Share

Mengungkap Fakta

Suasana masih memanas kala Raya masih menatapku tajam sambil memegangi pipinya. Aku tidak tahan saat mereka menyebutku hanya mengeruk harta kekayaan Mas Bambang. 

Anak seperti Raya wajar mendapat pengajaran dariku. Ucapannya sangat tidak pantas di dengar.

Aku menikah dengan Mas Bambang dengan ikhlas. Walaupun cinta itu belum ada, tetapi aku bersungguh-sungguh merawat Mas Bambang. Aku berharap, cinta itu akan tumbuh di hati ini.

Raya cukup berani datang ke rumah ini untuk melabrakku. Aku mengusap wajah dengan kasar. Maafkan aku, Mas, telah berbuat kasar pada anakmu. Akan tetapi, ia harus mendapatkan pengajaran agar tidak kurang ajar.

"Lebih baik kamu pulang, papa mau istirahat," ujar Mas Bambang.

"Pa, Raya nggak banyak meminta, tapi buka mata Papa. Wanita itu tidak pantas untuk menjadi istri Papa. Usianya hampir seumuran dengan anak Papa." Raya bersikeras membuat Mas Bambang menceraikan aku.

"Lalu, siapa yang pantas untuk papa? Papa sudah menentukan, kemana saat papa membutuhkan kalian? Mana waktu yang kalian punya dulu? Pergi, saja. Jangan buat papa semakin tersiksa saat mengingat hal itu." Mas Bambang mulai memucat, aku menenangkan pria tua baik hati itu. 

Hati ini ikut pedih mendengar penuturan Mas Bambang. Saat pertama bertemu dengannya, ia begitu lusuh. Menunggu hari demi hari keluarganya datang. Namun, mereka hanya memberikan pengasuh saja. 

Tubuhnya tidak gemuk, bahkan sangat menyedihkan.

Sampai aku datang, ia mulai berteman dengan Arman. Mas Bambang bilang, rindu cucunya. Namun, tak satu pun bersedia datang. Alasan sibuk dan entah apa lagi yang mereka jadikan alasan.

"Sa, bawa aku masuk. Biarkan saja dia kalau tidak mau pulang!" titah Mas Bambang.

"Iya, Mas." Aku menuntunnya meninggalkan ruang tamu.

"Pa, sampai kapan pun, aku tidak sudi jika harta Papa sampai jatuh ke tangan Raisa!" teriak Raya.

"Tenang saja, jika papa mati, sudah papa siapkan bagian kalian. Untuk Raisa, dia cukup tahu diri." Lagi, Mas Bambang membelaku.

Mas Bambang menyentuh tanganku agar aku mendorong kursi rodanya masuk. 

Mas Bambang merubah wasiatnya karena ia bertemu dengan sahabat lamanya yang mengerti agama. Ia bertanya tentang hartanya jika ia tidak ada nanti. 

Kelima anaknya masih berhak atas hartanya. Ia sempat bertanya padaku, apa aku tidak keberatan jika ia merubah isi dari surat wasiatnya?

Tidak masalah, aku cukup tahu diri seperti yang ia bilang tadi. Aku hanya meminta kecukupan hidupku dan Arman saja, jika memang Mas Bambang tiada.

Lalu, ia berterima kasih. Aku tidak mau membebankannya. Berada di rumah besar ini saja sudah membuat aku senang. Anakku Arman, sudah mendapatkan keinginannya untuk menimba ilmu di pesantren yang sangat terkenal.

"Sa, besok sepulang dari kantor, temani saya terapi berjalan. Saya ingin bisa berjalan lagi."

"Baik, Mas. Saya bantu berganti pakaian dulu."

Tugasku masih sama seperti saat menjadi perawatnya. Walaupun kini aku berstatus sebagai istrinya, Mas Bambang tetap aku anggap sebagai Tuan yang baik hati.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 00.45. Semangatku masih menggebu saat mempelajari data perusahaan Mas Bambang. Terutama tentang kinerja Mas Wiji, mantan suamiku. 

Aku tidak menyangka, gaji sebesar itu, Mas Wiji hanya memberikan tiga puluh persen saja gajinya padaku untuk uang makan. Benar-benar memuakkan. 

Kembali aku menemukan keganjalan, rincian alokasi dana yang begitu besar ke sebuah anggaran yang tidak masuk akal. Sepertinya Mas Wiji bermain curang. 

Besok kucarikan lagi data tambahan yang belum bisa aku dapatkan sekarang. Kali ini, aku akan simpan kartu ini untuk membuatnya tidak berkutik.

Kurebahkan diri di kursi. Salahku apa hingga Mas Wiji tega berselingkuh dengan Rianti. Semua sudah kuperbuat untuknya. Waktuku, aku habiskan untuk mengurus Arman anaknya. Sampai malam, aku masih harus melayaninya. 

Kurangku apa, Mas? Kembali aku teringat saat diri ini mulai curiga dengan perselingkuhan mereka.

"Mas, kamu dari mana malam-malam?" tanyaku saat Mas Wiji baru saja masuk ke kamar. 

"Kamar mandi, mulas perutku."

Mas Wiji langsung membaringkan tubuhnya. Kulihat di lehernya seperti ada tanda kemerahan, perlahan aku mendekat, jantung ini hampir saja copot. 

Aku mencoba menghilangkan perasaan yang terus mengganjal. Tidak mungkin itu tanda merah buatan seseorang. Akan tetapi, jika benar, tidak mungkin di rumah ini hanya ada aku dan Rianti.

Sepulang kerja , belum ada tanda merah itu. Baru setelah ia masuk ke kamar ini.

Aku mencoba tenang, tidak terbawa emosi untuk bertanya. Hanya saja, aku tidak bisa konsentrasi dengan pekerjaan rumah. 

Kecurigaanku semakin bertambah, saat melihat Rianti menunduk mengambil nasi, terlihat juga tanda merah di dadanya.

Apa mereka ada main di belakangku? Aku harus mencari tahu semuanya. Sengaja aku bilang mau menginap di rumah teman. Saat itu Mas Wiji bilang dia juga akan pergi ke luar kota. 

Aku tidak begitu saja percaya, hingga aku memergoki mereka sedang bercinta di kamarku. Tanpa sehelai baju mereka memadu kasih,  aku melihat suami dan sepupuku bermain api di belakangku.

Aku terbangun dari lamunan masa lalu, saat alaram untuk tidurku berbunyi. Sengaja aku pasang pukul 01.00 agar aku tidak terlalu pagi untuk tidur.

Besok pagi, kubuat Mas Wiji menyesal membuat aku menjadi gembel. Aku akan buat ia perlahan merasakan apa yang aku rasakan. Untuk Rianti, jangan harap, dia bisa ke salon lagi untuk perawatan.

Tugasku tidak hanya membuat Mas Wiji miskin. Akan tetapi, aku harus kuat mempertahankan posisi ini di rumah Mas Bambang. Dari kelima anaknya yang gila harta.

Mungkin mereka pikir, aku masih menjadi orang yang akan menerima harta kekayaan Mas Bambang. 

Harlan, begitu membenci aku. Pasti dia akan melakukan segala cara untuk membuat aku pergi dari sini. Semangatku tidak akan jatuh, aku harus kuat menghadapi mereka.

Untuk Arman, anakku. Aku tidak mau mengajaknya lagi tidur di emperan jalan. Akupun tidak mau memberikannya nasi bercampur garam lagi. 

Dengan bertahan dengan sekuat tenaga di rumah ini, setidaknya aku akan berjuang demi hidup anakku. Bukan karena aku ingin kekayaannya Mas Bambang.

Aku pun sudah berjanji akan merawatnya dengan baik. Tuhan, semoga suamiku berumur panjang.

Setelah merapikan semua data, aku kembali ke kamarku. Sengaja Mas Bambang meminta aku tidur bersamanya agar mereka semua tidak curiga.

Kupandangi wajah tua suamiku. Begitu lelahnya dia hari ini. Namun, aku senang dia sudah mau terapi berjalan. Semoga saja dia bisa melangkah bersamaku.

"Sa, belum tidur?" tanya Mas Bambang saat ia terbangun.

"Baru mau tidur, Mas."

"Jangan terlalu capek. Nanti, tidak punya tenaga untuk melawan musuh."

Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan Mas Bambang. Kemudian, aku ikut berbaring di sampingnya hingga aku terlelap.

***Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status