Share

3. Aku (III)

"Kau lihat apa yang dilakukannya!?"

Suara seorang remaja laki-laki terdengar. Nadanya tinggi dan ... sepertinya agak familier. Corin yakin pernah mendengarnya, terutama nada mengutuk itu. Ia yakin pernah mendengarnya di suatu tempat.

"Hentikan! Apa yang mau kau lakukan dengan Nona!?"

Kali ini suara anak kecil yang melengking. Entah anak perempuan atau laki-laki, Corin tidak bisa membedakan.

"Cukup Edle, jangan membuat kepalaku pusing," kali ini, Corin mengenali suara siapa ini. Caroline, teman sekelasnya. "Sebaiknya, kita tunggu Corin bangun dan ... selesaikan semuanya. Lagi pula, yang terpenting mereka tidak akan mengetahuinya."

"Benar apa yang dikatakan Nona Weish. Bila kita terlambat, mungkin saja kerajaan akan langsung mengetahuinya," kali ini, suara yang berbeda. Seperti seorang lelaki dewasa yang bijaksana, lembut dan tenang. Mendengarnya seperti mendengar suara seorang guru yang sangat sabar dalam mengajar muridnya. Membuat nyaman.

Haruskah ia masih berpura-pura tidak sadar?

Corin menimbang-nimbang. Jantung remaja itu sudah melompat-lompat tidak tenang. Gugup bukan main mendengar keributan. Apakah ia diculik? Tidak ... tidak mungkin. Pikiran itu langsung disingkirkan. Ia bukan anak orang kaya. Pertengkaran mereka juga bukan tentang permintaan uang atau pembunuhan.

Lagipula, penculikan mana yang akan membawa anak kecil didalam komplotannya?

Menelan liur paksa, Corin dengan perlahan membuka mata.

Hening.

Mendadak semua keributan itu menghilang, digantikan kebisuan. Hal ini membuat jantung sang remaja semakin tidak tenang. Beberapa pasang mata seolah menatap, menusuk langsung ke tubuh hingga membuat Corin merinding.

Menelan liur paksa, remaja Yudhistira itu berkedip. Mencoba menyesuaikan cahaya ketika warna putih dan silaulah yang dirasakan. Ia refleks memejamkan mata, lalu membuka. Berulang kali hingga akhirnya benar-benar bisa melihat dengan ... jelas.

"Nona! Akhirnya Nona sadar!"

Suara melengking terdengar. Sesuatu menabrak tubuh hingga membuat Corin mengerang. Namun, sosok yang menjadi meriam besar tidak menyadari rasa sakit dari orang yang dipeluknya. Sebaliknya, bocah mungil berambut hitam, dengan sepasang kelereng kelabu, memeluk semakin erat, mengabaikan berjuta kebingungan dan rasa sakit yang tercetak di wajah pasien yang baru siuman.

Apa ini? Di mana ini?

Corin linglung. Menatap sekeliling dan menemukan bahwa ia berada di lingkungan yang aneh dan asing. Sebuah kamar besar dengan arsitektur bergaya Eropa memenuhi penglihatan. Bila bukan karena ada tiga sosok yang berdiri mengelilingi kasurnya, mata hitam itu dengan senang hati pasti akan melihat-lihat perabotan mewah yang bisa membuat jiwa miskin seseorang menjerit.

Ada tiga orang yang berdiri di dekat kasur berukuran King size ... oh. Benar. Corin saat ini terbaring di atas kasur super lembut dan empuk berukuran besar yang hanya pernah dilihatnya di-TV. Sayang, ia tidak bisa fokus ke bagian ini dulu. Sepasang mata hitamnya menatap dua orang asing dan satu orang yang familier.

Sosok jangkung seorang pria muda berdiri dengan punggung yang lurus. Tubuhnya berbalut setelan jas berwarna hitam, dengan kemeja putih dan dasi kupu-kupu merah.  Rambut hitam ditata sedemikian rupa, dengan hidung mancung dan sepasang iris berwara biru sebening kristal. Tubuhnya sangat tinggi, begitu tampan ketika dipadukan dengan rambut hitam dan kulit seputih salju yang membalut.

Pria asing itu tersenyum lembut, menatap ke arah Corin dengan tenang dan ramah. Memberikan kesan baik bagi siapapun yang melihatnya. Selayaknya aktor tampan yang baru saja keluar dari majalah ...

Lalu satu orang perempuan yang dikenal Corin. Caroline Weish, berdiri dengan alis yang terpaut, terlihat gelisah dan cemas. Namun, begitu merasakan fokus teman sekelasnya beralih, senyuman mengembang di wajah perempuan itu. Namun ketika mata hitam beralih memandang bocah lelaki yang berdiri paling ujung ... tepat di dekat kaki tempat tidur ...

Corin benar-benar ingin melarikan diri.

Bukankah itu anak yang tidak sengaja ia tampar dengan rambutnya?!

Corin menelan liur gugup. Jantungnya belompat-lompat tidak tenang. Tubuhnya, tidak berani bergerak dan bahkan tanpa sadar ... gemetar.

Apakah mereka berencana balas dendam hanya karena ia tidak sengaja menampar mata seseorang dengan rambut? Sungguh, sebenarnya hari apa ini?! Kenapa seharian ini dirinya dibuat sport jantung terus menerus?!

"Nona?" anak kecil yang memeluk Corin, kembali bersuara. Mengangkat wajah kekanakan yang lucu. Memamerkan sepasang kelereng kelabu yang bulat, ada kebingungan yang tercetak di wajah kecilnya. "Nona gemetar? Nona ... Nona ketakutan?"

Di detik pertanyaan itu jatuh, detik itu juga Corin merasa beban di tubuhnya menghilang. Lalu, sebuah suara bernada rendah terdengar, diiringi dengan beberapa kekacauan yang tidak bisa ditangkap mata.

Corin tercenga. Entah sejak kapan, gadis kecil yang sebelumnya memeluk dengan manja, kini sudah berpindah tempat. Menghilang begitu saja dan kini tengah dipegang oleh pria tampan yang mengenakan jas.

Namun ... ada yang aneh.

Corin benar-benar menyadarinya.

Bagaimana bisa gadis itu menghilang begitu saja di depannya, lalu muncul kembali di hadapan orang lain?!

Tubuh remaja itu gemetar. Tanpa sadar meringkuk dan mencoba menjaga jarak saat suara geraman selayaknya binatang buas terdengar. Dua suara, masing-masing dari gadis kecil dan pria tampan itu. Keduanya menggeram, seraya memamerkan sederet gigi putih mereka. Kedua mata berbeda warna saling memandang, menyipit tajam dan mengirimkan gelombang permusuhan.

Tindakan keduanya ... seperti kedua hewan yang akan berduel.

Corin memucat sempurna memikirkan kata sifat itu.

"Lepaskan aku!" gadis kecil itu menggeram. Kedua tangan kecil dicengkram semakin erat. "LEPASKAN AKU!"

"Kau mencoba melukai Nonaku," Pria itu jelas tidak mau mengalah. Membalas ucapan si kecil dengan nada dingin penuh peringatan.

"Dia menakuti Nonaku!"

Sepasang kelereng biru menyipit berbahaya, geraman dan seringai merekah di wajah tampan yang kini terlihat begitu liar dan haus darah. Tindakannya seolah menjadi pemicu. Gadis kecil kembali mengeluarkan geraman rendah, tanpa mengenal rasa takut, turut memamerkan sederet gigi putihnya.

Caroline mengerutkan alis. "Phoenix, hentikan."

Pria tampan itu tidak mendengarkan.

"Phoenix," sekali lagi, Caroline memanggil. Nadanya lebih tegas, membuat geraman yang keluar dari pria itu berhenti seketika.

Sepasang kelereng biru melirik ke arah remaja di dekatnya, lalu kembali ke bocah kecil yang masih mengeluarkan desisan. Mengerutkan alis, pada akhirnya sosok itu menurut. Melepaskan kedua tangan kecil, lalu menghilang begitu saja.

Corin membeku kaku. Sepasang netra membola sempurna saat menemukan kedua orang itu menghilang, lalu masing-masing muncul kembali di tempat yang berbeda. Tanpa sadar, gadis Yudhistira menahan napas. Jantungnya mencelos saat gadis kecil itu kini berdiri di atas kasurnya. Memunggungi, dengan sikap defensif yang masih mengeluar dari seluruh tubuh.

Mereka berbahaya.

Satu kalimat itu muncul begitu saja di kepala Corin. Membuat seluruh tubuh sang remaja gemetar hebat, dengan rasa takut yang seolah mencekik. Terlebih gadis kecil itu begitu dekat, begitu ... begitu menakutkan.

Apakah ia akan mati?

"Ja .... jangan ... ," Corin tergagap. Matanya terasa panas, menumpukkan air mata hingga membuat pandangannya terasa kabur. Tenggorokannya tercekat. Permohonan yang ingin terucap, entah bagaimana, tidak keluar sama sekali.

Apakah ia akan mati? Apakah ia akan mati?

Suara geraman menghilang. Sosok kecil yang berbahaya mendadak berbalik, menatap ke arah Corin dengan mata kelabunya yang bulat. Begitu cantik, begitu imut. Namun remaja SMA itu ingat. Semakin cantik makhluk hidup, semakin indah mereka ... semakin berbahaya mereka.

"Nona-"

"JANGAN MENDEKAT!" Corin memekik ketakutan. Entah dari mana, mendadak ia mendapatkan kekuatan. Bangkit dari kasur dan berlari tanpa memakai alas. Sepasang mata menatap nanar sekitar dan dalam persekian detik menemukan pintu. Namun, baru tiga langkah berjalan, tubuhnya terasa ditarik dan di detik kemudian, remaja itu memekik karena dilemparkan ke atas kasur.

"APA YANG KAU LAKUKAN DENGAN NONAKU?!" Gadis kecil itu mengaum marah. Refleks mencoba mendekat tetapi mendadak, tubuhnya dipegang oleh lengan besar. Membuat setiap pergerakannya tertahan begitu saja.

"Jangan mendekatinya!" remaja laki-laki melotot, berdiri tegak dan menghalangi pandangan gadis kecil itu.

"NO-"

"KUBILANG JANGAN MENDEKATINYA!"

"KAU YANG-"

"APAKAH KAU MAU DITOLAK MAJIKANMU SENDIRI?!"

Gadis kecil itu membeku. Jelas, ucapan itu sukses membuatnya bungkam. Lalu beberapa saat, gadis kecil itu gemetar. Menatap nanar ke tubuh yang berada di belakang remaja laki-laki. "No-nonaku ... Nonaku tidak mungkin menolakku ... aku ... aku yang memilihnya! Aku yang-"

"Berhenti," Caroline sakit kepala. Adik dan juga gadis kecil itu tidak berhenti ribut. Saling berteriak, membuat gendang telinganya terasa pecah. "Sekarang Corin sudah bangun. Sebaiknya kita menjelaskan situasinya dan-"

"Menjelaskan apa?! Dia Nonaku! Nona yang kupilih-"

"Dan dia manusia biasa dan bukan Penyihir!" Caroline menyela. Melotot menatap gadis kecil yang jelas, terlihat sangat keras kepala. "Kau, Tanpa Nama, apakah tahu apa yang kau lakukan?! Kau memilih Manusia biasa dan bukan Penyihir! Bagaimana bisa kau melakukan kontrak?! Kau berniat membunuh majikanmu sendiri?!"

Gadis kecil itu tercenga. Dalam seketika wajahnya memucat. Perlawanan yang semula begitu sangit, menghilang.

"Benar-benar merepotkan," remaja lelaki itu mendengus. Lalu, sepasang iris cokelat menatap ke arah Corin. Ekspresi remaja itu jelas berubah. Ia terdiam selama beberapa detik, sebelum akhirnya kembali bersuara. "Kak, apa yang ... ingin kau lakukan?" ada nada ragu yang keluar. "Temanmu sangat ketakutan."

Caroline turut menatap ke atas kasur.

Entah sejak kapan, sosok remaja SMA yang menjadi protagonis keributan ini, telah masuk ke dalam selimut hingga membentuk sebuah tonjolan aneh yang mencolok. Seperti sebuah gunung salju kecil yang siap meletus. Gemetar. Mengambil sudut terjauh dari mereka tetapi sedikitpun tidak meninggalkan kasur.

Tindakan itu membuat Caroline dan adiknya saling memandang. Keduanya jelas mendengar gumaman sang remaja. Ia menangis, terisak-isak mengatakan ingin pulang.

Untuk beberapa saat, gadis Weish itu merasa ragu. Melihat keraguan di ekspresi Kakaknya, remaja laki-laki melotot. Tanpa suara, ia mencoba mendorong saudarinya memperbaiki keadaan. Caroline menghela napas berat. Namun dengan pasti, ia tetap berjalan mengitari kasur tanpa suara. Lalu, seolah takut membuat sosok itu semakin diserang perasaan terancam, Caroline mencoba melembutkan nadanya.

"Corin?" gadis yang biasa dipanggil Lin itu memanggil teman sekelasnya dengan lembut. Panggilannya membuat sosok itu berhenti bergumam. Getaran yang ada di selimut turut berhenti.

"Corin?" Lin kembali memanggil. Nadanya sangat lembut, berhati-hati agar Corin tidak ketakutan. "Corin, kamu denger aku kan? Kamu ... tahu aku kan? Kita sekelas loh Rin ... aku Lin, Caroline Weish temen sekelasmu. Nama kita hampir sama loh."

Hening.

Sosok di dalam selimut tidak langsung menyambut atau menanggapi. Namun, untuk tidak kembali merengek ingin pulang atau bahkan gemetar, ini adalah hal yang luar biasa.

"Rin, keluar yuk?" dengan gerakan yang sangat pelan dan hati-hati, tangan Lin bergerak meraih ujung selimut. Mengangkatnya secara perlahan agar tidak menakuti sosok dibalik lapisan kain.

"Kita ... bicara yuk?" senyuman Lin mengembang. Tangan putih itu berhasil mengungkapan sosok remaja yang bersembunyi. Sosok, yang masih mengenakan seragam SMA itu begitu berantakan dengan rambut panjang yang acak-acakan seperti ijuk. Terlebih, dengan hidung yang memerah dan wajah basah karena air mata, Corin Yudhistira terlihat seperti ... orang gila.

Namun ekspresi Lin masih lembut, menatap teman sekelasnya seramah dan sehangat mungkin. Tidak ada ejekan dari ekspresinya, membuat Corin yang sangat ketakutan merasa sedikit ... sedikit lebih bisa mempercayainya.

"Lin?" Corin bergumam, memanggil Caroline dengan suara serak.

"Ya," Lin mengangguk, menanggapi panggilan itu dengan lembut.

"Kita ... ," Corin menelan liur paksa. Sepasang netra gelap menatap nanar sekitarnya. Kedua tangan mecengkram erat selimut. "Kita ... aku .. aku ... aku di mana?"

"Di rumahku," Lin menjawab jujur. "Rumah keluar Weish."

Corin tidak mengerti. Bagaimana bisa ia berada di rumah Lin? Teman sekelas yang bahkan sangat jarang bertegur sapa dengannya? Teman sekelas yang masuk ke dalam group 4 cewek paling sempurna di kelas?

"Rin," fokus sepasang iris gelap itu kembali ke wajah Caroline. Sosok blesteran yang cantik itu tersenyum manis. Namun entah kenapa, Corin benar-benar merasa teman sekelasnya ini terlihat sangat ... berbeda. "Ada satu hal yang hari ini, harus aku kasih tahu ke kamu."

Corin diam. Menatap kosong ke arah teman sekelasnya.

Senyuman remaja itu mengembang. Namun jelas, ekspresinya terlihat sangat sedih. "Rin, maaf, mulai hari ini ... kamu bukan lagi manusia biasa."

Corin bersumpah, begitu ia mendengar apa yang Caroline katakan ...

Hanya satu hal yang ia pikirkan.

Teman sekelasnya ini, Caroline Weish yang terkenal sebagai gadis paling cerdas, sepertinya tidak bisa membedakan kenyataan dan khayalan. Jelas, gadis cantik ini ...  terlalu banyak membaca novel bertema fantasi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status