Aku senang dengan perkembangan Mas Bambang. Dokter bilang banyak perubahan, Mas Bambang terlihat segar dan sudah bisa berkomunikasi dengan baik. Tidak seperti saat belum ada aku.
Dokter Ramzi bertanya apa yang aku lakukan untuk membuat Mas Bambang menjadi lebih bugar. Aku tidak melakukan apa pun. Karena, Mas Bambang memiliki semangat hidup yang tinggi."Pak Bambang, perkembangannya baik sekali. Makanannya di kontrol, ya. Raisa sangat hebat membantu kesembuhan Anda," puji Dokter Ramzi. Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan dokter. Sebelumnya, Dokter Ramzi bilang, Mas Bambang tertekan dengan semua keadaan. Tidak ada support dari keluarga. Ia menjadi murung dan membuatnya tidak sehat."Kamu bisa saja Ramzi. Istriku ini yang membuat aku lebih muda dari kamu," ucap Mas Bambang."Wah, hebat. Saya selalu doakan, kalian selalu bahagia. Raisa, jangan lupa obat-obatan Pak Bambang harus selalu dikonsumsi dengan baik. Oh, iya, mana anak kamu Arman?""Oh, Arman di pesantren. Dari dulu memang anak itu ingin belajar di pesantren, Dok.""Hebat, anak Sholeh. Semoga ilmunya bermanfaat. Saya kangen dengan celotehnya."Arman memang anak pintar. Saat aku ajak menemani Mas Bambang kontrol, semua ia tanyakan pada Dokter Ramzi. Sampai pria berjas putih itu menggelengkan kepala."Kalau ada apa-apa, cepat telepon saya.""Baik, Dok."Setelah pamit, aku mendorong Mas Bambang untuk kembali ke mobil. Sebelum itu aku menelpon supir pribadi dulu. Beberapa lama menunggu, Pak Ardi sudah datang menghampiri. "Pak, saya ke farmasi dulu. Bapak bawa Mas Bambang ke mobil. Saya tidak lama, kok." Aku memerintahkan pada Pak Ardi."Iya, Nyonya."Aku percaya pada Pak Ardi. Ia supir kepercayaan Mas Bambang. Sudah berpuluh-puluh mengabdi. Gegas aku melangkah ke farmasi untuk menebus obat Mas Bambang. Tidak sengaja aku melihat Rianti keluar dari ruang Dokter Kandungan.Gundik itu sangat menyebalkan. Apa dia hamil? Tidak peduli, aku kembali melangkah menuju farmasi. Saat menunggu obat selesai, aku duduk sambil memainkan ponsel. Jujur saja hati ini miris, semua orang memandangku sebagai wanita serakah. Sengaja menikah dengan Mas Bambang karena mengincar harta. Mungkin benar, aku wanita muda yang bisa menikah dengan pria yang tidak jauh jaraknya dariku. Akan tetapi, aku malah menerima pinangan Mas Bambang. Ia ingin membuat aku menjadi wanita hebat. Pria tua itu ingin menjadikan Arman anak lelaki hebat. Aku sampah yang ia pungut dan ditinggikan derajatnya. Lagi, bulir ini menetes mengingat masa kelam. "Raisa?"Aku mendongak saat sosok Rianti kini berada di hadapanku. Sedang apa dia?"Untuk apa kamu menyapaku?" tanyaku sinis."Wah, saudara sepupuku. Sudah lama yang tidak bertemu dengan kamu. Terakhir, aku melihat kamu memungut botol bekas di pinggir jalan. Waw, sekarang, kenapa bisa berubah?"Penuturannya seperti mengejek. Memang benar, terakhir bertemu dengannya, aku bersama Arman sedang mencari botol dan kardus. Arman berteriak memangil Rianti, tetapi ia malah cuek. "Kenapa? Heran?""Ya, aku nggak percaya aja. Pemulung, bisa memakai baju bagus. Apa kamu menghalalkan segala cara untuk seperti ini?""Jangan bicara kamu. Aku bukan pelakor seperti kamu. Caraku lebih mulia dari pada merebut hak orang lain. Kamu lupa, dulu kamu gembel, tapi kamu malah merebut suami aku. Dasar pelakor nggak tahu diri." Tak tahan diri ini untuk tidak berbicara. Tidak peduli orang di sekeliling ruang ini terus memperhatikan kami."Aku buka pelakor. Kamu saja yang tidak bisa menjaga suami, sampai ia bisa berpaling ke wanita lain." Rianti bertutur memuakkan."Iya, memang suamiku tidak setia. Ia memilih sampah dari pada aku, yang seperti berlian."Hampir saja tangannya menampar pipiku. "Jangan kotori pipiku dengan tangan busuk kamu!"Aku melepas tanganku. Ingin kuludahi wajahnya. Akan tetapi, suster sudah memanggil nomer untuk mengambil obat."Kamu akan menyesal Rianti. Kubuat kamu membayar semuanya!""Kamu siapa, berani mengancamku? Ingat, kamu gembel, Sa. Kebetulan saja hari ini bertemu aku.""Aku bukan Raisa yang dulu. Tanyakan saja siapa aku pada suamimu sekarang."Kusunggingkan senyum sinis. Kupastikan kamu dan Mas Wiji akan menyesal. Aku kembali melangkah anggun meninggalkan Rianti.***Sesampainya di mobil, aku mencoba menenangkan diri. Mas Bambang memperhatikan aku yang tak bisa menetralkan degub jantung ini."Ada apa? Kamu seperti emosi?""Aku bertemu sepupu yang merebut mantan suamiku. Setiap melihat dia, aku ingin membunuhnya." "Andai membunuh itu tidak berdosa dan bebas hukum, saya setuju kamu melakukannya. Kamu harus tenang, jangan buat Arman dan saya kehilangan kamu."Kata-kata Mas Bambang membuat aku terharu. Benar katanya, jangan gegabah dalam bertindak. Main cantiklah dalam melakukan sesuatu.Mas Bambang seperti malaikat. Pria tua itu sangat bijaksana. Tidak seharusnya aku hanya menangisi masa lalu. "Pak Ardi jalan," perintah Mas Bambang.Dalam perjalanan, aku hanya memandang jalan dari dalam mobil. Semua sudah kucari tahu, ternyata Rianti masih bekerja di kantor sama. Namun, aku belum bisa bertindak jika belum ada bukti falid."Bagaimana kamu menghadapi Harlan?""Sudah saya bereskan. Dia sudah saya berikan jabatan yang layak. Awalnya ia berteriak, tetapi kembali terdiam saat saya berikan jabatan yang lumayan cukup.""Bagus. Lalu apa lagi?""Saya mau izin mengaudit semua pekerjaan karyawan atas nama Wiji. Dia manager keuangan paling tinggi di kantor. Apa boleh?""Lakukan sesuka hati kamu. Asal kamu tidak membuat kesalahan dalam ambisi dendam mu."Aku senang, Mas Bambang mendukung. Tanpa ia, mana bisa aku melakukan hal itu. Dunia berputar, ada saatnya kita di atas dan ada saatnya kita di bawah.Aku datang, untuk kalian. Kami diam sejenak, menikmati alunan musik saat Mas Bambang masih muda. "Kamu jangan pernah dengarkan apa kata mereka.""Iya, Mas, aku akan kuat.""Ingat, jangan sampai kembali jatuh pada lubang yang sama. Dan, ingatlah, jangan pernah kamu membawa Arman dalam kesedihan."Nasihat Mas Bambang membuat aku kuat. Ya Allah, terima kasih telah mengirimkan malaikat seperti Mas Bambang.Sesampainya di rumah, mobil Raya anak Mas Bambang sudah terparkir di halaman besar itu.Saat aku baru saja membantu Mas Bambang untuk turun, tapi Raya sudah menyambutku dengan sebuah hinaan."Wanita tidak tahu diutung, kenapa kamu masih di sini? Pergi sana!""Raya!" teriak Mas Bambang. "Yang sopan jika berbicara dengan istri Papa. Dia Ibu tiri kamu.""Halah, aku tidak pernah setuju dengan pernikahan Papa. Jika Papa meninggal, dia pun akan pergi dengan pria lain yang lebih muda dan menghabiskan harta Papa!""Diam!"Raya menatapku tajam saat tangan ini sudah membuat pipinya memerah. Aku tidak mau dihina, aku tidak serendah itu. Dasar anak kurang sopan.***BersambungSuasana masih memanas kala Raya masih menatapku tajam sambil memegangi pipinya. Aku tidak tahan saat mereka menyebutku hanya mengeruk harta kekayaan Mas Bambang.Anak seperti Raya wajar mendapat pengajaran dariku. Ucapannya sangat tidak pantas di dengar.Aku menikah dengan Mas Bambang dengan ikhlas. Walaupun cinta itu belum ada, tetapi aku bersungguh-sungguh merawat Mas Bambang. Aku berharap, cinta itu akan tumbuh di hati ini.Raya cukup berani datang ke rumah ini untuk melabrakku. Aku mengusap wajah dengan kasar. Maafkan aku, Mas, telah berbuat kasar pada anakmu. Akan tetapi, ia harus mendapatkan pengajaran agar tidak kurang ajar."Lebih baik kamu pulang, papa mau istirahat," ujar Mas Bambang."Pa, Raya nggak banyak meminta, tapi buka mata Papa. Wanita itu tidak pantas untuk menjadi istri Papa. Usianya hampir seumuran dengan anak Papa." Raya bersikeras membuat Mas Bambang menceraikan aku."Lalu, siapa yang pantas u
Sengaja aku datang pagi untuk memeriksa data tentang anggaran yang dananya begitu besar itu. Kutelusuri semua berkas yang berhubungan dengan anggaran besar yang begitu saja ada di laporan keuangan.Kuteliti lagi, tapi aku membutuhkan beberapastaff auditor.Kutelepon Arfian untuk datang ke ruangan. Tidak lama pria muda itu datang."Jangan panggil saya Nyonya. Ibu saja," pintaku karena dia kemarin memanggilku Nyonya.""Iya, Bu.""Tolong telepon auditor yang biasa mengurusi laporan keuangan. Tolong datang hari ini, bisa?" tanyaku memastikan."Sebentar saya telepon."Aku menunggu beberapa saat Arfian menelepon. Aku menggeleng saja, kenapa Mas Wiji seberani itu dalam bertindak. Berengsek sekali dia membuat aku menahan uang belanja dengan irit. Sementara, uang gaji sebesar itu dia gunakan sendiri."Bu, mereka akan datang siang ini. Adabyang bisa saya bantu lagi?" tanyanya."Ti
Di rumah sakit, Mas Bambang sangat semangat untuk bisa berjalan. Terapi pertamanya, membuat dia sedikit kelelahan. Akan tetapi, tidak mengendurkan semangatnya.Dibantu dokter dan suster, hari ini cukup baik. Setelah itu, kami kembali pulang ke rumah. Aku sengaja tidak ingin pergi ke mana-mana. Beristirahat karena memang sedang lelah melakukan banyak aktivitas.Otakku pun lelah menghadapi beberapa orang hari ini. Ah, tapi aku butuh refleksi. Sepertinya aku tahu kemana harus pergi merilekskan pikiran."Mas, kalau Mas pulang dengan Pak Ardi, nggak apa-apa?" tanyaku."Nggak masalah, memang kamu mau ke mana?""Ke salon sebentar, kepala agak sedikit pusing, enak kalau di pijat. Nanti, turunkan saja aku di salon, kalau mau pulang, aku minta Pak Ardi menjemputku, Mas.""Iya, sudah terserah kamu saja. Mas cuma bisa bilang hati-hati." Mas Bambang berpesan padaku.Pasti aku selalu hati-hati karena musuh akan semakin b
Tidurku malam ini tidak tenang memikirkan masalah kemarin. Siapa yang berbuat nekat seperti ini? Dia pikir aku akan menyerah begitu saja.Dengan mengumpulkan keberanian, aku tetap pergi ke kantor. Entah, ini adalah panggilan hati. Aku harus bisa melihat siapa musuhku. Seperti sudah dijanjikan temanku, seorang pengawal datang. Dia wanita cantik, bertubuh langsing.Namanya Irma. Dia sudah terlatih sebagai pengawal wanita. Kini, dia sudah bertugas sebagai sekretarisku. Sengaja aku minta ia menyamar agar tidak terlalu mencolok."Kamu siap, Irma?" tanyaku."Siap, Bu.""Kamu mengerti bukan, bagaimana menjadi sekretaris? Hmm ... dengan tampilan seperti ini, kamu tidak akan dikenali sebagai pengawalku," ucapku sambil melihat penampilan Irma sekarang."Bu Raisa, idenya keren. Selama saya menjadi pengawal, mereka hanya menganggap saya, ya pengawal. Jadi, saya tetap berpakaian seperti biasa seragam saja."
Aku tercekat saat menatap layarponsel.Jantung ini berdetak tak karuan, aku takut? Ya, siapa yang tidak takut saat mendapat pesan ini.Segera kutelepon Irma untuk datang ke ruanganku. Tidak lama wanita itu sudah menghadap. Kuberikanponselitu untuk dibaca oleh Irma."Irma, kamu tahu maksud ini?" tanyaku."Ini sebuah ancaman. Kita bisa melacak nomernya," jelas Irma.Irma terus memperhatikan sekeliling. Ia terus melangkah ke tiap sudut ruangan, sampai ia mendapatkan sesuatu yang membuat aku tercekat.Sebuah CCTV, siapa yang berani memasangnya? Irma mencabut kasar, ternyata wanita itu sangat jeli memperhatikan."Ir, kamu hebat. Bagaimanapun kamu tahu ada yang memasang ini?" tanyaku pelan."Aku sudah lama menjadi pengawal. Aku banyak tahu trik abal-abal seperti ini. Jangan takut, Bu Raisa. Ada saya yang akan menjaga Ibu."Aku tidak
Aku seperti melihat adegan filmaction. Irma ke luar dengan berani dari mobil menghampiri pria tak dikenal itu. Sungguh berani nyalinya, bahkan aku takut Irma terluka.Irma wanita tangguh yang pembera7. Ia sudah terbiasa mungkin denga hal itu.Astaga, pria itu hampir saja membuat Irma terjatuh, tetapi gadis itu lebih cepat menendang perut si penjahat. Ah, Irma, kenapa aku yang deg-degan di sini.Irma mengambil balok, lalu memukul tubuh pria itu. Tidak lama ia berhasil menundukkannya. Kaki Irma kini mantap berada di atas perut penjahat itu.Kubuka kaca mobil dan meneriaki Irma untuk cepat masuk ke mobil. Kulihat dia menarik penutup wajah pria itu, tetapi sepertinya aku tidak mengenalnya.Kulihat Irma menarik kerahnya, lalu beberapa kali menampar wajah pria itu. Keren, seperti melihat adegan dalam sebuah film.Sepertinya Irma akan melakukan sesuatu. Dia mengambil tali di sampingnya. Lalu, mengikat
Aku harus mencari tahu siapa dibalik semua ini. Rekaman itu harus kutemukan, jika tidak ingin berlarut dalam sebuah masalah. Aku menarik napas panjang, lalu mengambil tas danponsel.Segera kutelepon Irma untuk menungguku di kantor. Sepertinya aku harus menemui Mas Wiji, semoga saja bisa membuka kedok siapa yang ada di balik semua ini.Jika benar Mas Wiji yang melakukan itu padaku, kupastikan dia akan membusuk di penjara.Aku meminta Pak Ardi mengantarku ke kantor. Kebetulan, dia ada di rumah dan mobil sudah dibawa dari bengkel kemarin sore."Nyonya, yakin pergi sendiri?" tanya Pak Ardi cemas."Yakin, Pak. Kalau nggak, saya takut masalah akan berlarut."Setelah mendengar penjelasanku. Pak Ardi mengantarku ke kantor, ada rasa takut juga terjadi hal semacam kemarin. Begitu juga Pak Ardi yang sangat cemas."Pak, sebelumnya apa pernah kejadian ini menimpa Mas Bambang?" tanyaku.
Mas Bambang masih saja diam sampai hari ini. Mumet sekali kepalaku. Kenapa harus berhubungan dengan Mas Wiji? Menyebalkan sekali akibat pria itu aku terkena masalah. Lagi pula, pintar sekali mencari celah untuk membuat aku terlihat memiliki hubungan dengan Mas Wiji."Masuk," ucapku saat mendengar orang mengetuk pintu.Pria yang aku pikirkan kini berada di hadapanku. Mau apalagi dia di sini? Kupasang wajah tidak suka padanya. Namun, ia sepertinya tidak peduli. Datang ke ruanganku, pasti ingin membuat kegaduhan."Sa,to the point'aja. Aku datang ke sini untuk meminta kembali jabatanku. Kamu pikir dengan gaji karyawan biasa aku bisa membayar semua pengeluaran aku?""Mana aku tahu tentang itu. Aku hanya melakukan dengan keinginanmu, kan Mas? Kemarin kamu memilih untuk turun jabatan.""Ck! Karena kamu memberikan aku pilihan sulit. Nggak mungkin aku memilih hidup di penjara.""Lebih bagus, kan. Ngg