"Iya, Bu. Aku minum sekarang." Kuteguk teh manis hangat yang menggugah selera itu. Badanku jadi hangat dan lebih baik setelah meneguknya."Makan saja dulu, Bu. Siapkan makan buat Wahyu dan Bapak!" titah Bapak.Mereka masih menganggapku menantunya, sikapnya masih baik seperti biasa. Sungguh, orang tua dan anaknya sama-sama baik. Namun, keadaan yang membuat semua jadi seperti ini."Baik, Pak. Ibu siapkan dulu."Sembari menunggu Ibu, Bapak menanyaiku tentang pekerjaan. Ia juga bertanya tentang anak-anak dan Cynthia."Gimana Cynthia itu? Apa ia baik?"Aku bingung menjawabnya. Sebenarnya ia baik, namun ia selalu cemburu pada Tika. Ia pun lebih banyak menuntut."Baik, Pak.""Alhamdulillah kalau gitu. Bapak tak mau kalau anak-anak berada di tangan yang salah. Kalau ia tak bisa mengurus anak-anak, lebih baik anak-anak tinggal sama kami saja," kata Bapak.Apa? Bapak inginkan anak-anak? Itu tidak mungkin karena anak-anak harus aku yang mengurusnya, kalau bukan Tika."Alhamdulillah anak-anak bai
Suaranya mirip suara mantan istriku. Namun, suara itu tak ada lagi, ditutup olehnya. Ketika kuhubungi lagi, ponselnya tak aktif.Gegas aku pergi menuju Bogor untuk menemui temannya Tika, aku yakin Tika ada bersamanya. Keyakinanku dikuatkan dengan suaranya yang kudengar saat di telepon tadi.Saat istirahat di rest area, kucoba untuk meneleponnya kembali. Kali ini sepertinya Hanum yang mengangkat."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam. Apa benar ini Mbak Hanum?" tanyaku."Iya, benar. Ada apa ya? Ini siapa?" tanya Hanum."Saya mau bertanya mengenai Tika. Apakah mantan istri saya bersama anda sekarang?" tanyaku."Oh, Tika ya? Nggak, Pak. Saya tidak sedang bersama Tika.""Bukannya Tika menemui anda?""Ya, betul. Ia menemui saya dua hari yang lalu. Tapi sekarang ia tak bersama saya," jawab Hanum. Sepertinya ia berbohong, tadi aku tau yang mengangkat suara Tika."Kalau begitu, saat sebelumnya tadi saya menelepon anda. Lalu ada yang mengangkat dan itu adalah Tika, benar kan?" Belum sempat ia jaw
"Ya sudah, Pak. Beri waktu pada istri saya. Nanti saya akan coba bujuk agar ia bisa memberitahukan dimana keberadaa mantan istri anda," timpal suaminya."Baik, Pak. Terima kasih, ya. Karena sudah malam, saya permisi dulu ya!""Baiklah.""Hati-hati di jalan," sahut Suaminya Hanum."Terima kasih, Mas!""Sama-sama."Alhamdulillah, setidaknya aku tau kalau Tika baik-baik saja.***Sampai di rumah, anak-anak sudah tidur. Hanya Cynthia yang masih belum tidur karena anak kami masih rewel."Mas, kamu lama banget perginya. Kan udah kubilang tadi, nggak usah lama-lama. Aku benar-benar keteteran karena kamu nggak dateng-dateng, Mas!""Maaf ya, Sayang. Tadi di rumah orangtuanya nggak ada. Jadi aku ke Bogor untuk menemuinya.""Trus gimana? Ketemu?""Nggak. Aku ketemu temannya semasa di kampung. Tapi setidaknya aku tau kalau ia baik-baik saja, aku dan anak-anak sangat khawatir dan merindukannya."Tanpa kusadari baru saja aku bicara seenaknya. Pantas Cynthia saat ini berhenti bicara, ia hanya memand
Faiz tersenyum menanggapi celoteh temannya."Bundaku hanya pergi sebentar. Sebentar lagi juga kembali. Ayah selalu mencarinya," ucapnya sembari menatap mataku."Benarkah? Kata mamaku takkan pernah kembali karena ayahmu menikah lagi, jadi bundamu kabur!" Anak itu berlari sambil tertawa meninggalkan Faiz.Astaghfirullah. Ada ya anak yang diajari seperti itu oleh orang tuanya. Aku sangat tak habis pikir bagaimana orang tuanya bisa menjadikan seorang anak sebagai penggosip.Aku berjongkok, menatap mata Faiz--anakku."Sayang, tak usah didengar perkataan temanmu itu! Ayah dan Bunda memang sudah sepakat tentang pernikahan Ayah dan Mama Cynthia. Jadi, Bunda sama sekali tak keberatan tentang itu. Bunda pergi karena hal lain sepertinya. Kita tanya ya, saat bertemu Bunda nanti!" sahutku.Faiz menghela napas kasar. Ia pun menatapku, lalu tersenyum."Iya, Yah. Aku tau dari Bunda juga seperti itu. Bunda selalu nyuruh aku buat mencintai juga Mama Cynthia. Aku nggak bakal terpengaruh oleh omongan tem
"Kok ini berbeda dengan yang kau pesan sebelumnya, Mas? Lihatlah dari penampakan dusnya juga beda, harganya pasti yang ini lebih murah. Ah, kesal! Pokoknya aku nggak mau makan!""Sabar dong, jadi maunya gimana?" Aku jadi ikut berteriak padanya.Anak-anak yang masih memakan oleh-olehku sebelumnya sampai berhenti makan."Kia udah aja deh, Yah. Udah kenyang!" sahut Kia."Aku pun sudah, Yah. Aku mau buru-buru tidur aja!" timpal Faiz."Loh kok udahan, ini masih banyak martabak kejunya dan martabak telornya.""Nggak apa-apa, Yah. Kita udah kenyang!" Mereka tetap kembali ke kamarnya.Cynthia masih marah, aku biarkan dulu karena aku sedang menanti telepon dari Edwin.Benar saja, ia menelepon."Halo, Pak Wahyu. Saya sudah memantau rumah dan sekitarnya. Mereka baru saja pulang dari luar. Tak ada mantan istri Bapak. Saya juga sudah bertanya ke tetangga, mereka pernah melihat istri Bapak. Tapi sekarang tak pernah melihatnya lagi."Kuhela napas sejenak. Itu berarti Tika memang sudah tidak tinggal
Malam ini aku gelisah. Setelah mendengar kata-kata Cynthia tadi, membuatku berpikir kalau tindakanku menceraikan Tika, itu salah. Aku dalam penyesalan yang berkepanjangan.Anak-anak selalu menantikan Bundanya kembali, akupun begitu. Biasanya aku tak pernah bisa jauh dari mantan istriku itu. 'Ya Rabb, dimana dia? Aku benar-benar kangen dan ingin bertemu dengannya. Sudah beberapa hari ini aku tak bisa melihatnya.'"Mas, kamu masih belum tidur juga? Sadar Mas, ini dunia nyata. Banyak yang harus kamu lakukan esok hari. Jangan cuma ngehalu aja, mikirin sesuatu yang sudah tak mungkin." Cynthia mengingatkanku, tapi sembari menyindirku. Biarlah ia bicara sepuasnya, kalau aku lawan dengan kata-kata, nanti ia menangis. Dampaknya pada bayi kami yang rewel.Malam ini aku tidur di kamar lain saja, tak mau jika bersebelahan dengan Cynthia. Bisa-bisa mulutnya bicara terus sepanjang malam sampai pagi. Katanya menyuruhku istirahat, tapi dengan ia banyak menasehatiku, itu berarti membuatku tak bisa t
"Baiklah. Tapi nanti kamu tak boleh belanja tas dulu dalam setahun ke depan!" Aku mengajukan syarat padanya."What? Setahun? Bisa-bisa aku lumutan nggak beli tas!" katanya."Terserah kamu mau atau nggak. Kalau mau, segera ku bayar sesampainya aku di kantor."Ia berpikir dan memutar bola matanya."Yah, ayo berangkat! Nanti Faiz kesiangan, Yah!" Faiz menarik lenganku. Ia datang menghampiriku."Iya, sebentar ya, Sayang!" Aku menoleh pada Cynthia dan memberikan tanganku padanya. Ia pun mencium tanganku."Iya, Mas. Aku setuju!" katanya dengan bibir mengerucut."Baiklah. Akan segera kubayar nanti di kantor ya!" sahutku sembari mengacak rambutnya."Oke, Mas." Ia tersenyum, walau terpaksa."Ayo, Yah." Faiz menarikku lagi setelah ia mencium tangan ibu sambungnya. Kami pun pergi meninggalkan rumah untuk segera ke sekolah Faiz terlebih dulu.Sesampainya di sekolah, ia melarangku turun. Katanya biar ia masuk sendiri saja. Aku manut dan melihatnya keluar dari mobil. Namun, aku tetap turun dan memp
"Mengapa ia ada di sana?" Aku benar-benar tak menyangka ia ada di sana. Sedang apa?"Sebentar, kucari tau dulu. Nanti aku kabari lagi kalau sudah ada kabar.""Baiklah, ditunggu kabar baiknya, Win!" sahutku."Siap, Pak!"Edwin harus benar-benar tau semuanya, agar aku bisa ke sana dengan anak-anak nanti.Kemudian ada pesan dari Cynthia. Ia tak bisa menjemput Kia, karena sedang ada acara dengan teman-temannya. ART kami masih sakit, ia memintaku untuk menjemput Kia. Mana bisa aku membawanya kerja? Harusnya ia yang lebih paham, acara dengan teman-temannya harusnya bisa ia tinggalkan dulu untuk menjemput anakku. Jangan seenaknya malah memintaku untuk menjemput Kia.Aku yang marah, langsung meneleponnya."Halo, Cynthia ... kamu harusnya tau pekerjaanku seperti apa. Plis jangan bebankan aku dengan anak-anak juga, karena pekerjaan ini sudah cukup berat. Kamu suruh si Ayu--baby sitter itu menjemput Kia dulu karena aku tak mungkin bisa menjemput Kia," cerocosku saat ia mengangkat ponselku."Mas