Setelah melihat isi kulkas kosong, aku hanya memasakan nasi goreng untuk Mas Reno. Memanfaatkan nasi dan telur yang ada untuk makan. Aku menghela napas panjang setelah hari ini mengeluarkan selembar uang untuk Ibu mertua.
Bukan aku hitung-hitungan, tapi akhir bulan seperti ini sangat berharga untuk tambahan ongkos dan uang makan. Belum lagi kemarin Mas Reno meminta uang pulsa. Argh ... aku semakin gila.
"Ini, Mas. Hanya ada nasi dan telur, jadi aku buat nasi goreng saja."
"Telurnya nggak di dadar, De? Mana enak di orek-orek telurnya. Kamu gimana, De?"
"Loh, kalau di dadar, aku makan apa, Mas? Kan, lumayan untuk dua porsi," ucapku sambil melahap nasi goreng.
Mas Reno membanting piring, lalu bangkit dari duduknya.
"Mas, mau ke mana?" tanyaku cepat.
Mas Reno yang sudah berada di ambang pintu menoleh kepadaku.
"Mau ke rumah Ibu, dari pada makan masakan kamu, kalau di sana apa aja dituruti."
Aku mengernyitkan dahi, apa aku tidak salah dengar? Bukannya tadi ibunya minta uang padaku buat beli beras? Sama saja uangnya dari aku, ini aku yang bodoh, apa suamiku yang mulai banyak maunya.
Aku capek memikirkannya, lebih baik menghabiskan dua piring nasi goreng. Sayang, mubazir kalau tidak di makan. Dari pada aku diamkan, nanti dingin.
Setengah jam habis makan, aku melakukan aktivitas rutin. Seperti Ibu mertua bilang, gosok saja sendiri dari pada bayar orang. Memang, ada benarnya juga untuk kali ini. Uangnya bisa kusisihkan kalau ada keperluan mendadak.
Aku pikir selama menikah, dia selalu menyisihkan uang untuk di tabung. Padahal semua kebutuhan rumah aku yang biayai. Sementara, Mas Reno bilang uangnya untuk di tabung dan biaya kuliah adiknya.
Ya, aku percaya saat semua terjadi begitu saja. Bahkan, bulan pertama dia di rumahkan, aku bertanya tentang tabungan yang selama ini dia tabung, hasilnya nihil.
ATM dipergunakan hanya untuk menerima gaji, setelah itu kosong kembali. Untuk ke sekian kali, dia berhasil menenangkan aku lagi.
Suara motor Mas Reno terdengar terparkir di halaman rumah. Aku tersentak kaget melihat dia sudah berada di hadapanku.
"Nasi goreng tadi mana?"
Nasi goreng? Setelah setengah jam dia ke luar, dan datang hanya untuk bertanya tentang nasi goreng? Luar biasa kelakuan suamiku.
"Habis sama aku," jawabku sembari melipat baju.
"Punyaku, bukan punyamu?"
"Iya, dua-duanya sudah kumakan habis. Katamu sudah tak mau."
Mas Reno membanting pintu saat ke luar dari kamar. Lucu sekali dia, datang-datang menanyakan nasi yang tak dia inginkan. Seperti mantan yang terbuang, setelah cantik akan diakui.
---Chew Vha---
Selesai gosok, sengaja aku tiduran melepas lelah di pinggang dan hati. Belum juga rebahan lama, suara gaduh terdengar begitu nyata. Aku bangkit bergegas melihat ada apa di luar.
"Astaga Rena, kamu ngapain bawa teman-teman kamu ke rumah Mba?"
"Tadi aku sudah izin sama Mas Reno, mau belajar kelompok lagi."
Dengan tidak sopan dia bersama teman-temannya mulai berisik. Astaga, itu bukannya laptop Mas Reno? Apa Rena juga meminjam pada suamiku?
"Ren, kenapa nggak di rumah kamu belajarnya?"
"Mba ini gimana, rumah aku kecil. Lagi pula ibu suka marah kalau berisik. Di rumah juga nggak ada makanan. Beda sama di sini, rumah bagus banyak makanan pula."
Benar-benar bikin sakit kepala mendengar ucapan adik iparku. Ini sungguhan wajah asli mereka? Apa selama ini gaji suamiku memang dialirkan ke mereka? Dengan alasan menabung, aku sama sekali tak diberikan jatah hak aku sebagai seorang istri?
Aku teringat saat pertama menikah dengan Mas Reno. Saat mengherankan setelah gajian kami.
"Kamu, kan, kerja, Wid. Gini aja biar enak, gaji kamu buat kebutuhan dapur dan lain-lain. Sementara, gaji aku ditabung untuk nanti kita punya anak. Lagi pula aku masih biayai adikku."
"Maksud Mas, aku sama sekali nggak dapat uang belanja atau apa gitu?"
"Iya. Kan, uang tabungan juga buat kita nanti."
Bener juga kata Mas Reno. Mungkin maksudnya kalau kita punya anak, bisa buat kebutuhan lahiran dan pendidikan. Aku menurut saja kalau demi kebaikan.
Suara gelas pecah membuyarkan lamunanku. Aku cepat menghampiri Rena. Ya Allah ... rumahku seperti kapal pecah. Mereka belajar kelompok kenapa seperti pesta makanan. Gelas kesayangan aku pecah.
"Ya ampun, Ren. Kenapa pakai gelas kesayangan Mba? Ini, kan oleh-oleh dari teman Mba."
"Nanti Rena ganti. Cari di pasar juga banyak, kok. Nggak usah lebai Mbak."
Kepalaku benar-benar pusing dengan kelakuan adik iparku. Lebih baik aku mencari Mas Reno, untuk penjelasan kelakuan Rena.
Aku melangkah ke kamar, apa yang kudapat? Mas Reno asyik dengan gamenya. Sementara, aku sudah pusing dengan rumah tangga sendiri dan kini terecok oleh keluarga suamiku.
"Mas, kenapa kamu izin in adik kamu belajar kelompok di rumah kita?"
"Biar aja. Di rumah ibu, kan, sempit."
Mas Reno menjawab tanpa menoleh padaku. Dia sibuk dengan ponsel yang di genggamnya. Aku seperti bicara dengan patung.
Ternyata bicara dengan suamiku tak membuat aku lebih baik, malah semakin pening kepala ini. Dia sibuk dengan gamenya sambil berteriak jika menang.
"Mas, tolong hargai aku! Aku istri kamu, bilang sama adikmu jangan seenaknya di rumahku!" Sengaja aku meninggikan suara agar terdengar adiknya.
Untuk apa berpura-pura baik kalau mereka semakin menginjak-injak harga diri aku. Mas Reno menghentikan aktivitas bermain ponsel.
Sepertinya dia marah padaku, Mas Reno mencengkeram lenganku. Apa yang akan dia lakukan?
"Ini rumah aku juga, aku suami kamu dan adikku juga berhak melakukan apa pun di sini!"
Aku menggigit bibir mendengar penuturan hebat dari suamiku. Enak saja dia mengklaim ini rumahnya. Sudah jelas ini rumah pemberian almarhum orang tuaku, bukan darinya.
"Tapi setidaknya mereka menghormati aku, Mas."
"Alah, kamu baik di luar aja. Saat mereka nggak ada, kamu baru marah-marah. Jangan pelit jadi orang, rezeki nggak ke mana."
Aku menghela napas, masih bisa dia bicara tentang rezeki. Sementara, dia tak ada niatan menjemput rezeki. Bagaimana aku tak pusing dengan keadaan seperti ini?
Apa ini yang namanya kuhidupi suamiku dan keluarganya? Benar kata temanku jika aku memang sangat bodoh.
---Chew Vha---
Kenapa Budeh menangis, apa aku keguguran saat terjatuh tadi? segera aku mengusap perut ini, tetapi sama sekali aku tidak tahu, apa masih ada janin atau tidak di perut ini?aku kembali menatap raut wajah Budeh. lagi, ia memelukku dengan erat. air matanya tumpah membanjiri pipi. Budeh, apa yang sebenarnya terjadi?"Budeh, jangan menangis. Apa ini ada hubungannya dengan anakku?" tanyaku penasaran."Budeh menangis bahagia, akhirnya lengkap sudah kebahagiaan kamu. Untung Erlan cepat membawamu. Untung Allah masih melindungi kalian.”Kini aku yang menangis, karena kecerobohanku, hampir saja aku kehilangan janin ini. Namun, hati ini masih sakit jika mengingat semuanya. Aku benci mereka. Bodohnya aku, saat ia bilang mencintaiku. Diri ini juga terlalu terhanyut saat Mas Erlan ingin membahagiakanku. Aku pikir, diri ini paling beruntung memiliki suami seperti dia.nyatanya, aku harus menahan pedih di hati. Mas kenapa kamu tega! Kenapa dirinya harus datan
"Jangan mengungkit masa lalu. Aku pun tidak pernah usil dengan kamu Mba. Tolong, jangan buat keributan di rumahku." Ibu mertuaku merasa terganggu dengan perkataan Budhe Ratih.Memang, menurutku keterlaluan Budhe Ratih. Sudah ditolong, tapi dia malah berbuat tidak baik. Kulihat wajah Mama sampai memerah. Belum lagi Papa mertua yang menarik napas."Anakku, Erlan tidak seperti itu. Bagaimana bentuknya sang istri, itu sudah menjadi kodratnya. Makanya anakmu suruh nikah, jangan bisanya julid sama orang. Untung saja Erlan tidak tertarik dengan Gladis. Malu aku punya menantu dengan ucapan tidak baik,” ujar Mama.Aku terkesiap dengan penuturan Mama. Wanita tua itu bangkit, dan langsung meninggalkan meja makan. Tidak lama Papa juga ikut masuk ke kamar."Wid, kita makan di luar saja, yuk," ajak Mas Erlan."Iya, kamar"Kalian mau ke mana?" tanya Gladis."Bukan urusan kamu,” jawab Mas Erlan.Mas Erlan memberi kode agar ak
Terpaksa aku kembali ke rumah ini. Rumah besar yang dihuni beberapa kepala. Demi suami, aku bertahan untuk menyenangkan ibu mertua.Cucu pertama dari keluarga ini sangat diharapkan. Anak perempuan mereka yang sudah beberapa lama menikah tak kunjung hamil. Sampai aku hamil, antusias mereka sangat besar."Kamu mau rujak, nggak, Wid?" tanya Ibu mertuaku."Nggak, Ma. Aku malah nggak mau asem-asem. Maunya yang pedas." Aku menjawab sambil duduk di kursi dapur."Makanan pedas gitu? Atau ikan, ayam atau apa gitu? Bilang aja sama Mama, nanti suruh Bibi masak. Jangan sungkan.""Iya, Ma. Apa aja, yang penting pedas.""Ya, sudah nanti ayam saja di cabeiin. Biar makan semua, enak juga kayanya."Akhirnya aku mendapat perhatian Ibu mertua. Kupikir ia sama seperti Ibunya Reno. Namun, ternyata Mama berbeda. Memang dia terlihat apa adanya.Gladis berlari masuk ke rumah. Aku lihat beberapa kali dia mengintip jendela rumah. Ada apa sebenarnya?
"Ancaman Apa?" tanyaku."Bukan ancaman apa-apa. Ya, tapi takutnya aja si Gladis melakukan hal macam-macam." Mba Erni menjelaskan padaku.Kenapa masih banyak orang seperti Gladis. Sudah jatuh miskin, masih saja bersikap seperti ratu dalam istana. Kenapa tidak sadar diri, jika dia sudah menjadi miskin."Biarkan, Mba.""Kamu terlalu lembek. Budhe Ratih itu cuman manfaatin Mama. Dia tinggal di rumah Mama itu bakal lama. Lihat aja kataku nanti."Mbak Erni ikut emosi jika mengingat kelakua kedua orang itu. Belum lagi, sikap Gladis yang tidak mengenakkan. Aku bisa frustrasi menghadapinya. Sekarang dia berani meminjam uang dua puluh juta. Besok-besok pasti akan lebih berani. Astaga, jauhkan aku dari orang seperti itu Ya Allah.Ponsel Mas Erlan berdering, ia mengambilnya dari nakas. Wajahnya mengerut seperti melihat sesuatu."Ada apa, tumben si Mba Nani telepon. Ada apa, ya?" tanya Mas Erlan."Angkat dulu aja," kataku.Mas
"Temui aja, Mas," ujarku pelan.Rasanya mengingat ia menyukai suamiku itu membuat aku ingin mengusirnya. Kenapa bisa ada wanita tidak tahumu seperti Gladis. Mas Erlan membuka pintu setelah aku mengizinkannya."Ada apa, Dia?" tanya Mas Erlan."Mas, aku boleh pinjam uang? Hari ini ada acara, nanti aku ganti. Soalnya uang Papa---""Uang Papamu habis. Bagaiamana kamu bisa menggantinya?""Ya, aku sedang mencari pekerjaan. Makanya aku butuh uang untuk ke mana-mana. Boleh, ya, Mas?" Gladis seperti memohon pada suamiku.Aku mendekati mereka, astaga, gadis ini memakai pakaian sexy di depan Suamiku. Belahan dadanya saja sengaja ia umbar. Memang tidak tahu malu."Berapa?""Sepuluh juta,” ujar Gladis.Mendengarnya membuat aku sakit kepala. Yang sebanyak itu dia pinjam dan entah kapan mengembalikannya.Mas Erlan melihat ke arahku. Aku tidak mengerti maksudnya."Sekarang Widya istriku, jadi Widya yang ber
Gladis menyukai menyukai Mas Erlan? Pantas saja ibunya tidak terima saat aku menjadi istri sang pujaan hati anaknya. Mereka aneh, masa mau menikah dengan sepupu?Kok bisa, mereka menginap di sini? Katanya kaya raya, masa, iya, menumpang. Aku beranjak ke luar kamar. Seharian di ruangan ini membuat aku bosan. Lebih baik aku mencari buah di kulkas. Siapa tahu Mama ada simpanan buah. Kebetulan ada Mama di dapur. Aku mengurungkan niat menyapanya, ada Budhe Ratih di sana.Terdengar mereka sedang mengobrol. Di posisi aku berdiri, masih bisa terdengar mereka berbicara. Aku bukan mau menguping, tapi ingin tahu saat nama Mas Erlan di sebut."Mbar, kamu yang benar saja menikahkan Erlan dengan wanita biasa. Kamu nggak lihat anakku Gladis lebih cantik." Terdengar suara bude membuat aku sakit hati."Itu pilihan dia, mana bisa aku melarang. Tahu sendiri, kalau sudah mau A ya tetap A. Mana bisa berubah menjadi B." Ibu mertuaku seperti tak banyak bicara."Halah, ng