Suasana masih memanas kala Raya masih menatapku tajam sambil memegangi pipinya. Aku tidak tahan saat mereka menyebutku hanya mengeruk harta kekayaan Mas Bambang.
Anak seperti Raya wajar mendapat pengajaran dariku. Ucapannya sangat tidak pantas di dengar.
Aku menikah dengan Mas Bambang dengan ikhlas. Walaupun cinta itu belum ada, tetapi aku bersungguh-sungguh merawat Mas Bambang. Aku berharap, cinta itu akan tumbuh di hati ini.Raya cukup berani datang ke rumah ini untuk melabrakku. Aku mengusap wajah dengan kasar. Maafkan aku, Mas, telah berbuat kasar pada anakmu. Akan tetapi, ia harus mendapatkan pengajaran agar tidak kurang ajar."Lebih baik kamu pulang, papa mau istirahat," ujar Mas Bambang."Pa, Raya nggak banyak meminta, tapi buka mata Papa. Wanita itu tidak pantas untuk menjadi istri Papa. Usianya hampir seumuran dengan anak Papa." Raya bersikeras membuat Mas Bambang menceraikan aku."Lalu, siapa yang pantas untuk papa? Papa sudah menentukan, kemana saat papa membutuhkan kalian? Mana waktu yang kalian punya dulu? Pergi, saja. Jangan buat papa semakin tersiksa saat mengingat hal itu." Mas Bambang mulai memucat, aku menenangkan pria tua baik hati itu. Hati ini ikut pedih mendengar penuturan Mas Bambang. Saat pertama bertemu dengannya, ia begitu lusuh. Menunggu hari demi hari keluarganya datang. Namun, mereka hanya memberikan pengasuh saja.Tubuhnya tidak gemuk, bahkan sangat menyedihkan.
Sampai aku datang, ia mulai berteman dengan Arman. Mas Bambang bilang, rindu cucunya. Namun, tak satu pun bersedia datang. Alasan sibuk dan entah apa lagi yang mereka jadikan alasan."Sa, bawa aku masuk. Biarkan saja dia kalau tidak mau pulang!" titah Mas Bambang."Iya, Mas." Aku menuntunnya meninggalkan ruang tamu."Pa, sampai kapan pun, aku tidak sudi jika harta Papa sampai jatuh ke tangan Raisa!" teriak Raya."Tenang saja, jika papa mati, sudah papa siapkan bagian kalian. Untuk Raisa, dia cukup tahu diri." Lagi, Mas Bambang membelaku.Mas Bambang menyentuh tanganku agar aku mendorong kursi rodanya masuk. Mas Bambang merubah wasiatnya karena ia bertemu dengan sahabat lamanya yang mengerti agama. Ia bertanya tentang hartanya jika ia tidak ada nanti. Kelima anaknya masih berhak atas hartanya. Ia sempat bertanya padaku, apa aku tidak keberatan jika ia merubah isi dari surat wasiatnya?Tidak masalah, aku cukup tahu diri seperti yang ia bilang tadi. Aku hanya meminta kecukupan hidupku dan Arman saja, jika memang Mas Bambang tiada.Lalu, ia berterima kasih. Aku tidak mau membebankannya. Berada di rumah besar ini saja sudah membuat aku senang. Anakku Arman, sudah mendapatkan keinginannya untuk menimba ilmu di pesantren yang sangat terkenal."Sa, besok sepulang dari kantor, temani saya terapi berjalan. Saya ingin bisa berjalan lagi.""Baik, Mas. Saya bantu berganti pakaian dulu."Tugasku masih sama seperti saat menjadi perawatnya. Walaupun kini aku berstatus sebagai istrinya, Mas Bambang tetap aku anggap sebagai Tuan yang baik hati.***Jam sudah menunjukkan pukul 00.45. Semangatku masih menggebu saat mempelajari data perusahaan Mas Bambang. Terutama tentang kinerja Mas Wiji, mantan suamiku. Aku tidak menyangka, gaji sebesar itu, Mas Wiji hanya memberikan tiga puluh persen saja gajinya padaku untuk uang makan. Benar-benar memuakkan. Kembali aku menemukan keganjalan, rincian alokasi dana yang begitu besar ke sebuah anggaran yang tidak masuk akal. Sepertinya Mas Wiji bermain curang. Besok kucarikan lagi data tambahan yang belum bisa aku dapatkan sekarang. Kali ini, aku akan simpan kartu ini untuk membuatnya tidak berkutik.Kurebahkan diri di kursi. Salahku apa hingga Mas Wiji tega berselingkuh dengan Rianti. Semua sudah kuperbuat untuknya. Waktuku, aku habiskan untuk mengurus Arman anaknya. Sampai malam, aku masih harus melayaninya. Kurangku apa, Mas? Kembali aku teringat saat diri ini mulai curiga dengan perselingkuhan mereka."Mas, kamu dari mana malam-malam?" tanyaku saat Mas Wiji baru saja masuk ke kamar. "Kamar mandi, mulas perutku."Mas Wiji langsung membaringkan tubuhnya. Kulihat di lehernya seperti ada tanda kemerahan, perlahan aku mendekat, jantung ini hampir saja copot. Aku mencoba menghilangkan perasaan yang terus mengganjal. Tidak mungkin itu tanda merah buatan seseorang. Akan tetapi, jika benar, tidak mungkin di rumah ini hanya ada aku dan Rianti.Sepulang kerja , belum ada tanda merah itu. Baru setelah ia masuk ke kamar ini.Aku mencoba tenang, tidak terbawa emosi untuk bertanya. Hanya saja, aku tidak bisa konsentrasi dengan pekerjaan rumah. Kecurigaanku semakin bertambah, saat melihat Rianti menunduk mengambil nasi, terlihat juga tanda merah di dadanya.Apa mereka ada main di belakangku? Aku harus mencari tahu semuanya. Sengaja aku bilang mau menginap di rumah teman. Saat itu Mas Wiji bilang dia juga akan pergi ke luar kota. Aku tidak begitu saja percaya, hingga aku memergoki mereka sedang bercinta di kamarku. Tanpa sehelai baju mereka memadu kasih, aku melihat suami dan sepupuku bermain api di belakangku.Aku terbangun dari lamunan masa lalu, saat alaram untuk tidurku berbunyi. Sengaja aku pasang pukul 01.00 agar aku tidak terlalu pagi untuk tidur.Besok pagi, kubuat Mas Wiji menyesal membuat aku menjadi gembel. Aku akan buat ia perlahan merasakan apa yang aku rasakan. Untuk Rianti, jangan harap, dia bisa ke salon lagi untuk perawatan.Tugasku tidak hanya membuat Mas Wiji miskin. Akan tetapi, aku harus kuat mempertahankan posisi ini di rumah Mas Bambang. Dari kelima anaknya yang gila harta.Mungkin mereka pikir, aku masih menjadi orang yang akan menerima harta kekayaan Mas Bambang. Harlan, begitu membenci aku. Pasti dia akan melakukan segala cara untuk membuat aku pergi dari sini. Semangatku tidak akan jatuh, aku harus kuat menghadapi mereka.Untuk Arman, anakku. Aku tidak mau mengajaknya lagi tidur di emperan jalan. Akupun tidak mau memberikannya nasi bercampur garam lagi. Dengan bertahan dengan sekuat tenaga di rumah ini, setidaknya aku akan berjuang demi hidup anakku. Bukan karena aku ingin kekayaannya Mas Bambang.Aku pun sudah berjanji akan merawatnya dengan baik. Tuhan, semoga suamiku berumur panjang.Setelah merapikan semua data, aku kembali ke kamarku. Sengaja Mas Bambang meminta aku tidur bersamanya agar mereka semua tidak curiga.Kupandangi wajah tua suamiku. Begitu lelahnya dia hari ini. Namun, aku senang dia sudah mau terapi berjalan. Semoga saja dia bisa melangkah bersamaku."Sa, belum tidur?" tanya Mas Bambang saat ia terbangun."Baru mau tidur, Mas.""Jangan terlalu capek. Nanti, tidak punya tenaga untuk melawan musuh."Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan Mas Bambang. Kemudian, aku ikut berbaring di sampingnya hingga aku terlelap.***BersambungSengaja aku datang pagi untuk memeriksa data tentang anggaran yang dananya begitu besar itu. Kutelusuri semua berkas yang berhubungan dengan anggaran besar yang begitu saja ada di laporan keuangan.Kuteliti lagi, tapi aku membutuhkan beberapastaff auditor.Kutelepon Arfian untuk datang ke ruangan. Tidak lama pria muda itu datang."Jangan panggil saya Nyonya. Ibu saja," pintaku karena dia kemarin memanggilku Nyonya.""Iya, Bu.""Tolong telepon auditor yang biasa mengurusi laporan keuangan. Tolong datang hari ini, bisa?" tanyaku memastikan."Sebentar saya telepon."Aku menunggu beberapa saat Arfian menelepon. Aku menggeleng saja, kenapa Mas Wiji seberani itu dalam bertindak. Berengsek sekali dia membuat aku menahan uang belanja dengan irit. Sementara, uang gaji sebesar itu dia gunakan sendiri."Bu, mereka akan datang siang ini. Adabyang bisa saya bantu lagi?" tanyanya."Ti
Di rumah sakit, Mas Bambang sangat semangat untuk bisa berjalan. Terapi pertamanya, membuat dia sedikit kelelahan. Akan tetapi, tidak mengendurkan semangatnya.Dibantu dokter dan suster, hari ini cukup baik. Setelah itu, kami kembali pulang ke rumah. Aku sengaja tidak ingin pergi ke mana-mana. Beristirahat karena memang sedang lelah melakukan banyak aktivitas.Otakku pun lelah menghadapi beberapa orang hari ini. Ah, tapi aku butuh refleksi. Sepertinya aku tahu kemana harus pergi merilekskan pikiran."Mas, kalau Mas pulang dengan Pak Ardi, nggak apa-apa?" tanyaku."Nggak masalah, memang kamu mau ke mana?""Ke salon sebentar, kepala agak sedikit pusing, enak kalau di pijat. Nanti, turunkan saja aku di salon, kalau mau pulang, aku minta Pak Ardi menjemputku, Mas.""Iya, sudah terserah kamu saja. Mas cuma bisa bilang hati-hati." Mas Bambang berpesan padaku.Pasti aku selalu hati-hati karena musuh akan semakin b
Tidurku malam ini tidak tenang memikirkan masalah kemarin. Siapa yang berbuat nekat seperti ini? Dia pikir aku akan menyerah begitu saja.Dengan mengumpulkan keberanian, aku tetap pergi ke kantor. Entah, ini adalah panggilan hati. Aku harus bisa melihat siapa musuhku. Seperti sudah dijanjikan temanku, seorang pengawal datang. Dia wanita cantik, bertubuh langsing.Namanya Irma. Dia sudah terlatih sebagai pengawal wanita. Kini, dia sudah bertugas sebagai sekretarisku. Sengaja aku minta ia menyamar agar tidak terlalu mencolok."Kamu siap, Irma?" tanyaku."Siap, Bu.""Kamu mengerti bukan, bagaimana menjadi sekretaris? Hmm ... dengan tampilan seperti ini, kamu tidak akan dikenali sebagai pengawalku," ucapku sambil melihat penampilan Irma sekarang."Bu Raisa, idenya keren. Selama saya menjadi pengawal, mereka hanya menganggap saya, ya pengawal. Jadi, saya tetap berpakaian seperti biasa seragam saja."
Aku tercekat saat menatap layarponsel.Jantung ini berdetak tak karuan, aku takut? Ya, siapa yang tidak takut saat mendapat pesan ini.Segera kutelepon Irma untuk datang ke ruanganku. Tidak lama wanita itu sudah menghadap. Kuberikanponselitu untuk dibaca oleh Irma."Irma, kamu tahu maksud ini?" tanyaku."Ini sebuah ancaman. Kita bisa melacak nomernya," jelas Irma.Irma terus memperhatikan sekeliling. Ia terus melangkah ke tiap sudut ruangan, sampai ia mendapatkan sesuatu yang membuat aku tercekat.Sebuah CCTV, siapa yang berani memasangnya? Irma mencabut kasar, ternyata wanita itu sangat jeli memperhatikan."Ir, kamu hebat. Bagaimanapun kamu tahu ada yang memasang ini?" tanyaku pelan."Aku sudah lama menjadi pengawal. Aku banyak tahu trik abal-abal seperti ini. Jangan takut, Bu Raisa. Ada saya yang akan menjaga Ibu."Aku tidak
Aku seperti melihat adegan filmaction. Irma ke luar dengan berani dari mobil menghampiri pria tak dikenal itu. Sungguh berani nyalinya, bahkan aku takut Irma terluka.Irma wanita tangguh yang pembera7. Ia sudah terbiasa mungkin denga hal itu.Astaga, pria itu hampir saja membuat Irma terjatuh, tetapi gadis itu lebih cepat menendang perut si penjahat. Ah, Irma, kenapa aku yang deg-degan di sini.Irma mengambil balok, lalu memukul tubuh pria itu. Tidak lama ia berhasil menundukkannya. Kaki Irma kini mantap berada di atas perut penjahat itu.Kubuka kaca mobil dan meneriaki Irma untuk cepat masuk ke mobil. Kulihat dia menarik penutup wajah pria itu, tetapi sepertinya aku tidak mengenalnya.Kulihat Irma menarik kerahnya, lalu beberapa kali menampar wajah pria itu. Keren, seperti melihat adegan dalam sebuah film.Sepertinya Irma akan melakukan sesuatu. Dia mengambil tali di sampingnya. Lalu, mengikat
Aku harus mencari tahu siapa dibalik semua ini. Rekaman itu harus kutemukan, jika tidak ingin berlarut dalam sebuah masalah. Aku menarik napas panjang, lalu mengambil tas danponsel.Segera kutelepon Irma untuk menungguku di kantor. Sepertinya aku harus menemui Mas Wiji, semoga saja bisa membuka kedok siapa yang ada di balik semua ini.Jika benar Mas Wiji yang melakukan itu padaku, kupastikan dia akan membusuk di penjara.Aku meminta Pak Ardi mengantarku ke kantor. Kebetulan, dia ada di rumah dan mobil sudah dibawa dari bengkel kemarin sore."Nyonya, yakin pergi sendiri?" tanya Pak Ardi cemas."Yakin, Pak. Kalau nggak, saya takut masalah akan berlarut."Setelah mendengar penjelasanku. Pak Ardi mengantarku ke kantor, ada rasa takut juga terjadi hal semacam kemarin. Begitu juga Pak Ardi yang sangat cemas."Pak, sebelumnya apa pernah kejadian ini menimpa Mas Bambang?" tanyaku.
Mas Bambang masih saja diam sampai hari ini. Mumet sekali kepalaku. Kenapa harus berhubungan dengan Mas Wiji? Menyebalkan sekali akibat pria itu aku terkena masalah. Lagi pula, pintar sekali mencari celah untuk membuat aku terlihat memiliki hubungan dengan Mas Wiji."Masuk," ucapku saat mendengar orang mengetuk pintu.Pria yang aku pikirkan kini berada di hadapanku. Mau apalagi dia di sini? Kupasang wajah tidak suka padanya. Namun, ia sepertinya tidak peduli. Datang ke ruanganku, pasti ingin membuat kegaduhan."Sa,to the point'aja. Aku datang ke sini untuk meminta kembali jabatanku. Kamu pikir dengan gaji karyawan biasa aku bisa membayar semua pengeluaran aku?""Mana aku tahu tentang itu. Aku hanya melakukan dengan keinginanmu, kan Mas? Kemarin kamu memilih untuk turun jabatan.""Ck! Karena kamu memberikan aku pilihan sulit. Nggak mungkin aku memilih hidup di penjara.""Lebih bagus, kan. Ngg
Sesuai janji, Arfian mengajakku ke tempat yang menurutnya bisa membuat pikiran jernih. Sebelum pergi, Irma sudah mewanti-wanti aku agar jangan mematikanponsel.Irma mengatakan sesuatu bisa saja terjadi, maka dari itu aku harus waspada dannjangan sampai terjadi hal yang membuat aku menyesal.Perasaan ini tak karuan saat Mas Bambang meneleponku. Tak kuhiraukan, karena percuma suamiku akan bertanya macam-macam. Mungkin, fotoku bersama Arfian sudah masuk ke ponselmiliknya.Benar dugaanku, sebuah pesan darinya begitu keras. Ia mengirimkan sebuah foto aku saat memasuki mobil Arfian. Aku menarik napas panjang, setelah itu kubaca pesan darinya.[Mas kecewa][Kamu tidak tulus]Aku menghela napas mencoba untuk meraup pasokan oksigen. Aku tahu ini menyakitkan bagimu, Mas. Namun,semua kulakukan untuk membuktikan jika aku tidak salah.Maaf, Mas. Ini demi nama baik aku yang terlanjur salah di matamu. Ak