Share

Bab 6. Kakak macam apa?

Author: Nisa Khair
last update Last Updated: 2023-03-30 10:49:41

Nadira telah menghilang di ujung jalan. Meninggalkan rasa bersalah yang besar pada lelaki yang bergelar kakak sulung ini.

Aku seperti tak mengenal adikku lagi. Ia bahkan mengabaikan tatapan dari tetangga yang bermunculan dan melihat tontonan gratis beberapa saat tadi.

Entah apa yang telah ia lalui selama kami terpisah jarak ribuan kilometer. Ia bahkan tak membagi luka yang tengah ia rasa.

Aku menengadah, melihat langit-langit rumah. Baru tersadar kalau semua kayu dan genteng di rumah ini masih baru dan bagus. Ke mana saja aku selama ini, hingga tak tau ada hal buruk menimpa keluargaku?

Kucari ibu, ingin bertanya kenapa aku tak diberitahu perihal robohnya atap rumah ini. Meski aku sempat menghilang dan baru kembali, bukankah aku anak lelaki, yang bertanggung jawab atas adik-adik dan ibuku sepeninggal ayah?

Mengedarkan pandangan dan mencari ke sekeliling rumah, tapi ibu tak juga terlihat. Kemana perginya sepagi ini?

Kutemukan ibu tengah berada di kamar dengan mukena putih membungkus tubuhnya. Kedua tangannya menengadah, samar kudengar beliau terisak dalam do'a panjangnya.

Aku meninggalkan beliau yang tengah khusuk bercengkrama dengan Sang Pencipta. Halaman belakang menjadi tujuan. Kukeluarkan sebatang rokok, lantas menyesap dalam-dalam begitu bara menyala di ujungnya.

Tak lama kemudian, kudengar ibu mencari dengan memanggil-manggil namaku.

"Di sini rupanya," ujar beliau saat akhirnya menemukanku di sini. Aku menoleh, hingga tatapan mata kami bersirobok. Kedua sudut bibirku tertarik ke atas, menyambut ibu yang bergerak mendekat.

Beliau mengambil tempat di sampingku, tak terganggu dengan asap yang masih kumainkan dengan mulut.

"Itu, tadi ibu belikan pecel, katanya pengen?" kata ibu. Telunjuknya mengarah ke meja dapur. Aku mengangguk mengerti.

"Iya, Bu. Nanti habis ini. Makasih, ya, Bu," jawabku. Ibu mengangguk-angguk. Tangannya meraih sesuatu di bawah bangku. Terlihat olehku kacang tanah memenuhi wadah itu, lalu beliau mulai mengupasnya.

"Bu, kenapa aku tak diberitahu kalau atap rumah ini roboh?" tanyaku tak sabar.

Ibu menghentikan gerakannya sejenak, menatapku, lalu menghela napas. Ibu masih tak bicara, aku jadi makin penasaran.

"Bu, aku anak laki-laki di rumah ini. Kenapa ada hal sepenting itu aku tak diberitahu?"

Ibu mendongak, menatapku lama, lalu bertanya, "untuk apa? Semua sudah diperbaiki."

"Ya, setidaknya aku tau, Bu. Aku malu, lho, sama Nadira, masa aku yang laki-laki nggak bantu apa-apa."

Teringat lagi tatapan adikku sebelum berangkat tadi. Sorot matanya yang menatapku lekat seakan berkata, 'ada atau nggak ada kamu sama saja, Mas.'

"Sekarang kamu ada di rumah saja hati ibu dan adik-adikmu sudah ayem," jawab ibu dengan mengulas senyum.

"Soal atap itu, Nadira yang minta, tak usah bicara jika tak ditanya."

.

Sejak hari itu, semua tak lagi sama. Adikku, Nadira, yang selama ini kukenal sebagai anak pendiam, kian tak terdengar suaranya.

Ia lebih sering mengurung diri di kamar setelah pulang kerja. Tak jarang kulihat bekas air mata di wajahnya.

Beberapa kali kupergoki ia sedang menyusut sudut mata, saat kami berkumpul dan bercengkrama, meski tak lama kemudian ia pamit dan kembali menenggelamkan diri di kamar.

Ke mana adik yang dulu kugendong keliling kampung sambil tertawa-tawa, lalu kupamerkan pada semua orang bahwa aku punya adik perempuan?

Hatiku gembira saat akhirnya ada adik kecil yang lahir dari perut ibu. Adik yang selalu kupinta, sebab tak ada temanku bermain saat ibu dan ayah berangkat ke sawah. Adikku satu-satunya, yang kubela saat ada teman yang berani mengusiknya.

Sampai kemudian lahir adikku yang lain, perhatianku terpecah. Salma lebih lucu dan menggemaskan. Ia masih bisa kugendong, sedangkan Nadira telah semakin besar dan berat.

Terlebih lagi, tak lama kemudian ayah berpulang, membuat naluriku sebagai seorang kakak ingin melindungi si bungsu yang hanya merasakan sebentar kasih sayang ayah. Meski aku menyayangi keduanya, entah mengapa kurasakan kalau Nadira semakin jauh untuk kujangkau.

Ia telah menjelma jadi gadis dewasa. Ia hampir tak kulihat merepotkan ibu. Yang ada ia tak pernah duduk diam saat di luar kamar. Ada saja yang ia pegang, entah mengelap kaca atau mencabut rumput di halaman.

Candaan yang dilemparkan oleh adiknya pun, hanya ditanggapi sekedarnya. Mengalihkan perhatian pada makanan adalah hal yang sangat kentara. Ia bisa bolak-balik ke dapur, lalu mencomot sepotong kue yang memang selalu tersedia.

"Aku punya asam lambung, Mas. Tak bisa makan sekaligus banyak. Jangan kaget kalau adikmu ini ngunyah terus," jawabannya saat kutanya, kenapa tak berhenti mengunyah. Dan itu membuatku terhenyak. Aku tak pernah mendengar penyakit itu sebelumnya. Hingga kemudian mencari tau melalui ponsel pintarku.

Sedikit banyak kini aku tau, kalau penyakitnya itu dipengaruhi oleh pikiran. Mungkin perpisahannya dengan Damar yang tragis itu menjadi penyebabnya. Namun, aku bersyukur, adikku mengerti caranya mengatasi emosi, hingga tak kulihat ia muntah-muntah seperti hari itu. Entah kalau di luar rumah.

Dulu, kuijinkan ia menjalin hubungan dengan pria itu, meski dalam diamku mengamati. Kulihat ketulusan terpancar di matanya, saat bertemu dengan Damar. Lalu hatiku menghangat, melihat mereka berbincang akrab, hal yang tak dilakukan oleh Nadira jika berada dekat denganku.

Sedikit banyak aku merasa bersalah. Mungkin tak adanya aku di rumah ini dalam waktu lama menjadi penyebabnya. Mau bagaimana lagi, aku harus rela menyeberang pulau, demi mencari rupiah, meski lebih seringnya habis terpakai untuk kebutuhanku sendiri.

Kini sorot itu hampir tak kulihat lagi, yang ada kian meredup, meski aku tau ia berusaha untuk terus menegakkan kepala.

"Mas, jika memang ada gadis baik yang akan kau pinang, tak perlu menungguku, ya. Seperti yang kau katakan hari itu, ingin menunggu adik-adikmu melangkah lebih dulu. Aku tak mau Mas Rudy jadi bujang lapuk," ujarnya malam ini tanpa kuduga.

Entah kenapa hatiku sakit mendengarnya. Rupanya perpisahannya dengan Damar telah mengubah banyak hal dalam dirinya. Ingin aku bertanya, 'sesakit apa rasanya, Ra?' Tapi lidah ini seakan terkunci jika bertemu dengan adikku itu.

Kurengkuh bahunya, meski aku tau ia akan menghindar seperti biasa. Kutepuk-tepuk pelan bahu adikku, lalu berkata, " sabar, ya. Mas do'akan kamu dapat ganti yang jauh lebih baik. Jangan risaukan Masmu ini."

Ya, bukankah aku laki-laki, tak masalah meski terlambat menikah. Tapi adikku … ia perempuan, yang kini tengah menjadi bahan pembicaraan orang-orang.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Ending 2

    "Aduh, nyumbang kok, terus!"Zahra meletakkan tas yang tadi dibawa ke rumah tetangga yang punya hajat menikahkan anaknya. Melepaskan kerudung, menyalakan kipas angin, Zahra merebahkan badan sambil memejamkan mata."Besok masih ada Aji, khitanan dia, sama Bulek Rumi nikahkan anaknya. Beras kayaknya tinggal sedikit, ya, Mas?" tanya Zahra yang kembali membuka mata.Rudy menatap karung beras yang isinya tinggal satu takaran untuk memasak nasi. Lelaki itu menghela napas lelah. Belum satu Minggu beras seberat dua puluh lima kilo itu dibeli untuk konsumsi sendiri. Namun, banyaknya hajatan di desa tersebut, membuat stok beras yang cukup untuk satu bulan itu hanya bertahan beberapa hari.Melihat toko sembako yang dirintis sejak lima tahun yang lalu, hati lelaki itu kian nelangsa. Tidak ada perkembangan berarti pada toko tersebut. Pembeli memang ada, tapi pengeluaran tidak sebanding dengan besarnya pemasukan.Lelaki itu tidak habis mengerti, ke man

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Ending

    Lila tidak pernah menyangka bahwa keputusan orang tuanya adalah mutlak. Nama orang tua yang tercoreng akibat perbuatannya yang viral di sosial media, membuat semua fasilitas dicabut paksa.Wanita itu mulai kelimpungan sebab tak biasa hidup sederhana. Jatah uang jajan yang berkurang drastis, tak mampu menyokong gaya hidupnya. Beberapa barang mewah yang pernah didapat dari Rendi berusaha dia jual. Namun, lagi-lagi kecewa harus dirasakan. Perhiasan bertabur berlian, tas mewah, sepatu bermerk, semua adalah barang KW. Otomatis tidak bisa dijual dengan harga tinggi.Kata makian kembali terlontar berulang kali. Namun, hal itu tidak bisa mengubah apa pun. Terlebih ketika dia akhirnya menemui Rendi, lelaki itu justru mengatakan kalau Lila bisa mendapatkan semua barang branded yang dipilih dari outlet resmi sesukanya, yakni dengan menukar Sahara untuk dirawat dan dibesarkan bersama kekasihnya di luar negeri."Masa depan anak itu akan terjamin. Kamu bebas menjadi wan

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Jelang Ending 2

    "Mohon maaf, Mbak. Apa ada kartu yang lain? Kartu ini tidak dapat digunakan," ucap petugas kasir membuat Lila melotot."Masa nggak bisa, sih? Saldonya masih banyak, loh?" jawab Lila mulai gusar. Diberikan sebuah kartu lain, hasilnya sama saja."Atau bisa dibayar dengan uang cash saja," pinta petugas kasih dengan sopan. Meskipun demikian, perempuan muda itu merasa tak enak hati saat melihat antrian yang masih mengular."Saya nggak bawa uang cash, Mbak," jawab Lila mulai kesal. "Sebentar saya telpon dulu, ya," ijinnya yang diiyakan oleh wanita dengan name tag Almira."Biar saya yang bayar."Sebuah suara yang dirasa tak asing, membuat Lila mengurungkan niat menelpon orang tuanya. Kedua matanya melotot melihat lelaki yang tempo hari mengaku istri kekasihnya.."Gue nggak butuh dikasihani!" seru Lila dengan ketus, saat Audrey memaksa membayar dan membawa belanjaannya. "Kau akan menyusahkan kasir kalau sampai batal membeli. Dia harus bayar itu semua yang sudah discan. Iya kalau dia punya du

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Jelang Ending

    Beberapa saat sebelumnya ...."Kamu apa nggak kangen anakmu, Nang?" tanya Bu Astuti pada Rudy yang duduk di teras ditemani rokok dan segelas kopi pahit."Kangen, Bu," jawab Rudy tanpa menoleh pada sang ibu. Asap kembali ia kepulkan ke udara.Bu Astuti menatap anaknya dengan pandangan iba. Semenjak tinggal berdua dengan ibunya saja, Rudy lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Toko sembako yang baru dirintis itu, hanya dibuka saat malam, tepatnya lewat Magrib hingga kantuk datang. Tidak menentu.Seperti sekarang, Rudy istirahat dari lelahnya beraktivitas di sawah sambil menunggu pembeli. Bu Astuti ikut duduk di samping anaknya yang terlihat lelah. "Kenapa, Bu? Ibu mau ketemu cucu ibu?" tanya Rudy kemudian. Bu Astuti ingin mengangguk, tapi, kepalanya justru menggeleng. Rasa rindu itu sudah demikian besar. Pun ingin tahu bagaimana kabar sang cucu pasca cedera tulang ekor hari itu. Hanya saja, melihat Rudy yang nyaris tak pernah membahas istri dan anaknya, membuat wanita paruh bay

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Bab 61A

    Zahra terus menyalahkan Nadira atas sakit yang diderita anaknya. Jatuh dengan posisi terduduk itu rupanya membuat cedera pada tulang ekor Rayyan. Meskipun tidak sampai patah seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, tetap saja membatasi kegiatan Rayyan, hingga bocah itu kerap rewel jika merasa bosan, sebab tidak bisa bebas beraktivitas seperti sediakala.Kedua orang tua Zahra ikut menyalahkan Nadira atas kejadian yang membuat cucunya cedera. Menurut mereka, kejadian itu tidak pernah terjadi sebelumnya, baik di rumah orang tua Rudy, maupun di rumah mereka saat Rayyan berkunjung.Sebagai cucu pertama dan kesayangan, nyaris semua perhatian tertumpah ruah pada anak itu. Nadira tidak heran sebab sudah berulang kali terjadi, jika ada sesuatu yang terjadi pada Rayyan, maka orang lain lah yang akan dikambinghitamkan, sementara Rayyan tersenyum penuh kemenangan.Tidak tahan lagi dengan makian yang didapat dari keluarga kakak iparnya, maka Nadira sepakat dengan Fajar untuk menunjukkan bukti rekama

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Bab 60C

    Di tempat lain ….Damar memandangi layar ponselnya dengan jengah. Rentetan pesan dan panggilan dari Lila sengaja ia abaikan. Dari sekilas pesan yang terbaca saat muncul di pop up, ia tahu kalau Lila kalang kabut sebab kepergiannya dengan Sahara. Tentu saja Damar mengerti kegelisahan wanita yang telah empat tahun terakhir membersamai hidupnya.Lila pernah bercerita, bahwa hibah harta dari Pak Wirya dan Bu Marta kemungkinan besar akan ditunda, atau justru dibatalkan, jika sampai terjadi hal buruk dalam pernikahannya. Damar tidak peduli sama sekali. Baginya, jika itu berkaitan dengan harta orang tua Lila, dia tidak mau ikut campur. Toh, selama ini dia juga terus menerus disebut tidak berguna sebagai seorang suami, meski telah berusaha maksimal untuk mengelola lahan yang menghasilkan puluhan kwintal bawang merah.Sempat terlintas keinginan untuk menggugat Lila dengan tuduhan penipuan pernikahan. Namun, dirasa hanya buang waktu dan tenaga, i

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status