Share

Mengalami Kecelakaan

 “Maksudmu, suamimu dan Kalila pergi bersama?” tanya Erina.

“Suamiku adalah seorang pebisnis yang sibuk. Dia biasa pergi ke banyak kota dan negara. Jadwal kepergiannya yang sama dengan jadwal penerbangan Kalila tidak pernah membuatku curiga. Aku justru merasa aman karena Mas Fattan bersama Kalila.”

“Apakah selama ini suamimu dekat dengan keponakanmu itu? Kalila.”

“Kalila bertugas sebagai pramugari di salah satu maskapai. Entah bagaimana, jadwal tugas Mas Fattan seringkali sama dengan jadwal tujuan pesawat tempat Kalila bertugas. Bodohnya aku sama sekali tidak mencium gelagat busuk mereka.”

Aku menumpahkan semua perasaanku saat tiba di ruang kerja Erina. Dia duduk di sampingku dan berusaha memberiku dukungan kekuatan.

“Maafkan aku ya, Din. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih,” ucap Erina penuh penyesalan.

“It’s ok, Erin. Seandainya kau tidak memberitahuku, mungkin aku akan selamanya buta. Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi di depan mataku.”

Air mataku jatuh bercucuran. Rasa sakit di hati bagai sembilu yang menyayat tanpa ampun. Seharusnya aku tahu, bahwa Kalila bukan lagi gadis kecil yang dulu pernah kuasuh dan kutimang. Dia telah tumbuh menjadi gadis dewasa, cantik, menarik dan pastinya menggairahkan.

Di usianya yang baru melewati angka dua puluh, Kalila sudah cekatan untuk tampil seperti wanita dewasa. Penampilan yang membuatku kadang bergeleng kepala. Beberapa kali aku mensehatinya tentang hal itu, tapi Kalila sama sekali tidak mengindahkanku.

Kakak kandungku, yang notabene adalah ibu Kalila justru bangga dengan pembawaan putrinya. Dia selalu menganggap aku yang kurang berpikiran terbuka.

“Kalila ini kan pramugari. Dia biasa terbang ke luar negeri dan memiliki pergaulan internasional yang luas. Wajar saja kalau gaya dan penampilannya berbeda dengan kita. Sudah beda masanya,” ujar Kakakku membela putrinya.

“Betul, Kak. Saat bertugas tentu sajadia memakai seragam dari maskapai. Tapi, saat tidak bertugas bukankah lebih baik Kalila tampil sopan.”

“Sudahlah, Adina. Kalila sudah dewasa. Dia bisa menjaga dirinya sendiri. Lagi pula kita tidak bisa memaksa Kalila untuk tumbuh seperti kita berdua. Apalagi kamu, yang sejak selesai kuliah dia Madinah, sama sekali tidak pernah masuk ke dunia kerja,” tutup Mbak Sofi mengakhiri perdebatan kami.

Setiap kali kami berbincang tentang hal ini, dia selalu tahu senjata pamungkas untuk menghentikan pendapatku. Mbak Sofi benar, aku memang tidak pernah mengenyam dunia kerja. Saat aku kembali dari Madinah setelah menyelesaikan pendidikan S2-ku, keluargaku ternyata telah merencanakan hal lain.

Ayahku yang saat itu masih hidup, menyodorkan padaku selembar foto pria berwajah tampan. Pria dengan kulit putih, dan wajah arab. Pria yang patut menjadi idaman banyak wanita. Ternyata pria itu adalah anak dari teman ayahku. Dia juga yang akhirnya dijodohkan denganku.

Terlepas dari tradisi atau sebuah kefanatikan, keluarga keturunan arab seperti kami seringkali mengatur perjodohan dengan keluarga keturunan arab lainnya. Ayahku bilang, pria itu sudah sangat menyukaiku hanya dengan melihat fotoku. Dia sudah menungguku beberapa bulan untuk kembali ke Indonesia dan menggelar pernikahan kami.

Aku yang masih belia, belum pernah mengenal cinta, tentu saja merasa bangga. Setidaknya pastiah kecantikan wajahku membuat Mas Fattan begitu saja setuju dengan perjodohan ini. Didambakan seorang pria, sebuah kebahagiaan bagi seorang wanita.

“Dina, tenangkan dulu dirimu, sebelum memutuskan apa pun. Ingat saja Kanaya, jika masih ada ruang untuk memaafkan, lebih baik membenahi pernikahan kalian.” Erina berusaha sangat berhati-hati dengan kata-katanya.

Kata-kata Erina menyadarkanku dari ingatan tentang masa lalu. Kanaya, buah hati kami yang sedang sangat membutuhkan ayahnya. Di usianya yang baru lima tahun, Kanaya tidak pantas mendapatkan luka sesakit ini. Selama ini, Mas Fattan begitu dekat dengan putri semata wayang kami itu.

“Aku akan pikirkan lagi, Rin. Sekarang ini otakku terasa buntu,” jawabku.

“Aku mengerti. Mau ku antar pulang?”

“Tidak, aku bisa pulang sendiri. Lagi pula, aku tidak ingin meninggalkan mobilku di sini. Besok aku perlu untuk mengantar jemput Kanaya di sekolah.”

“Kau yakin? Atau aku bisa meminta supirku untuk mengantarmu.”

“Terima kasih, Rin. Aku baik-baik, saja.”

Aku berdiri diikuti oleh Erina. Sahabatku itu mengantarku sampai ke tempat di mana mobilku terparkir.

“Ingat kata-kataku ya, apa pun keputusanmu nanti, Kanaya harus menjadi pertimbangan sebelum memutuskan.”

Erina yang bekerja sebagai manager operational di salah satu hotel bintang lima di kawasan Jakarta Pusat, secara tidak sengaja melihat Mas Fattan saat sedang melakukan cek in di meja resepsionis.

Tentu saja dia bisa mengenali Mas Fattan dengan baik. Wajah Mas Fattan memang khas. Bukan hanya tampan, tapi wajah Arab yang begitu kental membuat siapa pun mudah mengingat. Erina berdiri dari jauh dan memperhatikan Mas Fattan.

Dia baru saja hendak menyapa ketika kemudian melihat wanita berpenampilan cantik dan seksi bergelayut manja di lengan suamiku. Di hari kerja, di mana seharusnya setiap orang yang bergelut dengan dunia bisnis sedang sibuk dalam berbagai urusan.

“Terima kasih ya, Rin. Kalau kau tidak memberitahuku, aku mungkin tidak akan pernah tahu semua kebusukan Mas Fattan.”

“Sama-sama, Dina. Aku hanya merasa apa yang kulihat terlalu janggal. Setelah aku memastikan semuanya, barulah aku menghubungimu. Ternyata yang kulihat itu memang suamimu.”

Saat menerima telepon dari Erina aku sempat tertawa. Tidak mungkin itu adalah suamiku, mungkin itu adalah Fattan yang lain. Namun Erina memaksaku untuk datang ke hotel tempatnya bekerja. Sebelum menuju ke kamar yang Mas Fattan tempati, dia mengajakku ke kantor keamanan.

Erina lalu memperlihatkan rekaman CCTV lobby hotel yang memutar adegan saat Mas Fattan melakukan cek in. Dia ingin aku memastikan apakah itu memang suamiku. Saat melihat rekaman itu, kepala dan hatiku bagai tersambar petir. Bukan saja itu memang suamiku, tapi gadis yang bergelayut manja di lengan Mas Fattan adalah Kalila keponakanku.

Dengan jabatannya sebagai manager, Erina mudah saja mendapatkan akses untuk memberiku jalan masuk ke kamar Mas Fattan. Semua kenaifanku seolah begitu saja terbantahkan. Suamiku ternyata bukan apa yang selama ini tampak di depan mataku.

Erina memelukku erat, air mata tak ayal kembali jatuh berderai. Aku melihat wajah sedih dan menyesal di raut Erina, saat mobilku perlahan meninggalkan lahan parkir hotel.

“Dia yang kupuja bagai dewa sebagai suami dan ayah yang sempurna, nyatanya hanyalah pria yang tidak tahu apa arti setia,” gumamku saat mobil sudah mulai berjalan memasuki jalan tol. Duniaku terasa hancur!

Genangan air mata kembali muncul di mataku. Membuat pandanganku kabur. Aku mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Semua karena emosi dan perasaan yang berkecamuk dalam diriku. Tiba-tiba aku merasa hilang, tidak sadar apa pun yang terjadi. Satu-satunya yang aku ingat adalah suara benturan keras mobilku.

Ans

Duh... Adina kenapa tuh!

| Like
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Susy Susilawati II
hancur banget hatinya, sabar ya
goodnovel comment avatar
Ree Ichi
Sabar Erina
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status