Share

Kubuat Mantan Suamiku Menyesal
Kubuat Mantan Suamiku Menyesal
Penulis: Ans

Suami dan Keponakanku

“Mas Fattan! Kalila! Dosa apa yang sedang kalian lakukan?”

Sosok berambut hitam ikal dengan hidung tinggi dan wajah khas Arab itu bangkit dari ranjang. Dia sangat terkejut dan terlalu terkejut hingga lupa bahwa tidak selembar benang pun tertambat di tubuhnya. Dalam keadaan telanjang, dia berusaha menghampiriku.

“Adina, apa… bagaimana… kenapa… kau ada di sini?”

“Berapa banyak lagi kata tanya yang ingin kau ucapkan? Kau bahkan belum menjawab pertanyaanku.”

Aku berharap mata ini sedang mengkhianatiku. Aku bahkan tidak mampu berkedip hanya untuk mempercayai bahwa yang kulihat itu nyata. Di sini! Di depan mataku!

Mungkin, Mas Fattan baru menyadari bahwa ada orang lain di belakangku. Hal itu seketika membuatnya teringat bahwa dirinya tidak berbusana. Dia bergegas menyambar selembar celana panjang yang berserak di lantai.

Sementara Mas Fattan sibuk membungkus auratnya sesosok wanita yang ada di atas ranjang yang sejak tadi mengamati kami tetap diam. Tidak ada rasa penyesalan atau takut di wajahnya. Aku berjalan cepat menghampiri wanita itu

Erina yang sejak tadi ada di belakangku, berinisiatif menyalakan lampu kamar dengan penerangan yang lebih benderang. Aku bisa melihat jelas wajah wanita itu. Walau sebelumnya dalam keremangan aku juga sudah bisa mengenali wanita itu.

Bagaimana tidak, bertahun-tahun saat dia kecil dulu, dia tumbuh dalam pengasuhanku. Saat itu aku masih tinggal bersama kakak kandungku. Dia sudah seperti putri pertama bagiku.

“Kalila! Teganya kau melakukan ini. Apakah sudah habis pria di dunia ini sehingga suamiku menjadi sasaranmu?” bentakku sambil menarik selimut tebal yang menutupi tubuh tanpa baju wanita itu.

Seharusnya Kalila merasa bersalah bukan? Seharusnya dia takut dan berusaha mencari alasan. Tapi, yang kulihat justru senyum tipis di wajahnya yang bersimbah peluh. Tampaknya mereka baru saja mencapai kenikmatan dunia ketika aku dan Erina tiba-tiba membuka pintu kamar hotel mereka.

“Aku tidak menculik suamimu kan, Tante. Kami melakukan atas keinginan bersama!” Kalila justru berteriak padaku.

“Dasar wanita jal*ang! Aku malu mengakui bahwa kau berasal dari darah keluargaku!” emosiku mulai tersulut.

Sejak mendapatkan informasi itu, sebenarnya aku sudah berusaha tenang. Kutegarkan hati dan melangkah menuju tempat ini. Aku ingin menghadapi kedustaan suamiku dengan cara yang elegan. Tapi, jawaban Kalila yang tanpa rasa bersalah, tak ayal membuat darahku sampai ke ujung kepala

Mataku terasa panas, entah karena darah yang mendidih, air mata, kemarahan atau kesedihan. Semua perasaan seolah berkecamuk dalam diriku. Aku sendiri bahkan tidak tahu mana yang harus lebih dulu kuekspresikan.

Jawaban pedas Kalila sepertinya menjadi alasan untukku menuangkan perasaan. Aku mendekati Kalila yang sedang sibuk mencari bajunya yang terhampar di lantai. Baju mereka yang bertebaran di segala arah, seolah memperlihatkan betapa liarnya permainan yang baru saja mereka lakukan.

“Kalila! Rendah sekali moralmu! Orang tuamu akan sangat kecewa jika mereka tahu!”

Seperti ada dorongan iblis dalam diriku. Aku yang biasanya tenang dan sopan, begitu saja menarik rambut hitam panjang Kalila. Gadis itu berteriak kesakitan. Dia berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku. Air mata mulai bergulir di sudut mata Kalila.

Tentu saja itu bukan air mata penyesalan. Itu hanyalah air mata kesakitan karena tampaknya beberapa rambut Kalila tercabut dari kulit kepalanya. Aku menarik rambut itu tanpa belas kasihan. Kalian yang belum berbusana terpaksa merunduk hingga kepalanya nyaris menyentuh lantai demi mengimbangi gerakanku agar dia tidak semakin merasa kesakitan.

"Tante! Lepaskan! Tolong, Om!"

Mas Fattan tampak terkejut aku bisa sebrutal itu. Dia bergegas mendekat dan meraih pergelangan tanganku yang mencengkeram rambut Kalila.

“Adina! Lepaskan! Kau menyakiti Kalila. Lepaskan, Adina!”

Sekuatnya aku, kekuatan Mas Fattan tentu lebih besar. Dia berhasil menghentakkan tanganku dan aku terpaksa melepaskan rambut Adina dari cengkeramanku. Mas Fattan juga mendorongku sebelum dia berjongkok untuk menolong Kalila.

Beruntung Erina telah bersiaga di sana. Dia menangkap tubuhku sehingga aku tidak sampai terjerembab ke sofa besar yang ada di belakangku.

“Mas, kau justru membela Kalila? Sakit katamu? Sakit yang aku rasakan jauh lebih sakit dari apa yang kulakukan pada Kalila. Di mana perasaanmu, Mas? Aku ini istrimu!” Suaraku terdengar bergetar.

Aku berusaha untuk tidak menangis. Setiap kali butiran bening itu hendak keluar dari mataku yang lebar dan berwarna coklat, aku segera mengusapnya. Hatiku memang sakit dan terluka parah. Jika saja hati ini adalah benda yang bisa dilihat dengan mata, mungkin aliran darah akan menjadi warna karena deritanya. Meski begitu, aku tidak ingin memperlihatkan kelemahanku.

Sementara Mas Fattan sibuk menutup tubuh Kalila dengan selimut yang diraihnya dari atas ranjang, hatiku semakin tercabik dengan pemandangan itu. Goresan perih bertabur garam yang sampai kapan pun tidak akan pernah aku lupakan.

“Aku tahu Adina. Aku tahu ini semua salah. Setidaknya dengarkan penjelasanku dan jangan melakukan hal kasar seperti ini. Bagaimana pun juga, Kalila ini adalah keponakanmu.” Mas Fattan telah kembali dari rasa terkejutnya. Suaranya terdengar bijak dan tenang.

“Keponakan? Aku bahkan malu mengakui dia sebagai bagian dari keluargaku. Kalian bukan hanya menyakitiku tapi juga menorehkan luka pada keluarga besarku.”

Beberapa orang mulai berkerumun di pintu kamar kelas deluxe executive yang seharusnya tenang itu. Saat kami membuat keributan, sepertinya kami membiarkan pintunya terbuka. Suara teriakan dari dalam kamar menarik perhatian orang yang melintas.

Erina sebagai manager hotel berbintang lima itu, menjadi orang pertama yang menyadari keberadaan para penonton yang tidak diundang tersebut. Dia segera memberikan kode padaku untuk keluar dari kamar itu.

“Adina, kita selesaikan nanti. Terpenting kau sudah mendapatkan bukti,” bisik Erina.

Aku mengeluarkan ponselku dari dalam tas. Lalu tanpa basa basi, aku memotret pemandangan mengenaskan kedua orang di hadapanku. Dua orang yang aku sayang dan aku cintai dari dalam hati. Mereka juga yang tanpa segan telah menabur racun dalam mahligai rumah tanggaku.

“Adina! Untuk apa kau melakukan itu?! Hapus! Berikan padaku ponselmu! Kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri!” Mas Fattan berteriak kasar.

“Sebakan saja, Tante. Semua orang harus tahu betapa Tante tidak becus menjadi seorang istri. Coba Tante pikir kenapa suami Tante bersamaku saat ini jika memang dia sudah terpuaskan?!” Kalila begitu berani mengancamku.

Reaksi luar biasa yang membuatku kehabisan kata. Mereka yang bersalah tapi justru aku yang menjadi pelaku kejahatannya. Aku menatap keduanya dengan ekspresi wajah nyaris membeku, berusaha memperlihatkan ketegaran yang tersisa dalam hatiku.

 “Ini imbalan yang kau berikan padaku atas pengabdian yang kuberikan padamu selama ini, Mas?” Lalu pandanganku beralih pada Kalila, “Aku ingin tahu, apa komentar kedua orang tuamu jika melihat foto ini nanti. Kalila, anak kebanggan mereka telah menggoda suami dari tantenya sendiri. Biar mereka yang memutuskan hukuman apa yang akan diberikan pada kalian berdua.”

Ans

Halo Goodreader, Ikuti terus perjalanan Adina dari seorang wanita yang lemah menjadi seorang wanita yang powerful. Tambahkan buku ini ke koleksi/rak bukumu, untuk selalu mendapatkan update ya. Salam sayang, Ans.

| 3
Komen (1)
goodnovel comment avatar
ahmad shaifu
uuuhhhhh...tragisnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status