Share

Angsa Cantik

Semua dewan direksi ikut dalam rapat dadakan yang diadakan Mas Bambang. Ia memperkenalkan aku sebagai CEO perusahaan ini. Semua mata memandang seperti mengejek.

Tak sedikit juga memandang sinis. Aku tidak peduli. Terutama, Harlan yang kini turun jabatan menjadi bawahanku. Entah ini keputusan benar atau tidak.

Aku menegakkan tubuh, saat netra ini bersirobok dengan Mas Wiji. Aku tahu kamu pasti kaget saat ternyata aku menjadi seorang yang tinggi derajatnya di atas kamu. 

Akan kubuat menyesal kamu, Mas.

"Perkenalkan, ini istri saya, Raisa. Semua yang berhubungan dengan perusahaan langsung ditangani oleh Raisa." Mas Bambang memperkenalkan aku pada karyawannya.

"Senang, berjumpa dengan kalian. Semoga saya bisa bekerja sama dengan kalian," ucapku. 

"Pa, tidak bisa seperti itu!" teriak Harlan. 

"Semua keputusan tidak bisa diganggu gugat. Ingat, saya yang memiliki kuasa di sini." Walaupun sudah tua, Mas Bambang kembali bisa bersikap tegas.

Sebelumnya, ia tidak berdaya. Hanya mengurung diri di kamar. Hidup dengan meminum obat tanpa memiliki keinginan hidup lebih panjang.

Tidak banyak yang disampaikan oleh Mas Bambang. Rapat selesai, dan mereka satu persatu meninggalkan ruangan.

"Saya ke toilet dulu, Mas."

"Iya."

Aku berjalan ke toilet, tetapi jalanku terhalang oleh Mas Wiji. Ia menarik tanganku dengan kencang, dan membawaku ke lorong kantor yang sepi.

"Lepaskan aku!" pekikku sembari melepas cengkeramannya.

"Sa, ini kamu, Raisa?" tanyanya.

"Iya, ini aku. Memang kenapa?" Aku sudah mengetahui pasti dia akan berusaha mendekatiku.

"Ka--kamu kenapa bisa menikah dengan Pak Bambang. Kamu gila, usia dia lebih tua dari kamu. Jauh sekali, Sa."

Aku mengangkat dagu, aku rasa dia hanya mengejekku. Menikah dengan Mas Bambang memang keinginanku. Dan aku menikahinya dengan ikhlas. 

Walaupun sudah tua, ia lebih baik dari pada Mas Wiji. Persetan dengan gunjingan orang.

"Aku nggak gila. Aku sadar, usianya lebih tua memang, tapi dia lebih baik dari pada kamu."

"Sa, aku tahu, aku salah. Maafkan aku, Sa."

Apa? Maaf? Enteng sekali dia bicara hal itu. Apa ia lupa saat berselingkuh dengan wanita sialan itu? Ck! 

"Enak saja kamu bilang maaf, permisi aku masih banyak keperluan."

Ia menahanku, menarik lengan ini hingga aku tersudut di pojokan. Sialan, mau apa Mas Wiji?

Aku mencoba berontak, tetapi ia sangat kuat.

"Kamu berbeda dari yang dulu, Sa. Cantik, andai kamu dulu seperti ini. Mungkin aku tidak akan berpaling."

"Aku masih beruntung bisa lepas dari kamu, pria yang hanya mengungkap kecantikan sang istri, tanpa mau memberikan lebih."

"Kamu berubah cantik pasti uang dari Bambang, kan?" 

"Iya, kenapa?"

Mas Wiji bergeming. Entah, apa yang kini ada dipikirannya. Dalam hidupnya hanya ada wanita yang sempurna. Akan tetapi, ia tidak sadar dirinya tidak berguna.

"Di mana Arman?"

"Kamu menanyakan di mana Arman? Dia aman, tidak perlu kamu tanyakan. Selama ini pun kamu tidak peduli dengannya. Untuk apa bertanya."

Hati ini perih, saat ia menanyakan Arman. Kemana ia saat kami kelaparan? Aku tidak bisa mengatakan betapa menderitanya kami. Arman selalu merengek meminta makan telur, tapi yang ada aku kembali memberikannya nasi bercampur garam. Atau tempe yang aku beli dengan harga 2.000 di warteg.

Aku tak henti mengumpat mantan suamiku yang bejat. Saat aku menjadi itik buruk rupa, ia mencampakkan aku, kini ketika angsa ini berubah menjadi cantik. Seolah ia lupa pernah mencampakkanku.

"Apa pedulimu, hah?"

"Kamu sendiri yang tidak mau memberikan Arman padaku."

"Tidak akan, Mas. Bisa-bisa anakku mati di tangan gundikmu!"

"Enak saja bicara kamu."

"Bisa apa dia, sekarang pun aku yakin kalian belum memiliki anak."

Aku menarik napas pajang. Wajah Mas Wiji sudah pucat, segera aku tinggalkan saja dia. Air mata ini harusnya tidak menetes, tapi aku teringat saat sulit dulu. Saat ia membuangku.

***

"Belum puas kamu menikah dengan Papaku, sekarang kamu membuat dia memberikan perusahaan ini untukmu, hebat sekali kamu, Raisa." Harlan kini membuat aku sakit kepala. 

Pria paruh baya itu sudah tua, tapi tidak punya pikiran. Andai ia mau merawat ayahnya, pasti Pak Bambang tidak memberikan hartanya untukku. 

Mereka hanya mengincar harta. Tanpa mau peduli dengan orang tunya. Bahkan, mereka terlihat sangat senang jika Pak Bambang meninggal. 

Mereka belum tahu jika semua aset sudah jatuh atas namaku. 

"Aku memang hebat, asal Pak Harlan tahu, semua bukan kemauanku. Ini murni keinginan dari Pak Bambang."

"Halah, wanita licik."

Aku tidak mau menanggapinya. Bisa-bisa seluruh kantor memperhatikan kami. Segera aku menghindar darinya. Mas Bambang sudah menungguku di mobil. Hari ini cukup perkenalanku, dan puas sudah membuat Mas Wiji kapok. Ini belum seberapa Mas, lihat besok apa yang akan kulakukan.

"Sudah, Sa?" tanya Mas Bambang.

"Sudah, Mas. Kita mau kemana lagi?" tanyaku. 

"Saya mau ke rumah sakit, kamu mau mengantar saya?" 

Tanpa harus ditanya pun aku akan mengantar kemana ia mau. 

"Iya, Mas."

"Arfian, terima kasih."

Pria muda itu menunduk. Lalu, membantu Mas Bambang masuk ke dalam mobil. Arfian mengulas senyum padaku.

Mas Bambang tidak banyak bicara, aku pun belum bercerita tentang Mas Wiji. Aku takut membuat ia tidak enak hati. 

"Jangan pernah percaya pada siapa saja di perusahaan itu."

"Termaksud, Arfian?"

"Iya."

"Bukannya, Mas percaya sama dia?"

"Awalnya sangat percaya, tapi saya pikir jangan percaya pada siapa pun."

"Sama saya juga begitu?"

"Tidak. Saya percaya sama kamu, kalau kamu mau, saat ini kamu bisa mengusir saya jika kamu mengincar harta saya."

Netraku sudah berembun. Pantas saja mereka menyebutku kacang lupa kulitnya. Memang, jika mereka tidak menerimaku menjadi suster pengasuh Papa mereka, pastilah aku masih menggembel di jalan. 

Tidak tahu juga bagaimana nasib Arman kala itu. Akhirnya air mata ini tumpah membasahi pipi.

"Raisa nggak tahu kalau nggak ada keluarga Mas, mungkin kami masih tidur diemperan jalan."

Lagi, aku menangis tergugu di hadapan Mas Bambang. Anakku senang saat ia memasuki rumah besar milik Mas Bambang.

Bahkan, ia kembali ceria saat menemukan kasur empuk di kamar. Kembali aku mengingat celoteh Arman.

"Bu, kita bisa tidur di kasur. Arman sakit badannya tidur di emperan. Arman juga takut kenapa-kenapa sama Ibu makanya Arman nggak pernah tidur."

Aku mengusap sudut mata, celotehannya membuat aku menangis. Tidak menyangka, jika ia begitu menjaga Ibunya.

"Sudah, Sa."

Tepukan halus di pundakku membuat aku tersadar dari lamunan. Ini memang takdirku, kesulitan yang kualami membuat aku kuat dalam menjalani hidup. 

Sekarang bukan Mas Wiji saja yang kuhadapi, tapi kelima anak Mas Bambang. Kuat, Sa, aku harus kuat. 

***

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status