Share

Empat

Author: Chew Vha
last update Last Updated: 2022-03-21 18:04:01

Awal bulan seperti ini, biasanya aku sudah berada di swalayan untuk berbelanja bulanan. Akan tetapi, kali ini uang gaji tak cukup untuk stok keperluan dapur. 

Kusimpan kembali dompet ke tas. Beberapa langkah lagi aku sampai di rumah. Berjalan dari depan membuat aku lelah. Punya suami tak berguna, benar kata Nina. 

Allahuakbar, rumahku seperti kapal pecah. Kulit kacang bertebaran di mana-mana. Belum lagi puntung rokok juga berserakan. Didiamkan mereka makin seenaknya aja. Dipikir ini rumah mereka apa?

"Mas!" 

Kulangkahkan kaki mencari Mas Reno. Aku lelah, pulang kerja harus di hadapkan dengan semua ini. Sungguh aku tak bisa menahan emosi.

"Mas!"

Mas Reno baru menoleh saat ponselnya aku tarik. Sengaja kupasang wajah jutek biar dia sadar istrinya sedang marah. Bisa-bisanya dia santai, sedangkan di luar rumah bagaikan kapal pecah. 

"Kamu apa-apaan, sih?" tanya Mas Reno kesal.

Pria di hadapanku mencoba mengambil ponselnya dari tanganku. Akan tetapi, aku terus menolak. Dia pikir aku masih bodoh seperti kemarin. Sepertinya Mas Reno mulai marah dan mencoba merampas ponsel milik dia.

Apa bermain game lebih penting dari pada mengurus rumah? Kesal bukan main melihat rumah bagaikan kapal pecah seperti ini.

"Mas masih tanya aku kenapa? Mas pikir dong, jangan main ponsel terus."

"Terus aku harus apa di rumah? Berbenah gitu? Aku ini suami kamu!"

"Kalau mengaku suami, nafkahi dong istrinya. Jangan di PHK trusa mandek nggak kerja."

"Kamu sekarang pintar membantah, ya?"

Siapa juga yang membantah? Ini kenyataan kalau memang Mas Reno lalai sebagai suami. Diam tak bergerak saat di PHK. Aku capek harus bekerja sendiri. Sementara, dia dan keluarganya selalu meminta 

Masih untung aku mau memberi makan mereka. Kalau tidak, keluarganya sudah kelaparan. Memang sejak dulu Mas Reno yang membiayai semua kebutuhan Ibunya. Akan tetapi, dia lupa jika ada istri yang harus di nafkahi.

"Membantah apa, Mas? Aku hanya membela diri. Harusnya kamu mengerti aku, di rumah bantu menyapu, kek, atau yang lain."

"Kamu pikir aku pembantu?"

"Bukan aku, loh, yang bilang. Sadar diri aja, Mas. Aku pulang kenapa rumah berantakan?"

Mas Reno bergeming. Entah apa yang ada di kepalanya. Jujur aku tak masalah jika dia bekerja  sebagai tukang ojek Online. Asalkan halal dalam memberikan aku nafkah. 

Kali ini aku tak bisa memaafkan mereka. Harus pelajaran mereka agar tak semena-mena denganku. Dia pikir hidup gratis. Kencing di WC umum aja bayar. 

"Mas jawab?"

"Rena tadi pinjam laptop Mas, sekalian aja belajar kelompok."

"Sampai membuat berantakan rumahku. Ya Allah, Mas."

"Santai aja, sih, sama adik ipar juga."

Sabar dia bilang? Enak saja bicara seperti itu. Stok kesabaranku sudah habis menghadapi parasit seperti kamu.

Belum lagi ibu kamu yang sering mencerca aku seolah menjadi mantu yang kurang ajar. Padahal mereka yang menjadi parasit di rumah tanggaku.

"Kamu bilang santai? Cukup Mas, aku sudah tak sabar. Tolong rapikan bekas kotor di depan akibat adik kamu. Aku mau mandi cantik."

Kukibaskan rambut di depan Mas Reno yang melongo kaya sapi ompong. Biar kalau perlu sekalian adiknya aku suruh datang.

Aku ambil ponsel dari tas, lalu kuketik sesuai keinginan hati ini. 

[Ren, tolong ke rumah Mba]

Setelah itu kukirim pesan pada Rena. 

Tak menunggu waktu lama, Rena selalu cepat dalam membalas pesanku. Apalagi kalau masalah minta uang, dia jagonya.

[Oke, mbak]

Benar dugaan aku, tak lama dari pesan itu terbalaskan. Rena sudah memanggil namaku. Memang rumah aku dan ibu mertua tak jauh, hanya berbeda gang saja.

"Mba, Ada apa?" tanyanya.

"Tolong beres, kan, bekas kamu tadi." 

Aku menunjuk tempat kotor yang bikin aku pusing. Rena menatap jijik apa yang aku tunjuk. Wajahnya berubah seketika menjadi masam.

"Aku nggak mau."

"Harus mau! Kalau nggak, jangan harap kamu bisa dapat uang dari aku." 

Cukup berhasil aku mengancamnya. Rena melangkah ke dapur, lalu mengambil sapu untuk membersihkan lantai. Mas Reno yang datang melihat itu pun hanya bisa diam karena mereka memang salah.

Tidak lama Rena membanting sapu ke  lantai.

"Aku nggak bisa menyampu," ucapnya.

"Ha, udah besar kaya gini nggak bisa menyapu?"

"Mas, tolong bilang in sama istri Mas. Dia pikir dia orang hebat menyuruh-nyuruh aku."

Aku tak percaya dia bicara seperti itu.   Ingin kutampar saja wajahnya. Namun, urung karena akan menjadi masalah.

"Kamu pikir bisa seenaknya bisa datang dan mengacak-acak rumahku?

"Siapa yang mengacak-ngacak?" 

"Itu, makanan, berserakan di mana-mana. Kalau bukan kamu siapa lagi? Tikus gitu?"

Rena mengentakkan kaki, lalu pergi begitu saja dari rumahku. Dasar anak tak tahu diri. Sudah membuat kacau malah pergi begitu saja.

"Kenapa kamu lihat aku?" tanya Mas Reno.

"Kamu Mas yang beresin." Langsung aku kasih sapunya tanpa basa basi.

"Kalau nggak rapi, nggak ada makan malam." Lagi, aku mengancam Mas Reno.

Langsung aku meninggalkan Mas Reno yang terlihat kesal saat aku memberikan sapu padanya. Gegas aku masuk ke kamar mandi sebelum dia mengoceh panjang lebar.

--Chew Vha--

Bala bantuan sepertinya datang. Suara nyaring ibu mertua dari luar terdengar sampai ke dalam rumah. Benar dugaanku jika Rena pulang untuk mengadu pada ibunya.

Aku bergegas menghampiri dengan handuk masih di kepala menutupi rambutku yang basah. Ibu sudah bertolak pinggang menunggu kedatanganku.

Aku menarik napas saat sudah berhadapan dengannya. Rasanya seperti akan menguras tenaga menghadapi perang musuh. Tuhan, aku jahat sekali sama orang tua.

"He, maksud kamu apa menyuruh Rena ke sini untuk beres-beres rumah? Kamu kira anak saya pembantu?" 

Pasti anak ingusan itu bicara melebihkan tak sesuai fakta. 

"Nggak ada maksud apa-apa, Bu. Hanya saja Rena siang tadi belajar kelompok, dan bekas makan membuat lantai kotor. Salah Widya minta dia bersihkan?"

Ibu terdiam sejenak. Wajahnya memindai aku dan Rena. Dasar gadis ingusan, terus saja mengadu domba. Jangan pikir aku akan diam saja di perlakukan seperti itu. 

"Halah, alasan kamu saja. Durhaka kamu, Wid. Moso suami suruh menyapu? Kerjaan kamu apa toh di rumah?"

"Durhaka kaya apa dulu, Bu. Kerjaan aku sekretaris. Harusnya aku tanya, Mas Reno kerjanya apa? Harusnya dia pikir kalau aku kerja, dia bantu aku beres-beres rumah."

Wajah ibu mertuaku memerah menahan amarah atau malu. Bodo amat, yang penting mereka harus sadar jangan membuat aku murka. 

Sudah capek bekerja, masih dipusingkan pekerjaan rumah. Ribut setiap hari yang itu-itu aja masalahnya. 

"No, ini wanita yang kamu pilih jadi istri? Kurang ajar, nggak sopan sama Ibu. Pantes aja nggak di kasih anak. Banyak dosa si sama suami."

Ingin rasanya meremas mulut itu. Dosa apa? Kenapa semakin lama ucapannya semakin dalam? Dada ini bergemuruh hebat dan membuat aku sesak.

---Chew Vha---

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Jee Esmael
Mau dong ikutan remas mulut si mertua ga tau diri
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Lah gak sadar diri tu para benalu
goodnovel comment avatar
Delima Tan
pengen ikutan meremas mulut ibu mertua. bisa nggak yaa ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kuhidupi Suamiku Dan Keluarganya   Empat puluh delapan

    Kenapa Budeh menangis, apa aku keguguran saat terjatuh tadi? segera aku mengusap perut ini, tetapi sama sekali aku tidak tahu, apa masih ada janin atau tidak di perut ini?aku kembali menatap raut wajah Budeh. lagi, ia memelukku dengan erat. air matanya tumpah membanjiri pipi. Budeh, apa yang sebenarnya terjadi?"Budeh, jangan menangis. Apa ini ada hubungannya dengan anakku?" tanyaku penasaran."Budeh menangis bahagia, akhirnya lengkap sudah kebahagiaan kamu. Untung Erlan cepat membawamu. Untung Allah masih melindungi kalian.”Kini aku yang menangis, karena kecerobohanku, hampir saja aku kehilangan janin ini. Namun, hati ini masih sakit jika mengingat semuanya. Aku benci mereka. Bodohnya aku, saat ia bilang mencintaiku. Diri ini juga terlalu terhanyut saat Mas Erlan ingin membahagiakanku. Aku pikir, diri ini paling beruntung memiliki suami seperti dia.nyatanya, aku harus menahan pedih di hati. Mas kenapa kamu tega! Kenapa dirinya harus datan

  • Kuhidupi Suamiku Dan Keluarganya   Empat puluh tujuh

    "Jangan mengungkit masa lalu. Aku pun tidak pernah usil dengan kamu Mba. Tolong, jangan buat keributan di rumahku." Ibu mertuaku merasa terganggu dengan perkataan Budhe Ratih.Memang, menurutku keterlaluan Budhe Ratih. Sudah ditolong, tapi dia malah berbuat tidak baik. Kulihat wajah Mama sampai memerah. Belum lagi Papa mertua yang menarik napas."Anakku, Erlan tidak seperti itu. Bagaimana bentuknya sang istri, itu sudah menjadi kodratnya. Makanya anakmu suruh nikah, jangan bisanya julid sama orang. Untung saja Erlan tidak tertarik dengan Gladis. Malu aku punya menantu dengan ucapan tidak baik,” ujar Mama.Aku terkesiap dengan penuturan Mama. Wanita tua itu bangkit, dan langsung meninggalkan meja makan. Tidak lama Papa juga ikut masuk ke kamar."Wid, kita makan di luar saja, yuk," ajak Mas Erlan."Iya, kamar"Kalian mau ke mana?" tanya Gladis."Bukan urusan kamu,” jawab Mas Erlan.Mas Erlan memberi kode agar ak

  • Kuhidupi Suamiku Dan Keluarganya   Empat Puluh Enam

    Terpaksa aku kembali ke rumah ini. Rumah besar yang dihuni beberapa kepala. Demi suami, aku bertahan untuk menyenangkan ibu mertua.Cucu pertama dari keluarga ini sangat diharapkan. Anak perempuan mereka yang sudah beberapa lama menikah tak kunjung hamil. Sampai aku hamil, antusias mereka sangat besar."Kamu mau rujak, nggak, Wid?" tanya Ibu mertuaku."Nggak, Ma. Aku malah nggak mau asem-asem. Maunya yang pedas." Aku menjawab sambil duduk di kursi dapur."Makanan pedas gitu? Atau ikan, ayam atau apa gitu? Bilang aja sama Mama, nanti suruh Bibi masak. Jangan sungkan.""Iya, Ma. Apa aja, yang penting pedas.""Ya, sudah nanti ayam saja di cabeiin. Biar makan semua, enak juga kayanya."Akhirnya aku mendapat perhatian Ibu mertua. Kupikir ia sama seperti Ibunya Reno. Namun, ternyata Mama berbeda. Memang dia terlihat apa adanya.Gladis berlari masuk ke rumah. Aku lihat beberapa kali dia mengintip jendela rumah. Ada apa sebenarnya?

  • Kuhidupi Suamiku Dan Keluarganya   Empat Puluh Lima

    "Ancaman Apa?" tanyaku."Bukan ancaman apa-apa. Ya, tapi takutnya aja si Gladis melakukan hal macam-macam." Mba Erni menjelaskan padaku.Kenapa masih banyak orang seperti Gladis. Sudah jatuh miskin, masih saja bersikap seperti ratu dalam istana. Kenapa tidak sadar diri, jika dia sudah menjadi miskin."Biarkan, Mba.""Kamu terlalu lembek. Budhe Ratih itu cuman manfaatin Mama. Dia tinggal di rumah Mama itu bakal lama. Lihat aja kataku nanti."Mbak Erni ikut emosi jika mengingat kelakua kedua orang itu. Belum lagi, sikap Gladis yang tidak mengenakkan. Aku bisa frustrasi menghadapinya. Sekarang dia berani meminjam uang dua puluh juta. Besok-besok pasti akan lebih berani. Astaga, jauhkan aku dari orang seperti itu Ya Allah.Ponsel Mas Erlan berdering, ia mengambilnya dari nakas. Wajahnya mengerut seperti melihat sesuatu."Ada apa, tumben si Mba Nani telepon. Ada apa, ya?" tanya Mas Erlan."Angkat dulu aja," kataku.Mas

  • Kuhidupi Suamiku Dan Keluarganya   Empat Puluh Empat

    "Temui aja, Mas," ujarku pelan.Rasanya mengingat ia menyukai suamiku itu membuat aku ingin mengusirnya. Kenapa bisa ada wanita tidak tahumu seperti Gladis. Mas Erlan membuka pintu setelah aku mengizinkannya."Ada apa, Dia?" tanya Mas Erlan."Mas, aku boleh pinjam uang? Hari ini ada acara, nanti aku ganti. Soalnya uang Papa---""Uang Papamu habis. Bagaiamana kamu bisa menggantinya?""Ya, aku sedang mencari pekerjaan. Makanya aku butuh uang untuk ke mana-mana. Boleh, ya, Mas?" Gladis seperti memohon pada suamiku.Aku mendekati mereka, astaga, gadis ini memakai pakaian sexy di depan Suamiku. Belahan dadanya saja sengaja ia umbar. Memang tidak tahu malu."Berapa?""Sepuluh juta,” ujar Gladis.Mendengarnya membuat aku sakit kepala. Yang sebanyak itu dia pinjam dan entah kapan mengembalikannya.Mas Erlan melihat ke arahku. Aku tidak mengerti maksudnya."Sekarang Widya istriku, jadi Widya yang ber

  • Kuhidupi Suamiku Dan Keluarganya   Empat Puluh Tiga

    Gladis menyukai menyukai Mas Erlan? Pantas saja ibunya tidak terima saat aku menjadi istri sang pujaan hati anaknya. Mereka aneh, masa mau menikah dengan sepupu?Kok bisa, mereka menginap di sini? Katanya kaya raya, masa, iya, menumpang. Aku beranjak ke luar kamar. Seharian di ruangan ini membuat aku bosan. Lebih baik aku mencari buah di kulkas. Siapa tahu Mama ada simpanan buah. Kebetulan ada Mama di dapur. Aku mengurungkan niat menyapanya, ada Budhe Ratih di sana.Terdengar mereka sedang mengobrol. Di posisi aku berdiri, masih bisa terdengar mereka berbicara. Aku bukan mau menguping, tapi ingin tahu saat nama Mas Erlan di sebut."Mbar, kamu yang benar saja menikahkan Erlan dengan wanita biasa. Kamu nggak lihat anakku Gladis lebih cantik." Terdengar suara bude membuat aku sakit hati."Itu pilihan dia, mana bisa aku melarang. Tahu sendiri, kalau sudah mau A ya tetap A. Mana bisa berubah menjadi B." Ibu mertuaku seperti tak banyak bicara."Halah, ng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status