Share

Bab 8. Pengganti Ayah

Suara televisi masih terdengar ketika aku sampai di rumah. Mas Rudy masih terjaga rupanya.

"Baru pulang, Ra?" sapanya, yang kujawab dengan anggukan, lalu meraih punggung tangannya untuk kukecup.

Ibu berada tak jauh dari ia duduk, sudah terlelap dengan posisi miring menghadap anak lelakinya. Ibu menggunakan kedua tangan sebagai bantalan.

Semenjak Mas Rudy di rumah, sepertinya ibu lebih sering tertidur di sini. Nampaknya beliau tak mau jauh dari anak sulungnya. Semoga saja Mas Rudy mengerti, kalau kondisi kesehatan ibu membaik sejak ia berada di rumah.

Kukecup pelan kening ibu, takut membangunkan. Kubetulkan selimutnya hingga ke leher. Salma segera menghambur ke luar kamar tak lama kemudian.

"Mana pesananku, Mbak?" sambutnya, lalu ikut bergabung di ruang tengah. Kuulurkan martabak bertabur keju kesukaannya. Ia menyambutnya dengan senyuman lebar, lalu mengucapkan terima kasih.

Bibirku melengkungkan senyum melihat ia menikmati dengan lahap. Mas Rudy ikut mencomot sepotong.

"Aku masuk dulu ya, Mas, Dek," pamitku pada keduanya.

"Nggak ikut makan dulu, Mbak?"

"Enggak, Dek, Mbak udah makan kok, tadi. Masih kenyang. Makasih, ya," jawabku.

"Kebalik, Mbak. Aku yang makasih, udah dibeliin," jawab Salma, lalu terkekeh pelan.

Aku mengangguk, lantas menuju ke kamar meletakkan tas. Segera kuraih handuk dan membersihkan diri.

"Jangan suka mandi malam, to, Dek. Bisa rematik, kamu."

Sontak aku menoleh, rupanya Mas Rudy mengikuti.

"Mudahan enggak ya, Mas. Badanku lengket, nggak bisa tidur nanti kalau nggak mandi," jawabku sambil mengeringkan rambut.

"Ya udah. Terserah kamu. Eh, ini bikin kopi juga? Bukannya ini bikin asam lambung naik?"

Mar Rudy melihatku dan kopi yang baru saja kuseduh bergantian. Belakangan ini ia memang bicara lebih banyak padaku.

"Biar nyenyak ini nanti tidurnya, Mas. Mas Rudy mau?"

"Enggak usah, tadi udah bikin, kok. Lagian kamu ada-ada saja, masa minum kopi bikin tidur nyenyak, bukannya bikin melek?"

"Ya, itu kan sugesti aja, Mas. Mau ngopi berapa banyak kalau udah ngantuk ya tetep aja tidur," jawabku, lalu menyeruput pelan kopi yang mulai hangat.

Aku tau kalau ini memang salah satu pemicu penyakitku tak kunjung sembuh. Hanya saja, aku belum bisa meninggalkan minuman berwarna hitam ini.

"Di luar sana, tetangga mulai ramai membicarakan kamu, membicarakan keluarga kita," ujar Mas Rudy, lalu menghela napas panjang.

Mendengarnya, rasa bersalah hadir begitu saja, sebab telah membuat keluargaku menjadi buah bibir. Memang sejak kedatangan keluarga Mas Damar, kurasakan tatapan yang berbeda saat bertemu dengan tetangga kiri kanan.

Ya, meski bertemunya hanya sesekali saat aku ke luar rumah, tetap saja tatapan berbeda yang kudapat. Terlebih lagi dengan kedatangan Lila dan Mas Damar pagi itu.

Meski aku berusaha bodo amat, tapi, bagaimana dengan Ibu dan adikku yang terkena imbasnya? Apa mungkin ini yang dimaksud Mas Rudy bahwa aku sudah bikin malu?

"Apa sebab itu kamu selalu pulang malam belakangan ini?" tanya Mas Rudy kemudian.

Aku tersentak mendengar penuturannya. Tatapan kamu beradu. Mas Rudy tengah memperhatikan rupanya. Apa ini wujud perhatian seorang kakak laki-laki pada adik perempuannya?

"Eh, enggak juga, Mas. Emang lagi banyak kerjaan kok, di sana," jawabku apa adanya.

Ya, di tempat kerja yang sedang ramai itu aku merasa lebih nyaman, selain teman-teman yang ramah, aku juga bisa belajar sedikit-sedikit. Siapa tau saja, suatu saat aku bisa punya percetakan sendiri, jadi nabung ilmu dulu dari para ahli di sana.

"Ya sudah, istirahat ya," pungkas Mas Rudy.

Aku mengangguk, lalu teringat sesuatu.

"Mas," panggilku ragu.

"Ya? Ada apa, Ra?"

"Apa kamu akan pergi lagi setelah ini? Apa kamu malu punya adik yang gagal menikah dan jadi perbincangan tetangga?"

Mas Rudy membeliakkan mata mendengar pertanyaanku. Ia beranjak mendekat, lalu kedua tangannya memegang bahuku. Aku menunggu ia akan melakukan apa.

Ia menatapku intens, lalu berkata, "Tidak, Ra. Maafkan Mas, ya. Mas nggak akan ke mana-mana lagi," jawabnya dengan suara tercekat.

Aku mengangguk-anggukkan kepala.

"Syukurlah ... . Rumah ini butuh sosok laki-laki pengganti ayah, dan itu kamu, Mas."

Aku pamit ke kamar, meninggalkan Mas Rudy yang termangu di dapur. Baru saja badan ini bertemu kasur, ponselku telah menjerit tak sabar. Kuraih benda pipih itu dengan malas. Berbicara di telepon selalu kuhindari, sebab seringkali kepalaku sakit setelahnya.

Sebuah nomer asing tanpa nama, tertera di sana. Alih-alih segera memencet tombol bergambar gagang telepon, aku justru sibuk menimang dan menimbang, diterima atau tidak.

Panggilan itu pun berakhir, lantas perlahan layar ponsel mulai meredup. Detik ketiga, ponsel kembali berpendar, menampilkan panggilan dari nomer yang sama.

"Nadira, ini aku, Kaniar," suara di seberang telepon terdengar tak sabar.

Aku tersenyum mendengar nama itu disebut, juga suara khasnya, lalu terkekeh pelan. Terbayang wajahnya yang seputih pualam dengan rambut lurus sebahu. Ia pernah satu kos denganku, pasti tau kebiasaanku yang hampir selalu menolak panggilan dari nomer asing.

Ia sendiri pernah kena hipnotis karena menerima telepon dari nomer tak bernama, hingga membeli pulsa ke banyak nomer. Lima ratus ribu bukan jumlah yang sedikit untuk anak kos, kan? Hal ini juga yang membuatku berhati-hati menerima telepon dari nomer tak dikenal.

"Oh … kamu, Mbak. Gimana kabarnya?" sapaku kemudian.

"Baik. Temanku lagi nyari orang, nih," jawabnya tanpa basa-basi.

"Nyari orang buat apa?" tanyaku bingung.

"Buat ngejalanin mesin."

"Ngejalanin mesin?"

"Iya," ucap Mbak Kaniar yakin, "Jadi, dia jual mesin sekalian sama orangnya."

"Hah?"

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status