Share

Bab 7. Penggemar Rahasia

Author: Nisa Khair
last update Last Updated: 2023-04-10 16:36:24

POV Nadira

Aku sedang menyeruput kopi hitam di jam istirahat, saat Mbak Ira–teman kuliah Mas Damar–datang tergopoh-gopoh menghampiri.

"Nadira, kamu beneran udah putus sama Damar?"

Ia bertanya tak sabar, lalu ndusel-ndusel- di kursi sempit yang sedang kududuki. Aku tersenyum melihat tingkahnya, lalu bergeser ke kursi sebelah.

"Iya. Kenapa, sih, Mbak?"

"Akhirnya … . Seneng Mbak dengernya. Lihat itu, Mas Adi, dia yang paling seneng waktu dapat kabar kamu nggak jadi sama Damar."

Aku melirik pria berambut sebahu yang tengah tersenyum ke arahku. Ia sedikit menganggukkan kepala saat aku melihatnya. Mereka berdua teman seangkatan dengan Mas Damar, sedangkan Mbak Ira dulu pernah kerja di sini juga, hanya saja ia sudah pindah.

"Kamu kan nggak tau dia kayak gimana kalau di luar. Kita-kita, nih, yang cemas sama kamu," ujar Mbak Ira lagi.

Aku tau kalau sejak awal mereka berdua kurang setuju dengan hubunganku dengan Mas Damar. Tapi, mereka tak mau mengatakan apa pun jika aku bertanya.

"Nanti juga tau sendiri," selalu jawaban yang sama yang mereka beri. Dan kini terbukti, ternyata Mas Damar memang sebrengsek itu.

Untuk beberapa saat lamanya, aku dan Mbak Ira menikmati onde-onde mini yang tadi kubeli di depan, sedangkan Mas Adi, ia hanya duduk diam di kursi, sesekali memainkan ponsel.

"Mas Adi mau kopi?" tawarku. Nggak enak juga lihat pria yang sudah seperti kakak sendiri itu dianggurin.

"Nggak usah, Ra. Makasih. Masih betah kamu di sini?" jawabnya, sambil melihat sekeliling.

"Masih, Mas."

Ia hanya mengangguk-anggukkan kepala.

"Nadira," panggil Mbak Ira ragu.

Aku menoleh, mendapati ia tengah saling tatap dengan Mas Adi, seperti sedang ngasih kode melalui sorot mata. Kenapa mereka ini?

"Iya, Mbak?"

"Kamu nggak pengen ganti suasana? Mm … pindah kerja, misalnya?" tanya Mbak Ira hati-hati.

Aku berpikir sejenak. Memang ada keinginan untuk pergi ke suatu tempat … yang asing sama sekali, setidaknya untuk menenangkan diri. Terlalu banyak kisah dan kenangan di kota ini. Tak jarang aku merasa kalau kepalaku dihimpit batu besar, jika melintas bayangan Mas Damar. Terlebih foto-foto bersama Lila yang sungguh tak ingin kuingat lagi.

Aku menggeleng sebagai jawaban. Mbak Ira menghela napas, demikian juga dengan Mas Adi.

"Ya udah, nanti kalau kamu berubah pikiran, kabari aja, ya," ujar Mbak Ira, lalu memelukku.

"Kamu juga harus kurangin ngopi, sayangi ginjal kamu, ya. Makan yang banyak, jangan sampai sakit."

Aku melerai pelukan, lantas memindai gadis berlesung pipi di depanku. Kami tak memiliki hubungan darah, tapi ia memahami banyak hal tentangku.

"Makasih, Mbak," jawabku dengan suara parau. "Eh, salah. Bu guru, ya, sekarang?"

Mbak Ira terkekeh-kekeh. Mereka berdua menemani aku berbincang, lalu pamit saat jam istirahat habis.

.

"Aku cuma mau dilayani sama operator cewek, Mbak."

Terdengar suara ribut-ribut di belakangku, di tengah ramainya pengunjung dan kesibukan semua orang di ruangan ini.

Aku merasa tak asing dengan suara itu. Namun, aku tetap harus konsentrasi dengan desain stiker yang sedang kusetting untuk antri dicetak. Jangan sampai kejadian kemarin terulang lagi. Cetak brosur seratus, eh, kelebihan nol satu.

Namaku dipanggil setelah pekerjaanku selesai. Saat menoleh, manik mataku menangkap sosok Lila yang tengah mengedarkan pandang ke seisi ruangan.

Mbak Dini berbicara sebentar pada Lila, lalu menunjuk ke arahku. Aku memejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya Lila duduk di sampingku. Ia menyerahkan flashdisk yang segera kuterima.

"Undangan Lila," ujarnya tanpa basa-basi, menunjukkan nama file yang ingin ia cetak.

Aku terhenyak saat akhirnya file itu terbuka, lalu muncul nama Lila dan Mas Damar sebagai sepasang mempelai. Ditambah lagi beberapa foto prewedding melengkapi undangan itu.

Perasaanku kenapa jadi nggak enak, ya. Ada banyak percetakan di daerah ini, kenapa dia sengaja sekali nyetak undangan di sini. Hanya minta dilayani olehku pula.

Ia sibuk dengan ponselnya untuk beberapa saat, lalu mengalihkan pandang pada layar 14 inchi di depanku.

"Bagaimana, undanganku keren, kan?" tanyanya kemudian.

"Iya, memang keren," jawabku apa adanya. Bibirku terus melantunkan istighfar.

"Pestaku akan meriah nanti."

Aku hanya menjawab dengan 'hmm'. Pikiranku masih fokus pada layar. Cepatlah selesai, biar tak berlama-lama berhadapan dengan perempuan ini.

"Kau telah kalah, Nadira," desisnya. Aku melirik sekilas. Senyum kemenangan menghiasi wajahnya.

"Kita tak sedang berlomba, tak ada kalah atau menang," jawabku, masih sibuk dengan pekerjaan.

Lila menghentakkan kakinya ke lantai. Beberapa orang nampaknya mulai melihat kami berdua. Tak mau terpancing, aku memilih menyelesaikan pekerjaan.

"Mau dicetak berapa, Mbak?" tanyaku, setelah semua siap.

"Seribu," sambarnya cepat. "Selesai besok, bisa?" tanyanya lagi.

Heh? Yang benar saja. Dikira sulapan apa, ya. Ini saja sudah hampir jam tiga. Di dalam juga masih banyak antrian. Kacau juga anak ini.

"Oke, saya tanyakan dulu sama yang di dalam. Tunggu di sini, ya," jawabku, lalu beranjak dari kursi.

"Kamu harus datang. Aku mengundangmu, Nadira."

.

Banyaknya pekerjaan, membuat aku enggan beranjak pulang, meski jam kerjaku telah berakhir. Percetakan ini akan tutup di jam delapan, tapi di dalam masih akan sibuk sampai jam sembilan.

Bergabung dengan teman-teman di bagian finishing menjadi pilihan. Aku betah berlama-lama di sini, sebab teman-teman selalu saja melontarkan canda yang membuat hati ini terhibur.

"Nadira, ada titipan ini, buat kamu," ujar Mbak Ambar saat aku hendak pulang.

Keningku mengernyit, lalu menerima kertas yang ia ulurkan.

"Dari siapa, Mbak?"

"Nggak tau, cuma pesen kasihkan ke kamu, gitu."

Mbak Ambar segera berlalu setelah kuucapkan terima kasih. Aku menggelengkan kepala melihat isinya.

"Bandung dulu sebelum Jakarta, senyum dulu sebelum pulang kerja."

Tak urung kedua sudut bibir tertarik ke atas, membentuk lengkungan senyum.

Entah siapa pengirimnya. Selalu ada kiriman kartu pos bertuliskan kalimat pendek seperti ini, kadang sepenggal kalimat motivasi, tapi tak ada yang mengaku jika ditanya.

Pun tak ada alamat yang tertera. Emangnya bisa, ya, ngirim kartu pos gini tanpa menyertakan alamat pengirimnya? Lagi pula, di jaman serba canggih ini, ternyata masih ada yang bertahan dengan pernak-pernik dari kantor pos.

Siapa pun pengirimnya, terima kasih, sudah menutup hari ini dengan membuatku tersenyum.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Ending 2

    "Aduh, nyumbang kok, terus!"Zahra meletakkan tas yang tadi dibawa ke rumah tetangga yang punya hajat menikahkan anaknya. Melepaskan kerudung, menyalakan kipas angin, Zahra merebahkan badan sambil memejamkan mata."Besok masih ada Aji, khitanan dia, sama Bulek Rumi nikahkan anaknya. Beras kayaknya tinggal sedikit, ya, Mas?" tanya Zahra yang kembali membuka mata.Rudy menatap karung beras yang isinya tinggal satu takaran untuk memasak nasi. Lelaki itu menghela napas lelah. Belum satu Minggu beras seberat dua puluh lima kilo itu dibeli untuk konsumsi sendiri. Namun, banyaknya hajatan di desa tersebut, membuat stok beras yang cukup untuk satu bulan itu hanya bertahan beberapa hari.Melihat toko sembako yang dirintis sejak lima tahun yang lalu, hati lelaki itu kian nelangsa. Tidak ada perkembangan berarti pada toko tersebut. Pembeli memang ada, tapi pengeluaran tidak sebanding dengan besarnya pemasukan.Lelaki itu tidak habis mengerti, ke man

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Ending

    Lila tidak pernah menyangka bahwa keputusan orang tuanya adalah mutlak. Nama orang tua yang tercoreng akibat perbuatannya yang viral di sosial media, membuat semua fasilitas dicabut paksa.Wanita itu mulai kelimpungan sebab tak biasa hidup sederhana. Jatah uang jajan yang berkurang drastis, tak mampu menyokong gaya hidupnya. Beberapa barang mewah yang pernah didapat dari Rendi berusaha dia jual. Namun, lagi-lagi kecewa harus dirasakan. Perhiasan bertabur berlian, tas mewah, sepatu bermerk, semua adalah barang KW. Otomatis tidak bisa dijual dengan harga tinggi.Kata makian kembali terlontar berulang kali. Namun, hal itu tidak bisa mengubah apa pun. Terlebih ketika dia akhirnya menemui Rendi, lelaki itu justru mengatakan kalau Lila bisa mendapatkan semua barang branded yang dipilih dari outlet resmi sesukanya, yakni dengan menukar Sahara untuk dirawat dan dibesarkan bersama kekasihnya di luar negeri."Masa depan anak itu akan terjamin. Kamu bebas menjadi wan

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Jelang Ending 2

    "Mohon maaf, Mbak. Apa ada kartu yang lain? Kartu ini tidak dapat digunakan," ucap petugas kasir membuat Lila melotot."Masa nggak bisa, sih? Saldonya masih banyak, loh?" jawab Lila mulai gusar. Diberikan sebuah kartu lain, hasilnya sama saja."Atau bisa dibayar dengan uang cash saja," pinta petugas kasih dengan sopan. Meskipun demikian, perempuan muda itu merasa tak enak hati saat melihat antrian yang masih mengular."Saya nggak bawa uang cash, Mbak," jawab Lila mulai kesal. "Sebentar saya telpon dulu, ya," ijinnya yang diiyakan oleh wanita dengan name tag Almira."Biar saya yang bayar."Sebuah suara yang dirasa tak asing, membuat Lila mengurungkan niat menelpon orang tuanya. Kedua matanya melotot melihat lelaki yang tempo hari mengaku istri kekasihnya.."Gue nggak butuh dikasihani!" seru Lila dengan ketus, saat Audrey memaksa membayar dan membawa belanjaannya. "Kau akan menyusahkan kasir kalau sampai batal membeli. Dia harus bayar itu semua yang sudah discan. Iya kalau dia punya du

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Jelang Ending

    Beberapa saat sebelumnya ...."Kamu apa nggak kangen anakmu, Nang?" tanya Bu Astuti pada Rudy yang duduk di teras ditemani rokok dan segelas kopi pahit."Kangen, Bu," jawab Rudy tanpa menoleh pada sang ibu. Asap kembali ia kepulkan ke udara.Bu Astuti menatap anaknya dengan pandangan iba. Semenjak tinggal berdua dengan ibunya saja, Rudy lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Toko sembako yang baru dirintis itu, hanya dibuka saat malam, tepatnya lewat Magrib hingga kantuk datang. Tidak menentu.Seperti sekarang, Rudy istirahat dari lelahnya beraktivitas di sawah sambil menunggu pembeli. Bu Astuti ikut duduk di samping anaknya yang terlihat lelah. "Kenapa, Bu? Ibu mau ketemu cucu ibu?" tanya Rudy kemudian. Bu Astuti ingin mengangguk, tapi, kepalanya justru menggeleng. Rasa rindu itu sudah demikian besar. Pun ingin tahu bagaimana kabar sang cucu pasca cedera tulang ekor hari itu. Hanya saja, melihat Rudy yang nyaris tak pernah membahas istri dan anaknya, membuat wanita paruh bay

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Bab 61A

    Zahra terus menyalahkan Nadira atas sakit yang diderita anaknya. Jatuh dengan posisi terduduk itu rupanya membuat cedera pada tulang ekor Rayyan. Meskipun tidak sampai patah seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, tetap saja membatasi kegiatan Rayyan, hingga bocah itu kerap rewel jika merasa bosan, sebab tidak bisa bebas beraktivitas seperti sediakala.Kedua orang tua Zahra ikut menyalahkan Nadira atas kejadian yang membuat cucunya cedera. Menurut mereka, kejadian itu tidak pernah terjadi sebelumnya, baik di rumah orang tua Rudy, maupun di rumah mereka saat Rayyan berkunjung.Sebagai cucu pertama dan kesayangan, nyaris semua perhatian tertumpah ruah pada anak itu. Nadira tidak heran sebab sudah berulang kali terjadi, jika ada sesuatu yang terjadi pada Rayyan, maka orang lain lah yang akan dikambinghitamkan, sementara Rayyan tersenyum penuh kemenangan.Tidak tahan lagi dengan makian yang didapat dari keluarga kakak iparnya, maka Nadira sepakat dengan Fajar untuk menunjukkan bukti rekama

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Bab 60C

    Di tempat lain ….Damar memandangi layar ponselnya dengan jengah. Rentetan pesan dan panggilan dari Lila sengaja ia abaikan. Dari sekilas pesan yang terbaca saat muncul di pop up, ia tahu kalau Lila kalang kabut sebab kepergiannya dengan Sahara. Tentu saja Damar mengerti kegelisahan wanita yang telah empat tahun terakhir membersamai hidupnya.Lila pernah bercerita, bahwa hibah harta dari Pak Wirya dan Bu Marta kemungkinan besar akan ditunda, atau justru dibatalkan, jika sampai terjadi hal buruk dalam pernikahannya. Damar tidak peduli sama sekali. Baginya, jika itu berkaitan dengan harta orang tua Lila, dia tidak mau ikut campur. Toh, selama ini dia juga terus menerus disebut tidak berguna sebagai seorang suami, meski telah berusaha maksimal untuk mengelola lahan yang menghasilkan puluhan kwintal bawang merah.Sempat terlintas keinginan untuk menggugat Lila dengan tuduhan penipuan pernikahan. Namun, dirasa hanya buang waktu dan tenaga, i

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status