POV Nadira
Aku sedang menyeruput kopi hitam di jam istirahat, saat Mbak Ira–teman kuliah Mas Damar–datang tergopoh-gopoh menghampiri."Nadira, kamu beneran udah putus sama Damar?"Ia bertanya tak sabar, lalu ndusel-ndusel- di kursi sempit yang sedang kududuki. Aku tersenyum melihat tingkahnya, lalu bergeser ke kursi sebelah."Iya. Kenapa, sih, Mbak?""Akhirnya … . Seneng Mbak dengernya. Lihat itu, Mas Adi, dia yang paling seneng waktu dapat kabar kamu nggak jadi sama Damar."Aku melirik pria berambut sebahu yang tengah tersenyum ke arahku. Ia sedikit menganggukkan kepala saat aku melihatnya. Mereka berdua teman seangkatan dengan Mas Damar, sedangkan Mbak Ira dulu pernah kerja di sini juga, hanya saja ia sudah pindah."Kamu kan nggak tau dia kayak gimana kalau di luar. Kita-kita, nih, yang cemas sama kamu," ujar Mbak Ira lagi.Aku tau kalau sejak awal mereka berdua kurang setuju dengan hubunganku dengan Mas Damar. Tapi, mereka tak mau mengatakan apa pun jika aku bertanya."Nanti juga tau sendiri," selalu jawaban yang sama yang mereka beri. Dan kini terbukti, ternyata Mas Damar memang sebrengsek itu.Untuk beberapa saat lamanya, aku dan Mbak Ira menikmati onde-onde mini yang tadi kubeli di depan, sedangkan Mas Adi, ia hanya duduk diam di kursi, sesekali memainkan ponsel."Mas Adi mau kopi?" tawarku. Nggak enak juga lihat pria yang sudah seperti kakak sendiri itu dianggurin."Nggak usah, Ra. Makasih. Masih betah kamu di sini?" jawabnya, sambil melihat sekeliling."Masih, Mas."Ia hanya mengangguk-anggukkan kepala."Nadira," panggil Mbak Ira ragu.Aku menoleh, mendapati ia tengah saling tatap dengan Mas Adi, seperti sedang ngasih kode melalui sorot mata. Kenapa mereka ini?"Iya, Mbak?""Kamu nggak pengen ganti suasana? Mm … pindah kerja, misalnya?" tanya Mbak Ira hati-hati.Aku berpikir sejenak. Memang ada keinginan untuk pergi ke suatu tempat … yang asing sama sekali, setidaknya untuk menenangkan diri. Terlalu banyak kisah dan kenangan di kota ini. Tak jarang aku merasa kalau kepalaku dihimpit batu besar, jika melintas bayangan Mas Damar. Terlebih foto-foto bersama Lila yang sungguh tak ingin kuingat lagi.Aku menggeleng sebagai jawaban. Mbak Ira menghela napas, demikian juga dengan Mas Adi."Ya udah, nanti kalau kamu berubah pikiran, kabari aja, ya," ujar Mbak Ira, lalu memelukku."Kamu juga harus kurangin ngopi, sayangi ginjal kamu, ya. Makan yang banyak, jangan sampai sakit."Aku melerai pelukan, lantas memindai gadis berlesung pipi di depanku. Kami tak memiliki hubungan darah, tapi ia memahami banyak hal tentangku."Makasih, Mbak," jawabku dengan suara parau. "Eh, salah. Bu guru, ya, sekarang?"Mbak Ira terkekeh-kekeh. Mereka berdua menemani aku berbincang, lalu pamit saat jam istirahat habis.."Aku cuma mau dilayani sama operator cewek, Mbak."Terdengar suara ribut-ribut di belakangku, di tengah ramainya pengunjung dan kesibukan semua orang di ruangan ini.Aku merasa tak asing dengan suara itu. Namun, aku tetap harus konsentrasi dengan desain stiker yang sedang kusetting untuk antri dicetak. Jangan sampai kejadian kemarin terulang lagi. Cetak brosur seratus, eh, kelebihan nol satu.Namaku dipanggil setelah pekerjaanku selesai. Saat menoleh, manik mataku menangkap sosok Lila yang tengah mengedarkan pandang ke seisi ruangan.Mbak Dini berbicara sebentar pada Lila, lalu menunjuk ke arahku. Aku memejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya Lila duduk di sampingku. Ia menyerahkan flashdisk yang segera kuterima."Undangan Lila," ujarnya tanpa basa-basi, menunjukkan nama file yang ingin ia cetak.Aku terhenyak saat akhirnya file itu terbuka, lalu muncul nama Lila dan Mas Damar sebagai sepasang mempelai. Ditambah lagi beberapa foto prewedding melengkapi undangan itu.Perasaanku kenapa jadi nggak enak, ya. Ada banyak percetakan di daerah ini, kenapa dia sengaja sekali nyetak undangan di sini. Hanya minta dilayani olehku pula.Ia sibuk dengan ponselnya untuk beberapa saat, lalu mengalihkan pandang pada layar 14 inchi di depanku."Bagaimana, undanganku keren, kan?" tanyanya kemudian."Iya, memang keren," jawabku apa adanya. Bibirku terus melantunkan istighfar."Pestaku akan meriah nanti."Aku hanya menjawab dengan 'hmm'. Pikiranku masih fokus pada layar. Cepatlah selesai, biar tak berlama-lama berhadapan dengan perempuan ini."Kau telah kalah, Nadira," desisnya. Aku melirik sekilas. Senyum kemenangan menghiasi wajahnya."Kita tak sedang berlomba, tak ada kalah atau menang," jawabku, masih sibuk dengan pekerjaan.Lila menghentakkan kakinya ke lantai. Beberapa orang nampaknya mulai melihat kami berdua. Tak mau terpancing, aku memilih menyelesaikan pekerjaan."Mau dicetak berapa, Mbak?" tanyaku, setelah semua siap."Seribu," sambarnya cepat. "Selesai besok, bisa?" tanyanya lagi.Heh? Yang benar saja. Dikira sulapan apa, ya. Ini saja sudah hampir jam tiga. Di dalam juga masih banyak antrian. Kacau juga anak ini."Oke, saya tanyakan dulu sama yang di dalam. Tunggu di sini, ya," jawabku, lalu beranjak dari kursi."Kamu harus datang. Aku mengundangmu, Nadira.".Banyaknya pekerjaan, membuat aku enggan beranjak pulang, meski jam kerjaku telah berakhir. Percetakan ini akan tutup di jam delapan, tapi di dalam masih akan sibuk sampai jam sembilan.Bergabung dengan teman-teman di bagian finishing menjadi pilihan. Aku betah berlama-lama di sini, sebab teman-teman selalu saja melontarkan canda yang membuat hati ini terhibur."Nadira, ada titipan ini, buat kamu," ujar Mbak Ambar saat aku hendak pulang.Keningku mengernyit, lalu menerima kertas yang ia ulurkan."Dari siapa, Mbak?""Nggak tau, cuma pesen kasihkan ke kamu, gitu."Mbak Ambar segera berlalu setelah kuucapkan terima kasih. Aku menggelengkan kepala melihat isinya."Bandung dulu sebelum Jakarta, senyum dulu sebelum pulang kerja."Tak urung kedua sudut bibir tertarik ke atas, membentuk lengkungan senyum.Entah siapa pengirimnya. Selalu ada kiriman kartu pos bertuliskan kalimat pendek seperti ini, kadang sepenggal kalimat motivasi, tapi tak ada yang mengaku jika ditanya.Pun tak ada alamat yang tertera. Emangnya bisa, ya, ngirim kartu pos gini tanpa menyertakan alamat pengirimnya? Lagi pula, di jaman serba canggih ini, ternyata masih ada yang bertahan dengan pernak-pernik dari kantor pos.Siapa pun pengirimnya, terima kasih, sudah menutup hari ini dengan membuatku tersenyum..Suara televisi masih terdengar ketika aku sampai di rumah. Mas Rudy masih terjaga rupanya."Baru pulang, Ra?" sapanya, yang kujawab dengan anggukan, lalu meraih punggung tangannya untuk kukecup.Ibu berada tak jauh dari ia duduk, sudah terlelap dengan posisi miring menghadap anak lelakinya. Ibu menggunakan kedua tangan sebagai bantalan. Semenjak Mas Rudy di rumah, sepertinya ibu lebih sering tertidur di sini. Nampaknya beliau tak mau jauh dari anak sulungnya. Semoga saja Mas Rudy mengerti, kalau kondisi kesehatan ibu membaik sejak ia berada di rumah.Kukecup pelan kening ibu, takut membangunkan. Kubetulkan selimutnya hingga ke leher. Salma segera menghambur ke luar kamar tak lama kemudian."Mana pesananku, Mbak?" sambutnya, lalu ikut bergabung di ruang tengah. Kuulurkan martabak bertabur keju kesukaannya. Ia menyambutnya dengan senyuman lebar, lalu mengucapkan terima kasih.Bibirku melengkungkan senyum melihat ia menikmati dengan lahap. Mas Rudy ikut mencomot sepotong. "Aku masuk du
"Nyari orang buat apa?" tanyaku bingung."Buat ngejalanin mesin.""Ngejalanin mesin?""Iya. Jadi dia jual mesin sekalian sama orangnya.""Lah, serem amat jual mesin sama orangnya," jawabku, lalu terbahak. Di seberang pun sama."Mesin apa coba? Aku kan nggak ngerti mesin. Ada-ada saja kamu, Mbak.""Ya, nanti kan diajari. Mesin printing tiga dimensi, nggak tau namanya. Kamu mau, ya? Lumayan, lho, gajinya gede."Gajinya gede.Aku mengulang dua kata itu. Menjadi anak tengah yang menggantikan posisi anak sulung, membuatku dituntut untuk berpenghasilan lebih banyak, supaya ibu dan adikku tak kekurangan."Nanti aku pikir-pikir dulu, deh, Mbak. Ini kontrak kerjaku juga belum habis. Nggak bisa keluar gitu aja," jawabku, lalu teringat betapa selama ini semua kebutuhanku tercukupi dengan bekerja di sana. Selain itu, aku merasa nyaman di tempat kerja yang sekarang, teman-teman kerja sudah seperti keluarga sendiri.
"Emang terkejar bikin sebanyak ini?""Ya terkejar, Mas. Kan hari ini masuk siang."Ia menjawab singkat, lalu memasukkan bawang putih semangkuk penuh. Masih ada gula merah dan entah apalagi di depannya yang nampaknya antri untuk dimasukkan."Ada ibu juga yang bantuin. Iya, kan, Bu?""Iya. Ibu bosen nggak ada kerjaan. Malah capek semua badan ibu. Untung adikmu pinter."Yang dipuji hanya tersenyum tipis. Aku tak menyangkal ucapan ibu. "O iya. Mas Rudy rencananya gimana nanti, udah nggak kemana-mana lagi, kan?""Eh ... ?"Aku gelagapan ditanya begini. Aku memang berniat tak pergi jauh lagi, tapi hendak mengerjakan apa, itu masih kutimbang-timbang karena tak punya ketrampilan. Satu-satunya yang ada dalam bayanganku hanya pekerjaan di sawah. Itu pun sepertinya juga musiman. Ingin berdagang lagi, tapi … ."Jadi mau usaha apa kira-kira? Biar nggak bosen di rumah. Kalau ke sawah kan juga belum bisa, soalnya mas
Badanku gemetar hebat, menyadari bahwa lelaki yang tengah tergolek di hadapan adalah Mas Damar.Darah segar membasahi sebagian kepalanya. Demikian juga dengan lengannya yang terbuka hingga ke siku.Suara-suara di sekelilingku terus berdengung-dengung, mempertanyakan siapa dia dan bagaimana kondisinya. Untuk beberapa saat lamanya aku tak melakukan apa pun. Aku shock melihat kecelakaan di depan mata.Seketika merasa kalau dunia ini begitu sempit, bahkan di saat aku bertekad untuk tak mau bertemu dengannya lagi, kini justru dipertemukan dalam kondisinya yang mengenaskan."Mas Damar!"Aku memekik setelah kesadaranku kembali. Lalu kurasakan pegangan di bahuku. Mas Rudy, ia menatapku dengan tatapan bertanya, lalu melihatku dan lelaki di depanku bergantian."Mas Rudy, panggil ambulance! Bapak berbaju putih, telepon polisi!"Mereka yang kusebut segera sibuk dengan ponselnya, sementara yang lain
Motor kuparkir dengan tergesa. Sebuah pesan dari Mbak Dini mengatakan ada hal penting, dan aku harus segera datang.Mbak Dini segera menarik tanganku ke belakang ruang cetak, di mana berbaris rapi kotak-kotak loker tempat menyimpan barang berharga. Hingga kini kami berdiri berhadapan."Nadira, kenapa jadi begini?"Mbak Dini menatapku dengan mata yang memerah. Napasnya tersengal, hingga samar terdengar hembusan angin kecil dari lubang hidungnya. Untuk beberapa saat aku tak mengerti kenapa ia seperti ini. Terus terang saja hatiku menciut melihat ekspresinya. Detak jantung juga seperti melompat-lompat. Dalam ingatanku, ia biasa bercanda dan memamerkan senyuman ramah. Terlebih lagi, ia berhubungan dengan para pelanggan sebelum akhirnya memutuskan mereka akan dilayani oleh siapa. Tentu pelayanannya menjadi salah satu kunci bagi percetakan ini. Paling tidak, itu yang terlihat selama aku bekerja di sini. Tapi, sekarang ... .Apa aku t
Tiga hari setelah kejadian itu, pagi-pagi sekali sebuah kabar mengejutkanku. Nina, adik Mas Damar yang beberapa waktu lalu jatuh terseret motor, telah berpulang setelah melewati masa kritisnya. Rasa ragu menderaku. Haruskah datang ke sana, sementara aku tak lagi memiliki ikatan dengan keluarga itu?"Jangan pernah ganggu lagi keluarga calon suamiku, kalau kau tak mau disebut pelakor!"Aku menghela napas. Ancaman Lila sore itu kembali terngiang-ngiang. Aku tak mengerti kenapa ia memperingatkan aku sedemikian rupa, sedangkan aku tak lagi memiliki minat sama sekali dengan pria itu. Namanya telah kuhempaskan jauh-jauh, meski sesekali kenangan saat bersamanya masih suka muncul tanpa permisi. Aku tak berminat memungut mantan yang telah kubuang. Lagi pula, rasa sakit yang ia tinggalkan masih tersisa.Aku menggelengkan kepala. Mungkin sebaiknya memang tak usah datang, cukup mendo'akan dari rumah. Tapi, suara Bu Siska--ibu Mas Damar--ya
"Semua ini gara-gara kamu!"Langkahku terhenti, lalu memalingkan wajah pada perempuan berambut lurus di depanku. "Maaf, salahku apa, nona?" tanyaku ingin tau."Masih bertanya, lagi! Itu, calon suamiku kakinya patah … karena kamu, kan?!"Heh? Bicara apa dia? Bagaimana bisa menyalahkan aku yang tak tau apa-apa. Bukankah sudah jelas kalau Mas Damar terguling karena gamis Nina terjebak di rantai dan ban sepeda motor yang mereka naiki?Aku sendiri justru baru dengar kalau kakinya patah beberapa saat tadi dari bisik-bisik pelayat, lalu kini darinya yang sedang menatapku tajam."Kamu pasti dendam karena akhirnya nggak jadi nikah sama dia, lalu kamu patahkan kakinya saat melihat dia tergeletak di pinggir jalan. Iya, kan?!"Astaghfirullah … melintas di pikiran pun tidak sama sekali apa yang baru saja diucapkan sepupu jauhku ini. Entah ada masalah apa dia, hingga berburuk sangka seperti ini padaku."Tega sekali, menyakit
.Hari-hari berikutnya, aku melihat Mas Rudy semakin giat bekerja. Selama musim mangga, maka itulah yang ia jual. Sesekali kuajak ia membuat salad buah, dan ia bahagia sekali saat buah-buahan yang ia kupas terjual habis. "Mas baru tau ada makanan seperti ini, dan ternyata laris," ujarnya dengan mata berbinar.Ia dengan bersemangat memasukkan uang yang ia dapat ke dalam dompet khusus yang telah kusiapkan."Nanti kalau uangnya cukup, Mas akan sewa kios di pasar," ujarnya bersemangat.Aku mendukung penuh. Kubebaskan ia mengelola uang, dengan syarat modalnya jangan diotak-atik, kecuali buat diputar lagi.Terkadang di hari Minggu saat car free day, bertiga dengan Salma, aku dan Mas Rudy membawa berbotol-botol kunyit asam dan beras kencur untuk dijual di sana. Mas Rudy akan berjaga, sementara aku dan Salma akan berkeliling di sepanjang jalan, mencari jajanan yang kami suka. Jika sudah dapat, maka bertiga kami menikmati