Share

Bab 7. Penggemar Rahasia

POV Nadira

Aku sedang menyeruput kopi hitam di jam istirahat, saat Mbak Ira–teman kuliah Mas Damar–datang tergopoh-gopoh menghampiri.

"Nadira, kamu beneran udah putus sama Damar?"

Ia bertanya tak sabar, lalu ndusel-ndusel- di kursi sempit yang sedang kududuki. Aku tersenyum melihat tingkahnya, lalu bergeser ke kursi sebelah.

"Iya. Kenapa, sih, Mbak?"

"Akhirnya … . Seneng Mbak dengernya. Lihat itu, Mas Adi, dia yang paling seneng waktu dapat kabar kamu nggak jadi sama Damar."

Aku melirik pria berambut sebahu yang tengah tersenyum ke arahku. Ia sedikit menganggukkan kepala saat aku melihatnya. Mereka berdua teman seangkatan dengan Mas Damar, sedangkan Mbak Ira dulu pernah kerja di sini juga, hanya saja ia sudah pindah.

"Kamu kan nggak tau dia kayak gimana kalau di luar. Kita-kita, nih, yang cemas sama kamu," ujar Mbak Ira lagi.

Aku tau kalau sejak awal mereka berdua kurang setuju dengan hubunganku dengan Mas Damar. Tapi, mereka tak mau mengatakan apa pun jika aku bertanya.

"Nanti juga tau sendiri," selalu jawaban yang sama yang mereka beri. Dan kini terbukti, ternyata Mas Damar memang sebrengsek itu.

Untuk beberapa saat lamanya, aku dan Mbak Ira menikmati onde-onde mini yang tadi kubeli di depan, sedangkan Mas Adi, ia hanya duduk diam di kursi, sesekali memainkan ponsel.

"Mas Adi mau kopi?" tawarku. Nggak enak juga lihat pria yang sudah seperti kakak sendiri itu dianggurin.

"Nggak usah, Ra. Makasih. Masih betah kamu di sini?" jawabnya, sambil melihat sekeliling.

"Masih, Mas."

Ia hanya mengangguk-anggukkan kepala.

"Nadira," panggil Mbak Ira ragu.

Aku menoleh, mendapati ia tengah saling tatap dengan Mas Adi, seperti sedang ngasih kode melalui sorot mata. Kenapa mereka ini?

"Iya, Mbak?"

"Kamu nggak pengen ganti suasana? Mm … pindah kerja, misalnya?" tanya Mbak Ira hati-hati.

Aku berpikir sejenak. Memang ada keinginan untuk pergi ke suatu tempat … yang asing sama sekali, setidaknya untuk menenangkan diri. Terlalu banyak kisah dan kenangan di kota ini. Tak jarang aku merasa kalau kepalaku dihimpit batu besar, jika melintas bayangan Mas Damar. Terlebih foto-foto bersama Lila yang sungguh tak ingin kuingat lagi.

Aku menggeleng sebagai jawaban. Mbak Ira menghela napas, demikian juga dengan Mas Adi.

"Ya udah, nanti kalau kamu berubah pikiran, kabari aja, ya," ujar Mbak Ira, lalu memelukku.

"Kamu juga harus kurangin ngopi, sayangi ginjal kamu, ya. Makan yang banyak, jangan sampai sakit."

Aku melerai pelukan, lantas memindai gadis berlesung pipi di depanku. Kami tak memiliki hubungan darah, tapi ia memahami banyak hal tentangku.

"Makasih, Mbak," jawabku dengan suara parau. "Eh, salah. Bu guru, ya, sekarang?"

Mbak Ira terkekeh-kekeh. Mereka berdua menemani aku berbincang, lalu pamit saat jam istirahat habis.

.

"Aku cuma mau dilayani sama operator cewek, Mbak."

Terdengar suara ribut-ribut di belakangku, di tengah ramainya pengunjung dan kesibukan semua orang di ruangan ini.

Aku merasa tak asing dengan suara itu. Namun, aku tetap harus konsentrasi dengan desain stiker yang sedang kusetting untuk antri dicetak. Jangan sampai kejadian kemarin terulang lagi. Cetak brosur seratus, eh, kelebihan nol satu.

Namaku dipanggil setelah pekerjaanku selesai. Saat menoleh, manik mataku menangkap sosok Lila yang tengah mengedarkan pandang ke seisi ruangan.

Mbak Dini berbicara sebentar pada Lila, lalu menunjuk ke arahku. Aku memejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya Lila duduk di sampingku. Ia menyerahkan flashdisk yang segera kuterima.

"Undangan Lila," ujarnya tanpa basa-basi, menunjukkan nama file yang ingin ia cetak.

Aku terhenyak saat akhirnya file itu terbuka, lalu muncul nama Lila dan Mas Damar sebagai sepasang mempelai. Ditambah lagi beberapa foto prewedding melengkapi undangan itu.

Perasaanku kenapa jadi nggak enak, ya. Ada banyak percetakan di daerah ini, kenapa dia sengaja sekali nyetak undangan di sini. Hanya minta dilayani olehku pula.

Ia sibuk dengan ponselnya untuk beberapa saat, lalu mengalihkan pandang pada layar 14 inchi di depanku.

"Bagaimana, undanganku keren, kan?" tanyanya kemudian.

"Iya, memang keren," jawabku apa adanya. Bibirku terus melantunkan istighfar.

"Pestaku akan meriah nanti."

Aku hanya menjawab dengan 'hmm'. Pikiranku masih fokus pada layar. Cepatlah selesai, biar tak berlama-lama berhadapan dengan perempuan ini.

"Kau telah kalah, Nadira," desisnya. Aku melirik sekilas. Senyum kemenangan menghiasi wajahnya.

"Kita tak sedang berlomba, tak ada kalah atau menang," jawabku, masih sibuk dengan pekerjaan.

Lila menghentakkan kakinya ke lantai. Beberapa orang nampaknya mulai melihat kami berdua. Tak mau terpancing, aku memilih menyelesaikan pekerjaan.

"Mau dicetak berapa, Mbak?" tanyaku, setelah semua siap.

"Seribu," sambarnya cepat. "Selesai besok, bisa?" tanyanya lagi.

Heh? Yang benar saja. Dikira sulapan apa, ya. Ini saja sudah hampir jam tiga. Di dalam juga masih banyak antrian. Kacau juga anak ini.

"Oke, saya tanyakan dulu sama yang di dalam. Tunggu di sini, ya," jawabku, lalu beranjak dari kursi.

"Kamu harus datang. Aku mengundangmu, Nadira."

.

Banyaknya pekerjaan, membuat aku enggan beranjak pulang, meski jam kerjaku telah berakhir. Percetakan ini akan tutup di jam delapan, tapi di dalam masih akan sibuk sampai jam sembilan.

Bergabung dengan teman-teman di bagian finishing menjadi pilihan. Aku betah berlama-lama di sini, sebab teman-teman selalu saja melontarkan canda yang membuat hati ini terhibur.

"Nadira, ada titipan ini, buat kamu," ujar Mbak Ambar saat aku hendak pulang.

Keningku mengernyit, lalu menerima kertas yang ia ulurkan.

"Dari siapa, Mbak?"

"Nggak tau, cuma pesen kasihkan ke kamu, gitu."

Mbak Ambar segera berlalu setelah kuucapkan terima kasih. Aku menggelengkan kepala melihat isinya.

"Bandung dulu sebelum Jakarta, senyum dulu sebelum pulang kerja."

Tak urung kedua sudut bibir tertarik ke atas, membentuk lengkungan senyum.

Entah siapa pengirimnya. Selalu ada kiriman kartu pos bertuliskan kalimat pendek seperti ini, kadang sepenggal kalimat motivasi, tapi tak ada yang mengaku jika ditanya.

Pun tak ada alamat yang tertera. Emangnya bisa, ya, ngirim kartu pos gini tanpa menyertakan alamat pengirimnya? Lagi pula, di jaman serba canggih ini, ternyata masih ada yang bertahan dengan pernak-pernik dari kantor pos.

Siapa pun pengirimnya, terima kasih, sudah menutup hari ini dengan membuatku tersenyum.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status