Share

Melawan Musuh

Aku senang dengan perkembangan Mas Bambang. Dokter bilang banyak perubahan, Mas Bambang terlihat segar dan sudah bisa berkomunikasi dengan baik. Tidak seperti saat belum ada aku.

Dokter Ramzi bertanya apa yang aku lakukan untuk membuat Mas Bambang menjadi lebih bugar. Aku tidak melakukan apa pun. Karena, Mas Bambang memiliki semangat hidup yang tinggi.

"Pak Bambang, perkembangannya baik sekali. Makanannya di kontrol, ya. Raisa sangat hebat membantu kesembuhan Anda," puji Dokter Ramzi. 

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan dokter. Sebelumnya, Dokter Ramzi bilang, Mas Bambang tertekan dengan semua keadaan. Tidak ada support dari keluarga. Ia menjadi murung dan membuatnya tidak sehat.

"Kamu bisa saja Ramzi. Istriku ini yang membuat aku lebih muda dari kamu," ucap Mas Bambang.

"Wah, hebat. Saya selalu doakan, kalian selalu bahagia. Raisa, jangan lupa obat-obatan Pak Bambang harus selalu dikonsumsi dengan baik. Oh, iya, mana anak kamu Arman?"

"Oh, Arman di pesantren. Dari dulu memang anak itu ingin belajar di pesantren, Dok."

"Hebat, anak Sholeh. Semoga ilmunya bermanfaat. Saya kangen dengan celotehnya."

Arman memang anak pintar. Saat aku ajak menemani Mas Bambang kontrol, semua ia tanyakan pada Dokter Ramzi. Sampai pria berjas putih itu menggelengkan kepala.

"Kalau ada apa-apa, cepat telepon saya."

"Baik, Dok."

Setelah pamit, aku mendorong Mas Bambang untuk kembali ke mobil. Sebelum itu aku menelpon supir pribadi dulu. 

Beberapa lama menunggu, Pak Ardi sudah datang menghampiri. 

"Pak, saya ke farmasi dulu. Bapak bawa Mas Bambang ke mobil. Saya tidak lama, kok." Aku memerintahkan pada Pak Ardi.

"Iya, Nyonya."

Aku percaya pada Pak Ardi. Ia supir kepercayaan Mas Bambang. Sudah berpuluh-puluh mengabdi. 

Gegas aku melangkah ke farmasi untuk menebus obat Mas Bambang. Tidak sengaja aku melihat Rianti keluar dari ruang Dokter Kandungan.

Gundik itu sangat menyebalkan. Apa dia hamil? Tidak peduli, aku kembali melangkah menuju farmasi. 

Saat menunggu obat selesai, aku duduk sambil memainkan ponsel. Jujur saja hati ini miris, semua orang memandangku sebagai wanita serakah. Sengaja menikah dengan Mas Bambang karena mengincar harta. 

Mungkin benar, aku wanita muda yang bisa menikah dengan pria yang tidak jauh jaraknya dariku. Akan tetapi, aku malah menerima pinangan Mas Bambang. 

Ia ingin membuat aku menjadi wanita hebat. Pria tua itu ingin menjadikan Arman anak lelaki hebat. 

Aku sampah yang ia pungut dan ditinggikan derajatnya. Lagi, bulir ini menetes mengingat masa kelam. 

"Raisa?"

Aku mendongak saat sosok Rianti kini berada di hadapanku. Sedang apa dia?

"Untuk apa kamu menyapaku?" tanyaku sinis.

"Wah, saudara sepupuku. Sudah lama yang tidak bertemu dengan kamu. Terakhir, aku melihat kamu memungut botol bekas di pinggir jalan. Waw, sekarang, kenapa bisa berubah?"

Penuturannya seperti mengejek. Memang benar, terakhir bertemu dengannya, aku bersama Arman sedang mencari botol dan kardus. Arman berteriak memangil Rianti, tetapi ia malah cuek. 

"Kenapa? Heran?"

"Ya, aku nggak percaya aja. Pemulung, bisa memakai baju bagus. Apa kamu menghalalkan segala cara untuk seperti ini?"

"Jangan bicara kamu. Aku bukan pelakor seperti kamu. Caraku lebih mulia dari pada merebut hak orang lain. Kamu lupa, dulu kamu gembel, tapi kamu malah merebut suami aku. Dasar pelakor nggak tahu diri." Tak tahan diri ini untuk tidak berbicara. Tidak peduli orang di sekeliling ruang ini terus memperhatikan kami.

"Aku buka pelakor. Kamu saja yang tidak bisa menjaga suami, sampai ia bisa berpaling ke wanita lain." Rianti bertutur memuakkan.

"Iya, memang suamiku tidak setia. Ia memilih sampah dari pada aku, yang seperti berlian."

Hampir saja tangannya menampar pipiku. "Jangan kotori pipiku dengan tangan busuk kamu!"

Aku melepas tanganku. Ingin kuludahi wajahnya. Akan tetapi, suster sudah memanggil nomer untuk mengambil obat.

"Kamu akan menyesal Rianti. Kubuat kamu membayar semuanya!"

"Kamu siapa, berani mengancamku? Ingat, kamu gembel, Sa. Kebetulan saja hari ini bertemu aku."

"Aku bukan Raisa yang dulu. Tanyakan saja siapa aku pada suamimu sekarang."

Kusunggingkan senyum sinis. Kupastikan kamu dan Mas Wiji akan menyesal. Aku kembali melangkah anggun meninggalkan Rianti.

***

Sesampainya di mobil, aku mencoba menenangkan diri. Mas Bambang memperhatikan aku yang tak bisa menetralkan degub jantung ini.

"Ada apa? Kamu seperti emosi?"

"Aku bertemu sepupu yang merebut mantan suamiku. Setiap melihat dia, aku ingin membunuhnya." 

"Andai membunuh itu tidak berdosa dan bebas hukum, saya setuju kamu melakukannya. Kamu harus tenang, jangan buat Arman dan saya kehilangan kamu."

Kata-kata Mas Bambang membuat aku terharu. Benar katanya, jangan gegabah dalam bertindak. Main cantiklah dalam melakukan sesuatu.

Mas Bambang seperti malaikat. Pria tua itu sangat bijaksana. Tidak seharusnya aku hanya menangisi masa lalu. 

"Pak Ardi jalan," perintah Mas Bambang.

Dalam perjalanan, aku hanya memandang jalan dari dalam mobil. Semua sudah kucari tahu, ternyata Rianti masih bekerja di kantor sama. Namun, aku belum bisa bertindak jika belum ada bukti falid.

"Bagaimana kamu menghadapi Harlan?"

"Sudah saya bereskan. Dia sudah saya berikan jabatan yang layak. Awalnya ia berteriak, tetapi kembali terdiam saat saya berikan jabatan yang lumayan cukup."

"Bagus. Lalu apa lagi?"

"Saya mau izin mengaudit semua pekerjaan karyawan atas nama Wiji. Dia manager keuangan paling tinggi di kantor. Apa boleh?"

"Lakukan sesuka hati kamu. Asal kamu tidak membuat kesalahan dalam ambisi dendam mu."

Aku senang, Mas Bambang mendukung. Tanpa ia, mana bisa aku melakukan hal itu. Dunia berputar, ada saatnya kita di atas dan ada saatnya kita di bawah.

Aku datang, untuk kalian. Kami diam sejenak, menikmati alunan musik saat Mas Bambang masih muda. 

"Kamu jangan pernah dengarkan apa kata mereka."

"Iya, Mas, aku akan kuat."

"Ingat, jangan sampai kembali jatuh pada lubang yang sama. Dan, ingatlah, jangan pernah kamu membawa Arman dalam kesedihan."

Nasihat Mas Bambang membuat aku kuat. Ya Allah, terima kasih telah mengirimkan malaikat seperti Mas Bambang.

Sesampainya di rumah, mobil Raya anak Mas Bambang sudah terparkir di halaman besar itu.

Saat aku baru saja membantu Mas Bambang untuk turun, tapi Raya sudah menyambutku dengan sebuah hinaan.

"Wanita tidak tahu diutung, kenapa kamu masih di sini? Pergi sana!"

"Raya!" teriak Mas Bambang. "Yang sopan jika berbicara dengan istri Papa. Dia Ibu tiri kamu."

"Halah, aku tidak pernah setuju dengan pernikahan Papa. Jika Papa meninggal, dia pun akan pergi dengan pria lain yang lebih muda dan menghabiskan harta Papa!"

"Diam!"

Raya menatapku tajam saat tangan ini sudah membuat pipinya memerah. Aku tidak mau dihina, aku tidak serendah itu. Dasar anak kurang sopan.

***Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status