Share

Bab 6. Kakak macam apa?

Nadira telah menghilang di ujung jalan. Meninggalkan rasa bersalah yang besar pada lelaki yang bergelar kakak sulung ini.

Aku seperti tak mengenal adikku lagi. Ia bahkan mengabaikan tatapan dari tetangga yang bermunculan dan melihat tontonan gratis beberapa saat tadi.

Entah apa yang telah ia lalui selama kami terpisah jarak ribuan kilometer. Ia bahkan tak membagi luka yang tengah ia rasa.

Aku menengadah, melihat langit-langit rumah. Baru tersadar kalau semua kayu dan genteng di rumah ini masih baru dan bagus. Ke mana saja aku selama ini, hingga tak tau ada hal buruk menimpa keluargaku?

Kucari ibu, ingin bertanya kenapa aku tak diberitahu perihal robohnya atap rumah ini. Meski aku sempat menghilang dan baru kembali, bukankah aku anak lelaki, yang bertanggung jawab atas adik-adik dan ibuku sepeninggal ayah?

Mengedarkan pandangan dan mencari ke sekeliling rumah, tapi ibu tak juga terlihat. Kemana perginya sepagi ini?

Kutemukan ibu tengah berada di kamar dengan mukena putih membungkus tubuhnya. Kedua tangannya menengadah, samar kudengar beliau terisak dalam do'a panjangnya.

Aku meninggalkan beliau yang tengah khusuk bercengkrama dengan Sang Pencipta. Halaman belakang menjadi tujuan. Kukeluarkan sebatang rokok, lantas menyesap dalam-dalam begitu bara menyala di ujungnya.

Tak lama kemudian, kudengar ibu mencari dengan memanggil-manggil namaku.

"Di sini rupanya," ujar beliau saat akhirnya menemukanku di sini. Aku menoleh, hingga tatapan mata kami bersirobok. Kedua sudut bibirku tertarik ke atas, menyambut ibu yang bergerak mendekat.

Beliau mengambil tempat di sampingku, tak terganggu dengan asap yang masih kumainkan dengan mulut.

"Itu, tadi ibu belikan pecel, katanya pengen?" kata ibu. Telunjuknya mengarah ke meja dapur. Aku mengangguk mengerti.

"Iya, Bu. Nanti habis ini. Makasih, ya, Bu," jawabku. Ibu mengangguk-angguk. Tangannya meraih sesuatu di bawah bangku. Terlihat olehku kacang tanah memenuhi wadah itu, lalu beliau mulai mengupasnya.

"Bu, kenapa aku tak diberitahu kalau atap rumah ini roboh?" tanyaku tak sabar.

Ibu menghentikan gerakannya sejenak, menatapku, lalu menghela napas. Ibu masih tak bicara, aku jadi makin penasaran.

"Bu, aku anak laki-laki di rumah ini. Kenapa ada hal sepenting itu aku tak diberitahu?"

Ibu mendongak, menatapku lama, lalu bertanya, "untuk apa? Semua sudah diperbaiki."

"Ya, setidaknya aku tau, Bu. Aku malu, lho, sama Nadira, masa aku yang laki-laki nggak bantu apa-apa."

Teringat lagi tatapan adikku sebelum berangkat tadi. Sorot matanya yang menatapku lekat seakan berkata, 'ada atau nggak ada kamu sama saja, Mas.'

"Sekarang kamu ada di rumah saja hati ibu dan adik-adikmu sudah ayem," jawab ibu dengan mengulas senyum.

"Soal atap itu, Nadira yang minta, tak usah bicara jika tak ditanya."

.

Sejak hari itu, semua tak lagi sama. Adikku, Nadira, yang selama ini kukenal sebagai anak pendiam, kian tak terdengar suaranya.

Ia lebih sering mengurung diri di kamar setelah pulang kerja. Tak jarang kulihat bekas air mata di wajahnya.

Beberapa kali kupergoki ia sedang menyusut sudut mata, saat kami berkumpul dan bercengkrama, meski tak lama kemudian ia pamit dan kembali menenggelamkan diri di kamar.

Ke mana adik yang dulu kugendong keliling kampung sambil tertawa-tawa, lalu kupamerkan pada semua orang bahwa aku punya adik perempuan?

Hatiku gembira saat akhirnya ada adik kecil yang lahir dari perut ibu. Adik yang selalu kupinta, sebab tak ada temanku bermain saat ibu dan ayah berangkat ke sawah. Adikku satu-satunya, yang kubela saat ada teman yang berani mengusiknya.

Sampai kemudian lahir adikku yang lain, perhatianku terpecah. Salma lebih lucu dan menggemaskan. Ia masih bisa kugendong, sedangkan Nadira telah semakin besar dan berat.

Terlebih lagi, tak lama kemudian ayah berpulang, membuat naluriku sebagai seorang kakak ingin melindungi si bungsu yang hanya merasakan sebentar kasih sayang ayah. Meski aku menyayangi keduanya, entah mengapa kurasakan kalau Nadira semakin jauh untuk kujangkau.

Ia telah menjelma jadi gadis dewasa. Ia hampir tak kulihat merepotkan ibu. Yang ada ia tak pernah duduk diam saat di luar kamar. Ada saja yang ia pegang, entah mengelap kaca atau mencabut rumput di halaman.

Candaan yang dilemparkan oleh adiknya pun, hanya ditanggapi sekedarnya. Mengalihkan perhatian pada makanan adalah hal yang sangat kentara. Ia bisa bolak-balik ke dapur, lalu mencomot sepotong kue yang memang selalu tersedia.

"Aku punya asam lambung, Mas. Tak bisa makan sekaligus banyak. Jangan kaget kalau adikmu ini ngunyah terus," jawabannya saat kutanya, kenapa tak berhenti mengunyah. Dan itu membuatku terhenyak. Aku tak pernah mendengar penyakit itu sebelumnya. Hingga kemudian mencari tau melalui ponsel pintarku.

Sedikit banyak kini aku tau, kalau penyakitnya itu dipengaruhi oleh pikiran. Mungkin perpisahannya dengan Damar yang tragis itu menjadi penyebabnya. Namun, aku bersyukur, adikku mengerti caranya mengatasi emosi, hingga tak kulihat ia muntah-muntah seperti hari itu. Entah kalau di luar rumah.

Dulu, kuijinkan ia menjalin hubungan dengan pria itu, meski dalam diamku mengamati. Kulihat ketulusan terpancar di matanya, saat bertemu dengan Damar. Lalu hatiku menghangat, melihat mereka berbincang akrab, hal yang tak dilakukan oleh Nadira jika berada dekat denganku.

Sedikit banyak aku merasa bersalah. Mungkin tak adanya aku di rumah ini dalam waktu lama menjadi penyebabnya. Mau bagaimana lagi, aku harus rela menyeberang pulau, demi mencari rupiah, meski lebih seringnya habis terpakai untuk kebutuhanku sendiri.

Kini sorot itu hampir tak kulihat lagi, yang ada kian meredup, meski aku tau ia berusaha untuk terus menegakkan kepala.

"Mas, jika memang ada gadis baik yang akan kau pinang, tak perlu menungguku, ya. Seperti yang kau katakan hari itu, ingin menunggu adik-adikmu melangkah lebih dulu. Aku tak mau Mas Rudy jadi bujang lapuk," ujarnya malam ini tanpa kuduga.

Entah kenapa hatiku sakit mendengarnya. Rupanya perpisahannya dengan Damar telah mengubah banyak hal dalam dirinya. Ingin aku bertanya, 'sesakit apa rasanya, Ra?' Tapi lidah ini seakan terkunci jika bertemu dengan adikku itu.

Kurengkuh bahunya, meski aku tau ia akan menghindar seperti biasa. Kutepuk-tepuk pelan bahu adikku, lalu berkata, " sabar, ya. Mas do'akan kamu dapat ganti yang jauh lebih baik. Jangan risaukan Masmu ini."

Ya, bukankah aku laki-laki, tak masalah meski terlambat menikah. Tapi adikku … ia perempuan, yang kini tengah menjadi bahan pembicaraan orang-orang.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status