Share

Tiga

Aku lelah menghadapi mereka yang tak punya otak. Suami malas, keluarganya pun terus merongrong aku. Dipikir aku sapi perah mereka apa?

Mulai sekarang sepertinya aku harus tegas menghadapi mereka. Aku bangkit untuk mandi dan salat subuh.  Aku menoleh sebentar, melihat Mas Reno asyik tertidur. Bagaimana mau menjemput rezeki kalau tidur baru jam tiga pagi asyik bermain game Online.

Kubangunkan salat saja tak akan bangun. Pantas rezeki kabur darinya dan berimbas padaku. Gemas aku sama keluarga Mas Reno. Biarlah suatu saat dia akan menyesal membuat aku menderita.

Setelah mandi aku bergegas membuat sarapan untuk diri sendiri. Tak seperti biasa aku selalu membuatkan untuk Mas Reno, kali ini biar saja dia kelaparan. Mungkin dia akan kenyang dengan hanya bermain game online.

Aku bisa bayangkan jika dia membuka tudung nasi hanya ada sebuah kertas dariku. 

'Maaf, Mas, uangku habis. Kamu cari makan sendiri, ya. Seperti aku mencari makan untuk diriku sendiri.'

Untuk saat ini aku puas dan tak bisa membayangkan pula ekspresi wajah suamiku. Pasti dia marah besar, lalu mengadu pada ibunya. Biar saja, semoga Mas Reno sadar dan mau mencari pekerjaan yang layak. 

"Mas, aku jalan kerja dulu," panggilku pelan.

"Hmm ...." 

Benar, kan, dia hanya menjawab seperti itu. Boro-boro mau mengantar aku, kadang pulang saja malah orang lain yang menawarkan aku. Masih bersyukur aku memandang dirinya, kalau tidak lumayan tumpangan juga, tak ke luar ongkos.

Tak penting juga aku memikirkannya. Mulai sekarang tak ada yang gratis. Aku tak mau menyetok makanan. Biar si Rena tak ke rumah menghabisi stok makananku.

Belum juga sampai kantor sebuah pesan masuk dari Rena. Anak itu tak pernah di ajarkan sopan santun. 

[Mba, hari ini gajian, kan? Aku nanti minta buat beli buku. Kata Mas Reno, sekarang kalau minta untuk kebutuhan aku sama Mba Widya. Karena uang Mba juga uang Masku.]

Ck! Apa-apaan ini? Enak saja minta uang padaku. Uangku, ya, uangku. Bukan uang Kakaknya. Seenak jidat aja mengklaim semuanya.

Aku tersenyum tipis saat di kepalaku muncul ide bagus. Lihat saja kalian jika ingin meminta uang akan kubuat kalian bekerja keras. 

Aku memasukkan kembali ponsel ke tas dan cepat berlalu dari rumah sebelum Mas Reno bangun dan sadar tak ada makanan di rumah.

---Chew Vha----

[Kamu mau buat aku mati kelaparan?]

Akhirnya sebuah pesan masuk dari Mas Reno membuat aku tertawa lebar. Selama ini aku sudah tahan dengan perlakuannya. Sekarang, kubuat kamu berpikir.

[Wid, kamu nggak sayang aku lagi sampai tega nggak buat sarapan?]

Cinta? Dia pikir selama ini karena cinta dia bisa buat aku menderita? Punya pikiran buntu sekali Mas Reno. 

[Aduh, Mas, makanya cari Kerja.]

Pasti pas aku pulang nanti lebih parah  marahnya. Tak masalah, biar kapok jadi laki-laki masa mau enaknya aja. 

Waktu menunjukkan pukul 12.00. Perutku sudah terasa lapar, begitu juga Nina yang sudah menunggu di ambang pintu kantor.

"Makan siang apa?"

"Lihat aja nanti."

Aku dan Nina bergegas ke kantin kantor. Beberapa karyawan sudah memenuhi tempat ini, aku memindai sekeliling ruang mencari bangku kosong untuk kami duduk.

"Di sana," ajakku pada Nina saat melihat bangku kosong.

Nina mengikuti aku, sepertinya aku harus makan banyak untuk mengumpulkan tenaga untuk berdebat dengan Mas Reno.

Mumpung gajian tak ada salah memanjakan diri sendiri. Nanti lebih baik aku mampir ke salon, merelakskan otak kepala. Dari pada uangnya untuk mereka yang hanya menadah. 

"Wid, ada lowongan buat OB. Suamimu mau nggak, tuh?"

"OB di mana?" tanyaku berbalik.

"Di lantai 10 CV Prima. Kalau mau aku punya kenalan di sana."

"Aku tanya Mas Reno dulu."

"Alah, urgen mah nggak usah tanya. Langsung suruh datang bawa CV aja. Dari pada kamu jadi tulang punggung suamimu dan keluarganya. Aku sih ogah."

"Iya."

Nafsu makanku jadi mendadak hilang mendengar penuturan Nina. Mau taruh di mana wajahku saat dia bicara menyedihkan seperti itu.

"Aku salah ngomong, Wid?"

"Eh--nggak, kok. Bener sih, tapi jangan gitu. Aku berasa jadi orang bodoh selama ini."

"Nah, itu tahu."

Nina memang hobi mengutarakan langsung apa yang ada di pikirannya. Akan tetapi, jangan seperti itu juga terus terang membuat aku merasa bodoh selama lima tahun menjalani pernikahan dengan Mas Reno. 

Ah ... sudahlah, kuhabiskan makanan ini. Namun, bagaimana nasib suamiku? Apa aku tidak terlalu keras padanya? Apa dia makan sekarang?

"Jangan melamun, wanita itu diciptakan menjadi tulang rusuk, bukan tulang punggung. Aku sih kalau jadi kamu mending gugat cerai. Cari suami baru yang kaya."

Lagi, aku hanya bisa tersenyum miris mendengar penuturan Nina. Enak jadi dia, kalau ngomong asal jiplak tanpa pikir panjang dan pikir apa orang itu tersinggung atau tidak. Lihat, lahap sekali dia makan tak berpikir perubahan wajahku yang masam.

Aku merasa tertampar dua kali oleh temanku ini. Ibu satu anak itu memang selalu seperti itu, tapi apa yang diutarakannya selalu benar. Ya, contohnya kali ini. 

"Iya, Nin, kalau aku cerai carikan aku jodoh kaya, ya."

"Siap. Tenang, mau model apa? Sama Pak Erlan juga bisa kucomblangi."

Pak Erlan? Mimpi saja aku. Dasar Nina kalau bicara tak berpikir panjang, bosku itu memang tampan. Ah ... jadi sekretarisnya saja sudah senang.

"Ngaco kamu."

Aku melanjutkan kembali makan siang yang begitu sulit untuk kutelan. Beribu pikiran tentang ucapan Nina yang nyelekit dalam, tapi sangat benar adanya. 

Kelakuan Mas Reno seperti tak peduli dengan kelangsungan hidup rumah tangga kami. Semakin hari dia begitu cuek. Apa game Online membuat dirinya malas untuk bekerja? 

Selama enam bulan dia menganggur, belum pernah aku melihat dia pergi mencari lowongan. Mas Reno selalu bicara kalau dia sudah melamar lewat Online. 

Akan tetapi, nyatanya tak kunjung bekerja. Malah lebih sering nongkrong atau memegang ponsel. Bahkan, tidur malam hanya demi mencari kuota malam untuk game onlinenya.

Siapa yang tak kesal, bagaimana mau punya keturunan? Lebih baik tidak usah dari pada dia terus menjadi pemalas. Besok aku sepertinya harus ke Dokter Kandungan minta KB agar tak hamil saat ini. 

Ponselku berdering, terlihat nama Mas Reno di benda pipih ini. Segera aku angkat kalau tidak dia pasti terus mengomel.

"Halo, Dek, hari ini kamu gajian, kan? Mas jemput, ya? Sekalian kita belanja bulanan buat stok makanan."

Tiba-tiba kepalaku semakin pusing mendengar ucapan suamiku. Begitu antusiasnya dia saat aku gajian tanpa memedulikan rasa malu tak menafkahi aku.

"Dek, kamu masih dengar suaraku, kan?"

-- Chew Vha---

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status