Share

Bab 4

***

Cukup lama kulihat Mas Arga mengamati aku dan anak-anakku yang sedang merengek padaku, tiba-tiba kakinya melangkah melewati kami dan menuju kamar.

Ku biarkan ia di kamar sendiri, biasanya selalu ku susul untuk mengambil baju gantinya. Tapi kali ini kakiku terasa berat untuk berdiri ditambah lagi Dani yang sedang tiduran di pangkuanku.

Dua jam kemudian setelah Mas Arga masuk kamar ia tak kunjung keluar, apa yang dilakukannya di dalam? Sedang menelepon pelakor itu 'kah? Atau tidur? Pertanyaan-pertanyaan mencurigakan akhir-akhir ini selalu muncul di otakku.

Kulihat Dani sudah tertidur di pangkuanku dan Hana juga matanya mulai kedap-kedip menahan kantuk, bibirku tersenyum dan tanganku terulur membelai rambut Hana.

Mata Hana kembali cerah lalu mendongak ke atas melihatku yang sedang tersenyum manis padanya.

"Kenapa, Bunda?" pertanyaan polos itu keluar dari bibir mungilnya, aku langsung menggeleng.

"Tidur di kamar yuk sayang, udah jam 9 lebih, Adek juga udah tidur ini," ajakku, Hana mengangguk dan berusaha bangkit, terlihat sekali ia sudah sangat ngantuk dan malas berdiri.

Ku gendong Dani, kuikuti Hana yang sedang berjalan di depanku, kulihat mulut Dani mengunyah-unyah, mungkin anakku sedang mimpi lagi makan makanan kesukaannya.

Sampai di kamar kurebahkan tubuh anakku dengan hati-hati, lalu kutarik selimut untuk menghangatkannya. Hana dan Dani memang sudah tidak sekamar denganku lagi karena mereka sudah beranjak besar.

Kucium kening Dani lalu aku bangkit menuju ranjang Hana, kulihat ia sudah memasang selimutnya dan sekarang sudah mulai memejamkan matanya, kucium lembut kening putriku ini lalu kedua pipinya.

"Tidur yang nyenyak ya princess, Bunda," ucapku lembut, terlihat ia mengangguk lalu tersenyum walaupun matanya tertutup.

"Mimpi indah juga, Bunda," sahut Hana dengan mata tertutup, aku termenung sekarang apalagi melihat Hana dan Dani, hatiku rasanya hancur, aku tidak ingin mereka kehilangan kasih sayang sedikitpun, tapi apalah daya nasi sudah jadi bubur, aku sudah hilang kepercayaan pada Mas Arga.

Saat aku asik dalam lamunanku sambil memperhatikan anak-anakku secara bergantian terdengar pintu dibuka.

"Hanin," panggil Mas Arga membuatku kaget, aku langsung menoleh lalu berdiri mendekatinya, ia memegang tanganku lalu menarik ku pelan ke kamar kami. Apa yang dia inginkan sekarang? Jatahnya? Oh tidak, aku bahkan tidak sudi lagi berhubungan badan dengannya, setelah aku tahu kalau dia sudah sering berhubungan badan dengan Mita gendutnya itu, rasanya haram bagiku memberinya nafkah.

Sampai di kamar, aku langsung melepaskan tanganku dari genggamannya, ia menutup pintu lalu menatapku lekat-lekat. Apa ini? Pelet 'kah atau modusnya?

"Kenapa, Mas?" tanyaku santai lalu melipat kedua tanganku seperti orang menantang.

"Kamu ingin kerja lagi?" bukannya menjawab ia malah balik bertanya, aku langsung mengangkat alisku sebelah lalu mengangguk mantap.

"Untuk apa? Aku 'kan sudah memberimu nafkah setiap bulannya," lanjutnya lagi, aku memutar-mutarkan bibirku seolah seperti berfikir untuk menjawab pertanyaannya.

"Aku mau mencari uang Mas supaya nanti jika kamu menikah dengan pelakor itu, aku nggak kaget, kami nggak mati kelaparan," tidak kusangka mulutku bisa selantang ini, kulihat ekspresi Mas Arga kaget dan gugup, matanya mulai kemana-mana.

"Nggak mungkin 'lah selamanya kalian hanya pacaran 'kan Mas? Bakal berapa banyak dosa zina yang harus kalian tanggung," lanjutku tanpa memikirkan perasaannya, aku rasa untuk sekarang ini mulutku perlu rem yang cakram agar tidak lolos begitu aja.

Kali ini ekspresi Mas Arga yang tadinya cuma gugup, sekarang malah seperti orang ketakutan kalo aibnya ini sampe ke Ayah mertua. Aku menyunggingkan senyum melihat Mas Arga belum berani buka suara.

"Apa maksudmu, Hanin? Jangan sembarang memfitnah suami kamu ya, dosanya besar," jawabannya seolah-olah dia ahli surga dan aku ahli neraka. Kau mengingatku tentang dosa besar Mas, boleh saja.

"Siapa yang selalu melakukan dosa besar diantara kita Mas, aku 'kah, anak-anak atau ... kamu?" kata terakhirku sudah jelas seperti menunjuk ke dia, kulihat ia mulai terpancing dengan omonganku.

"Sudah 'lah, ini sudah malam. Malas aku berdebat denganmu malam-malam," ujarnya mengakhiri percakapan indah ini, padahal masih sangat banyak yang harus ku katakan padanya sebelum tidur. Mas Arga sudah duduk di ranjang hendak merebahkan tubuhnya yang mungkin capek melayani pelakor itu.

"Mas," panggilku saat ia sudah berbaring, matanya kembali menatapku yang masih berdiri di dekat pintu.

"Walaupun aku sampah dimatamu sekarang, tidak masalah itu hakmu, tapi satu hal yang harus kamu ketahui walau gini-gini juga, aku tidak mau harga diriku di lelang oleh hatimu Mas, aku tidak semurah kau dan pelakor itu!" tuturku padanya penuh penekanan, Mas Arga langsung duduk kembali dan menatap tidak suka ke arahku.

"Apa maksudmu?" tanyanya lagi, suaranya tidak selembut tadi, mungkin ia mulai marah sekarang. Tapi, aku tidak takut sedikitpun karena aku nggak salah.

"Aku nggak mudah melebarkan selangkangan untuk orang yang bukan muhrimku, kamu ingat Mas, kamu laki-laki pertama yang menjamah tubuhku dan sampai sekarang itu masih kamu. Sekarang pertanyaanku, apakah aku satu-satunya perempuan yang yang menjamah tubuhmu juga?" tanyaku membalikkan pernyataanku menjadi pertanyaan sulit untuknya. Kulihat ia menelan salivanya dengan susah payah, kenapa Mas ada buaya yang nyangkut di tenggorokanmu.

"Hanin stop, sudah kubilang ini sudah malam waktunya istirahat besok harus kerja lagi," ia kembali mengalihkan pertanyaanku, baiklah aku tidak akan menyerah.

"Besok kerja di kantor atau di hotel?" tanyaku lagi membuatnya tersentak yang tadinya ia sudah mulai memejamkan mata sekarang ia membukanya lagi, lalu ia menatap tajam ke arahku.

Aku hanya tersenyum lalu menggedikkan bahuku sambil mataku melihatnya dengan santai.

"Istirahat 'lah Mas, kelihatannya kamu capek sekali menghadapi klien hari ini sampe pucet banget tuh, kayak orang yang habis memadu kasih 10 ronde," ucapku disertai sindiran pedas yang bisa menembus jantung dan ulu hatinya. Mas Arga memalingkan wajahku ke arah lain, mungkin dia lagi bingung bagaimana aku mengetahui semuanya, kali ini bibirnya terkunci rapat sesekali ia menelan ludahnya dengan susah payah.

"Mungkin aku harus tidur di kamar anak-anak, biar kamu nggak terganggu dan bisa tidur nyenyak untuk mengumpulkan stamina lagi Mas buat tempur besok," mulut pedasku ini benar-benar tidak bisa di rem hampir semuanya ku keluarkan unek-unek, tapi sebelum semuanya keluar dari mulutku alangkah baiknya aku pergi dari sini, aku takut ia makin lemes dan pingsan kalo aku kasih tau semuanya.

Ku langkah'kan kakiku keluar dari kamar, tapi jahatnya lagi bibirku tersenyum puas melihat ekspresi Mas Arga malam ini. Apa aku sekarang jadi istri durhaka? Tentu saja tidak, menyelesaikan masalah tanpa emosi itu bagus, pelan-pelan saja tapi pasti, siksa batinnya secara perlahan.

Aku kembali masuk ke kamar anak-anak, rasanya sekarang hatiku lega sekali seperti batu yang menimpa hatiku tiba-tiba diangkat begitu saja. Bibirku masih tersenyum licik memikirkan langkah-langkah selanjutnya untuk memberi pelajaran pada Mas Arga tanpa ketahuan atau keributan yang membuat orang menyaksikannya.

Jujur kalo kuikuti kata hatiku, dari kemaren sepertinya sudah kujambak rambut pelakor itu dan ku tinju sekali payudaranya biar dia tahu sakitnya seperti apa, belum puas lagi ku tarik satu tali bajunya yang sangat tipis lebih tebal tali BHku yang lebih tepatnya bajunya mirip kain basahan saat aku mandi. Jangan yang dia tahu hanya melebarkan selangkangannya sambil menikmati desahan hubungan haram itu.

Ku pandangi kedua anakku yang sudah tertidur pulas, senyum di bibirku kembali secara perlahan. Saat aku hendak melangkahkan kaki mendekati Hana tiba-tiba terdengar suara pintu utama yang di tutup dengan kasar.

Langkahku terhenti, aku kembali keluar kamar menuju ruang tengah, kulihat pintu masih terbuka sedikit. Ku langkahkan kakiku mendekati jendela, ku tarik gorden sedikit dan kulihat Mas Arga masuk ke dalam mobil.

'Kemana lagi dia?' batinku kembali curiga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status