Share

Empat

Awal bulan seperti ini, biasanya aku sudah berada di swalayan untuk berbelanja bulanan. Akan tetapi, kali ini uang gaji tak cukup untuk stok keperluan dapur. 

Kusimpan kembali dompet ke tas. Beberapa langkah lagi aku sampai di rumah. Berjalan dari depan membuat aku lelah. Punya suami tak berguna, benar kata Nina. 

Allahuakbar, rumahku seperti kapal pecah. Kulit kacang bertebaran di mana-mana. Belum lagi puntung rokok juga berserakan. Didiamkan mereka makin seenaknya aja. Dipikir ini rumah mereka apa?

"Mas!" 

Kulangkahkan kaki mencari Mas Reno. Aku lelah, pulang kerja harus di hadapkan dengan semua ini. Sungguh aku tak bisa menahan emosi.

"Mas!"

Mas Reno baru menoleh saat ponselnya aku tarik. Sengaja kupasang wajah jutek biar dia sadar istrinya sedang marah. Bisa-bisanya dia santai, sedangkan di luar rumah bagaikan kapal pecah. 

"Kamu apa-apaan, sih?" tanya Mas Reno kesal.

Pria di hadapanku mencoba mengambil ponselnya dari tanganku. Akan tetapi, aku terus menolak. Dia pikir aku masih bodoh seperti kemarin. Sepertinya Mas Reno mulai marah dan mencoba merampas ponsel milik dia.

Apa bermain game lebih penting dari pada mengurus rumah? Kesal bukan main melihat rumah bagaikan kapal pecah seperti ini.

"Mas masih tanya aku kenapa? Mas pikir dong, jangan main ponsel terus."

"Terus aku harus apa di rumah? Berbenah gitu? Aku ini suami kamu!"

"Kalau mengaku suami, nafkahi dong istrinya. Jangan di PHK trusa mandek nggak kerja."

"Kamu sekarang pintar membantah, ya?"

Siapa juga yang membantah? Ini kenyataan kalau memang Mas Reno lalai sebagai suami. Diam tak bergerak saat di PHK. Aku capek harus bekerja sendiri. Sementara, dia dan keluarganya selalu meminta 

Masih untung aku mau memberi makan mereka. Kalau tidak, keluarganya sudah kelaparan. Memang sejak dulu Mas Reno yang membiayai semua kebutuhan Ibunya. Akan tetapi, dia lupa jika ada istri yang harus di nafkahi.

"Membantah apa, Mas? Aku hanya membela diri. Harusnya kamu mengerti aku, di rumah bantu menyapu, kek, atau yang lain."

"Kamu pikir aku pembantu?"

"Bukan aku, loh, yang bilang. Sadar diri aja, Mas. Aku pulang kenapa rumah berantakan?"

Mas Reno bergeming. Entah apa yang ada di kepalanya. Jujur aku tak masalah jika dia bekerja  sebagai tukang ojek Online. Asalkan halal dalam memberikan aku nafkah. 

Kali ini aku tak bisa memaafkan mereka. Harus pelajaran mereka agar tak semena-mena denganku. Dia pikir hidup gratis. Kencing di WC umum aja bayar. 

"Mas jawab?"

"Rena tadi pinjam laptop Mas, sekalian aja belajar kelompok."

"Sampai membuat berantakan rumahku. Ya Allah, Mas."

"Santai aja, sih, sama adik ipar juga."

Sabar dia bilang? Enak saja bicara seperti itu. Stok kesabaranku sudah habis menghadapi parasit seperti kamu.

Belum lagi ibu kamu yang sering mencerca aku seolah menjadi mantu yang kurang ajar. Padahal mereka yang menjadi parasit di rumah tanggaku.

"Kamu bilang santai? Cukup Mas, aku sudah tak sabar. Tolong rapikan bekas kotor di depan akibat adik kamu. Aku mau mandi cantik."

Kukibaskan rambut di depan Mas Reno yang melongo kaya sapi ompong. Biar kalau perlu sekalian adiknya aku suruh datang.

Aku ambil ponsel dari tas, lalu kuketik sesuai keinginan hati ini. 

[Ren, tolong ke rumah Mba]

Setelah itu kukirim pesan pada Rena. 

Tak menunggu waktu lama, Rena selalu cepat dalam membalas pesanku. Apalagi kalau masalah minta uang, dia jagonya.

[Oke, mbak]

Benar dugaan aku, tak lama dari pesan itu terbalaskan. Rena sudah memanggil namaku. Memang rumah aku dan ibu mertua tak jauh, hanya berbeda gang saja.

"Mba, Ada apa?" tanyanya.

"Tolong beres, kan, bekas kamu tadi." 

Aku menunjuk tempat kotor yang bikin aku pusing. Rena menatap jijik apa yang aku tunjuk. Wajahnya berubah seketika menjadi masam.

"Aku nggak mau."

"Harus mau! Kalau nggak, jangan harap kamu bisa dapat uang dari aku." 

Cukup berhasil aku mengancamnya. Rena melangkah ke dapur, lalu mengambil sapu untuk membersihkan lantai. Mas Reno yang datang melihat itu pun hanya bisa diam karena mereka memang salah.

Tidak lama Rena membanting sapu ke  lantai.

"Aku nggak bisa menyampu," ucapnya.

"Ha, udah besar kaya gini nggak bisa menyapu?"

"Mas, tolong bilang in sama istri Mas. Dia pikir dia orang hebat menyuruh-nyuruh aku."

Aku tak percaya dia bicara seperti itu.   Ingin kutampar saja wajahnya. Namun, urung karena akan menjadi masalah.

"Kamu pikir bisa seenaknya bisa datang dan mengacak-acak rumahku?

"Siapa yang mengacak-ngacak?" 

"Itu, makanan, berserakan di mana-mana. Kalau bukan kamu siapa lagi? Tikus gitu?"

Rena mengentakkan kaki, lalu pergi begitu saja dari rumahku. Dasar anak tak tahu diri. Sudah membuat kacau malah pergi begitu saja.

"Kenapa kamu lihat aku?" tanya Mas Reno.

"Kamu Mas yang beresin." Langsung aku kasih sapunya tanpa basa basi.

"Kalau nggak rapi, nggak ada makan malam." Lagi, aku mengancam Mas Reno.

Langsung aku meninggalkan Mas Reno yang terlihat kesal saat aku memberikan sapu padanya. Gegas aku masuk ke kamar mandi sebelum dia mengoceh panjang lebar.

--Chew Vha--

Bala bantuan sepertinya datang. Suara nyaring ibu mertua dari luar terdengar sampai ke dalam rumah. Benar dugaanku jika Rena pulang untuk mengadu pada ibunya.

Aku bergegas menghampiri dengan handuk masih di kepala menutupi rambutku yang basah. Ibu sudah bertolak pinggang menunggu kedatanganku.

Aku menarik napas saat sudah berhadapan dengannya. Rasanya seperti akan menguras tenaga menghadapi perang musuh. Tuhan, aku jahat sekali sama orang tua.

"He, maksud kamu apa menyuruh Rena ke sini untuk beres-beres rumah? Kamu kira anak saya pembantu?" 

Pasti anak ingusan itu bicara melebihkan tak sesuai fakta. 

"Nggak ada maksud apa-apa, Bu. Hanya saja Rena siang tadi belajar kelompok, dan bekas makan membuat lantai kotor. Salah Widya minta dia bersihkan?"

Ibu terdiam sejenak. Wajahnya memindai aku dan Rena. Dasar gadis ingusan, terus saja mengadu domba. Jangan pikir aku akan diam saja di perlakukan seperti itu. 

"Halah, alasan kamu saja. Durhaka kamu, Wid. Moso suami suruh menyapu? Kerjaan kamu apa toh di rumah?"

"Durhaka kaya apa dulu, Bu. Kerjaan aku sekretaris. Harusnya aku tanya, Mas Reno kerjanya apa? Harusnya dia pikir kalau aku kerja, dia bantu aku beres-beres rumah."

Wajah ibu mertuaku memerah menahan amarah atau malu. Bodo amat, yang penting mereka harus sadar jangan membuat aku murka. 

Sudah capek bekerja, masih dipusingkan pekerjaan rumah. Ribut setiap hari yang itu-itu aja masalahnya. 

"No, ini wanita yang kamu pilih jadi istri? Kurang ajar, nggak sopan sama Ibu. Pantes aja nggak di kasih anak. Banyak dosa si sama suami."

Ingin rasanya meremas mulut itu. Dosa apa? Kenapa semakin lama ucapannya semakin dalam? Dada ini bergemuruh hebat dan membuat aku sesak.

---Chew Vha---

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Jee Esmael
Mau dong ikutan remas mulut si mertua ga tau diri
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Lah gak sadar diri tu para benalu
goodnovel comment avatar
Delima Tan
pengen ikutan meremas mulut ibu mertua. bisa nggak yaa ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status