Pagi-pagi sekali Mas Samsul sudah muncul di depan pintu kosku, setelah sebelumnya mengirim pesan kalau diutus Ko Heru. Gegas aku menyusul Sony yang sudah duduk manis di bentor."Mau jalan-jalan ke mana, Mbak Dira?" tanya Sony sambil cengar-cengir."Nah, nggak tau. Emang mau ke mana, sih, Mas?" tanyaku balik."Emang Wak Dira nggak dikasih tau sama si Bos?" Kali ini Mas Samsul yang bertanya."Enggak, Mas," jawabku. "Eh, iya, selain kita, sama siapa lagi nanti yang pergi?"Kenapa juga semalam aku nggak kepikiran buat nanya, ya? "Ya kita aja paling, sama Cici," jawab Mas Samsul.Tak terasa bentor yang membawa kami bertiga sudah sampai di depan ruko Ko Heru. Lelaki bermata sipit itu terlihat sedang mengecek mesin mobil saat aku turun."Nah, ini dia. Ayo, berangkat," ajak Ko Heru.Aku menyalami Kak Silvi dan Ko Heru bergantian, lalu masuk ke dalam mobil, menyusul Mas Samsul dan Sony yang sudah lebih dulu mas
Jika saat berangkat tadi dapat menikmati pemandangan hijau, maka kali ini yang terlihat adalah berselang-seling antara gelap dan kerlip lampu jalan. Pun suara obrolan hanya sesekali terdengar, tak seperti saat berangkat tadi.Ya, aku memaklumi, mungkin badan sudah lelah seharian dalam perjalanan. Turun naik bukit pula..Sekitar jam sembilan malam aku baru sampai di kos. Kali ini diantar Mas Samsul dengan becak motornya. Bersama Sony juga."Met istirahat ya, Wak Dira?""Sip. Makasih Mas," jawabku dengan mengangkat jempol."Sampai ketemu besok," tambah Mas Samsul lagi, sambil dadah-dadah, lalu melajukan bentornya.Dia satu-satunya yang berangkat kerja naik bentor. Ya karena tuntutan kerja sebagai seksi sibuk memang. Kadang suka bawa anak-anak yang tinggal di mess buat berangkat atau pulang bareng. Suka diminta tolong membawa tabung gas dari toko buat masak di mess juga.Waktu baru datang ke sini, Mas Samsul mengajakku
"Mbak, dari mana, sih, jam segini baru pulang?" tanya Rita yang sudah menunggu di depan pintu saat aku kembali ke kos di jam setengah delapan."Dari masjid," jawabku, sambil melepaskan sepatu."Masjid mana?" Kini ia ikut duduk, tepatnya berjongkok, di samping pintu kamarku.Aku menyebutkan tempat di mana masjid itu berada, lalu duduk di depan pintu kamar yang sudah kubuka. Suara lalu lalang kendaraan masih terdengar berseliweran di luar sana."Oh, yang waktu itu kita ke sana, ya?" gumam Rita sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.Aku mengangguk mengiyakan. Beberapa kali ia memang ikut, meski hanya duduk menunggu dan melihat."Kirain Mbak punya pacar di sini, makanya pulangnya malam terus. Bukannya suka cerita kalau pulangnya jam lima sore. Iya, kan?""Eh, kok pacar, sih?" tanyaku dengan alis nyaris bertaut."Ya, gimana, pulangnya selalu malam. Sudah berapa lama Mbak tingga
Hari kedua tiba di Medan, Nadira mencari masjid terdekat dengan tempat tinggalnya.Gadis itu menelusuri jalan yang dipenuhi pedagang kaki lima di kedua sisinya, hingga tatapannya terhenti pada kubah dan menara masjid di kejauhan, lantas bergegas ke sana.Hatinya langsung merasa damai begitu kedua kakinya memasuki pelataran masjid yang megah itu. Sejak hari itu, ia menjadi sering ke sana setelah pulang kerja.Di sanalah ia bertemu dengan seseorang yang mirip dengan teman kerjanya saat di percetakan. Sabil.Rasa penasaran, membuat Nadira mencari tau, siapa sosok tersebut. Sampai kemudian, dia mengetahui kalau imam masjid yang selama ini membuat hatinya bergetar bahkan terisak karena bacaan surat pendek saat sedang berjamaah di masjid itu, adalah dia yang berwajah mirip dengan temannya.Fatih--nama pria itu–pun menaruh perhatian, karena Nadira hampir setiap hari berada di masjid sejak sore, bahkan sebelum adzan Maghrib berkumandang.
Di tempat lain, Pak Arfan sudah tak sabar menunggu kedatangan Nadira. Maka sejak pagi lelaki itu telah bersiap ke kantor, mengerjakan beberapa hal serta mengecek pekerjaan karyawan.Melihat matahari yang telah mulai tinggi, lelaki pemilik rambut ikal itu segera menghubungi karyawatinya yang diperkirakan telah tiba di Bandara Juanda."Nadira, apa kamu sudah sampai?" sapanya begitu sambungan telepon terhubung."Iya, Pak. Ini baru keluar dari bandara, masih nunggu taksi. Gimana, Pak?"Nadira melihat sekeliling, mencari nomer taksi yang ia pesan. Sementara Pak Arfan tersenyum lebar mendengarnya."Kamu langsung ke sini bisa? Saya mau lihat desain kamu," titah Pak Arfan, membuat Nadira menghela napas berat. "Baik, Pak. Saya segera ke sana." Melihat jam yang melingkari pergelangan tangan kiri, masih jam sebelas siang. "Nanti jam satu ya, Pak. Saya istirahat sebentar," ijin Nadira. Ada beberapa hal yang akan ia kerjakan sebel
Sore hari, Nadira meninggalkan tempat kerja dengan hati gamang. Belum satu hari meninggalkan kota Medan, dan ia sudah rindu. Biasanya kalau pulang kerja, selalu disambut bau harum putu bambu dan putu mayang, sebelum akhirnya melangkahkan kaki menyusuri jalan yang dipenuhi pedagang.Sesekali ia membeli makanan tradisional yang menggugah selera itu, lalu memakannya rame-rame dengan teman kos maupun teman-teman yang tinggal di mess karyawan.Kembali mengayunkan langkah, menuju kos Bu Wulan, tempat tinggal yang juga ia rindukan. Adik dari Rudy itu berniat mampir ke indoapril lebih dulu, hendak membeli beberapa keperluan, juga stok cemilan.Saat sedang mengantri di kasir, tak sengaja ia bertemu mata dengan Mbak Putri, mantan tetangga kosnya dulu.Mbak Putri merangsek masuk, langsung menuju Nadira yang sedang menunggu belanjanya dihitung."Nadira, tunggu Mbak bentar, ya. Nanti kita ngopi di depan," ujarnya dengan berbisik.Sesungguhnya
"Masa cuma segini, Ra?"Putri memberengut protes saat menerima selembar uang bergambar presiden Soekarno dari Nadira."Maaf, Mbak. Aku bisanya ngasih segitu buat uang saku anak Mbak, nggak usah dibalikin, oke?" Yang ditanya masih menatap selembar uang di tangan dan pemberinya bergantian. Tatapan matanya mengintimidasi, seakan Nadira telah melakukan kesalahan fatal."Mau, nggak? Kalau nggak mau, sini balikin," seloroh Nadira, sengaja menggoda temannya yang tak kunjung menjawab, masih memasang wajah jutek.Kini ia meraih botol pemberian Putri, lantas membuka dan mulai menyesap isinya. Rasa pahit berpadu manis yang samar, tertinggal di pangkal lidahnya.'Semoga nggak apa-apa. Sudah lama aku nggak minum kopi kemasan,' gumam Nadira dalam hati.Ya, demi kesembuhan lambung, ia mengurangi konsumsi kopi, mengganti dengan minuman yang lebih sehat seperti jus buah maupun sayur. Sesekali masih minum hanya demi mengobati kangen pada
"Ra, tolonglah Mbak. Masa kamu nggak percaya sama Mbak, sih? Pinjami, ya, kali ini saja. Please."Pesan tersebut disertai emot nangis tiga biji, juga kedua tangan yang saling menangkup."Maaf, Mbak, bukan nggak percaya. Aku hanya menjaga hubungan yang sudah ada. Sudah terlalu banyak kasus karena hutang lalu jadi musuhan. Atau yang minjem lebih galak dari yang nagih. Apalagi track record kamu sudah tersimpan dalam memori, kalau bayar suka lama, mundur-mundur. Janji dua Minggu, taunya lima bulan baru dibayar. Itu pun harus ditagih terus, dan selalu kasih janji manis biar yang nagih jatuh iba. Capek, Mbak, kalau dengar cerita teman-teman soal kamu."Dibaca sekali lagi sebelum menekan tombol send. Ketikan panjang itu dihapus lagi oleh Nadira, lalu diganti dengan,"Maaf, Mbak."Send..Putri membanting ponsel ke atas kasur. Wajahnya ditekuk maksimal setelah membaca pesan dari Nadira."Sombong amat! Mentang-menta