang menggenggam pisau, menahannya sebelum menggores leher Aldera. 

Sekitarnya berubah panik, penuh teriakan siswa dan ibu-ibu yang mengantar. Aldera apalagi. Gadis itu diam mematung di antara dua orang. 

Satu menyerangnya, satu menyelamatkannya. Matanya berkaca-kaca menyaksikan darah menetes sebanyak itu dari tangan seseorang. 

Dani tidak menunggu penjahat itu menarik pisaunya. Masih setengah kaget ada yang menghentikan aksinya, Dani merebut pisau itu, dibuang, lalu menarik Aldera ke dekapannya. 

Dani menatap penjahat itu instens. Mengisyaratkan segera kabur sebelum satpam sekolah datang dan dihakimi massa. 

“Apa ada yang terluka?” Seseorang berseragam khas guru mendekat. Kumisnya bergerak-gerak, memeriksa Dani dan Aldera bergantian. 

Mereka dikerumuni orang-orang. Ingin tahu apa yang terjadi. Satu dua ibu-ibu menjelaskan sok tahu membuat guru berkumis mengangguk mengerti situasinya. Dia tadi ada di ruangannya. Segera berlari mendengar ada keributan di gerbang. 

Satu menit kemudian berdatangan guru lain. Membawa Dani dan Aldera ke UKS, sedangkan para siswa dikondisikan segera masuk ke kelas masing-masing. Kejadian tidak terduga ini tidak boleh mengganggu konsentrasi belajar mereka. 

Satpam sekolah hari itu sedang izin sakit. Jadi, tidak ada siapa pun yang bisa disalahkan atas keteledoran pagi itu.

Lalu lintas kembali seperti semula. Siswa sudah duduk rapi di kelas, memulai pelajaran.

Dani dan Aldera duduk bersebelahan di dua brankar. Aldera dicek tensi darahnya karena wajahnya sempat pucat lalu diberi air minum setelah memastikan semuanya baik-baik saja. Tidak ada luka apa pun. 

Inilah pasti pengalaman pertamanya diserang orang tak dikenal. Tentu saja. Orang biasa mana yang tidak syok mendapat serangan tadi? 

Kecuali Dani. 

Hm, anak satu ini pengecualian. Garis bawahi. 

Dani. Dia menatap malas seorang perawat yang telaten menutupi lukanya dengan perban. Goresannya cukup dalam, tetapi tidak perlu dijahit. Masih bisa menutup lagi kalau rutin diobati. Akan mengering seiring waktu. 

“Sudah selesai. Airnya jangan lupa diminum. Saya tinggal dulu, ya.” Perawat itu tersenyum, menaruh kotak obat di lemari, lalu keluar. Perawat lain yang memeriksa Aldera mengatakan ingin membicarakan sesuatu.

Dani cuek menatap perban di tangan. Dia terbiasa mendapat luka. Luka kecil seperti ini tidak membuatnya meringis sama sekali. Awalnya Dani menolak diobati, bilang dia baik-baik saja, tetapi perawat dan guru mana percaya melihat tangan Dani yang terkepal terus meneteskan darah. 

Akhirnya Dani dengan segala keengganan, duduk tenang di brankar UKS. 

“Tunggu!” 

Lengan Dani ditahan. Dani menoleh. 

“Makasih udah nolongin Dera. Maaf juga buat luka di tangan kamu. Sebagai gantinya, mau susu stroberi, gak?” Aldera tersenyum lebar. Tangannya mengulurkan sekotak susu. 

Dani menggeleng. Dia tidak suka susu, berikut rasa stoberinya. Plus, Dani tidak suka anak ini. Dia bisa tersenyum selebar itu seolah tidak ada apa-apa. Terlalu dekat juga dengannya. 

Dani mundur satu langkah. “Siapa namamu?” Bertanya informasi yang sudah diketahuinya. Anak ini sangat pendek. Hanya sebatas dadanya. Mereka terlihat adik dan kakak saat bersama.

“Dera. Aldera Gunawan. Salam kenal.” Tersenyum lagi, mengulurkan tangan. 

Dani menerima jabatan tangannya, menyebut nama, lalu pergi. 

Di belakangnya Dera mengikuti. Meminum susu stoberi sambil mengamati Dani. Tipe menatap secara terang-terangan dengan mata melotot. Terusik, Dani berhenti mendadak membuat Dera menabrak punggungnya, mengaduh. 

“Jangan menatapku, atau matamu itu kucolok sampai habis!” kata Dani datar. 

Bukannya takut, Dera mengangguk semangat dengan gigi makin lebar. Mendahului Dani sambil beringkrak-jingkrak, melambai, “Da-dah Dani Ganteng! Dera suka rambut gondrong Dani!” 

Dani menutup telinga—tidak peduli. Kakinya tiba di ruang kepala sekolah. Mendorong pintu, masuk ke ruangan.

***

“Kita kedatangan murid baru, Anak-anak. Namanya Dani Pratama, pindahan dari luar kota. Tolong nanti Dani dibantu ya, kalau kesulitan. Nah, Dani silakan duduk di sebelah Aldera.”

Bisik-bisik tentang kejadian tadi terdengar ketika Dani melewati celah kosong di antara bangku-bangku. Mereka melirik ingin tahu pada tangan Dani yang terluka. 

Rumor kalau anak baru menyelamatkan Aldera menyebar dengan cepat. Menjadi headline di hari pertamanya. 

Dani terbiasa jadi gunjingan sepanjang dia bisa mengingat. Di rumah lama, di jalanan, di komunitas, lalu di sini. Telinga Dani itu terbuat dari batu. Tidak ada celah sama sekali untuk dilubangi selama menghindari tetesan air. Beberapa orang menjulukinya manusia batu. Karena selain telinganya tuli, wajahnya itu kaku sekali. 

Sulit menemukan ekspresi selain, mau kubunuh?

Menarik kursi, Dani duduk tenang. Mengabaikan binar antusias di sampingnya yang menyala-nyala. Serupa bohlam lampu di gelap gulita, menerangi segala tempat. Sayangnya Dani benci cahaya. 

Dani tidak suka menyaksikan di balik terang. Semuanya tampak, semuanya terlihat. Karena di bawah terang, di teriknya mentari yag bersinar, kakaknya mati. 

“Hai, kita ketemu lagi. Hihi.” 

Guru Biologi di depan asyik menggores tinta. Berceloteh tentang vertebrata dan avertebrata, mengingat kembali pelajaran lalu. Dani masuk di pertengahan semester. Ibu itu mengulang pelajaran karena ada Dani di sini. 

Dani mengeluarkan buku, mencatat beberapa. Ini bagian dari misi, ‘kan? Berbaur.

“Dani belum makan apa yang Dera kasih. Dani mau apa? Dera punya ini, ini, sama ini.” Dera mengeluarkan permen, susu, dan makanan ringan yang semuanya rasa stoberi. 

Posisinya menguntungkan karena ada di belakang cowok berbadan besar, tidak terlihat guru.

Bicaranya ini … kenapa sangat mengganggu Dani?

Dera nyengir saat dilirik sinis oleh Dani. Memasukkan semuanya ke dalam tas. Mengalihkan pandangan ke depan, berusaha fokus. Belum semenit berlalu, Dera akan menoleh lagi, tetapi Dani lebih dulu menahan wajahnya. 

Mendorongnya sejauh mungkin. 

Dera tertawa kecil. Menikmati reaksi Dani yang di luar dugaan. Mereka akan jadi teman sebangku yang hebat, bukan?  

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status